tag:blogger.com,1999:blog-22991218352512538302024-03-13T04:08:10.662-07:00Himpunan Makalah Bimbingan Konseling dan Kesihatan MentalAbdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.comBlogger204125tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-42536047580148189672011-06-06T17:23:00.000-07:002011-06-06T17:27:33.051-07:00STUDI KASUS (KESURUPAN )BAB 1-PERMASALAHAN<br />Kesurupan Massal di Pabrik Bintang Bola Dunia, Malang.<br /><br />Pabrik Bintang Bola Dunia adalah salah satu dari banyak pabrik rokok di kota Malang dan memproduksi rokok dengan merek Sapu Jagat Raya. Pabrik ini dijalankan di bawah manajemen PT Bentoel dan terletak di Jalan Ichwan Ridwan Rais No.47. Pabrik ini mempunyai karyawan sebanyak 1,000 orang dan semua buruh adalah buruh perempuan berumur mulai delapan belas sampai lima puluh tahun. <br />Peristiwa kesurupan massal terjadi pada hari kamis tanggal 17 April 2008. Mesikun demikian, menurut saksi mata Pak Suryono, seorang tukang parkir untuk pabrik, sebelum kesurupan massal tersebut terjadi, ada beberapa kasus kesurupan yang lebih kecil. Ketika mewawancari Pak Suryono, dia mengatakan bahwa selama satu minggu, tiga sampai lima buruh mengalami kesurupan setiap hari. <br />Buruh-buruh ini yang mengalami kesurupan berasal dari bagian Sigaret Kretek Tangan (SKT). Buruh-buruh yang kesurupan ini berkelahi satu sama lain dan menjerit-jerit. Kemudian pemimpin pabrik mengundang istigosah untuk mengeluarkan mahluk halus dan membebaskan buruh-buruh dari keadaan kesurupan. Beberapa Kyai dan orang Islam diundang untuk membaca ayat-ayat Al Qur.an. <br /><br />Satu minggu sesudah peristiwa-peristiwa ini, kira-kira lima puluh buruh mengalami kesurupan massal pada tanggal 17 April sehingga seluruh aktivitas produksi rokok harus dihentikan untuk satu hari. Perisitiwa ini mirip dengan kasus kesurupan sebelumnya, tetapi lebih besar. Menurut Ibu Yuni (salah satu orang yang bekerja di warung es degan di luar pabrik), peristiwa kesurupan massal mulai sekitar jam 09.00 WIB. Pertama ada satu orang buruh saja yang mengalami kesurupan, kemudian menular pada kira-kira lima puluh orang buruh lainnya. Satu persatu orang berteriak histeris, menjerit-jerit dengan kata-kata tidak jelas, kejang-kejang, menari seperti pemain kuda lumping dan langsung pingsan. Ibu Yuni mengatakan bahwa, kali ini, manajemen dan pemimpinan pabrik tidak mengundang istigosah untuk mengeluarkan jin atau mahluk halus. <br />Meskipun demikian tim medis di klinik Bentoel datang ke pabrik dan banyak buruh dibawah langsung ke rumah sakit. Buruh yang sudah sembuh di pabrik diminta pulang ke rumah mereka pada hari itu juga. Rupanya, menurut Pak Suryono, banyak buruh merasa sangat lemah sehingga mereka tidak mampu berjalan kaki dan oleh karena itu harus diangkat dari pabrik ke sepeda motornya masing-masing. <br /><br />Bab 2 – Pembahasan<br />Konsep kesurupan adalah sebuah fenomena tentang mahluk halus yang menguasai pikiran, perasaan, dan intelek (kesanggupan untuk membuat keputusan) pada diri seseorang dengan menyatu pada kesadarannya (Walker: 1973, 4). Hasilnya adalah mahluk halus ini bisa menguasai tindakan seseorang. Orang mengalami kesurupan ketika badannya dimasuki oleh mahluk halus yang menguasai jiwanya. Oleh karena itu, tingkah laku seseorang yang kesurupan akan dikuasai oleh mahluk halus. Hampir pada setiap kasus kesurupan, seseorang yang kesurupan tidak tahu atau tidak ingat bahwa dia kesurupan (Wallace: 2001, 14). <br />Konsep kesurupan telah ada selama beribu-ribu tahun yang lalu, di seluruh penjuru dunia. Kasus kesurupan terjadi pada orang Eskimo di Kutub Utara maupun orang Nguni Bantu di Afrika Selatan (Walker: 1973, 1). Bentuk dan interpretasi kesurupan merubah-rubah dari kebudayan yang satu ke kebudayaan yang lain. Kesurupan adalah fenomena yang dapat ditemukan dalam banyak agama dan di berbagai masyarakat di seluruh dunia. Dalam tradisi agama dan dongeng, seseorang yang dikuasai oleh mahluk halus kelakuannya akan menjadi tidak normal dan kepribadiannya akan berubah. Meskipun demikian, kesurupan bisa disebabkan oleh bermacam-macam unsur seperti narkotika, stres, dan hipnose (Walker: 1973, 4). Gejala-gejalanya adalah badan ringan, berteriak histeris, menjerit-jerit dengan kata-kata tidak jelas, kejang-kejang pingsan, muka datar, bibir pucat, sering menutup mata dengan kelopak mata berkedip-kedip secara otomatis, atau perubahan lain. Orang yang kesurupan merasa sepertinya badannya<br />Gejala kemasukan setan kerap terjadi ketika seseorang, berada pada tempat dan waktu yang salah. Biasanya seseorang yang kemasukan setan tersebut pikirannya dalam keadaan kosong , kondisi tubuhnya sedang lelah serta iman yang kurang kuat.Keadaan ini akan dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh kekuatan gaib yang biasanya tidak dapat terkendali oleh orang yang kesurupan itu. Pada umumnya orang yang kemasukan setan memiliki prilaku aneh dengan ciri-ciri seperti dibawah ini:<br /><br />- Tatapan mata tajam, kosong lurus kedepan.<br /> - Suaranya berubah menjadi datar tanpa intonasi.<br />- Mampu menjawab pertanyaan yang berbau paranormal.<br />- Kekuatan fisiknya melebihi kekuatan yang sebenarnya.<br />- Dan pada tingkatan tertentu, orang yang kemasukan setan mampu berbuat sesuatu yang tak lazim seperti terbang, melempar orang yang ada disekitarnya dengan sekali gerakan tangan dan lain sebagainya.<br />- Biasanya mereka mengeluarkan buih (busa) dari mulutnya dengan mata mendelik hingga terlihat putihnya saja<br /><br /><br /><br /><br /><br />Apakah kesurupan bisa direkayasa?<br /><br />Kemungkinan untuk direkayasa bisa, tapi bukan dari orang yang kerasukan itu sendiri. Biasanya dilakukan oleh pihak luar (orang lain dengan maksud negatif) dan itu bisa dilakukan oleh seorang ahli dengan menggunakan kekuatan gaib (mistik). Sebutan untuk ‘orang ahli’ ini biasa disebut “dukun santet”.<br /><br />Apakah kesurupan bisa diobati?<br /><br />Hampir semua orang yang kesurupan bisa diobati, orang yang bisa mengobati biasanya disebut “orang pintar” seperti guru agama, atau orang yang memiliki kekuatan gaib tapi digunakan untuk kebaikan bukan “dukun santet” yang cenderung untuk kejahatan.<br /><br /><br />Kenapa mahluk halus masuk ke tubuh manusia? Apa tujuannya?<br /><br /><br />Banyak alasan kenapa mahluk halus merasuki tubuh manusia. Biasanya mahluk gaib tersebut akan merasuk ketubuh manusia jika lingkungan atau tempat tinggalnya di usik oleh mahluk lain baik manusia atau binatang. Sebutan untuk mahluk gaib yang mendiami suatu tempat adalah “penunggu”. Tujuannya hanya sekedar mengingatkan bahwa tingkah laku orang yang di rasuki oleh penunggu tempat, dianggap telah mengusik ketenangannya. Ada juga yang ingin sekedar menyampaikan suatu pesan yang tidak sempat ia ungkapkan ketika masih hidup di dunia, yang kerap disebut arwah gentayangan.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Bab 3- Analisis Data<br />Berbagai Alasan Atas Kesurupan Massal Di Pabrik Bintang Bola Dunia<br /><br />Sejumlah orang yang diwawancari mempunyai bermacam-macam pendapat <br />mengenai mengapa buruh-buruh tersebut kesurupan. Kemungkinan alasan-alasan <br />ini adalah sebagai berikut: <br /><br />1. Menurut pendapat pak Suryono, buruh-buruh di pabrik Bintang Bola Dunia kesurupan karena jam bekerja mereka terlalu banyak pada setiap harinya dan oleh karena itu semakin bekerja semakin stres. Sebelum peristiwa kesurupan massal yang besar, buruh-buruh mulai bekerja jam setengah enam pagi sampai jam lima sore setiap hari, dari hari senin sampai hari minggu. <br />Banyak buruh tinggal di luar Malang dan sering tidak tiba di rumah sampai jam tujuh malam. Banyak buruh mempunyai keluarga yang juga harus dipelihara. Akhirnya, buruh-buruh ini merasa stres dan tertekan. <br />2. Menurut Ibu Yuni dari warung di luar pabrik, banyak buruh bercerita kepada dia bahwa ada masalah rumah tangga. Ibu Yuni merasa ragu-ragu untuk mengatakan banyak tentang topik ini karena hal ini merupakan informasi pribadi. Meskipun demikian, dia mengatakan bahwa banyak buruh bertengkar dengan suami mereka, sering tentang persoalan keluarga, uang dan pekerjaan. Ibu Yuni berpendapat bahwa buruh-buruh kesurupan karena mereka tidak senang dengan kehidupan di rumah yang tidak harmonis. Dengan mengalami kesurupan, buruh-buruh bisa mengungkapkan diri mereka dan melarikan diri dari kehidupan sehari-hari. <br />3. Akhirnya, menurut manajemen PT. Bentoel tidak ada kasus kesurupan tetapi kasus kepanikan. Ini karena banyak buruh panik sesudah ada gempa pada pagi hari itu. Selanjutnya karena kepanikan tersebut buruh-buruh menjadi pingsan. Oleh karena itu manajemen langsung menghentikan operasional pabrik khusus pada hari itu. <br />Teori Yang Digunakan :<br /><br />Dalam kajian psikologi ada dua perspektif yang dapat digunakan untuk melihat kasus kesurupan yaitu kajian psikoanalisa dan psikologi transpersonal. Salah seorang pakar dalam psikoanalisa adalah Carl Bustav Jung.<br /><br /><br />a. Ketidaksadaran dalam pandangan Jung <br /><br /> C.G. Jung (Swis, 1875-1961) adalah tokoh yang paling penting untuk psikoanalisis (psikologi dalam) di samping Sigmund Freud dan Alfred Adler. Psikologi dalam (depth psychology) menemukan ketegangan antara hidup sadar dan tidak sadar dan menganalisa “ketidaksadaran” sebagai suatu lapisan psikologi manusia (di samping pikiran yang disadarinya) yang mempengaruhi perasaan, pikiran dan tindakan manusia. Ketidaksadaran itu muncul misalnya dalam mimpi-mimpi atau juga dalam mitos-mitos dan gambar-gambar religius.<br /><br /> Menurut C.G. Jung, ketidaksadaran punya dua lapisan, yaitu ketidaksadaran individual yang isinya dibentuk oleh pengalaman-pengalaman pribadi yang digeserkan ke bawah sadar, dan ketidaksadaran kolektif (collective unconsciousness) yang isinya merupakan warisan yang dimiliki semua manusia sebagai bagian dari kodratnya. Kedikaksadaran adalah “segala endapan pengalaman nenek moyang yang diturunkan sejak berjuta tahun yang tak dapat disebut yang sepenuhnya mengendalikan, gema peristiwa dari dunia prasejarah, yang oleh zaman selanjutnya ditambah sedikit demi sedikit penganekaragaman dan pembedaan-pembedaan”. Adanya ketidaksadaran itu bisa menjelaskan kenyataan bahwa baik dalam mimpi-mimpi individual maupun dalam budaya-budaya dan agama-agama yang berbeda, muncul motif-motif yang sama tanpa adanya hubungan tradisi satu sama lain atau diakibatkan oleh pengalaman konkret.<br /><br /> Ketidaksadaran adalah tempat dimana agama dan simbol-simbol religius berakar. Jadi, ketidaksadaran bukan hanya dasar kemampuan manusia untuk mengembangkan agama dan simbol-simbol religius dan “pintu masuk” yang membuka lubuk jiwa manusia untuk pengalaman religius, tetapi juga menyediakan materi-materi untuk gagasan-gagasan keagamaan.<br />Materi yang disediakan oleh ketidaksadaran untuk proses itu, oleh C. G. Jung disebut “arketipe”, yaitu “gambaran arkais, kuno dan universal, yang sudah ada sejak zaman yang amat silam. Dalam kata Jung, arketipe ‘merupakan bentuk atau gambaran yang bersifat kolektif yang terjadi praktis di seluruh bumi sebagai unsur kisah suci dan dalam waktu yang sama merupakan hasil asli dan individual yang asal-usulnya tidak disadari’. Arketipe itu secara laten tersembunyi dalam semua orang dan akan diberi ungkapan simbolis menurut situasi historis di mana orang itu tercakup. Konsep arketipe itu mengambil bentuk simbolis dalam berbagai ungkapan religius, dan menggambarkan solidaritas terdalam antara berbagai tradisi keagamaan umat manusia”. Jadi, simbol-simbol dasar dari agama-agama (misalnya: Tuhan, ayah/ibu, simbol-simbol untuk keberadaan transenden dan keseluruhan/keesan dll.) sudah berada di dalam ketidaksadaran setiap individu, mereka merupakan ide-ide yang pra-sadar dan primordial, dan merupakan dasar untuk pengalaman-pengalaman religius yang langsung. <br /><br />Beberapa Cara menangani kasus kesurupan;<br />1. Isolasi sesegera mungkin buruh yang terkena kesurupan<br />2. Tenangkan suasana, karena kesurupan cenderung membuat suasana menjadi gaduh, ketakutan, dan crowded atau ramai.<br />3. Tenangkan buruh yang mengalami kesurupan dengan membiarkannya, jangan dipaksa atau dipegang apalagi diteriaki terlebih di pukul pukul,<br />4. Kalau membaca Qur’an bacakan dengan penuh kekhusyuan dan dengan nada pelan sehingga akan menenangkan si sakit, kalau dibaca dengan menghentak hentak buruh yang terkena akan semakin histeris dan teriakan dari pembacaan quran tadi akan memperkeruh keadaan. Dalam hal ini kita harus bijak dalam mendudukkan al quran jangan melecehkan quran dengan menggunakannya yang bukan pada tempatnya, gunakan quran sebagai petunjuk hidup bukan sebagai alat pengusiran jin.<br />5. Tempatkan si buruh di tempat tertutup namun yang aman dan udara bisa keluar masuk dalam ruangan dengan baik<br />6. Jika keadaan semakin tidak terkendali, jangan memanggil paranormal, atau memanggil dukun dan sejenisnya. Namun panggilah dokter untuk memberikan obat penenang kepada si buruh, dan jika sudah dampingi buruh dengan orang terdekatnya<br /><br />BAB 4 – PENUTUP<br />Bagaimana Mencegahnya Agar Tidak Kesurupan?<br /><br />Yang paling tepat untuk mencegahnya;<br />1. Jangan biarkan diri Anda dalam keadaan kosong (melamun)<br />2. Hindari tempat-tempat yang bisa dikatakan angker.<br />3. Jangan mempunyai kebiasaan berbicara atau teriak-teriak sembarangan. Lihat tempat dan waktu ketika anda berbicara atau berteriak-teriak (ketawa keras/ngakak).<br />4. Jangan menantang alam (seperti gunung, laut, hutan dsb) atau roh halus. Jangan sesumbar.<br />5. Dekatkan selalu diri Anda kepada Tuhan YMK.<br /><br />Peran Agama Islam Merupakan Peran Penting Dalam Bidang Kesurupan. <br />Ini karena ada unsur agama Islam dalam bermacam tingkatan kesurupan, misalnya dari awal kesurupan sampai berhentinya kesurupan. Agama Islam menjelaskan alasan-alasan untuk kesurupan, yaitu ketika orang dimasuki oleh jin dan mahluk halusjahat, yang oleh agama Islam telah diperingatkan dalam Al Qur.an. Lagi pula,menurut agama Islam, orang Islam yang tidak saleh, lebih mudah kena kesurupan karena jiwanya tidak kuat dan moralnya lemah.<br /><br />Selain menyediakan penjelasan tentang kesurupan, agama Islam merupakan alat yang digunakan untuk menghentikan proses kesurupan. Dalam studi kasus ini sama-sama mempunyai solusi berkenaan dengan agama Islam untuk menghentikan kesurupan. Solusinya biasanya adalah orang alim atau orang yang tahu dunia spiritual menggunakan kekuatannya untuk mengeluarkan mahluk halus dari badan orang yang kesurupan. Orang ketiga ini sangat penting pada proses kesurupan, dan setiap kasus yang diteliti untuk laporan ini, selalu ada orang ketiga. Dalam penelitian ini ada pengecualian ketidakhadiran orang ketiga, yaitu pada kasus kesurupan massal di pabrik rokok Bintang Bola Dunia, orang yang kesurupan dibawa ke rumak sakit.<br /><br />Tugas Mandiri : Muhammad Zubair Bin Samsidi/BPI/kes Men II<br />Sumber : 1) http://kumel.blog.friendster.com/2009/06/analisa-kesurupan/<br /> 2)http://efrizalmalalak.blogspot.com/2010/10/kesurupan-dalam-tinjauan-agama.html <br /> 3)http://itha.wordpress.com/2007/08/16/fenomena-kesurupan-sebagai-suatu-bentuk-histeria/<br /> 4)http://www.puisiromantis.tk/2010/11/mengetahui-gejala-kesurupan.htmlAbdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-5886325006277145132011-06-06T16:42:00.000-07:002011-06-06T16:44:19.332-07:00STUDI KASUS DI PATIJOMPOBAB I<br /><br />Pendahuluan<br /><br />Tidak seorangpun yang tidak ingin menikmati ketenangan hidup, dan semua orang akan berusaha mencarinya, meskipun tidak semuanya dapat mencapai yang diinginkannya itu. Bermacam sebab dan rintangan yang mungkin terjadi sehingga banyak orang yang mengalami kegelisahan, kecemasan dan ketidak puasan. <br /> Keadaan yang tidak menyenangkan itu tidak terbatas kepada golongan tertentu saja, tetapi tergantung pada cara orang menghadapi sesuatu persoalan. Misalnya ada orang miskin yang gelisah karena banyak keinginannya yang tidak tercapai, bahkan orang kaya yang juga gelisah, cemas dan merasa tidak tentram dalam hidupnya yang diakibatkan faktor lain seperti kebosanan atau ingin menambah hartanya lebih banyak lagi. <br /><br />Masalah<br />Ada beberapa gangguan mental yang dialami para lansia diantaranya gangguan fungsi Kognitif, Dimensia, Apraksia, dan Gangguan orientasi.<br />1) Gangguan fungsi kognitif<br />Fungsi Kognitif merupakan kemampuan seseorang untuk menerima, mengolah, menyimpan dan menggunakan kembali semua masukan sensorik secara baik<br />2) Demensia<br />Pada tahap ini sudah terdapat gangguan daya ingat. Pasien umumnya sulit untuk mengingat hal-hal yang seharusnya mudah diingat. Dimensia umumnya akan dialami oleh lansia yang berumur di atas 80 tahun. Gejala dimensia meliputi gangguan daya ingat. Gejala awal yang dijumpai adalah gangguan memori yang baru (recent memory), sedangkan memori yang lama (remote memory) akan terganggu belakangan. <br />3) Apraksia dan ganguan orientasi<br />Gangguan lain yang juga sering dihadapi lansia adalah gangguan dalam melakukan kegiatan tertentu (apraksia) dan gangguan orientasi. Pada tahapan ini pasien bahkan akan lupa dengan rumah dan bahkan kamar tidurnya sendiri. Karena begitu beratnya beban yang dihadapi lansia, mereka bisa juga terkena depresi.<br />Bab II<br /><br />Pembahasan<br /><br />Identitas<br /><br />Nama: Mak Jah<br /><br />Umur: 53<br /><br />Asal: Bengkalis<br /><br />Lokasi: PatiJompo…Pekanbaru.Riau.<br /><br /><br />Permasalahan:<br />Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam masalah kesehatan yang dibahas pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri yang merupakan bagian dari Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain.<br />Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Bab III<br /><br />Penyelesaian<br /> Mendekati pasient dengan Kepribadian yang lemah atau kurang percaya diri sehingga menyebabkan yang bersangkutan merasa rendah diri. Memberi pendekatan Positif, bila trauma (luka jiwa) yang dialami seseorang, akan disikapi untuk mengambil hikmah dari kesulitan yang dihadapinya, setelah mencari jalan keluar maksimal, tetapi belum mendapatkannya tetapi dikembalikan kepada sang pencipta yaitu Allah SWT, dan bertekad untuk tidak terulang kembali dilain waktu<br /><br />Analisa Kasus:<br />Sebab-sebab timbulnya Trauma yaitu :<br />• Terjadinya konflik sosial – budaya akibat dari adanya norma yang berbeda antara dirinya dengan lingkungan masyarakat.<br />• Negatif, bila trauma yang dialami tidak dapat dihilangkan, sehingga yang bersangkutan mengalami frustasi, yaitu tekanan batin akibat tidak tercapainya apa yang dicita-citakan.<br />Contohnya :<br />Agresi, yaitu : Meluapkan rasa emosi yang tidak terkendali dan cenderung melakukan tindakan sadis yang dapat mambahayakan orang lain.<br />Regresi, yaitu : Pola reaksi yang primitif atau kekanak-kanakan. (menjerit, menangis dll)<br />Fiksasi, yaitu : Pembatasan pada satu pola yang sama (membisu, memukul dada sendiri dll)<br />Proyeksi, yaitu : Melemparkan atau memproyeksikan sikap-sikap sendiri yang negatif pada orang lain.<br />Indentifikasi, yaitu : Menyamakan diri dengan sesorang yang sukses dalam imajinasi, (kecantikan, dengan bintang film .dll)<br />Narsisme, self love yaitu : Merasa dirinya lebih dari orang lain.<br />Autisme yaitu : Menutup diri dari dunia luar dan tidak puas dengan pantasinya sendiri.<br /> <br /><br /><br />Bab IV<br /><br />Penutup<br />Kesimpulan<br />Salah satu penanganan trauma yaitu dengan konseling trauma. Konseling trauma merupakan kebutuhan mendesak untuk membantu mengatasi beban psikologis yang diderita akibat bencana mapun hal yang linnya. Guncangan psikologis yang dahsyat akibat kehilangan orang-orang yang dicintai, kehilangan sanak keluarga, dan kehilangan pekerjaan, bisa memengaruhi kestabilan emosi para korban. Mereka yang tidak kuat mentalnya dan tidak tabah dalam menghadapi petaka, bisa mengalami guncangan jiwa yang dahsyat dan berujung pada stres berat yang sewaktu-waktu bisa menjadikan mereka lupa ingatan atau gila.<br /><br /><br />Kesan :<br />Semangat hidup menjadi modal utama bagi para korban untuk sanggup bertahan dan menatap masa depan dari balik kehancuran hidup dan kesendirian. Dengan semangat hidup yang kuat, para penderita akan terbebas dari belenggu keputusasaan dan ketidakberdayaan. Konseling trauma juga sangat bermanfaat dalam membantu para korban untuk mampu memecahkan masalah secara kreatif melalui hubungan timbal balik dan dukungan lingkungan.<br /><br />Disediakan : Abdul Hadi Bin Basri 10942008759Abdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-74457980284623977692011-06-06T08:37:00.000-07:002011-06-06T08:38:41.820-07:00HISTERIA ( KESURUPAN )BAB I<br />PENDAHULUAN<br /><br />A. Latar Belakang<br /> Dalam perspektif awam, peristiwa histeria tersebut di istilahkan dengan "kesurupan". Peristiwa semacam itu selalu dikaitkan dengan makhluk dari "dunia lain" yang dipercaya sebagai penyebab utamanya. Misalnya, dikaitkan dengan penebangan pohon di sekitar sekolah. Diyakini bahwa penyebab "kesurupan" tersebut adalah makhluk yang berasal dari "dunia lain" yang menghuni pohon-pohon itu merasa terganggu karena rumahnya ditebangi oleh manusia. Makhluk ini marah dan melampiaskan kemarahannya dengan merasuki jiwa manusia.<br /> Ujung akhirnya pasti dapat diduga. Bahwa, satu-satunya yang mampu menyembuhkan "penderitaan" tersebut adalah dari kalangan paranormal, kiai, dukun atau yang sejenisnya. Sedangkan argumentasi kalangan akademikus, semisal psikiater atau ahli jiwa, cenderung disingkirkan karena dianggap bukan ahli dan bidangnya dalam menangani masalah tersebut.<br /><br />B. Rumusan Masalah<br />1) Apa itu kesurupan<br />2) Teori dan penyelesaian dari kasus kesurupan<br /><br />C. Tujuan<br />1) Untuk memenuhi tugas mata kuliah kesehatan mental II<br />2) Untuk menambah pengetahuan dalam masalah histeria-kesurupan dalam mempelajari kesehatan mental orang.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB II<br />PEMBAHASAN<br /><br />A. Identitas<br />Nama : Juriana<br />Umur : 18 tahun<br />Jenis kelamin : Perempuan<br /> Alamat : Jln. Sudirman Gg. Paus, Dumai-Riau<br /> Jumlah saudara : 5 ( Lima )<br /> Anak ke : 5 ( Lima )<br /> <br />B. Deskripsi<br /> Juriana adalah siswa kelas 3 SMK, Pada saat para siswa / siswi dan para guru melaksanakan upacara bendera, tiba-tiba juriana jatuh pingsan. Teman temannya bingung dan berusaha menolongnya, pada saat juriana sadar ia tampak kebingungan dan tidak tahu lagi siapa dirinya, kadang ia menangis dan terkadang tertawa, selain itu juriana juga minta kepada orang di sekitarnya untuk membawakan jajanan kanti untuk ia makan. Dan keadaan yang seperti ini sering di alami oleh juriana di sekolah bahkan di rumahnya. Kejadian ini berawal pada saat juriana tinggal bersama ibu tiri na, karena ibu kandungnya sudah meninggal pada saat ia duduk di bangku kelas 2 SMK dan pada saat itu lah juriana mulai mengalami penyakit histeria ini.<br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />PENJELASAN<br /><br />A. Teori<br />1. Menurut pandangan islam<br /> Fenomena kesurupan dijelaskan sejak awal . penyebabnya adalah ganguan jin jahat dan setan. Hanya saja, jin dan setan itu hanya bisa menguasai orang-orang yang tidak percaya atau ragu pada Allah. Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa tiga titik itu adalah pembuluh darah yang menghidupkan potensi otak kecil manusia. Di titik itu, jika kita sering berpikir berlebihan sehingga tidak kuat menahan, hal itu bisa menimbulkan depresi. Ketika terjadi penegangan dalam pembuluh darah kita, maka melemahkan potensi elektro kita sehingga ada arus listrik dari golongan jin masuk dan mempengaruhi sehingga terjadi kesurupan. Yang kedua, terletak di pembuluh darah yang menghidupkan potensi khayalan. Sama halnya dengan yang pertama, jika itu menegang karena kita terlalu sering mengkhayal maka setan kemungkinan besar bisa masuk. Yang ketiga di pembuluh yang terletak di bawah telinga. Ini bisa menimpa mereka yang malas, kurang kreatif, tidak punya semangat hidup.<br /> Jadi, menurut pandangan islam hal yang sebaiknya ada pada diri seseorang supaya tidak kesurupan adalah :<br /> Selama kita beriman dan bertawakal, setan tidak akan menguasai manusia.<br /> Jika imannya kuat dan bertawakal, mereka akan optimis, bersemangat, tenang, tenteram, dan tahan banting terhadap semua masalah.<br /> Ketenangan jiwa akan membuat seseorang tak gampang kesurupan. Membaca Al Qur’an dan Zikir adalah salah satu langkah menengkan jiwa.<br />2. Dari sudut pandang Psikologi kesurupan merupakan:<br />a) Keadaan disosiasi, saat seseorang seakan terpisah dari dirinya; <br />b) Hysteria , saat seseorang tidak dapat mengendalikan dirinya, atau ketidakmampuan seseorang menghadapi kesukaran-kesukaran, tekanan perasaan, kegelisahan, kecemasan dan pertentangan batin. Dalam menghadapi kesukaran itu orang tidak mampu menghadapinya dengan cara yang wajar, lalu melepaskan tanggung jawab dan lari secara tidak sadar kepada gejala-gejala hysteria yang tidak wajar.<br />c) Split personality , saat pada diri seseorang tampil beragam perilaku yang dimunculkan oleh pribadi yang berbeda. Penjelasan ini seringkali mengalami benturan dengan kenyataan-kenyataan budaya. <br /> Kesurupan, harusnya kita tahu bahwa ada dua jenis kesurupan. yaitu ledakan emosi dan pengambilalihan emosi. Ledakan emosi: yang dimaksud dengan ledakan emosi adalah melepasnya sistem kontrol diri karena tekanan psikologis kuat secara internal. faktor eksternal. misalnya karena marah, seseorang langsung mengamuk seperti banteng haus. Pengambilalihan emosi: Yang dimaksud dengan pengambilalihan disini adalah lepasnya kontrol kita dari akal sehat dan kesadaran kita, lalu ada pihak lain yang mengontrol dan mengendalikan kita.<br />3. Menurut Teori Sigmun Freud <br /> Dalam kajian psikologi ada dua perspektif yang dapat digunakan untuk melihat kasus kesurupan yaitu kajian psikoanalisa dan psikologi transpersonal. Namun menurut freud yang paling sesuai untuk mengkaji kesurupan sebagai sebuah gangguan lebih tepat dengan menggunakan psikoanalisa terutama pendapatnya Carl Gustav Jung. Pada kajian psikologi transpersonal kajian trance lebih ke arah spiritual atau sebagai sesuatu yang tidak mengganggu. Kesurupan sebenarnya juga merupakan trance ke arah mengganggu dan tidak terkendali.individu, mereka merupakan ide-ide yang pra-sadar dan primordial, dan merupakan dasar untuk pengalaman-pengalaman religius yang langsung. <br /> Seringkali orang yang kesurupan memiliki kekuatan yang melebihi kemampuan biasanya, dalam beberapa kasus kesurupan dia bisa berteriak teriak hingga berjam jam, atau bisa melemparkan beberapa orang yang sedang memeganginya. Ada lagi kesurupan mampu berbicara seperti bukan dia yang bicara, dalam keadaan seperti ini seseorang yang kesurupan sedang memasuki alam bawah sadarnya tepatnya di alam ketidaksadaran kolektif dimana menurut freud ketidaksadaran tersebut mengandung kekuatan jiwa (psyche) sehingga dia memiliki kekutan yang melebihi seperti biasanya .Mengapa orang bisa masuk kedalam alam bawah sadarnya ? sebab utamanya adalah lemahnya kesadaran seperti orang mau masuk tidur, kenapa bisa tidur jawabnya tentunya karena lemahnya kesadaran karena faktor mengantuk.<br /> Jadi ,Menurut freud cara penyelesaian orang jika mengalami suatu kesurupan adalah dengan cara sebagai berikut :<br />a) isolasi sesegera mungkin anak yang terkena kesurupan.<br />b) tenangkan suasana, karena kesurupan cenderung membuat suasana menjadi gaduh, ketakutan, dan crowded atau ramai.<br />c) tenangkan anak yang mengalami kesurupan dengan membiarkannya, jangan dipaksa atau dipegang apalagi diteriaki terlebih di pukul pukul,<br />d) kalau membacaAl- quran bacakan dengan penuh kekhusyuan dan dengan nada pelan sehingga akan menenangkan si sakit, kalau dibaca dengan menghentak hentak anak yang terkena akan semakin histeris dan teriakan dari pembacaan quran tadi akan memperkeruh keadaan. Dalam hal ini kita harus bijak dalam mendudukkan Al-quran jangan melecehkan Al-quran dengan menggunakannya yang bukan pada tempatnya, gunakan Al- quran sebagai petunjuk hidup bukan sebagai alat pengusiran jin.<br />e) tempatkan orang yang terkena kesurupan di tempat tertutup namun yang aman dan udara bisa keluar masuk dalam ruangan dengan baik<br />f) jika keadaan semakin tidak terkendali, jangan memanggil paranormal, atau memanggil dukun dan sejenisnya. Namun panggilah dokter untuk memberikan obat penenang kepada orang yang kesurupan. <br /> <br />B. Analisa Kasus<br /> Dari kasus di atas dapat di analisa bahwa histeria yang di alami oleh penderita di akibatkan karena rasa tertekan yang di rasakannya yang membuat ia merasa takut, kesal, cemas dan lain sebagainya yang tidak dapat di kontrolnya sehingga mengakibatkan ia menjadi stres dan terjadilah histeria ( kesurupan ) tersebut.<br /> Adapun gejala-gejala dari kesurupan itu: Gejala-gejala beberapa waktu sebelum kesurupan antara lain kepala terasa berat, badan dan kedua kaki lemas, penglihatan kabur, badan terasa ringan, dan ngantuk. Perubahan ini biasanya masih disadari oleh subjek, tetapi setelah itu ia tiba-tiba tidak mampu mengendalikan dirinya. Melakukan sesuatu di luar kemampuan dan beberapa di antaranya merasakan seperti ada kekuatan di luar yang mengendalikan dirinya. Mereka yang mengalami kesurupan merasakan bahwa dirinya bukanlah dirinya lagi, tetapi ada suatu kekuatan yang mengendalikan dari luar. Keadaan saat kesurupan ada yang menyadari sepenuhnya, ada yang menyadari sebagian, dan ada pula yang tidak menyadari sama sekali. Dalam keadaan kesurupan korban melakukan gerakan-gerakan yang terjadi secara otomatis, tidak ada beban mental, dan tercetus dengan bebas. Saat itu merupakan kesempatan untuk mengekspresikan hal-hal yang terpendam melalui jeritan, teriakan, gerakan menari seperti keadaan hipnotis diri. Setelah itu, fisik mereka dirasa lelah tetapi, mental mereka mendapat kepuasan hebat. Gejala-gejala seperti yang tersebut yang dirasakan oleh juriana<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB IV<br />PENUTUP<br /><br />A. Kesimpulan<br /> Kesurupan merupakan reaksi kejiwaan yang dinamakan reaksi disosiasi atau reaksi yang mengakibatkan hilangnya kemampuan seseorang untuk menyadari realitas di sekitarnya, yang disebabkan oleh tekanan fisik maupun mental (berlebihan). Tetapi kalau kesurupannya massal, itu melibatkan sugesti. Reaksi disosiasi dapat terjadi secara perorangan atau bersama-sama, saling memengaruhi, dan tidak jarang menimbulkan histeria massal. Kesurupan hannya terjadi pada diri orang yang memiliki jiwa yang lemah, sehingga ketika mendapat tekanan tidak mampu untuk mengatasinya. Orang yang lemah dari segi jiwa atau mental melepaskan ketidak berdayaanya dengan tanpa disadarinya masuk ke dalam bawah sadarnya. Ketika berada dalam wilayah bawah sadarnya tersebut terjadilah letupan-letupan emosinya yang tertahan selama ini. ketika hal itu terjadi, diiringi dengan daya kekuatan yang lahir dari dorongan kejiwaannya. Dia meronta dan melabrak orang disekelilinginya. Saat ini yang terjadi adalah dia berada dalam alam bawah sadar. <br /> Dengan demikian dipahami bahwa kesurupan merupakan sebab dari lemahnya jiwa seseorang dalam menghadapi realitas social. Menurut penulis kesurupan yang marak terjadi bukanlah akibat diri seseorang dirasuki oleh jin. Namun justru karena adanya letupan emosi bawah sadarnya. Kesurupan jangan dipelihara. Bagaimanapun ini merupakan masalah kejiwaan.<br /> Oleh karenanya solusi bagi masalah ini adalah bagaimana kita menciptakan jiwa yang sehat. Dengan kondisi yang sehat dan tenang akan membuat diri seseorang memiliki ketahanan di dalam menghadapi kerasnya hidup ini. Jiwa yang tenang hanya akan didapat dari ajaran-ajaran agama. Pengamalan ajaran agama akan menjauhkan seseorang dari keputus asaan.<br /><br />Nama : Nur Hayatun Nufus<br />Nim : 10942006711Abdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-61333708150241618072011-06-06T06:55:00.000-07:002011-06-06T06:59:29.374-07:00histeria ( kesurupan )BAB I<br />PENDAHULUAN<br />1. Latar Belakang Masalah<br />Fenomena kesurupan atau possesion belakang ini marak diperbincangkan dalam berbagai media, khususnya kasus kesurupan masal yang terjadi di berbagai daerah dan sering menimpa para pelajar sekolah,. Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari banyak orang yang mengalami semacam trance atau kesurupan tanpa disadari, di mana fenomena kesurupan sering kali dan bahkan selalu dikaitkan dengan adanya gangguan dari roh-roh halus yang mengambil alih tubuh korban selama beberapa waktu dan membuat korban tidak sadar akan apa yang ia perbuat. Tentunya paham seperti ini merupakan paham tradisional yang ada, diturunkan dan berkembang dalam masyarakat kita. Kesurupan individual yang terjadi muncul sebagai reaksi atas apa yang sedang dirasakan oleh individu sebelum proses kesurupan itu terjadi. . Kesurupan, menurut ahli jiwa ini adalah gejala gangguan jiwa yang disebut folie a deux, yaitu gejala gangguan jiwa pada seseorang yang diikuti orang lain. Mereka kehilangan kepribadian yang asli. Yang muncul kepribadian yang lain. Jika pernah mendengar dan melihat sesuatu, kemudian masuk dalam alam bawah sadarnya, saat kepribadian dia rapuh, muncul kepribadian lain itu. Sementara dari psikologi, kesurupan sendiri sebenarnya telah menjadi kajian psikologi klinis, terutama psikologi abnormal. Kesurupan dalam perspektif psikologi dikenal dengan istilah trans dissosiatif dan trans possession disosiatif. Trans dissosiatif adalah perubahan dalam kesadaran yang bersifat temporer atau hilangnya perasaan identitas diri tanpa kemunculan identitas baru. Sedang trans possession dissosiatif adalah perubahan dalam kesadaran yang dikarakteristikkan dengan penggantian identitas personal yang selama ini ada dengan identitas yang baru.<br />Berdasarkan jenis kelamin, perempuan mempunyai risiko lebih besar untuk kesurupan dibandingkan laki-laki. Hal ini terbukti dari kasus-kasus yang terjadi sebagian besar adalah perempuan. Hal ini mungkin karena perempuan lebih sugestible atau lebih mudah dipengaruhi dibandingkan laki-laki.<br /> Mereka yang memunyai kepribadian histerikal yang salah satu cirinya sugestible lebih berisiko untuk kesurupan atau juga menjadi korban kejahatan hipnotis. Berdasarkan usia, sebagian besar korban kesurupan berusia remaja dan dewasa muda. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa mereka yang berisiko untuk kesurupan adalah perempuan usia remaja atau dewasa muda yang mudah dipengaruhi. Selain itu, wanita lebih labil ketimbang pria dan terjadi perubahan dalam jiwanya. Banyak hal bisa menjadi penyebabnya. Antara lain kondisi keluarga, kondisi sekolah, hubungan pertemanan, sosial politik, dan masih banyak lagi.<br />Mereka yang mengalami kesurupan merasakan bahwa dirinya bukanlah dirinya lagi, tetapi ada suatu kekuatan yang mengendalikan dari luar. Keadaan saat kesurupan ada yang menyadari sepenuhnya, ada yang menyadari kesurupan korban melakukan gerakan-gerakan yang terjadi secara otomatis, tidak ada beban mental, dan tercetus dengan bebas. Saat itu merupakan kesempatan untuk mengekspresikan hal-hal yang terpendam melalui jeritan, teriakan, gerakan menari seperti keadaan hipnotis diri. Setelah itu, fisik mereka dirasa lelah tetapi, mental mereka mendapat kepuasan hebat.<br />2. Rumuan Masalalah<br />a) apa yang menyebabkan seseseorang itu bisa mengalami kesurupan.<br />b) bagaimana penyelesaian terhadap kasus kesurupan yang sesuai dengan teori. <br />c) Bagaimana seharusnya seseorang agar tidak mengalami kesurupan yang di akibatkan karena stres.<br />3. Tujuan<br /> Untuk memenuhi tugas mata kuliah kesehatan mental<br /> Mengetahui apa penyebab sebenarnya terjadinya kesurupan pada sari<br /> Agar mengetahui teori apa yang bagus digunakan dalam penyelesaian masalah histeriah(kesurupan) yang di alami sari.<br /><br /><br /><br />BAB II<br />PEMBAHASAN<br />A. Identitas Korban<br />Nama : Sari<br />Usia : 17 Tahun<br />Alamat : JL. Patimura-Rengat<br />Pekerjaan : Siswi SMAN I Rengat<br /><br />B. Deskripsi Masalah <br />Pertama kali kesurupan yang terjadi pada sari itu ketika ia duduk dikelas XII SMA, yang mana awal terjadinya di sekolah tempat dia bersekolah, sebelumnya sari belum pernah mengalami kesurupan. Kesurupan itu terjadi sewaktu dia belajar di lokal,tiba-tiba dia menjerit seisi lokal dimana tempat ia belajar oun kaget melihatnya ,kemudian teman-temanya lansung membantu dan membawak sari ke mushalah agar bisa di beri pertolongan dan disadarkan.disana dia di tolong oleh gurunya dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur,an untuk menyadarkannya akhirnya beberapa jam kemudian barulah sari sadar.<br />Kesurupan yang terjadi pada sari itu bukan hanya terjadi satu kali bahkan berkali-kali.Kesurupan yang dialami oleh sari tidak hanya terjadi disekolah, bahkan juga terjadi dirumahnya sendiri. Sari mengaku awal mulanya setiap dia mengalami kesurupan itu apabila dia lagi ada masalah dan pikirannya kosong.Apalagi sari adalah seorang remaja yang lemah pisik nya. Sari mengatakan sebelum terjadinya kesurupan dia merasa kepalanya sangat berat badannya terasa lemas, setelah itu dia tidak tau apa-apa lagi. Disaat sari kesurupan dia menjerit-jerit histeris, menangis badanya terasa dingin, matanya melotot tajam,bahkan suaranya berubah, sari berontak-rontak kepanasan dan bahkan berkata ngelantur, apabila di bacakan ayat-ayat Al.Qur,an dan orang yang memegangnya saat dia kesurupan kewalahan memegangnya karena dia berontak-rontak kuat sekali. Kesurupan yang terjadi pada sari itu tidak mengenal waktu dan tempat.Sari mengatakan bahwa dia juga tidak ingin terjadinya kesurupan karena setelah dia sadar dari kesurupan barulah badanya terasa sakit-sakit,tetapi setelah terjadinya kesurupan sari merasa bebanya sedikit terlepaskan dari jeritan dan tangisan yang dikeluarkanya ketika ia mengalami kesurupan.<br />Kesurupan yang dialami sari itu akan terjadi jika dia mengalami banyak masalah, dia juga termasuk anak yang pemurung yang suka memendam masalah dan dia tidak pernah menceritakan kepada orang lain akibatnya, dengan tidak kuatnya sari dalam mengolah masalah,menjadi stres yang mana masalahnya yang menjadi beban pikiranya tidak ada penyelesaian di buatnya akhirnya dia mengalami kesurupan yang kata orang dimasukin roh-roh jahat apabila pikiran seseorang kosong.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />PENYELESAIAN<br />1. Penyelesaian Dengan Teori<br />a. Menurut pandangan psikologis<br />Menurut psikolog Dadang Hawari, Ia menyebut peristiwa kesurupan ini sebagai fenomena disosiasi atau sebuah reaksi yang mengakibatkan hilangnya kemampuan seseorang untuk menyadari realitas di sekitarnya. Akibatnya secara tidak disadari kepribadian si korban berubah. Jadi, menurutnya ini merupakan fenomena kejiwaan dan bukannya karena kemasukan jin atau setan karena kepercayaan di masyarakat kita yang menghubung-hubungkan dengan mistik dan dianggap sebagai kesurupan . Jadi, karena bukan aksi kerasukan setan, maka pengobatannya pun bukan dengan cara memanggil orang ”pintar”. Obat sangat gampang, tinggal dibawa ke puskesmas, disuntik atau dikasih obat yang bisa membuat mereka tidur, nanti mereka akan sadar dan sehat lagi setelah bangun..Reaksi disosiasi menimpa mereka yang jiwanya labil ditambah dalam kondisi yang membuatnya tertekan. Stres yang bertumpuk ditambah pemicu memungkinkan reaksi yang dikendalikan alam bawah sadar ini muncul ke permukaan.Yang paling penting dalam menghadapi persoalan ini adalah jangan sampai semua orang panik, harus tenang, bawa korban ke puskesmas, diobati, disuruh tidur apabila sudah sembuh kesurupan.<br />Jika dilihat pada kasus yang di alami sari ini, Kemampuan yang perlu ditingkatkan pada sari adalah mengajar dan melatihnya untuk bisa mengelola stres dan konflik dengan cara yang baik dan benar. Artinya, bila di kemudian hari mengalami stres atau konflik, atau diberi tanggung jawab yang berat, cara penyelesaiannya tidak lagi dengan kesurupan, tetapi dengan cara yang lebih konstruktif. Selain itu, perlu pula meningkatkan toleransi terhadap stres.<br /><br /><br /><br /><br />b. Menurut Teori Sigmun Freud<br />Dalam kajian psikologi ada dua perspektif yang dapat digunakan untuk melihat kasus kesurupan yaitu kajian psikoanalisa dan psikologi transpersonal. Namun menurut freud yang paling sesuai untuk mengkaji kesurupan sebagai sebuah gangguan lebih tepat dengan menggunakan psikoanalisa terutama pendapatnya Carl Gustav Jung. Pada kajian psikologi transpersonal kajian trance lebih ke arah spiritual atau sebagai sesuatu yang tidak mengganggu. Kesurupan sebenarnya juga merupakan trance ke arah mengganggu dan tidak terkendali.individu, mereka merupakan ide-ide yang pra-sadar dan primordial, dan merupakan dasar untuk pengalaman-pengalaman religius yang langsung. <br />Seringkali orang yang kesurupan memiliki kekuatan yang melebihi kemampuan biasanya, dalam beberapa kasus kesurupan dia bisa berteriak teriak hingga berjam jam, atau bisa melemparkan beberapa orang yang sedang memeganginya. Ada lagi kesurupan mampu berbicara seperti bukan dia yang bicara, dalam keadaan seperti ini seseorang yang kesurupan sedang memasuki alam bawah sadarnya tepatnya di alam ketidaksadaran kolektif dimana menurut freud ketidaksadaran tersebut mengandung kekuatan jiwa (psyche) sehingga dia memiliki kekutan yang melebihi seperti biasanya .Mengapa orang bisa masuk kedalam alam bawah sadarnya ? sebab utamanya adalah lemahnya kesadaran seperti orang mau masuk tidur, kenapa bisa tidur jawabnya tentunya karena lemahnya kesadaran karena faktor mengantuk.<br />Jadi ,Menurut freud cara penyelesaian orang jika mengalami suatu kesurupan adalah dengan cara sebagai berikut :<br />a) isolasi sesegera mungkin anak yang terkena kesurupan.<br />b) tenangkan suasana, karena kesurupan cenderung membuat suasana menjadi gaduh, ketakutan, dan crowded atau ramai.<br />c) tenangkan anak yang mengalami kesurupan dengan membiarkannya, jangan dipaksa atau dipegang apalagi diteriaki terlebih di pukul pukul,<br />d) kalau membacaAl- quran bacakan dengan penuh kekhusyuan dan dengan nada pelan sehingga akan menenangkan si sakit, kalau dibaca dengan menghentak hentak anak yang terkena akan semakin histeris dan teriakan dari pembacaan quran tadi akan memperkeruh keadaan. Dalam hal ini kita harus bijak dalam mendudukkan Al- quran jangan melecehkan Al- quran dengan menggunakannya yang bukan pada tempatnya, gunakan Al- quran sebagai petunjuk hidup bukan sebagai alat pengusiran jin.<br />e) tempatkan orang yang terkena kesurupan di tempat tertutup namun yang aman dan udara bisa keluar masuk dalam ruangan dengan baik.<br />f) jika keadaan semakin tidak terkendali, jangan memanggil paranormal, atau memanggil dukun dan sejenisnya. Namun panggilah dokter untuk memberikan obat penenang kepada orang yang kesurupan. <br />c. Menurut pandangan islam<br />Fenomena kesurupan dijelaskan sejak awal . penyebabnya adalah ganguan jin jahat dan setan. Hanya saja, jin dan setan itu hanya bisa menguasai orang-orang yang tidak percaya atau ragu pada Allah. <br />Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa tiga titik itu adalah pembuluh darah yang menghidupkan potensi otak kecil manusia. Di titik itu, jika kita sering berpikir berlebihan sehingga tidak kuat menahan, hal itu bisa menimbulkan depresi. Ketika terjadi penegangan dalam pembuluh darah kita, maka melemahkan potensi elektro kita sehingga ada arus listrik dari golongan jin masuk dan mempengaruhi sehingga terjadi kesurupan. Yang kedua, terletak di pembuluh darah yang menghidupkan potensi khayalan. Sama halnya dengan yang pertama, jika itu menegang karena kita terlalu sering mengkhayal maka setan kemungkinan besar bisa masuk. Yang ketiga di pembuluh yang terletak di bawah telinga. Ini bisa menimpa mereka yang malas, kurang kreatif, tidak punya semangat hidup.<br />Jadi, menurut pandangan islam hal yang sebaiknya ada pada diri seseorang supaya tidak kesurupan adalah :<br />• Selama kita beriman dan bertawakal, setan tidak akan menguasai manusia.<br />• Jika imannya kuat dan bertawakal, mereka akan optimis, bersemangat, tenang, tenteram, dan tahan banting terhadap semua masalah.<br />• Ketenangan jiwa akan membuat seseorang tak gampang kesurupan. Membaca Al Qur’an dan Zikir adalah salah satu langkah menengkan jiwa.<br /><br />2. Analisis kasus<br />Dapat di analisis dari kasus tersebut bahwa histeria (kesurupan )yang dialami oleh sari merupakan akibat dari ketidak kuatan mentalnya yang mengakibatkan dirinya mengalami stres berdampak pada kesurupan yang akan bisa terjadi jika dia mengalami perasaan kekalutan mental.jika dilihat dari kasusnya itu sari termasuk seseorang yang lemah dalam menghadapi masalah sehinggah dia mudah terkena pengaruh roh-roh jahat yang merasuki tubuhnya saat itu,yang mengendalikan segenap jiwanya yang kosong. Menurut saya kita tidak bisa juga mengatakan tidak ada pengaruh roh jahat karena saya juga pernah menyaksikan sari waktu kesurupan, dia menjadi kuat seolah-olah itu bukan dia yang sebenarnya padahal sari adalah seorang yang lemah. Jadi bagaimanapun jika dilihat dari penyebab sari mengalami kesurupan dia harus bisa mengolah sters,dan menghadapi masalah dengan baik agar tidak terjadinya kesurupan. Dan jika dilihat dari awal penyebab sari kesurupan itu mudah diatasi dengan memberikan pemahaman terhadap sari bagaimana agar tidak stres dengan pendekatan-pendekatan yang baik dari oarang tua,guru dan teman-temanya.<br />Kasus seperti ini banyak terjadi dimana-mana,bahkan kadangkala yang terkena kesurupan itu hanya satu orang, tetapi tertular ke yang lainya apalagi perempuan yang mudah tersugesti sehinggah menyebabkan menjadi kesurupan massal.<br /><br /><br />BAB IV<br />PENUTUP<br />I. Kesimpulan<br /> menurut sudut pandang psikologi, kesurupan dianggap sebagai jalan keluar alternatif konflik yang lolos dari ketiganya, (id, ego, super ego). Karenanya secara psikologis kesurupan didudukkan sebagai status quo dari jiwa-jiwa yang “terluka” baik oleh pengalaman, impresi dan dogma-dogma buruk yang diterimanya selama ini.<br /> Menurut Psikolog, Setiyo Purwanto, S. Psi, MSi, orang yang kerasukan bisa disebabkan keadaan disosiasi. yakni saat seseorang seakan terpisah dari dirinya. Kedua karena hysteria, yaitu saat seseorang tak dapat mengendalikan dirinya. Terakhir akibat split personality, saat pada diri seseorang tampil beragam perilaku yang dimunculkan oleh “pribadi” yang berbeda. Meski begitu, menurut Setiyo, penjelasan ini seringkali mengalami benturan dengan kenyataan-kenyataan budaya. <br />Dan dapat pula kita simpulkan dari kasus yang dialami sari itu akibat dari kekosongan jiwa saat itu yang mana akan mudah dirasuki oleh jin atau setan yang membuatnya mengalami kesurupan.dan penyelesaiannya ada tiga pandangan.<br /> Menurut pandangan psikologis .<br /> Menurut pandangan sigmund freud.<br /> Menurut pandangan islam.<br />II. Kesan <br />Kesan dari saya ketika melakukan penelitian kesurupan yang di alami oleh sari yang kebetulan adalah tetanga sekaligus teman saya, saya merasa kasihan mendengar pengakuannya yang mana dia mengatakan lelah juga dengan seringnya dia mengalami kesurupan yang bukan hanya dirinya sendiri yang merasakan dampaknya,tetapi, bisa mengkhawatirkan kedua orang tuanya dan menyushkan orang lain juga yang membantunya saat dia mengalami kesurupan. sebagai sesorang teman saya ingin sekali membantunya agar dia tidak terkena lagi, mudah-mudahan kejadian seperti itu tidak terulang lagi karena akan berdampak buruk bagi kesehatan dan akan mengangu sari melakukan aktivitas sekolahnya, sebab apabila sari terkena kesurupan dia tidak bisa belajar. karena dia lelah dan bahkan menjadi sakit setelah dia mengalami kesurupan,intinya saya terkesan iba saja dengan keadaan sari. Semoga sari bisa mengendalikan stresnya agar dia tidak mengalami kesurupan lagi karena faktor yang utama menyebabkan terjadinya kesurupan pada sari itu karena tidak bisa mengolah masalah sehinggah dia sters dan akhirnya kesurupan.<br /><br /><br /><br /><br /><br />Nama : Nurhalimah<br />Nim : 10942008883Abdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-81466560111290309072011-03-16T21:10:00.000-07:002011-03-16T21:12:18.026-07:00tugas kesmen indah & dkk. " perkosaan"PERKOSAAN<br /><br />Pengertian Perkosaan<br />Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi (Haryanto, 1997). Pada jaman dahulu perkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang istri. Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum (Wignjosoebroto dalam Prasetyo, 1997).<br />Pendapat ini senada dengan definisi perkosaan menurut :<br />• Rifka Annisa Women’s Crisis Center, bahwa yang disebut dengan perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual. Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan. Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan (Idrus, 1999).<br />• Warshaw (1994) definisi perkosaan pada sebagian besar negara memiliki pengertian adanya serangan seksual dari pihak laki-laki dengan menggunakan penisnya untuk melakukan penetrasi vagina terhadap korban. Penetrasi oleh pelaku tersebut dilakukan dengan melawan keinginan korban. Tindakan tersebut dilakukan dengan adanya pemaksaan ataupun menunjukkan kekuasaan pada saat korban tidak dapat memberikan persetujuan baik secara fisik maupun secara mental.<br /> Beberapa Negara menambahkan adanya pemaksaan hubungan seksual secara anal dan oral ke dalam definisi perkosaan, bahkan beberapa negara telah menggunakan bahasa yang sensitive gender guna memperluas penerapan hukum perkosaan. Di dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pada pasal ini perkosaan didefinisikan bila dilakukan hanya di luar perkawinan. Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan akan tetapi masuk dalam kategori pencabulan (Soerodibroto, 1994).<br /><br />Pernyataan tersebut senada dengan pernyataan Soesilo (dalam Harkrisnowo, 2000) yang mengatakan bahwa makna persetubuhan di dalam KUHP tersebut masih berkiblat ke Belanda, yaitu peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang dijalankan untuk mendapatkan anak . Hal ini akan membawa dampak yang berbeda pada tuntutan hukuman bagi pelaku. Selain itu di dalam hukum juga dijelaskan mengenai pemberatan hukuman yang diberikan kepada pelaku yang melakukan perkosaan dengan kriteria tertentu (Abar & Subardjono, 1998). <br />Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung dalam definisi perkosaan Black’s Law Dictionary (dalam Ekotama, Pudjiarto, dan Widiartana 2001), makna perkosaan dapat diartikan ke dalam tiga bentuk:<br />1. Perkosaan adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang wanita tanpa persetujuannya. Berdasarkan kalimat ini ada unsur yang dominan, yaitu: hubungan kelamin yang dilarang dengan seorang wanita dan tanpa persetujuan wanita tersebut.<br />2. Perkosaan adalah persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita yang bersangkutan. Pada kalimat ini terdapat unsur- unsur yang lebih lengkap, yaitu meliputi persetubuhan yang tidak sah, seorang pria, terhadap seorang wanita, dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita tersebut.<br />3. Perkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau di bawah kondisi ancaman lainnya. Definisi hamper sama dengan yang tertera pada KUHP pasal 285.<br /><br />Pada kasus perkosaan seringkali disebutkan bahwa korban perkosaan adalah perempuan. Secara umum memang perempuan yang banyak menjadi korban perkosaan. Mereka dapat dipaksa untuk melakukan hubungan seksual meskipun tidak menghendaki hal tersebut. Apabila mengacu pada KUHP, maka laki- laki tidak dapat menjadi korban perkosaan karena pada saat laki-laki dapat melakukan hubungan seksual berarti ia dapat merasakan rangsangan yang diterima oleh tubuhnya dan direspon oleh alat kelaminnya (Koesnadi, 1992). Akan tetapi pada kenyataannya ada pula laki- laki yang menjadi korban perkosaan baik secara oral maupun anal. Perkosaan diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk kejahatan di Indonesia, bahkan di dunia, dan pelakunya diancam dengan sanksi pidana yang cukup berat (Ekotama, Pudjiarto, dan Widiartana 2001). Kusumah (Kompas, 1995) menyatakan bahwa perkosaan dinilai sebagai kejahatan dengan derajat kekejaman yang tinggi dan dinilai amat merendahkan harkat manusia. Sementara itu Susanto (dalam Prasetyo, 1997) menyatakan bahwa perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap wanita yang sangat serius dan mengakibatkan kerugian serta kecemasan dalam masyarakat. Pembicaraan mengenai perkosaan dihadapkan pada batasan undang-undang tentang perkosaan yang mencerminkan budaya dominasi pria terhadap wanita. Hal ini membawa implikasi dalam upaya perlindungan terhadap korban. Undang-undang yang ada sekarang dinilai lebih melindungi kepentingan pria dibandingkan korban. Pendapat seperti ini muncul karena di dalam undang-undang mensyaratkan terjadinya perkosaan dengan adanya penetrasi vaginal dari pelaku. Sementara itu perbuatan pelaku dengan memaksakan hubungan anal dan oral serta memasukkan benda-benda lain seperti jari atau botol ke dalam vagina tidak dapat dikategorikan sebagai tindak perkosaan. Sebagai tindak lanjut dari keprihatinan terhadap undang-undang perkosaan yang masih memposisikan perempuan rendah ini maka sejak tahun 1991 telah dirancang sebuah rumusan baru mengenai peraturan untuk tindak perkosaan (Taslim, 1995).<br /> Rancangan tersebut tertuang ke dalam Rancangan Undang-undang (RUU) KUHP (dalam Syaffioedin dan Faturochman, 2001) dengan norma perkosaan sebagai berikut:<br />1. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut.<br />2. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan tanpa persetujuan pihak perempuan.<br />3. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan dengan persetujuannya, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh dan dilukai.<br />4. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan dengan persetujuannya karena perempuan tersebut percaya bahwa ia adalah suaminya yang sah atau ia orang yang seharusnya disetujuinya.<br />5. Seorang laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan yang berusia di bawah 14 tahun dengan persetujuannya.<br /><br />Di dalam RUU KUHP tersebut juga dirumuskan bahwa dianggap melakukan pidana tindak perkosaan:<br />1) Seorang laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan.<br />2) Barang siapa memasukkan benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus seorang perempuan.<br />Berdasarkan beberapa definisi mengenai perkosaan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perkosaan adalah tindakan pemaksaan hubungan seksual dari lakilaki kepada perempuan. Pemaksaan hubungan seksual tersebut dapat berupa ancaman secara fisik maupun secara psikologis. Hubungan seksual antara pelaku dan korban tidak hanya berupa penetrasi vaginal, akan tetapi meliputi pemaksaan hubungan secara anal dan oral.<br /><br />Penganiayaan seksual<br /><br />Penganiayaan seksual adalah aktivitas seksual yang dipaksakan atau dibawah tekanan, termasuk percakapan atau tindakan yang distimulasi secara seksual, perbedaan atau hubungan seksual yang tidak tepat, perkosaan dan inses ( prilaku seksual antar saudara kandung. <br />Penganiayaan seksual terhadap anak-anak :<br />1. Penganiayaan seksual terhadap anak-anak sangat mempengaruhi perkembangan, menyebabkan harga diri rendah, membenci diri sendiri, sulit mempercayai orang lain dan control yang buruk terhadap influs atau dorongan agresif.<br />2. Terhadap korelasi yang tinggi antara penganiayaan seksual dimasa kanak-kanak dan gangguan psikatrik dimasa dewasa ( mis, ganguan disosiatif, gangguan penyalahgunaan zat) ( walker & scoot, 1998 )<br />3. Anak-anak korban penganiayaan seksual sering mengalami ganguan stress pascatrauma ( post-traumatic stress disordes { PTSD )<br /><br />Korban penyeranggan seksual <br /><br />Mengalami kekerasan dan ketidakberdayaan yang sangat mendalam setelah kejadian <br />a. Efek langsung dapat berupa pola respons yang diekspresikan, yaitu korban mengepresikan perasaan takut, marah dan ansietas, atau pola respons terkendali, yaitu mekanisme defensive.<br />b. Efek jangka panjang dapat meliputi gejala PTSD, sulit menjalin hubungan dekat, gangguan depresi, dan bahkan bunuh diri. <br /><br />Sungguhpun persentase perkosaan dibandingkan dengan jumlah kejahatan sebagai keseluruhan masih dapat dianggap rendah, akan tetapi perkembangan perkosaan dalam 3 tahun terakhir (1982-1984) dan kecenderungan kenaikan dalam tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam priode tahun (1977-1981) memang sangat memerlukan pemikiran kalangan ilmuwan khususnya ilmu-ilmu sosial dan hukum, penegak hukum dan masyarakat pada umumnya terutama oleh karena perkosaan merupakan salah satu kejahatan yang dianggap mempunyai tingkat seriusitas tinggi dan mengundang tumbuhnya “ fear of crime” (kekuatan pada kejahatan) didalam masyarakat.<br /> <br />Dijakarta sebagai salah satu kota besar yang dikabarkan sering terjadi kasus perkosaan, nampak pula kecenderungan kenaikan dalam beberapa tahun terakhir walaupun persentasenya dibandingkan dengan total kejahatan memang relatif rendah.<br /><br />Kolonel Polisi Drs. Moch Hindarto dalam makalahnya :<br />“Dari seluruh kasus perkosaan yang dilaporkan tidak seluruhnya merupakan kasus yang murni perkosaan, hal ini dapat diketahui setelah diadakan penyidikan. Banyak kasus yang dilaporkan perkosaan tetapi sebenarnya bukan, misalnya setelah mengadakan seks si laki-laki tidak bertanggung jawab maka ia dilaporkan telah memperkosa, atau orang tua yang tidak rela anak wanitanya digauli oleh laki-laki yang tidak disetujuinya dan masih banyak latar belakang lainnya yang tidak dikemukakan tetapi ditonjolkan dengan kasus perkosaan” (hal 9).<br /><br />Delapan contoh kasus yang diajukan oleh makalah Kol.Pol.Drs.Hindarto, misalnya menunjukkan bahwa usia terendah korban adalah 5 tahun, sedangkan usia tertinggi 24 tahun, sedangkan usia pelaku yang terendah adalah 15 tahun dan usia tertinggi 30 tahun. <br /><br />Tentu sulit untuk menarik semacam generalisasi dari hanya delapan contoh diatas. Tentang prilaku, umpamanya benarkah usia tertinggi pelaku sekitar 30 tahun?<br /><br />Kasus-kasus lain yang dikutip dibawah ini menunjukkan kepada kita betapa perkosaan bukan hanya ulah menyimpan generasi muda :<br /><br />“Pemerkosaan dewasa ini tampaknya tidak lagi dimonopoli kaum muda yang memang tengah diamuk nafsu birahi. Para kakek rupanya banyak pula yang terlibat dalam masalah ini. Tan Bong Kim, 79 misalnya, masih sempat memperkosa tetangganya. Ingin tahu korbannya? Mia, seorang bocah umur 6 tahun. Penduduk tanjung Lengkong, Jakarta timur tersebut sudah dihukum 6 bulan dan kini sudah bebas.<br />Boleh jadi mengekang nafsu untuk orang-orang tertentu jadi persoalan besar kendati mereka sudah bangkotan. Atmonadi 58, mengalami hal itu. Kakek bercucu dua ini masih terangsang melihat aswina, 13 tetangganya. Membujuk bakal memberikan uang seribu rupiah serta dengan setengah mengancam, dia memperkosa aswina sampai hamil. Menurut pengakuannya kalau itu terjadi lantaran istrinya setiap hari pergi berjualan. Nafsu itu pulalah yang membuat Abdullah nekat. Kakek berusia 60 tahun ini, sudah memperkosa 6 bocah cilik, berumur 7-10 tahun. Penghuni kelurahan Rawa BAdak itu terpaksa harus dilepaskan begitu saja. Sebab dalam pemeriksaan barulah diketahui dia seorang sek maniak.”<br /><br />Secara teoritik sebagian diantaranya dengan mempergunakan rumusan hokum kriminologi membagi jenis-jenis perkosaan sebagai berikut :<br /><br />1. “Sadistic Rape” (Perkosaan sadistis)<br />Pada tipe ini, seksualitas dan agressi berpadu dalam bentuk kekerasan yang merusak. Pelaku pemerkosaan Nampak menikmati kesenangan erotic bukan melalui hubungan seksnya melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.<br />2. “Anger Rape” Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melepaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Tubuh korban seakan-akan merupakan obyek terhadap siapa pelaku memproyeksikan pemecahan atas prustasi-prustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.<br />3. “Domination Rape” yang terjadi ketika pelaku mencoba “unjuk gigi” atas kekuasaan dan superioritasnya terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual. Pelaku menyakiti korban, namun memilikinya secara seksual.<br />4. “seductive Rape” yang terjadi pada situasi-situasi yang “merangsang” yang diciptakan oleh kedua belah pihak. Pada mulanya, korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh sanggama. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan bahwa wanita membutuhkan paksaan, oleh karena itu ia akan mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks, atau pelaku berpandangan memang seharusnya laki-laki memperoleh apa yang ia inginkan.<br />Tipe inilah sesungguhnya yang melahirkan apa yang disebut : “Victim Precipitated Rape” (Perkosaan yang berlangsung dengan korban sebagai factor pencetus. Manachem Amer melalui penelitian-penelitiannya di philadelphie mengungkapkan bahwa sekitar 19 % korban perkosaan memang berperan mencetuskan perkosaan. Dan, sekitar separu 9dari 646 kasus perkosaan yang diteliti) dari korban yang menjadi sasaran penalitian pernah mempunyai hubungan atau kenal dengan pelaku.<br />5. “Exploitation Rape” yang menunjukkan bahwa setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh laki-laki dengan mengambil keuntungan dari kerawanan posisi wanita yang tergantung padanya secara ekonomis atau social, atau dalam kasus wanita yang “diperkosa” suaminya yang terjadi oleh karena memang hokum tidak memberikan perlindungan. Dengan demikian, perkosaan jenis ini lebih dikondisikan oleh ketidak merataan relative dalam bidang social dan eknomi. Posisi yang lemah dari wanita dalam keadaan itu mendorongnya untuk melakukan pilihan rasional, walaupun hal itu menyakitkan. <br /><br />Kelima tipe diatas mencerminkan perbedaan-perbedaan baik dalam jenis kekuasaan yang digunakan oleh pelaku, atau motifasinya dalam melakukan kekerasan terhadap genitalia seksual wanita.<br /><br />Diindonesia terdapat pula tipe lain yakni perkosaan yang digunakan buat memenuhi persyaratan suatu ilmu tertentu. Konon, ada ilmu yang mensyaratkan siswanya untuk melakukan hubungan seks dengan puluhan perawan sebalum “lulus”. Perkosaan atas dua gadis dibawah umur, dikediri dua tahun silam, menurut berita berkaitan dengan usaha pelaku untuk mengamalkan ilmu hitam.<br /><br />Dalam makalah yang diajukan oleh colonel polisi Drs.Moch.Hindarto maupun data dari polda metro jaya terlihat bahwa tingkat penyelesaian kasus perkosaan cukup tinggi dibandingkan dengan jenis-jenis kejahatan lain. <br /><br />Kasus perkosaan dalam priode tahun 1980-1984 diindonesia mencapai rata-rata sekitar 69 % dan dijakarta dalam kurun waktu yang sama sekitar 60 %.<br /><br />Disamping masalah pengalaman tempat kejadian perkara yang diakui cukup sulit dalam kasus-kasus perkosaan dari sudut pandangan medico-legal hasil pemeriksaan yang diharapkan sama halnya dengan korban kejahatan seks, yaitu :<br /><br />1. Penetrasi penis, dari hasil pemeriksaan ditemukannya robekan selaput darah dan luka-luka pada daerah jenitalia.<br />2. Ejakulasi yang dari hasil pemeriksaan ditemukannya sperma diliang vagina dan asam fosfatase, kholin dan spermin diliang vagina serta kehamilan.<br />3. Penyakit kelamin yang dari hasil pemeriksaan ditemukan G.O. (Kencing nanah) dan lues (Siphilis)<br />4. Kekerasan dari hasil pemeriksaan ditemukannya perlukaan dan adanya obat-obatan didalam cairan tubuh korban<br /><br />Dalam proses penanganan ini, kerjasama yang erat antar polri dengan kalangan lain dari bidang pengetahuan ilmiah medico-legal maupun kimia fhorensip sangat diperlukan guna mendapatkan bukti-bukti materil yang dibutuhkan dan kerjasama lain guna mengkaji aspek-aspek kriminologis dari perkosaan dapat dilakukan dengan kalangan dari bidang pengetahuan ilmiah kriminologi.<br /><br />Satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah korban perkosaan yang besar kemungkinan mengalami trauma psikis yang berat, juga berlainan dengan kejahatan lain memperoleh “stigma” sebagai korban perkosaan dari masyarakat. Media masa tak jarang pula berperan dalam hal yang terakhir ini dengan mendramatisasi pristiwa dan bukan hanya menonjolkan tokoh pelaku akan tetapi juga menyajikan gambaran yang kurang lebih lengkap tentang korban.<br /><br />Pola penghukuman terhadap pelaku-pelaku perkosaan sebagai proses selanjutnya dari penangan tersebut diatas menunjukkan kecenderungan penghukuman yang jauh dari batas maksimal yang diancamkan dalam KUHP. <br /><br />Majalah berita tempo pernah mengetengahkan bahwa jarang terdengar hukuman maksimal dijatuhkan.<br />Selanjutnya dikemukakan : “dipengadilan negeri medan, misalnya, yang dalam tahun 1983 memfonis 12 kasus perkosaan, rata-rata para pemerkosa Cuma dijatuhi hukuman kurungan sekitar 1 tahun. Dibandung, Surabaya, semarang, dan dijokjakarta paling tinggi pemerkosa dijatuhi hukuman 6 tahun, itu pun jarang terjadi. Yang umum sekitar 1 atau 2 tahun. Bahkan dijember, seorang kakek, 65 tahun yang memperkosa gadis berumur 14 tahun, Cuma kejatuhan 9 bulan”.<br /><br />Proses penanganan yang professional dan pola penghukuman yang lebih terarah (sesuai dengan tipe, motif dan tingkat kerugian fisik, mental dan social yang dialami korban), serta proses pendidikan didalam lembaga kemasyarakatan seharusnya terpadu, dan oleh karena pemerkosaan merupakan gajala yang lahir dari suatu “Exsismaleculture” dengan “mistikemaskulinan” sebagai norma yang diterima oleh sebagian besar masyarakat, maka pencegahan dan penanggulangannya pun harus dikaitan kepada usaha penanaman dan kelembagaan nilai-nilai dan norma-norma yang menghormati hak-hak wanita.<br /><br />Barangkali memang perkosaan tak jarang mengandung makna-makna simbolik, namun yang jelas perkosaan adalah hasil pertemuan dari sosialisasi seksual yang ada mendukung perwujudan seksualitas melalui kekerasan dengan sosialisasi wanita yang sarat oleh idealisasi feminitas yang diajarkan melalui sekolah, keluarga bahkan mass media dengan cirri pasifitas dan ketergantungan wanita.<br /><br />Lantas, jika begitu, seperti dikatakan oleh L.Clark dan D.Lewis dapat dipahami bahwa laki-laki yang sangat kuat mengidentifikasi diri dengan kekuasaan (kedominanan) seksual dan agresi dan tidak lagi dapat membedakan apa yang mereka anggap sebagai bujukan dengan yang disandang oleh wanita sebagai perkosaan. <br />Beberapa akibat / efek dampak buruk pada korban pemerkosaan :<br />1. Menjadi stress hingga mengalami gangguan jiwa<br />2. Cidera atau luka-luka akibat penganiayaan<br />3. Kehilangan keperawanan / kesucian<br />4. Menjadi trauma pada laki-laki dan hubungan seksual<br />5. Bisa menjadi seorang lesbian atau homo yang menyukai sesama jenis<br />6. Masa depan suram karena dikanal sebagai korban perkosaan<br />7. Sulit mencari jodoh karena sudah tidak perawan<br />8. Bisa membalas dendam pada oang lain<br />9. Hamil di luar nikah yang sangat tidak diinginkan<br />10. Anak hasil perkosaan bisa dibenci orang tua, kerabat, tetangga, dll<br />11. Merusak mental seorang anak karena belum waktunya mengenal seks<br />12. Menjadi pasrah dan terus melakukan hubungan seks pranihah.<br />13. Merasa kotor dan akhirnya terjun sebagai psk untuk mendapat uang.<br />14. Terkena penyakit menular seksual yang berbahaya, dll<br /><br /><br />DAMPAK SOSIAL PSIKOLOGIS PERKOSAAN<br /><br />Selama beberapa tahun terakhir ini bangsa Indonesia banyak menghadapi masalah Kekerasan,baik yang bersifat masal maupun yang dilakukan secara individual. Masyarakat mulai merasa resah dengan adanya berbagai kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Kondisi seperti ini membuat perempuan dan anak-anak menjadi lebih rentan untuk menjadi korban kekerasan. Perempuan yang berada di daerah aman juga dapat menjadi korban kekerasan, dengan kata lain masalah kekerasan terhadap perempuan ini merupakan masalah yang universal (Kompas, 1995; Muladi, 1997; Triningtyasasih, 2000).<br /><br />Pada saat orang berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan, maka dapat dikatakan bahwa perempuan dalam situasi apapun tetap rentan untuk menjadi korban dari struktur atau sistem (sosial, budaya, maupun politik) yang menindas (Press Release Lokakarya WCC, 2000). Hal ini diperkuat oleh adanya pendapat bahwa posisi perempuan yang membuat keberdayaan mereka untuk melindungi diri juga kurang. Dikatakan bahwa perempuan yang berada di dalam rumah pun dapat menjadi korban kekerasan dari suaminya, perempuan di tempat kerja juga dapat memperoleh pelecehan seksual baik dari atasan maupun rekan sekerjanya (Suharman dalam Prasetyo, 1997).<br /><br />Bentuk kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kekerasan secara fisik, akan tetapi dapat juga meliputi kekerasan terhadap perasaan atau psikologis, kekerasan ekonomi, dan juga kekerasan seksual. Hal ini sesuai dengan pendapat Hayati (2000) yang mengatakan bahwa kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun non verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional, dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya.<br /><br />Berdasarkan catatan FBI terdapat sedikitnya 84.000 perempuan yang melaporkan menjadi korban perkosaan dalam satu tahun (Walter dalam Haryanto, 1997). Sementara itu di Indonesia, kasus perkosaan menempati peringkat nomor 2 setelah pembunuhan (Darwin, 2000). Data dari Kalyanamitra menunjukkan bahwa setiap 5 jam, ditemui 1 kasus perkosaan (Abar, 1995; Darwin, 2000; Tabah, 1994). <br />Sementara itu, Yayasan Kepedulian Untuk Konsumen Anak (KAKAK) selama tahun 2000 mencatat 90 kasus seksual yang dialami oleh anak Surakarta dan kasus perkosaan yang ada mencapai 18 orang (Suara Merdeka, 2001). Hal ini menunjukkan betapa banyaknya perempuan yang menjadi korban perkosaan. Data yang tersaji pada beberapa lembaga tersebut merupakan data dari hasil penelitian maupun dari korban yang melaporkan kejadian yang mereka alami. Asumsi yang muncul dari data yang tersaji selama ini adalah bahwa data yang ada merupakan fenomena gunung es. Pernyataan tersebut memiliki arti bahwa data yang muncul ke permukaan hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus yang terjadi di dalam masyarakat. <br />Berdasarkan pernyataan tersebut maka sebenarnya kekerasan yang terjadi di masyarakat dapat saja merupakan kelipatan dari data yang ada. Pada kasus perkosaan, setiap orang dapat menjadi pelaku perkosaan tanpa mengenal usia, status, pangkat, pendidikan, dan jabatan. Hal ini senada dengan hasil penelitian dari Abar & Subardjono (1998), yang mengatakan bahwa berdasarkan data usia pelaku tindak kejahatan perkosaan, dapat dikatakan bahwa pelaku perkosaan sesungguhnya tidak mengenal batas usia. Selama individu masih mempunyai daya seksual, dari anak-anak hingga kakek-kakek masih sangat mungkin untuk dapat melakukan tindak kejahatan perkosaan. Demikian pula dengan korban. Setiap perempuan dapat menjadi korban dari kasus perkosaan tanpa mengenal usia, kedudukan, pendidikan, dan status. Pendapat tersebut senada dengan pengamatan dari Rita Serena Kalibonso (Kompas, 1993), berdasarkan data kasus yang masuk ke kantor LBH Jakarta, yang mengatakan bahwa pelaku bukan hanya tetangga korban melainkan juga ayah tiri, anak majikan, majikan, teman dekat, dan juga saudara. Sementara korban ada yang memiliki profesi sebagai karyawan, ibu rumah tangga, pembantu rumah tangga, anak-anak di bawah umur, bahkan anak sekolah luar biasa. Salah satu contoh kasus perkosaan tentang hal tersebut dimuat oleh Bernas tanggal 15 Nopember 1999 yang menyebutkan tentang seorang kakek yang memperkosa seorang gadis cacat mental.<br /><br />Dampak Psikologis<br />Upaya korban untuk menghilangkan pengalaman buruk dari alam bawah sadar mereka sering tidak berhasil. Selain kemungkinan untuk terserang depresi, fobia, dan mimpi buruk, korban juga dapat menaruh kecurigaan terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri. Linda E. Ledray (dalam Prasetyo, 1997) melakukan penelitian mengenai gambaran penderitaan yang dialami oleh perempuan korban perkosaan. Penelitian tersebut dilakukan dengan mengambil data perempuan korban perkosaan di Amerika, yang diteliti 2-3 jam setelah perkosaan.<br /> Hasil yang diperoleh menyebutkan bahwa 96% mengalami pusing; 68% mengalami kekejangan otot yang hebat. Sementara pada periode post-rape yang dialami adalah 96% kecemasan; 96% rasa lelah secara psikologis; 88% kegelisahan tak henti; 88% terancam dan 80% merasa diteror oleh keadaan. Penelitian yang dilakukan oleh majalah MS Magazine (dalam Warshaw, 1994) mengatakan bahwa 30% dari perempuan yang diindetifikasi mengalami perkosaan bermaksud untuk bunuh diri, 31% mencari psikoterapi, 22% mengambil kursus bela diri, dan 82% mengatakan bahwa pengalaman tersebut telah mengubah mereka secara permanen, dalam arti tidak dapat dilupakan. Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres paska perkosaan yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi paska perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang merupakan gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan. Stres jangka panjang yang berlangsung lebih dari 30 hari juga dikenal dengan istilah PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder (Rifka Annisa dalam Prasetyo, 1997). Menurut Salev (dalam Nutt, 2001) tingkat simptom PTSD pada masing-masing individu terkadang naik turun atau labil. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan 12 yang terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang dialaminya.<br /><br /> Menurut Shalev (dalam Nutt, 2000) PTSD merupakan suatu gangguan kecemasan yang didefinisikan berdasarkan tiga kelompok simptom, yaitu experiencing, avoidance, dan hyperarousal, yang terjadi minimal selama satu bulan pada korban yang mengalami kejadian traumatik. Diagnosis bagi PTSD merupakan faktor yang khusus yaitu melibatkan peristiwa traumatis. Diagnosis PTSD melibatkan observasi tentang symptom yang sedang terjadi dan atribut dari simptom yang merupakan peristiwa khusus ataupun rangkaian peristiwa. Selanjutnya definisi PTSD ini berkembang lebih dari hanya sekedar teringat kepada peristiwa traumatis yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi juga disertai dengan ketegangan secara terus-menerus, tidak dapat tidur atau istirahat, dan mudah marah. PTSD yang dialami oleh tiap individu terkadang tidak stabil. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang dialaminya. Para korban perkosaan ini mungkin akan mengalami trauma yang parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang mengejutkan bagi korban. Secara umum peristiwa tersebut bisa menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). <br />Berdasarkan definisi tersebut maka dapat diambil kesilmpulan bahwa PTSD adalah gangguan kecemasan yang dialami oleh korban selama lebih dari 30 hari akibat peristiwa traumatis yang dialaminya. Dampak jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari setelah kejadian. Dampak jangka pendek ini termasuk segi fisik si korban, seperti misalnya ada 13 gangguan pada organ reproduksi (infeksi, kerusakan selaput dara, dan pendarahan akibat robeknya dinding vagina) dan luka-luka pada bagian tubuh akibat perlawanan atau penganiayaan fisik.<br />Dari segi psikologis biasanya korban merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu, dan terhina. Gangguan emosi ini biasanya menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia), kehilangan nafsu makan, depresi, stres, dan ketakutan. Bila dampak ini berkepanjangan hingga lebih dari 30 hari dan diikuti dengan berbagai gejala yang akut seperti mengalami mimpi buruk, ingatan-ingatan terhadap peristiwa tiba-tiba muncul, berarti korban mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau dalam bahasa Indonesianya dikenal sebagai stres paska trauma (Hayati, 2000). Bukan tidak mungkin korban merasa ingin bunuh diri sebagai pelarian dari masalah yang dihadapinya.Menurut Freud (dalam Suryabrata, 1995), hal ini terjadi karena manusia memiliki instinginsting mati. Selain itu kecemasan yang dirasakan oleh korban merupakan kecemasan yang neurotis sebagai akibat dari rasa bersalah karena melakukan perbuatan seksual yang tidak sesuai dengan norma masyarakat.<br />Terkadang korban merasa bahwa hidup mereka sudah berakhir dengan adanya peristiwa perkosaan yang dialami tersebut. Dalam kondisi seperti ini perasaan korban sangat labil dan merasakan kesedihan yang berlarut-larut. Mereka akan merasa bahwa nasib yang mereka alami sangat buruk. Selain itu ada kemungkinan bahwa mereka menyalahkan diri mereka sendiri atas terjadinya perkosaan yang mereka alami. Pada kasus-kasus seperti ini maka gangguan yang mungkin terjadi atau dialami oleh korban akan semakin kompleks. 14 Tanda-tanda PTSD tersebut hampir sama dengan tanda dan simptom yang ada pada depresi menurut kriteria dari American Psychiatric Association (dalam Davison dan Neala, 1990). Tanda-tanda tersebut adalah: (1) sedih, suasana hati depres; (2) kurangnya nafsu makan dan berat badan berkurang, atau meningkatnya nafsu makan dan bertambahnya berat badan; (3) kesukaran tidur (insomnia): tidak dapat segera tidur, tidak dapat kembali tidur sesudah terbangun pada tengah malam, dan pagi-pagi sesudah terbangun; atau adanya keinginan untuk tidur terus-menerus; (4) perubahan tingkat aktivitas; (5) hilangnya minat dan kesenanga dan dalam aktivtas yang biasa dilakukan; (6) kehilangan energi dan merasa sangat lelah; (7) konsep diri negatif; menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna dan bersalah; (8) sukar berkonsentrasi, seperti lamban dalam berpikir dan tidak mampu memutuskan sesuatu; (9) sering berpikir tentang bunuh diri atau mati. <br />Menurut Georgette (dalam Warshaw, 1994) sindrom tersebut dialami oleh korban, baik korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal maupun pelaku adalah orang asing. Hal tersebut akan termanifestasikan ke dalam rentang emosi dan perilaku yang luas. Korban dapat menunjukkan reaksi yang terbuka terhadap pengalamannya atau dapat juga mengontrol responnya, bertindak secara kalem dan tenang. Bagaimanapun juga korban akan mengalami perasaan takut secara umum ataupun perasaan takut yang khusus seperti perasaan takut akan kematian, marah, perasaan bersalah, depresi, takut pada laki- laki, cemas, merasa terhina, merasa malu, ataupun menyalahkan diri sendiri. Korban dapat merasakan hal tersebut secara bersama-sama dalam waktu dan intensitas yang berbeda-beda. Korban dapat juga memiliki keinginan untuk bunuh diri. Sesaat setelah korban terlepas dari perkosaan mungkin ia akan merasakan suatu kelegaan untuk sesaat karena 15 sudah terlepas dari suatu peristiwa yang sangat mengancam. Akan tetapi setelah peristiwa tersebut maka korban akan mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi ataupun memfokuskan pemikirannya untuk menampilkan tugas yang sederhana. Korban akan merasa gugup, gelisah, mudah terganggu, mengalami goncangan, menggigil, nadi berdebar secara kencang, dan badan terasa panas dingin. Korban juga dapat mengalami kesulitan tidur, kehilangan nafsu makan, mengalami gangguan secara medis, diantaranya mungkin berhubungan langsung dengan penyerangan yang dialaminya. Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa perkosaan oleh pasangan ataupun teman kencan biasanya tidak melibatkan kekerasan secara nyata seperti adanya pemukulan atau penggunaan senjata dan ancaman.<br /> Berdasarkan pandangan tersebut maka mereka menganggap bahwa trauma yang dialami oleh korban tidak seberat trauma yang dialami oleh korban perkosaan oleh orang asing (Warshaw, 1994). Akan tetapi pada kenyataannya yang terjadi adalah kebalikan dari pandangan tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Katz dan Burt (dalam Warshaw, 1994) ditemukan bahwa korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal oleh korban, mengalami proses penyembuhan yang lebih sedikit dibandingkan korban perkosaan dengan pelaku yang tidak dikenal korban. Penelitian ini didasarkan dengan melihat kondisi korban setelah jangka waktu tiga tahun dari peristiwa perkosaan yang dialami oleh korban.<br /> Menurut Parrot (dalam Warshaw, 1994) yang seorang pakar tentang date rape, hal tersebut dapat diakibatkan karena korban yang mengalami perkosaan oleh orang yang dikenal biasanya menyimpan kenyataan mengenai peristiwa yang mereka alami. Hal ini berbeda dengan korban dengan pelaku yang tidak begitu dikenal. Mereka cenderung dengan segera mencari pertolongan, konseling, ataupun kelompok dukungan lainnya. Dengan demikian 16 maka korban dengan pelaku yang dikenal akan menyimpan dampak dari serangan yang dialaminya dalam jangka waktu yang lebih lama. Korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal, memiliki kemungkinan yang besar akan mengalami perkosaan secara berulang dan dalam jangka waktu yang panjang (Agaid, 2002).<br /> Pelaku sebagai orang yang dikenal bahkan orang yang dekat dengan korban sudah mengetahui dengan baik situasi untuk melakukan perkosaan. Pelaku telah merancang waktu untuk melakukan niatnya dengan baik sehingga ia yakin bahwa perbuatannya tersebut tidak akan diketahui oleh orang lain. Korban yang memiliki relasi kuasa di bawah pelaku tidak berani mengungkapkan rahasia tersebut kepada orang lain termasuk keluarganya karena adanya berbagai alasan seperti: adanya ancaman dari pelaku, alasan menjaga kehormatan dan pemberian pengertian dari pelaku bahwa perkosaan tersebut adalah bukti kasih sayang pelaku kepada korban. Berdasarkan hal tersebut maka pelaku lebih leluasa untuk mengulang perbuatannya. Perkosaan seperti ini membuat posisi korban serba salah karena ia harus menanggung beban ganda, yaitu menjadi korban dari perkosaan yang dapat berulang setiap saat dan harus menyimpan rahasia tersebut dari orang lain. Kadang kala ketakutan yang dialami oleh korban membuat ia tidak berdaya dan lemah. Korban perkosaan mungkin akan mengalami ketakutan berada dalam situasi yang ramai atau berada sendirian. Korban dapat merasa ketakutan pada saat ia hanya berdua dengan orang lain. Posisi ini membuat korban tidak memiliki kepercayaan kepada orang lain, bahkan orang-orang yang selama ini dekat dengannya. Korban dapat pula menjadi paranoid terhadap alasan dari orang-orang yang tidak dikenalnya. Pemicu yang berhubungan dengan perkosaan seperti lagu yang didengar pada saat kejadian, bau 17 minuman yang diminum oleh pelaku pada saat kejadian, bau parfum pelaku, ataupun melihat seseorang yang mirip dengan pelaku akan membuat korban merasa cemas dan takut (Warshaw, 1994).<br /> Alternatif Penyembuhan Proses penyembuhan korban dari trauma perkosaan ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan ini diperlukan untuk membangkitkan semangat korban dan membuat korban mampu menerima kejadian yang telah menimpanya sebagai bagian dari pengalaman hidup yang harus ia jalani (Hayati, 2000). Korban perkosaan memerlukan kawan bicara, baik teman, orangtua, saudara, pekerja sosial, atau siapa saja yang dapat mendengarkan keluhan mereka. Diharapkan dengan adanya dukungan ini maka korban akan mampu berdaya dan menjalani kehidupannya seperti sedia kala.<br /> Pada kasus-kasus perkosaan yang didampingi oleh Rifka Annisa Women’s Crisis Center, beberapa korban tidak dapat ataupun tidak mau menghubungi keluarganya dengan berbagai pertimbangan dan alasan. Korban merasa malu dan bersalah karena merasa bahwa dirinya tidak dapat menjaga nama baik keluarga. Selain itu mereka juga merasa takut jika keluarga menjadi marah dan tidak mau menerima keadaan mereka. Korban yang tidak didampingi oleh keluarga mengalami kecemasan yang tinggi, merasa lemah, sering pingsan, bahkan mengalami PTSD. PTSD ini jarang terjadi pada korban yang mendapat dukungan dan pendampingan dari keluarga. Korban yang mendapat dukungan dari keluarga pada umumnya hanya mengalami stres paska perkosaan jangka pendek dan tidak mengalami PTSD. Korban terlihat lebih cepat pulih dengan adanya dukungan dari keluarga. Bahkan ada seorang anak yang pada saat kejadian dia sangat shock akan tetapi dengan pengertian dari keluarga serta dukungan yang diberikan ia mampu mengatasi perasaan tersebut dan mau melanjutkan kegiatannya seperti biasa. Salah satu korban dititipkan di rumah neneknya di luar Jawa karena pelaku perkosaan tersebut adalah ayah tirinya. Masing- masing keluarga memiliki cara sendiri di dalam memberi dukungan terhadap anggota keluarga mereka yang menjadi korban perkosaan.<br /><br />Dampak Sosial<br />Korban perkosaan dapat mengalami akibat yang sangat serius baik secara fisik maupun secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain: (1) kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput dara, pingsan, meninggal; (2) korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual (PMS); (3) kehamilan tidak dikehendaki. Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus maup un kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual (Koesnadi, 1992).<br /> Sementara itu, korban perkosaan berpotensi untuk mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya. Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik (Taslim, 1995). Secara umum peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Korban perkosaan dapat menjadi murung, menangis, mengucilkan diri, menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya. Trauma yang dialami oleh korban perkosaan ini tidak sama antara satu korban dengan korban yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh bermacam-macam hal seperti pengalaman hidup mereka, tingkat religiusitas yang berbeda, perlakuan saat perkosaan, situasi saat perkosaan, maupun hubungan antara pelaku dengan korban. Situasi dalam masyarakat seringkali dapat memperburuk trauma yang dialami oleh korban. Media massa juga memiliki pengaruh terhadap keadaan yang dirasakan oleh korban. Pada kasus-kasus perkosaan, media massa memiliki peranan dalam membentuk opini masyarakat tentang korban perkosaan. Baik buruknya korban perkosaan dapat dipengaruhi oleh cara penulisan berita tersebut (Abrar, 1998). <br />Selama ini, para wartawan cenderung menggunakan bahasa denotatif dalam mendeskripsikan runtutan peristiwa perkosaan, termasuk deskripsi tentang korban sehingga posisi korban dalam pandangan masyarakat semakin lemah (Abar & Subardjono, 1998). Ada stigma di dalam masyarakat yang memandang bahwa perempuan korban perkosaan adalah perempuan ya ng hina. Ada pula pandangan yang mengatakan bahwa dalam sebuah kasus perkosaan, yang salah adalah pihak perempuan. Perempuan korban perkosaan seringkali dipojokkan dengan pandangan masyarakat ataupun mitos-mitos yang salah mengenai perkosaan (Taslim, 1995).<br /> Pandangan yang salah tersebut membuat masyarakat memberi “label” bahwa perempuan korban perkosaan sengaja “menggoda” dan “menantang” laki-laki dengan memakai pakaian mini, rok ketat, berdandan menor ataupun berbusana seksi, bahkan sengaja mengundang nafsu birahi laki-laki pemerkosa (Bernas, 1995; Kompas, 1995; Taslim, 1995). <br />Hal seperti ini akan membuat korban semakin takut untuk mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya. Korban akan merasa bahwa dirinya telah merusak nama baik keluarga, sehingga ia cenderung akan melakukan self-blaming yang justru akan semakin memperburuk keadaannya. Seringkali rasa bersalah ini juga membuat korban enggan untuk menceritakan pengalamannya kepada orang-orang di sekitarnya karena takut menerima “vonis” dari lingkungan (Republika, 1995; Taslim, 1995). Hal ini sesuai dengan pendapat Epictus (dalam Semiarti, 1989) yang mengatakan bahwa sebenarnya seseorang akan terganggu oleh cara dia melihat sesuatu hal. Apabila seseorang memandang suatu hal sebagai ancaman maka ia akan cenderung mengalami gangguan akibat penilaiannya tersebut. Harapan dan pikiran negatif akan mendorong seseorang untuk menjadi depresi (Abrahamson dalam Semiarti, 1989).<br /><br /><br />Tugas Kelompok Kesehatan Mental II :<br /><br />Indah Pratiwie<br />Desni Saputra<br />Irjasmiati<br /><br />Dosen : M Fahli Zatra Hadi S.Sos.IAbdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-82023753460935164802011-03-16T06:22:00.000-07:002011-03-16T06:23:11.606-07:00DEVIASIDisusun oleh:<br />Maisaroh<br />Yasmiati<br /><br />DEVIASI<br />A. Pengertian Deviasi<br />Deviasi atau penyimpangan adalah tingkah laku yang menyimpang dari kecenderungan umum atau karakteristik rata – rata kebanyakan dari masyarakat. Sedangkan diferensiasi adalah tingkah laku yang berbeda dari tingkah laku umum. Misalnya, kejahatan adalah semua bentuk tingkah laku yang berbeda dan menyimpang dari ciri – cirri karakteristik umum, serta bertentangan dengan hukum, atau melawan peraturan yang berlaku. Sedangkan kejahatan itu sendiri mencakup banyak macam – macam tingkah laku dan sangat heterogen sifatnya, sebab bias dilakukan oleh pria, wanita, anak – anak, tua maupun remaja.<br />Ada yang membedakan diferensiasi itu menjadi:<br />• Differensiasi biologis<br /> Differensiasi biologis yang mempunyai tanda penyimpangan yaitu macam – macam stigma rasial. ( stigma dari kata stigmayologis berarti tanda, selar, dan ciri ), misalnya dalam bentuk berat badan dan tinggi, raut muka, tampang, dan bentuk perbandingan badan, perut, bekas luka, mata juling, sipit, tanda – tanda tertentu sejak lahir,cacat jasmani karena kecelakaan atau penyakit yang merusak mekanisme tubuh dan tingkah laku.<br />Ciri – ciri tersebut mengakibatkan pola tingkah laku yang berbeda sekali dengan prilaku umum. Misalnya bias menjadi buta,gagap,timpang,tuli,bisu,menderita aphasia (kemampuan untuk menggunakan kata-kata sebagai simbol pikiran hilang atau terhambat,disebabkan oleh kerusakan pada kulit otak), dan aphonia atau tidak mampu nya mengeluarkan suara, dan cacat jasmania yang lainnya.<br /><br /><br />Cacat jasmaniah itu mengakibatkan persepsi tertentu dan respon-respon tingkah laku menjadi terhambat atau tidak berfungsi lagi.semuanya itu tergantung pada sifat dan beratnya kerusakan structural. Tingkah laku menjadi sangat berbeda dengan tingkah laku kebanyakan orang dan pribadi yang bersangkutan terhambat dalam melaksanakan peranan sosialnya. ( Kartini Kartono, 1981 : 23-24).<br /><br /><br />• Differensiasi demografis<br />Differensiasi demografis adalah perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan bangsa-bangsa dan bangsa yang menyimpang dari kelompok bangsa yang umumnya,yang tingkah lakunya aneh dan luar biasa misalnya dalam hal posisi seks, perbedaan usia seperti ada yang usianya sangat tua dan ada juga yang mati dalam usia sangat muda, lingkungan sosialnya dan lain-lainnya. Contohnya bangsa Yahudi atau Bani Israil bagaimana kondisinya ketika ditanah airnya sendiri dan didaerah lain, bangsa Sicilia yang terkenal dengan gang atau mafianya.<br /> Deviasi behavioral menurut tipenya dapat dibedakan menjadi : <br />a) Personal, dan b) social.<br />Sedangkan menurut aspeknya dapat dibedakan menjadi :<br />a) Yang tampak (overt)<br />b) Yang tidak tampak (covert)<br />Yang menjadi objek kajian disini adalah deviasi behavioral artinya penyimpangan tingkah laku yang sering kali disebut juga dengan istilah abnormal atau maladjusted. Untuk mengetahui ingkah laku abnormal atau maladjusted atau yang menyimpang sudah barang tentu harus mengetahui tingkah laku yang normal, yang edjusted, yang telah disinggung di depan. Yang dijadikan ugeran atau patokan ialah norma social. Norma social ini tergantung pada waktu dan tempat, status usia, seks, serta kelas social.<br /> Norma social ialah batas-batas dari berbagai tingkah laku yang secara jelas (eksplisit) atau samar (implisit) dimiliki atau dikenal secra retrospektif oleh anggota-anggata sesuatu kelompok, komunity atau society (St. Vembriarto : 1981 : 71).<br /><br /> Yang dimaksudkan dengan retospektif artinya bahwa sebagian besar orang tidak menyadarinya, dan norma itu baru disadari apabila dilanggar, atau disadari secara proyektif. <br /><br />• Deviasi tingkah laku menurut aspeknya, dapat dibedakan menjadi :<br />1. Aspek lahiriah ;<br /> Aspek yang berbentuk verbal, misalnya: bahasa yang tidak sesuai menurut gramatika serta pendapat – pendapat yang radikal mengenai berbagai hal<br /> Aspek yang nonverbal, misalnya alkoholisme, madat, prostitusi (pelacuran ), kejahatan, dan sebagainya.<br />2. Aspek batiniah yang simbolik,<br /> yaitu segi sikap dan emosi yang bersifat perilaku menyimpang yang dialami oleh seseorang, misalnya berupa mens area ( fikiran yang paling dalam yang tersembunyi ) atau berupa iktikad criminal dibalik semua aksi kejahatan dan tingkah laku menyimpang.<br />Perlu diketahui bahwa tingkah laku menyimpang itu tersembunyi sifatnya yang tampak itu hanya sebagian yang muncul kepermukaan. Aspek batiniah hanya dapat diselediki melalui aspek lahiriah verbal.<br />Dari proses simbolisasi itu, yang paling penting adalah simbolisasi diri atau “penamaan diri” maksudnya adalah anak-anak yang tumbuh dan berkembang menjadi dewasa dilingkungan social yang kriminal dan asusila, mudah mengambil alih warisan-warisan sosial yang jahat, buruk, dari masyarakat lingkungannya. Konsep sosial menanamkan nilai-nilai moral dan kebiasaan bertingkah laku buruk baik secara sadar atau tidak disadarinya.<br />Kelompok – kelompok bermain sejak masa kanak-kanak, dan masyarakat lingkungan yang criminal dan asusila itu secara perlahan – lahan membentuk tradisi, hokum, dan kebiasaan – kebiasaan tertentu, sehingga anak –anak tadi secara otomatis terkontrol untuk bertingkah laku criminal dan asusila.<br /><br /><br />Konsep – konsep asusila yang umumnya berlaku dalam lingkungan yang diopernya secara otomatis.proses konsepsi diri atau simbolisasidiri,pada umumnya berlangsung tidak sadar dan perlahan – lahan. Berlangsunglah proses sosialisasi dari tingkah laku menyimpang pada diri seseorang sejak masa kanak – kanak, remaja, hingga dewasa berlangsung pula pada pembentukan pola tingkah laku deviatif yang progesif sifatnya, kemudian dikembangkan menjadi kebisaan – kebiasaan patologis, menyimpangg dari pola tinkah laku umum. <br /><br />B. Tingkah laku normal, yang menyimpang dari norma social<br />Banyak sosiolog mempersamakan “tingkah laku yang menyimpang “ dengan tingkah laku abnormal atau maladjusment (tidak mampu menyesuaikan diri ). Tingkah laku normal adalah tingkah laku yang serasi dan tepat yang bisa diterima oleh masyarakat pada umum. Tingkah laku pribadi yang normal adalah perilaku yang sesuai dengan pola kelompok masyarakat tempat dia berada sesuai pula dengan norma – norma social yang berlaku pada masyarakat.<br />Tingkah laku yang normal adalah tingkah laku yang serasi yang bias diterima oleh mayarakat pada umumnya. <br />Tingkah laku pribadi yang normal adalah perilaku yang sesuai dengan pola kelompok masyarakattempat dia berada sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku pada saat dan tempat itu, sehingga tercapai relasipersonal dan interpersonal yang relative memuaskan.<br /> Pribadi yang itu secara relatif dekat dengan integrasi jasmaniah-rohaniahyang ideal. Kehidupan psikisnya kurang lebih stabil sifatnya, tidak banyak memendam konflik internal(konflik batin) dan konflik dengan lingkungannya; batinnya tenang, imbang,dan jasmaniahnya merasa saehat selalu.<br /> Tingkah laku abnormal/ menyimpang ialah: tingkah laku yang tidak serasi, tidak bisa di terima oleh masyarakat pada umumnya, dan tidak sesuai dengan normal social yang ada.<br /> Pribadi yang normal itu umumnya jauh dari pada status integrasi; baik secara internal dalam batin sendiri, maupun batin secara eksternal dengan lingkungan sosialnya, pada umumnya mereka terpisah hidupnya dari masyarakat, sering di dera oleh konflik batin, dan tidak jarang di hinggapi gangguan mental.<br /> Norma adalah kaidah, aturan pokok, ukuran, kadar atau patokan yang di terima secara utuh dari masyarakat, guna mengatur kehidupan dan tingkah laku sehari-hari, agar hidup ini terasa aman dan menyenangkan. Dalam masyarakat primitif yang terisolir dan sedikit jumlahnya, lagi pula masyarakatnya relatif terintegrasi dengan baik, norma-norma untuk mengukur tingkah laku menyimpang atau abnormal itu ada jelas dan tegas. Sedangkan tingkah laku menyimpang itu sendiri mudah di bedakan dengan tingkah laku normal pada umumnya.<br /> Akan tetapi, dalam masyarakat urban di kota-kota besar dan masyarakat teknologi industri yang serba kompleks, dengan macam-macam sub- kebudayaan yang selalu berubah dan terus membelah diri dalam fraksi-fraksi yang lebih kecil, norma-norma social yang di pakai sebagai standar kriteria pokok untuk mengukur tingkah laku orang sebagai “normal”dan “abnormal”itu menjadi tidak alasan. Dengan kata-kata lain, konsep tentang normalitas dan abnormalitas menjadi sangat samar-samar batasnya. <br />Sebab, kebiasaan-kebiasaan, tingkah laku dan sikap hidup yang dirasakan sebagai normal oleh suatu kelompok masyarakat, bisa di anggap sebagai abnormal oleh kelompok kebudayaan lainnya. Apa yang di anggap sebagai normal oleh beberapa generasi sebelum kita, bisa di anggap abnormal pada saat sekarang.<br /> Norma itu sifatnya bisa formal; bisa juga noninstitusional atau sosial(norma umum). Norma juga bersifat positif. Yaitu mengharuskan, menekan atau kompulsif sifatnya. Mulai dari norma-norma yang ringan lunak, memperbolehkan, sampai penggunaan sedikit paksaan.<br /> Sebaliknya norma juga bisa bersifat negatif,yaitu melarang sama sekali, bahkan menjadikan tabu dilarang menjamah atau melakukannya karena di liputi kekuatan-kekuatan gaib yang lebih tinggi. Bisa juga berupa larangan-larangan dengan sanksi keras, hukuman atau tindak pengasingan.<br /> Khususnya terhadap tingkah laku menyimpang yang provokatif dan merugikan hak-hak serta privilege(hak istimewa) orang banya, di berikan sanksi keras berupa hukuman atau pengasingan oleh orang banyak. Dengan demikian dapat di nyatakan, bahawa tingkah laku deviatif atau menyimpang itu di cap dan ditentang dengan tegas secara kultural oleh umum, di satu tempat dan pada satu waktu tertentu.<br /><br />MACAM-MACAM DEVIASI DAN LINGKUNGAN<br /> Deviasi atau penyimpangan tingkah laku itu sifatnya bisa tunggal; misalnya hanya kriminil saja atau alkoholik atau mencandu bahan-bahan narkotik. Namun bisa juga jamak sifatnya; misalnya seorang wanita tunasusila sekaligus juga kriminal, jadi ada kombinasi dari beberapa tingkah laku menyimpang contoh lain: sudah kriminal, penjudi besar, alkoholik, sekaligus juga a-susila secara seksual.<br /> Deviasi ini dapat kita bedakan dalam tiga kelompok yaitu ( Dr Kartini Kartono:15):s<br />(a) Individu-individu dengan tingkah laku yang menjadi “ masalah” merugikan dan destruktif bagi orang lain, akan tetapi tidak merugikan diri sendiri.<br />(b) Individu-individu dengan tingkah laku menyimpang yang menjadi “masalah” bagi diri sendiri, akan tetapi tidak merugikan orang lain.<br />(c) Individu-individu dengan deviasi tingkah laku yang menjadi “masalah” bagi diri sendiri dan orang lain.<br />Yang jelas, deviasi tingkah laku itu tidak pernah berlangsung dalam isolasi;tidak berlangsung sui generis( unik khas satu-satunya dalam jenis) dan dalam keadaan vakum. Akan tetapi selalu berlangsung dalam satu konteks sosio-kultural dan antar personal. Jadi, sifatnya bisa organismis atau fisiologis; bisa juga psikis, interpersonal, antar-personal dan kultural,sehub ungan dengan lingkungan sosio-kultural ini, deviasi tingkah laku ini dapat di bagikan menjadi: (1) deviasi individual, (2) deviasi situasional, (3) deviasi sistematik.( Dr.Kartini Kartono:16-22)<br /><br />1.)Deviasi individual <br /> Beberapa deviasi merupakan gejala personal, pribadi atau individual, sebab di timbulkan oleh cirri-ciri yang khas unik dari individu itu sendiri. Yaitu berasal dari anomali-anomali ( penyimpangan dari hukum, kelainan-kelainan), variasi-variasi biologis, dan kelainan-kelainan psikis tertentu, yang sifatnya herediter ada sejak lahir. Kelainan cirri tingkah laku bisa juga di sebabkan oleh penyakit dan kecelakaan. Jika tidak ada di ferensiasi biologis, maka deviasi-deviasi itu pasti di sebabkan oleh pengaruh sosial dan kultural, yang “ membatasi”dan merusak kualitas-kualitas psiko-pisik individu.<br /> Deviasi jenis ini sering kali sifatnya simptomatik. Yaitu di sebabkan pleh konflik-konflik intrapsikis yang kronis dan sangat dalam; atau berasal dari konflik-konflik semacam ini mengakibatkan keterbelahan pribadi; orangnya menjadi khoatis kacau, dan kepribadiannya tidak terintegrasi dengan baik.<br /> Di masukkan dalam kelompok deviasi individual ini antara lain ialah: anak-anak luar biasa, penemu-penemu,genius-genius,fanatisi(orang-orang yang sangat fanatik), idiot savant atau genius-genius yang bersifat idiot dan tidak berperikemanusiaan, dan individu-individu yang psikotis. Pribadi-pribadi sedemikian ini pada dasarnya sudah memiliki kencenderungan-kecenderungan yang menyimpang, baik secara biologis maupun psikis, yang kemudian di perhebat oleh rangsangan sosial dan stimuli( stimulus= rangsangan)kultural dari lingkungan hidupnya.<br />2.)Deviasi Situasional<br /> Deviasi jenis ini di sebabkan oleh pengaruh bermacam-macam kekuatan situasional/sosial di luar individu; oleh pengaruh situasi dalam mana pribadi yang bersangkutan menjadi bagian integral dari padanya. Situasi tadi memberikan pengaruh yang memaksa, sehingga individu tersebut terpaksa harus melanggar peraturandan norma-norma umum atau hukum formal.jika anak istri hampir-hampir mati kelaparan, dan tidak ada jalan lain untuk mendapatkan bahan makanan kecuali dengan cara mencur, sehingga pria yang bersangkutan terpaksa harus mencuri, maka jadilah ia seorang penjahat situasional. <br />Dan deviasinya bersifat situasional,contoh lain, gadis-gadis tertentu melakukan pekerjaan WTS, menjadi tuna susila di sebabkan oleh perasaan tidak puas terhadap pekerjaan yang lalu, karena upahnya tidak mencukupi untuk membeli jenis-jenis perhiasan dan pakaian yang di inginkannya.<br /> Ringkasnya, individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu bisa mengembangkan tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma susila atau hukum, sebagai produk dari transformasi-transformasi psikologis yang di paksakan oleh situasi dan kondisi lingkungan sosialnya. Situasi sosial yang eksternal itu memberikan tekanan-tekanan serta paksaan-paksaan dan mengalahkan factor-faktor internal yaitu pikiran, pertimbangan akal, hati nurani sehingga memunculkan deviasi situasional tadi.<br />Maka ruang dan waktu itu merupakan dimensi-dimensi pokok dari situasi sosial yang memberikan pengaruh tekanan dan paksaan kepada individu. Sampai berapa besar pengaruh situasi sosial menekan dan memaksa, dapat kita ketahui apabila individu yang menyimpang itu dipindahkan kedalam situasi sosial lain. Maka akan lenyaplah pola-pola situasi sosial nya diubah secara drastis.<br /> Pada umumnya, deviasi situasional yang kumulatif itu merupakan produk dari konflik kultural; yaitu merupakan produk dari periode-periode dengan banyak konflik kultur. Konflik budaya/ kultural ini dapat di artikan sebagai:<br />(a) Konflik antara individu dengan masyarakat <br />(b) Konflik antara nilai-nilai dan praktek-praktek dari dua atau lebih kelompok-kelompok sosial<br />(c) Konflik-konflik introjektif yang berlangsung dalam diri seorang, yang hidup dalam lingkungan sosial penuh dengan nilai dan norma-norma yang bertentangan.<br /><br /> Konflik-konflik budaya ini dapat di artikan pula sebagai situasi sosial di penuhi dengan kelompok-kelompok sosial yang tidak bisa di rukunkan atau di damaikan, dan ada banyak golongan berpengaruh yang di sebut sebagai pressure-groups, sehingga mengakibatkan timbulnya ketegangank-ketegangan, ketakutan dan kecemasan-kecemasan batin yang tak dapat di integrasikan oleh banyak individu. <br /> Maka apabila tingkah laku menyimpang ini berlangsung secara meluas dalam masyarakat jadilah deviasi situasional kumulati. Contoh deviasi demikian ini ialah:<br /> (1) kebudayaan korupsi,<br />(2) pemberontakan anak remaja,<br />(3) “adolescent revolt”,<br />(4) kesukaran-kesukaran menopausal di kalangan wanita setengah umur,<br />(5) deviasi-deviasi seksual di sebab oleh penundaan saat perkawinan jauh sesudah kematangan biologis serta pertimbangan-pertimbangan ekonomis,dan banyak disimulir oleh rangsangan-rangsangan erotic berupa film-film biru,buku-buku porno dan tingkah laku yang a-susila juga,<br />(6) peristiwa homo seksual banyak terjadi di kalangan narapidana di penjara-penjara, yang akan hilang dengan sendirinya apa bila para narapidana sudah di bebaskan, dan bisa di melakukan relasi heteroseksual dengan jenis kelamin lainnya.<br /> Aspek kebudayaan yang sering menumbuhkan gejala deviasi sosial dan banyak mengandung konflik-konflik serta ketegangan sosial, sehingga menelorkan tidak sedikit perilaku patologis,antara lain ialah:<br />1. Berakhirnya feodalisme, namun muncul kemudian pola neofeodalisme yang mendewakan hak-hak individual; dan pengutamaan egoisme,egosentrisme, serta pendewaan terhadap nilai uang <br />2. Lenyapnya atau berkurangnya kontrol sosial di sebabkan oleh proses urbanisasi, industrialisasi dan mekanisasi<br />3. Menghebatnya rivalitas dan kompetisi untuk memperebutkan status sosial yang tinggi,serta kekayaan dan jabatan.<br />4. Asprasi materiil yang semakin menanjak, dengan menonjolkan pola hidup bermewah-mewah.<br /> Pengaruh komunikasi dengan daerah urban, media massa, iklan-iklan,pendidikan formal dan informal, semua itu bisa mempertinggi standar-standar prestasi, ambisi-ambisi sosial dan aspirasi materill yang berlebih-lebihan. Intensitas dari pencapaian simbol-simbol sukses dan materill yang berkembang baik secara luas itu di sebut sebagai deviasi-deviasi endemis, dan R.Merton menyebutnya anomie.<br />Kebudayaan materiildan standar prestasi tinggi dari modernitasitu menumbuhkan banyak cita-cita untuk memiliki benda-benda eksotik (ekspor luar negeri,dari negeri asing) dan benda-benda lainnya. Apabila semua ini tidak terpenuhi,ditambah pula dengan antisipasi kegagalan-kegagalan dihari esok, pastilah akan menimbulkan kecemasan, dan rasa tidak aman. Semua ini menyebabkan gangguan terhadap ketenangan hidup, dan berubahlah dari perangai normal menjadi deviasi situasional. Misalnya tindakan kriminalitas, pemberontakan, pambiasaan diri dengan bahan-bahan narkotika, dan perbuatan asusila lainnya<br />Anomi itu pada umumnya menjadi sumber dari macam-macam deviasi. Kelompok sosial yang banyak mengembangkan penyimpangan tingkah laku, antara lain: orang-orang tua usia, anak-anak puber, wanita-wanita professional dan ibu-ibu rumah tangga yang neurotis. Semua pribadi ini mengalami banyak konflik batin, ketegangan, dan kecemasan, yang disebabkan oleh factor-faktor sosiokultural.dan sosial <br />Ketidak sinambungan budaya (diskontinuitas kultural) banyak menumbuhkan gejala deviasi. Diskontinuitas kultural itu di sebabkan oleh adanya bermacam-macam budaya dan sub-budaya yang berbeda saru sama lain,dan tidak saling mengait atau mendukung. Misalnya: kebudayaan-miskin dan kebudayaan-kaya.<br />3.)Deviasi sistematik <br /> Deviasi sistematik itu pada hakikatnya adalah satu subkultural atau satu sistem tingkah laku yang di sertai: organisasi sosial khusus, status formal, peranan-peranan, nilai-nilai, rasa kebanggaan, norma dan moral tertentu, yang semuanya berbeda dengan situasi umum. Segala pikiran dan perbuatan yang menyimpang dari norma umum, kemudian di rasionalisir atau di benarkan oleh semua anggota kelompok dengan pola yang menyimpang itu. <br />Sehingga penyimpangan tingkah lakunya/ deviasi-deviasi itu berubah menjadi deviasi yang terorganisasi atau deviasi sistematik. Pada umumnya kelompok-kelompok deviasi itu mempunyai peraturan-peraturan yang sangat ketat, sanksi dan hukum-hukum yang sangat berat yang di perlukan untuk bisa menegakkan konformitas dan kepatuhan anggota-anggotanya.<br /> Kelompok-kelompok patologis dan menyimpang secara sosial itu muncul dan bertambah banyak jumlahnya pada periode-periode transisional dengan perubahan-perubahan sosial yang cepat di sertai diskontinuitas dalam kebudayaan, dan di penuhi dengan macam-macam krisis serta konflik.<br /> Kelompok-kelompok deviasi itu pada umumnya memiliki pola organisasi yang unik, dengan rite-rite, kode-kode etik, norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan yang aneh-aneh, untuk menegakkan gengsi dan status sosialnya, organisasi=-organisasi sedemikian itu merupakan pemecahan dari organisasi induknya, yang kemudian menyimpang dari pola-pola aslinya, karena alasan-alasan “menolak kebekuan” atau “konservatisme”dalam organisasi dalam induknya. Pada intinya,pemimpin atau kelompok pemimpin baru itu tengah gigi bersaing memperebut kekuasaan dan kedudukan, untuk menggeser pemimpin-pemimpin lama atau lebih tua dari jabatan yang di kuasai oleh mereka.<br /> Proses kepecahan atau pembelaha semacam ini tidak hanya berlangsung pada organisasi-organisasi agama, ekonomi dan politik saja, akan tetapi juga berlangsung di segenap lapisan masyarakat. Terjadilah perpecahan dan penggolongan dalam bentuk fraksi-fraksi, kumpulan-kumpulan dan gerobolan-gerombolan.<br /> Berlangsunglah proses integrasi pada organisasi baru itu yang lebih pekat, melalui konflik-koflik dengan organisasi induk, kelompok-kelompok sosial dan organisasi eksternallainnya. Integrasi in dapat di pertinggi dengan menambahkan aktifitas “penutup diri”. Tidak mau berkemonikasi dengan organisasi luar, penyelenggaraan rite-rite, serta upacara agama penuh rahasia, dan penggunaan kata-kata atau bahasa sandi.<br /> Tingkah laku sosiopatik sistematik yang di anggap sebagai masalah bisa juga berkembang dan menyebar(di tanah air kita) melalui proses di fusi/ penyebaran kultural. Dengan kata lain, tingkah laku patologis dan organisasi sosiapatis yang sistematis, yang aslinya berasal dari luar (Negara-negara lain) itu di bawak ke Indonesia oleh para migrant, pedangang-pedangang, para entrepreneur, petualang-petualang, kader-kader dan petugas sandi khusus. Macam-macam bentuk permainan judi dan kriminalitas.<br /> Organisasi dari kelompok deviasi itu sangat bervariasi. Dari koloni/ kumpulan informal dengan ikatan yang longgar misalnya berupa gang-gang anak-anak nakal dari golongan berstatus “jetset” ( anak pejabat-pejabat dan orang-orang berduit) sampai pada kelompok-kelompok aksionis radikal-revolusioner, dengan struktur organisasi yang ketat rapi, di siplin tinggi, dan sanksi hukuman yang sangat berat.<br /> Ciri-ciri organisasi dan sifat kebudayaan dari kelompok penyimpang itu sangat bergantung pada: <br />(a) fungsi sentralnya, <br />(b) tujuan organisasinya.<br /> Selanjutnya, reaksi sosial terhadap perbuatan- perbuatan sosial patologis itu bergantung pada jelas tindaknya penampakan perbuatan-perbuatan mereka, dan besar kecil akibat buruk yang di timbulkan perbuatan tadi. Kejahatan yang sangat kejam tidak berperikemanusiaan, akan menimbulkan reaksi hebat dan spontan dari masyarakat, jika di banding dengan perbuatan melacur diri secara seksual. Namun hendaknya selalu kita ingat, bahwa status statistic kriminal dan statistik mengenai kaum radikal itu tidak atau kurang bisa di percaya.<br /> Alasannya ialah: sebagian besar dari tindak pidana itu tidak pernah di laporkan dan luput dari sanksi hukum. Banyak peristiwa abortus, kejahatan seks, pemalsuan uang, penggelapan, penyuapan, korupsi, pencopetan, perampasan, perjudian dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya ternyata tidak sampai ke tangan polisi, dan lolos dari sanksi-sanksi hukum(Dr. kartini kartono, patologi sosial jilid 1,Pt Raja Grafindo Persada, Jakarta, maret 1981).<br /> Deviasi atau penyimpangan di maksudkan sebagai tingkah laku yang menyipang dari kecenderungan umum atau cirri karakteristik rata-rata dari masyarakat kebanyakan.deviasi menunjuk pada norma sosial, bahwa orang yang deviasi jika melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma masyarakat.( Moeljono Notosoedirjo:10) <br /> Diferensiasi ialah tingkah laku yang berbeda dari tingkah laku umum. Misalnya kejahatan, yaitu semua tingkah laku yang menyimpang dari ciri-ciri karakteristik umum, serta bertentangan dengan hukum atau melawan peraturan yang illegal. ( Dr. S. Imam Syari:57 )<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Drs.S.Imam Syari. Patologi Sosial. Surabaya: Usaha Nasional<br />Moeljono Notosoedirjo. 2002.Kesehatan Mental Konsep dan Penerapan. Malang: Universitas<br />Muhammadiyah <br />Dr. kartini Kartono.1981. Patologi Sosial Jilid 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada sAbdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-18355423967314150842011-03-14T09:59:00.001-07:002011-03-14T09:59:55.230-07:00PROYEKSI Kesehatan Mental II– Ummu Hani, Nurhayatun Nufus, IlhamdiA. Pendahuluan<br /><br />Proyeksi adalah salah satu dari bentuk mekanisme pertahankan diri. Istilah mekanisme pertahanan umum digunakan dalam usaha penyisihan (warding off) dan ditujukan terhadap dorongan naluri. Dorongan naluri disisihkan karena sesungguhnya setiap penyisihan merupakan defensi terhadap afek. Pertahanan langsung terhadap afek, merupakan defense yang lebih archaik (primitif), kurang sistematik, namun lebih memainkan peranan. Namun pertahanan akan tertuju terhadap dorongan naluri, dan umumnya lebih penting dalam hal terjadinya patogenesa neurosa, dan pertahanan tersebut bersifat lebih tersusun dan terorganisasi.<br />Mekanisme pertahanan diri yang dilakukan oleh seorang atlet atau manusia bertujuan untuk :<br />1. memperlunak atau mengurangi risiko kegagalan;<br />2. mengurangi kecemasan (anxiety);<br />3. mengurangi perasaan yang menyakitkan; dan<br />4. mempertahankan perasaan layak (aman) dan harga diri.<br /> <br />Selain memiliki tujuan, mekanisme pertahanan diri mempunyai beberapa sifat atau karakteristik, antara lain :<br />1. kurang realistik,<br />2. tidak berorientasi kepada tugas,<br />3. mengandung penipuan diri, dan<br />4. sebagian besar bekerja secara tidak disadari sehingga sukar untuk dinilai dan dievaluasi secara sadar. <br /><br /> Proyeksi juga merupakan salah satu dari bentuk frustasi yang negatif. Frustasi ialah suatu keadaan akibat tidak terpenuhinya satu kebutuhan atau tidak tercapainya tujuan yang diharapkan . Frustasi ini bisa menimbulkan tingkah laku, yaitu: 1) menghancurkan seseorang, merusak atau mengakibatkan disorganisasi dari struktur kepribadian ( mengalami mental disorder yang parah). <br /><br />2) Di sisi lain dapat menjadi titik tolak bagi suatu usaha baru, untuk menciptakan bentuk adaptasi dan mekanisme pemuasan kebutuhan yang baru pula, sehingga terjadilah perkembangan hidup baru. <br /><br /> Dengan demikian frustasi dapat menimbulkan sesuatu yang positif ataupun sesuatu yang destruksif dan bersifat negatif. Dan bentuk frustasi yang negative sangat merugikan. Setiap cara penyelesaian frustasi itu setidaknya berusaha mengurangi ketegangan dan bisa memberikan kepuasan semua. Akan tetapi belum dapat memecahkan masalah yang ada sebab bisa jadi penyelesaian tersebut ditunda atau dipecahkan masalah melainkan membawa akibat semakin menambah ruwet atau selitnya masalah. Bentuk-bentuk reaksi frustasi negative dikenal pula dengan istilah Escape Mechanism atau mekanisme penghindaran/pelarian diri yang atara lainya adalah proyeksi. <br /><br /><br />B. Proyeksi<br /><br /> Menurut Koeswara (1991:47), proyeksi ialah suatu mekanisme pertahanan ego yang mengalihkan dorongan, sikap, atau tingkah laku yang menimbulkan kecemasan kepada orang lain. Adapun menurut Berry (2001:80), proyeksi ialah suatu mekanisme yang menimpakan kesalahan dan dorongan tabu kepada orang lain.<br /><br /> Lebih lanjut lagi, menurut Poduska (2000:121) proyeksi ialah suatu mekanisme pertahanan dengan mana anda mempertahankan diri dari pikiran-pikiran dan keinginan-keinginan yang tak dapat diterima, dengan menyatakan hal tersebut kepada orang lain. Mekanisme pertahanan ego proyeksi ini selalumengalamatkan sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diterima oleh ego kepada orang lain (Corey, 2003:18). Mekanisme pertahanan ego ini meliputi kecenderungan untuk melihat hasrat anda yang tidak bisa diterima oleh orang lain. <br /><br /><br /> Proyeksi sering kali melayani tujuan rangkap. Ia mereduksikan kecemasan dengan cara menggantikan suatu bahaya besar dengan bahaya yang lebih ringan, dan memungkinkan orang yang melakukan proyeksi mengungkapkan impuls-impulsnya dengan berkedok mempertahankan diri dari musuh-musuhnya (Hall dan Gardner, 1993:88). Mekanisme pertahanan ego ini merupakan kebalikan dari melawan diri sendiri (Boeree, 2005:49). Individu yang secara tidak sadar melakukan mekanisme pertahanan ego seperti ini, biasanya berbicara sebaliknya atau pengkambinghitaman kepada orang atau kelompok lain. <br /><br />Gangguan jiwa (neurose) dan penyakit jiwa (psyshose) adalah penyakit jiwa akibat dari tidak mampunya seseorang menghadapi kesukaran-kesukarannya dengan wajar, atau tidak sanggup menyesuaikan diri denga situasi yang dihadapinya.(1) Apabila seseorang seseorang tidak mampu mengatasi kesukaran-kesukaran hidupnya dengan baik dan penuh perkiraan, maka hal tersebut akan mendorong kepada bermacam-macam penyesuaian diri yang terjadi akibat tekanan-tekanan.<br />Tekanan akan ditangani dengan berbagai pembelaan, meskipun dengan “usaha pembelaan” yang menyimpang (pengkaburan). Semua usaha-usaha pembelaan yang berdasarkan dengan penyimpangan kenyataan yang sebenarnya, demi untuk mencapai tujuan-tujuan, sebagai berikut: (2) <br />1. Agar individu dapat menjauhi rasa cemas dan rasa dosa yang mesyertainya.<br />2. Agar individu memelihara dirinya, demi harga dirinya.<br />Cara yang terbaik untuk menghilangkan ketegangan batin ialah dengan jalan menghilangkan sebab-sebabnya. Tetapi tidak semua orang sanggup mengatasi dengan cara tersebut, dan mencari jalan lain yang kurang sehat yaitu berupa usaha-usaha yang tidak disadari.<br /><br />Proyeksi merupakan upaya untuk melemparkan atau memproyeksikan kelemahan atau perbuatan yang negative, pikiran-pikiran serta harapan buruk kepada orang lain. Orang seperti ini tidak mau mengakui kenegatifan dan kelemahan diri sendiri dan berusaha memproyeksikannya kepada orang lain. Contohnya, seseorang sangat iri hati terhadap kekayaan dan sukses tetangganya. Tapi pada setiap orang ia selalu berkata, bahwa tetangganya itulah yang buruk hati, selalu cemburu dan iri hati terhadap dirinya. <br /><br /> Tiap orang mempunyai sikap tercela atau sifat yang tidak diinginkan, atau seseorang tidak mau mengakui kelakuannya. Dan ia harus menahan diri jangan sampai ia mengakui kekurangan-kekurangan itu. Hal ini tidak akan terlaksana kecuali dengan pembelaan, cara yan terkenal adalah proyeksi.<br /><br />Beberapa pengertian mengenai proyeksi:<br /><br />1. Proyeksi adalah seseuatu yang terasa dalam dirinya kepada orang lain terutama tekanan, pikiran atau dorongan-dorongan yang tidak masuk akal sehingga dapat diterima dan kelihatannya masuk akal.<br /> <br />2. Proyeksi adalah sifat-sifat yang tidak masuk akal kepada orang lain setelah ia diperbesar dan diujudkan. Dengan demikian tindakan tampak rasional dan masuk akal.<br /><br />3. Proyeksi adalah usaha melemparkan pikiran atau harapan yang negatif, atau juga kelemahan atau sikap diri sendiri yang keliru kepada orang lain.<br /><br />4. Menurut teori Freud, dalam mekanisme pertahanan ego, proyeksi adalah mengalamatkan sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diterima oleh ego kepada orang lain.<br /><br /> Orang yang tidak menerima kelemahannya, tetapi mempersalahkan orang lain. atau seperti yang dikatakan Freud: “Melihat perasaan-perasaan atau kecenderungan-kecenderungan dari orang lain yang sesungguhnya terdapat dalam ketaksadaran dari orang itu sendiri”. Kadang-kadang perasaan berdosa seseorang dapat dihilangkan dengan melekatkan dosa itu kepada orang lain. kadang-kadang perasaan berdosa seseorang itu menjadi ringan jika ia sadar bahwa orang lain juga berdosa. Cara bela diri seperti ini banyak terdapat pada orang-orang yang suka menuduh orang lain berbuat sesuatu yang tida diterima oleh masyarakat. Kadang-kadang ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apa yang dituduhkan kepada orang lain sebenarnya merupakan sifat-sifat orang yang menuduh itu sendiri.<br /><br /> Seseorang melihat diri orang lain hal-hal yang tidak disukai dan ia tidak bisa menerima adanya hal-hal itu pada dirinya sendiri. Jadi, dengan proyeksi, seseorang akan mengutuk orang lain karena “kejahatannya” dan menyangkal memiliki dorongan jahat seperti itu. Untuk menghindari kesakitan karena mengakui bahwa di dalam dirinya terdapat dorongan yang dinggapnya jahat, ia memisahkan diri dari kenyataan ini.<br /><br /> Dalam berbagai segi proyeksi ini dianggap salah satu bentuk ganti tempat. Ia adalah satu proses di mana seseorang melekatkan sifat-sifatnya yang tidak diterima oleh masyarakat kepada orang lain. Kadang-kadang perasaan berdosa seseorang dapat dihilangkan dengan melekatkan dosa itu kepada orang lain. Kadang-kadang perasaan berdosa seseorang itu menjadi ringan jika ia sadar bahwa orang-orang lain juga berdosa. <br /><br /> Cara bela diri tidak disadari ini terdapat di kalangan orang-orang yang banyak menuduh orang-orang lain berbuat sesuatu yang tidak diterima oleh masyarakat. Kadang-kadang ada juga bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apa yang dituduhkan kepada orang-orang lain sebenarnya merupakan sifat-sifat orang yang menuduh itu sendiri. <br /><br /> Proyeksi ini berkaitan dengan cara bela diri yang lain yaitu pengingkaran. Hubungan itu diterapkan oleh Frued sebagai berikut ‘seseorang yang bernama A tidak sanggup menanggung kerisauan yang disebabkan oleh bencinya terhadap ornag lain, sehingga A menggunakan proses penggantian yang tidak sadar dan suasana berubah menjadi ‘B membenci kepada A’, pada hal dulunya adalah ‘A benci kepada B’. Jadi mengetahui bahwa ia dibenci oleh orang lain kurang menyakitkan bagi si Aku daripada mengetahui sifat-sifat yang tidak dapat diterima ada pada orang lain adalah kurang menyakitkan disbanding dengan mengetahui bahwa sifat-sifat ini adalah sifat-sifatnya sendiri. <br /><br /> Kadang-kadang orang normal menggunakan cara bela diri ini. Ia tidaklah berbeda dengan cara bela diri sebelumnya, tetapi kalau berlebihan menggunakannya seperti berlebihan menggunakan cara-cara yang lain, bayangannya besar. Sebab penggunaan cara ini menghalang seseorang mengenal dirinya, dan berlebihan memperolok-olokkan dan emnuduh orang lain yang akan merosakkan hubungan social seseorang.<br /><br /> Proyeksi ini dianggap salah satu proses dasar yang memainkan peranan penting dalam kegoncangan-kegoncangan akal. Kadang-kadang percakapan – percakapan tak masuk akal, terutama percakapan –percakapan agressif adalah berdasarkan pada proses ini, terutama dalam kasus halusinasi. Sebab si pasien dalam banyak kasus memproyeksikan secara intelektual sifat-sifat yang tidak dapat diterima kepada orang-orang lain. <br /><br />C. Cara Melakukan Proyeksi<br /><br />Proyeksi dilakukan dengan tiga cara: <br /><br />1. Menyalahkan sebab yang terjadi kebetulan, tidak relevan, dan khayalan,<br />2. Melihat kekurangan-kekurangan kepribadian yang dimiliki orang-orang lain,<br />3. Menyalahkan orang-orang lain atas kegagalan diri sendiri.<br /><br /> Cara pertama melakukan proyeksi biasanya tidak merugikan. Contohnya, jika anak-anak tersandung kursi, dan kemudian menyalahkan kursi tersebut, atau ada roh-roh yang mengganggu. Cara yang kedua mungkin juga tidak merugikan, tetapi melebihi dari cara pertama karena mungkin merupakan langkah menuju kekalutan tingkah laku. Apabila orang melakukan proyeksi dengan cara ini dia berusaha menghidari diri dari perasaan bersalahnya dengan menyakinkan dirinya bahwa teman-temannya suka bertingkah laku yang disukai atau diinginkannya sendiri. Jika dia suka melawan maka dia juga melihat sifat suka melawan itu pada orang lain.<br /><br />Cara yang ketiga adalah menyalahkan orang-orang lain atas kegagalan diri sendiri, dan hal itu juga biasa dilakukan oleh orang lain. apabila dasarnya ada dalam kenyataan dan tidak menggunakannya secara berlebihan, maka proyeksi ini dapat membantu seseorang memelihara kepercayaan dan harga dirinya. Namun proyeksi dapat menyesatkan jika tidak ada dasar dalam kenyataan karena hanya percaya bahwa orang lain bersalah (sampai-sampai mengira bahwa mereka itu berkomplot). Misalnya, seseorang mahasiswa mengeluh bahwa orang-orang tertentu diantara profesornya mempersulitkannya. Ternyata mahasiswa tersebut berambisi menjadi ahli konseling yang hebat. Dia yakin bahwa para anggota staf dari jurusan konseling merasa iri akan prestasinya dan berusaha mencegah untuk melakukan penelitian yang menarik minatnya sebab mereka takut bahwa dia akan mengungguli mereka. Disini mahasiswa tadi memproyeksikan ketidakberhasilannya hampir sampai pada psikosis, adanya kepercayaan yang harus dipertahankan tanpa menghiraukan pengorbanan yang harus diberikan.<br /><br />Proyeksi dianggap salah satu proses dasar yang memainkan peranan penting dalam kegoncangan-kegoncangan akal. Kadang-kadang percakapan-percakapan tak masuk akal, terutama percakapan-percakapan agresiff adalah dasar pada proses ini, terutama dalam kasus halusinasi.<br /><br />D. Penutup<br />Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa proyeksi itu adalah suatu tindakan melemparkan pikiran atau harapan yang negatif kepada orang lain, atau dorongan yang tidak masuk akal sehingga dibuat masuk akal atau kelihatan masuk akal. Proyeksi dilakukan dengan tiga cara, yaitu: <br />- Menyalahkan sebab yang terjadi kebetulan, tidak relevan, dan khayalan,<br />- Melihat kekurangan-kekurangan kepribadian yang dimiliki orang-orang lain,<br />- Menyalahkan orang-orang lain atas kegagalan diri sendiri.<br />Proyeksi adalah menimpakan sesuatu yang terasa dalam dirinya kepada orang lain, terutama tindakan, fikiran atau dorongan-dorongan yang tak masuk akal sehingga dapat diterima dan kelihatannya masuk akal. Mislanya seseorang yang menghadapi kegagalan dalam sekolah, sector, usaha dan sebagainya, tidak mengetahui kelemahan dan kesalahannya dan mencari pada orang lain, atau sesuatu lain atau sesuatu di luar dirinya untuk dipersalahkan supaya dapat ia menghindari rasa gelisah dan rasa rendah.Abdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-1718287823529758192011-03-14T09:50:00.000-07:002011-03-14T09:52:07.300-07:00MENTAL DISORDER ( PENYAKIT/KEKALUTAN/KEKACAUAN MENTAL )A) Definisi Mental Disorder <br /><br />Penyakit mental merupakan satu istilah umum bagi sebarang reaksi psikotis yang serius , baik yang bersifat psikogenis maupun organis sifatnya. Pada waktu sekarang orang lebih suka menggunakan istilah gannguan Mental ? mental disorder untuk penyakit mental , disebabkan oleh implikasi somatic atau organisnya dalam penggunaan istilah “penyakit”.<br />Disorder mental adalah bentuk penyakit , gangguan , dan kekacauan fungsimental atau kesehatan mental , disebabkan oleh kegagaln mereaksikan mekanisme adaptasi dari fungsi. Fungsi kejiwaan /mental terhadap stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan : sehingga muncul gangguan fungsional atau gangguan struktual dari satu bagian , satu orang, atau system kejiwaan / mental. <br /><br /><br />B) Mental Disorder Menurut Ahli<br /><br />1. Abdul Mujib<br />Kekalutan mental atau mental disorder juga disebut suatu bentuk gangguan bentuk kekacauan fungsi mental (kesehatan mental) disebabkan oleh kegagalan mereaksi ketegangan-ketegangan sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur pada satu bagian, satu organ atau sistem kejiwaan <br /><br />2. J.P. Chaplin <br />Mental disorder ( gangguan , kekalutan , penyakit mental) itu adalah sebarang bentuk ketidak mampuan menyesuaikan diri yang serius sifatnya terhadap tuntutan dan kondisi lingkungan yang mengakibatkan ketidak mampuan tertentu . Sumber gangguan / kekacauannya bias bersifat psikogenis atau organis, mencakup kasus-kasus reaksi psikopatisdan reaksi-reaksi neurotis yang gawat, <br /><br /><br />3. Dra. Kartini Kartono dalam bukunya Psikologi Abnormal & Pathologi Seks,<br />Penderitaan batin dalam ilmu Psikologi dikenal sebagai kekalutan mental (mental disorder). Menurut dirumuskan bahwa yang disebut kekalutan mental adalah sebagai berikut:<br /><br />1. Bentuk gangguan dan kekacauan fungsi mental, atau kesehatan mental yang disebabkan oleh gangguan kegagalan bereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan terhadap stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan, sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur dari suatu bagian, satu organ, atau sistem kejiwaan/mental.<br />2. Merupakan totalitas kesatuan ekspresi proses kejiwaan/mental yang patologis terhadap stimuli sosial, dikombinasikan dengan faktor-faktor kausatif sekunder lainnya (Patologi = Ilmu penyakit).<br /><br />Secara sederhana, kekalutan mental dapat dirumuskan sebagai gangguan kejiwaan akibat ketidakmampuan seseorang menghadapi persolan yang harus diatasi, sehingga yang bersangkutan bertingahlaku secara kurang wajar. Misalnya, seseorang yang tidak mampu menjawab sebuah pertanyaan ujian, menggigit-gigit pensil. <br /><br />C) Gejala-gejala permulaan pada orang yang mengalami kekalutan mental adalah sebagai berikut :<br /><br />1. Jasmaninya sering merasakan pusing-pusing, sesak napas, demam dan nyeri pada lambung.<br />2. Jiwanya sering menunjukkan rasa cemas, ketakutan, patah hati, apatis, cemburu, dan mudah marah.<br /><br /><br /><br />D) Sebab-sebab timbulnya kekalutan mental dapat disebutkan sebagai berikut <br /><br /><br />1. Kepribadian yang lemah akibat kondisi jasmani atau mental yang kurang sempurna. Hal-hal tersebut sering menyebabkan yang bersangkutan merasa rendah diri, yang berangsur akan menyudutkan kedudukannya dan menghancurkan mentalnya. Hal ini banyak terjadi pada orang-orang melankolis.<br />2. Terjadinya konflik sosial-budaya akibat adanya norma yang berbeda antara yang bersangkutan dan yang ada dalam masyarakat, sehingga ia tidak dapat menyesuaikan diri lagi, misalnya orang dari pedesaaan yang telah mapan sulit menerima keadaan baru yang jauh berbeda dari masa lalunya yang jaya.<br />3. Cara pematangan bathin yang salah dengan memberikan reaksi berlebihan terhadap kehidupan sosial; overacting sebagai overkompensasi dan tampak emosional. Sebaliknya ada yang underacting sebagai rasa rendah diri yang lari ke alam fantasi.<br />4. Predisposisi struktur biologisl jasmaniah dan mental atau kepribadian yang lemah<br />5. Konflik-konflik sosial dan konflik-konflik cultural yang mempengaruhi diri manusia.<br />6. Pemasakan batin (internalisasi) dari pengalaman yang keliru yaitu pencernaan pengalaman oleh diri individu secara keliru.<br /><br /><br /><br /><br />E ) Proses-proses kekalutan mental yang dialami oleh sesorang dapat mendorongnya ke arah berikut ini :<br /><br />1. Positif, bila trauma (luka jiwa) yang dialami seseorang akan dijawab secara baik sebagai usaha agar tetap survive dalam hidup. Misalnya, melakukan shalat Tahajud bagi umat Islam waktu malam hari untuk memperoleh ketenangan dan mencari jalan keluar untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi, atau melakuka kegiatan yang positif setelah kejatuhan dalam kehidupan (Dalam pepatah dikatakan; Hendaknya jatuh tupai janganlah sampai jatuh tapai!).<br /><br />2. Negatif, bila trauma yang dialami tidak dapat dihilangkan, sehingga yang bersangkutan mengalami frustrasi, yaitu tekanan batin akibat tidak tercapainya apa yang diinginkan. Bentuk frustrasi yang dialami orang dewasa antara lain sebagai berikut :<br /><br />a. Agresi, serangan berupa kemarahan yang meluap akibat emosi yang tidak terkendalikan. Secara fisik berakibat mudah terjadinya hipertensi (tekanan darah tinggi), atau melakukan tindakan sadis yang dapat membahayakan orang sekitarnya.<br /><br />b. Regresi, kembali pada pola reaksi yang primitif atau kekanak-kanakan (infantil), misalnya dengan menjerit-jerit, menangis sampai meraung-raung dan merusak barang-barang.<br /><br />c. Fiksasi, peletakan atau pembatasan pada satu pola yang sama (tetap), misalnya dengan membisu, memukul-mukul dada sendiri dan membentur-benturkan kepala pada benda keras.<br /><br />d. Proyeksi, usaha mendapatkan, melemparkan atau memproyeksikan sikap-sikap sendiri yang negatif pada orang lain. Kata pepatah : awak yang tidak pandai menari, dikatakan lantai yang terjungkat.<br /><br />e. Indentifikasi, menyamakan diri dengan seseorang yang sukses dalam imajinasi, misalnya dalam kecantikan, yang bersangkutan menyamakan dirinya dengan bintang film, atau dalam soal harta kekayaan dengan pengusaha kaya yang sukses.<br /><br />f. Narsisme, self love yang berlebihan sehingga yang bersangkutan merasa dirinya lebih superior dari pada orang lain.<br /><br />7. Autisme, gejala menutup diri secara total dari dunia riil, tidak ingin berkomunikasi dengan orang luar, dan merasa tidak puas dengan fantasinya sendiri yang dapat menjurus pada sifat yang sinting.<br />Kecemasan atau ketakutan yang mengganggu fungsi normal boleh diklasifikasikan sebagai gangguan kecemasan. [7] Umumnya media diakui termasuk fobia khusus, gangguan kecemasan umum, gangguan kecemasan sosial, gangguan panik, agoraphobia, gangguan obsesif-kompulsif dan gangguan stress pasca-trauma.Lain afektif (emosi / mood) proses juga boleh menjadi teratur. Gangguan mood yang melibatkan kesedihan yang luar biasa mendedah dan berterusan, melankoli atau putus asa dikenali sebagai depresi Major atau depresi klinikal (ringan tapi masih depresi yang berpanjangan boleh didiagnosis sebagai dysthymia). <br /><br />Gangguan bipolar (juga dikenali sebagai manik depresi) melibatkan abnormal "tinggi " atau ditekan negara suasana hati, yang dikenali sebagai mania atau hypomania, bergantian dengan suasana hati yang biasa atau tertekan. Apakah fenomena mood unipolar dan bipolar merupakan kategori yang berbeza dari gangguan, atau apakah mereka biasanya mencampur dan bergabung bersama sepanjang spektrum dimensi atau suasana hati, berada di bawah perdebatan dalam literatur ilmiah. <br /><br />Pola kepercayaan, gunakan bahasa dan persepsi boleh menjadi teratur (misalnya delusi, gangguan berfikir, halusinasi). gangguan psikotik dalam domain ini termasuk skizofrenia, dan gangguan delusi. Gangguan schizoafektif adalah kategori digunakan untuk individu memaparkan aspek baik skizofrenia dan gangguan afektif. Schizotypy adalah kategori digunakan untuk individu memaparkan beberapa ciri-ciri yang berkaitan dengan skizofrenia tetapi tanpa pertemuan cut-off kriteria.<br /><br />Kepribadian-ciri-ciri mendasar dari seseorang yang pengaruhnya atau fikiran dan perilaku di situasi dan masa-boleh dianggap gangguan jika dinilai abnormal kaku dan maladaptif.skim kategoris senarai sejumlah gangguan keperibadian yang berbeza tersebut, termasuk yang kadang-kadang digolongkan sebagai eksentrik (misalnya gangguan keperibadian paranoid, skizofrenia dan schizotypal), kepada mereka kadang-kadang digolongkan sebagai (gangguan kepribadian antisosial, borderline, munafik atau narsistik) dramatik atau emosional atau yang terlihat rasa takut yang berkaitan (avoidant, bergantung, atau obsesif-kompulsif gangguan keperibadian).<br /><br /> Jika ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan cukup kehidupan bermula dalam masa tiga bulan dari peristiwa tertentu atau situasi, dan berakhir dalam masa enam bulan selepas stressor berhenti atau dihilangkan, mungkin bukan digolongkan sebagai gangguan penyesuaian.<br /><br />Ada sebuah konsensus muncul bahawa "gangguan keperibadian" apa yang disebut, seperti ciri-ciri keperibadian pada umumnya, sebenarnya menggabungkan campuran perilaku disfungsional akut yang menyelesaikan dalam tempoh yang singkat, dan maladaptif sifat temperamental yang lebih stabil [9] Selain itu., Ada juga skim non-kategoris bahawa tahap semua individu melalui profil dimensi keperibadian yang berbeza daripada menggunakan cut-off dari variasi keperibadian normal, misalnya melalui skim berdasarkan ciri keperibadian<br /><br />Seksual dan gangguan identiti jantina boleh didiagnosis, termasuk gangguan dispareunia, identiti jantina dan homoseksualiti ego-dystonic. Berbagai jenis paraphilia dianggap gangguan mental (ghairah seksual ke objek, situasi, atau individu yang dianggap biasa atau berbahaya bagi orang atau orang lain).<br /><br />F ) Ciri –Ciri Mental Yang Sehat<br /> 1. Ada koodinasi dari segenap tubuh,energy, potensi dan aktivitasnya.<br /> 2. Memiliki integrasi dan regulasi terhadap struktur kepribadian.<br /> 3.Efisien dalam setiap tindakannya.<br /> 4.Mudah mengadakan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, mampu berpartisipasi aktif dan lancar mengatasi semua masalah yang timbul pada perubahan – perubahan sosial.<br /> <br />G ) MENTAL DISORDER SERING TERJADI PADA :<br />1. Orang yang hidup dikota daripada orang yang hidup didesa<br />2. Pada orang dewasa dan usia tua dengan penyebab yang paling dominan adalah faktor kulutural dan faktor sosial <br />3. Secara spesifik, simtom psikotik banyak terjadi pada masa¬masa kritis perkembangan masa remaja, usia lanjut dan pada orang tua.<br />4. Kalangan dinas militer <br />5. Orang-orang dengan status ekonomi rendah<br />6. Gelandangan dari pedesaan karena tidak mampu menyesuaikan diri terhadap tuntutan sosial yang baru. <br />7. Wanita lebih banyak mengalami mental disorder daripada pria<br />8. Orang yang datang dari latar belakang keluarga yang berantakan (broken home) <br />9. Pada orang-orang yang tidak memiliki keyakinan agama (40% dari jumlah penderita)<br />10. Juga pada orang-orang yang sangat ekstrim dan fanatic serta ortodoks dalam menjalankan agamanya.<br /><br />H ) Pengaruh Sosio Kultural Terhadap Timbulnya Mental Disorder:<br />1. Konflik dengan standar sosial dan norma etika. <br />2. Konflik Budaya <br />3. Masa transisi (kekosongan pemerintahan) <br />4. Menanjaknya aspirasi material <br />5. Broken home <br />6. Overproteksi dari orang tua <br />7. Rejected children <br />8. Cacat jasmani <br />9. Lingkungan sekolah yang tidak menguntungkan <br />10. Pengaruh buruk dari orang tua <br /><br /><br /><br /><br /><br /> I ) Ekspresi Mental Disorder<br /> 1) Banyak Konflik Bathin<br />a) Perasaan tercabik-cabik antara emosi¬- emosi yang saling bertolak belakang. <br />b) Hilangnya rasa harga diri dan kepercayaan diri <br />c) Merasa tidak aman dan terancam, dikejar oleh perasaan atau fikiran yang tidak<br /> jelas, dan kecemasan yang berlebihan. <br /> d) Kemudian menimbulkan agresifitas yang bila ditujukan keluar akan menyebabkan mudah untuk untuk menyerang orang lain dan bila ditujukan kedalam dapat menimbulkan keinginan untuk membunuh diri sendiri.<br />2) Terputusnya Komunikasi Sosial<br /> a) Munculnya diorientasi sosial, delusi, curiga berlebih sehingga muncul perasan seperti di kejar oleh sesuatu, menjadi sangat agresif sehingga bisa melakukan penyerangan terhadap orang lain dan bunuh diri.<br />3) Adanya Gangguan Intelektual dan Gangguan Emosional<br /> b) Munculnya ilusi optikal, halusinasi berat dan delusi. Gangguan affek, efek, emosi yang tidak tepat, berusaha melarikan diri dari kenyataan, mengalami kepribadian yang terpecah.<br />J ) Faktor Timbulnya Mental Disorder :<br />1) Pesatnya pembangunan yang cenderung memunculkan banyak masalah sosial dan gangguan mental <br /><br />2) Individu yang tidak mampu untuk melakukan penyesuaian diri dengan perubahan- perubahan sosial yang sangat cepat dan proses modernisasi semakin berat menjadikan individu menjadi tidak nyaman sehingga timbul ketegangan dan tekanan bathin.<br />3) Persaingan hidup yang berat menjadikan banyak terjadi tindakan yang menyimpang seperti kriminalitas dan hal-hal yang terhubung dengannya, sehingga menimbulkan ketakutan dan ketegangan batin pada penduduk dan menjadi salah satu penyebab utama timbulnya macam-macam penyakit mental.<br />4) Kehidupan di perkotaan yang modern lebih menonjolkan kepentingan diri sendiri dan individualism sehingga kontak sosial menjadi longgar dan tidak peduli akan kondisi orang lain.<br />5) Pengaruh lingkungan dan media massa yang cenderung untuk menampilkan standar hidup yang tinggi dengan semua kemewahan material menjadikan timbulnya kekalutan mental apabila <br /><br />K ) Teori-Teori Mental Disorder<br />1) Teori Demonologis : <br />a) Menganggap bahwa kekalutan mental terjadi karena adanya unsur-unsur ghaib/setan dan roh jahat.<br />b) Adanya kekalutan yang dianggap jahat, yaitu yang bisa mencelakakan orang lain dan ada kekalutan yang dianggap ‘suci’.<br />c)Tingkahlaku abnormal yang dianggap sebagai perbuatan setan harus disembuhkan dengan pengusiran setan pula.<br />d) Penderita kekalutan mental diperlakukan secara tidak manusiawi.<br /><br />2) Teori Naturalisasi: <br />a) Menyatakan bahwa kekalutan mental selalu berhubungan dengan fungsi fisik yang abnormal dan bukan karena penyebab spiritual atau gaib.<br />b) Menganjurkan untuk memperlakukan penderita gangguan kekalutan secara lebih manusiawi.<br />3 ) Teori Psikologis:<br />a) Menyatakan bahwa mental disorder timbul karena kebiasaan belajar yang patologis dan keliru.<br />4) Teori Intrapsikis:<br />a) Menyatakan bahwa gangguan mental sebenarnya terletak pada bentuk kesalahan karakter yang serius atau sebagai konflik yang menyusup tajam dan dalam pada kehidupan kejiwaan. Tingkahlaku yang menyimpang selalu berkaitan dengan gangguan – gangguan internal berupa kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan dan prosesnya menggangu dalam kepribadia seseorang.<br />5) Teori Behavioristis:<br />a) Menyatakan bahwa prinsip-prinsip belajar pada tingkahlaku abnormal merupakan sumber penyebab dari tingkahlaku abnormal.<br />6) Teori Psikoanalisa :<br />b) Menyatakan bahwa sumber segala gangguan mental terletak pada individu itu sendiri karena adanya konflik batin antara dorongan-dorongan infantile melawan pertimbangan yang matang dan rasional. Gangguan mental sesungguhnya merupakan bentuk pemukaan dari gangguan intrapsikis yang serius. Faktor-faktor budaya dan interpersonal adalah sumber penyebab tingkahlaku abnormal dan mental disorder.<br /><br /><br />7) Teori Behaviorisme <br />a) Menyatakan bahwa macam-macam sindrom mental disorder timbul melalui proses belajar dengan adanya penguatan , pemunahan dan generalisasi stimulus. Semua tingkahlaku abnormal timbul dari adanya pengkongsian dan lebih dititik beratkan pada simtomnya karena simtom itu merupakan penyakit tersendiri.<br /><br />L ) Teori Sebab Meningkatnya Jumlah Penderita Disorder<br />1. Teori Kompleksitas Sosial, akibat dari pesatnya proses urbanisasi dan industrialisasi <br />2. Teori Konflik Kultural, karena jaman modern identik high tension culture yang penuh ketegangan, persaingan dan konflik terbuka maupun tersembunyi. Konflik ini mempersempit pilihan orang untuk mengembangkan aspirasi dan ambisinya. Frustasi yang timbul karena kegagalan mencapai tujuan atau obyektif tertentu memudahkan berkembangnya mental disorder. <br />3. Teori Konflik Kultural, karena jaman modern identik high tension culture yang penuh ketegangan, persaingan dan konflik terbuka maupun tersembunyi. Konflik ini mempersempit pilihan orang untuk mengembangkan aspirasi dan ambisinya. Frustasi yang timbul karena kegagalan mencapai tujuan atau obyektif tertentu memudahkan berkembangnya mental disorder. <br />M ) Kaitan Masalah Kebutuhan Manusia Dan Mental Disorder<br />Manusia berkeinginan untuk mempertahankan eksistensi hidupnya sehingga timbul dorongan , usaha dan dinamisme untuk memenuhi kebutuhannya.Bila proses ini menemui halangan atau terjadi frustasi maka akan timbul ketegangan dan konflik batin yang pada akhirnya akan memicu timbulnya kekalutan mental.<br /><br />N ) Kebutuhan Dapat Dibahagi 3 Yaitu:<br />1. Kebutuhan fisik biologis ,organis atau kebutuhan vital<br />2. Kebutuhan sosial yang bersifat kemanusiaan atau disebut juga sosio- budaya<br />3. Kebutuhan metafisik , religius atau transcendental<br />O ) Aspek – Aspek Khusus Dari Dinamika Manusia<br />1. Otonomi Fungsional : Terjadi bila ada satu trauma atau luka jiwa berupa shock, penderitaan, jasmani – rohani yang hebat atau pengalaman hidup yang luar biasa sehingga mampu mengakibatkan luka jiwa yang sangat dalam dan mengakibatkan perubahan yang radikal terhadap hidup seseorang. <br />2. Frustasi : Suatu keadaan dimana satu kebutuhan tidak dapat terpenuhi dan tujuan tidak dapat tercapai karena adanya suatu halangan. Frustasi dapat menimbulkan dua bentuk respon yaitu :<br />a) Respon Negative : ( agresi, regresi, fiksasi, pendasakan, rasionalisasi, identifikasi, autisme)<br />Respon Positive : ( mobilasi dan penambahan aktivitas ,refleksi diri, penyerahan diri kepada Tuhan ,membuat dinamis ir – riil satu kebutuhan )<br />P ) Bentuk – Bentuk Mental Disorder<br />a) Psikopat (Pribadi yang sosiopatik, anti sosial atau dissosial)<br />b) Psikoneurosa<br />1)Hysteria<br />2)Bentuk dissosiasi kepribadian<br />a) Fugue<br />b) Somnabulisme<br />c) Multiple personality<br />3)Psikastenia yang sering dibarengi symptom-simptom:<br /> a) Fobia <br /> b) Obsesi<br /> c) Kompulsi<br />4) Ticks atau gangguan gerak facial<br />5) Hipokondria <br />6) Neuroasthenia<br />7) Anxiety neuorosis<br />8) Psikosomatisme <br /> a) Hypertension dan effort syndrome<br /> b) Pepticulcer<br />Q ) Cara Mencegah Mental Disorder :<br /> 1) Selalu memelihara kebersihan hati, pikiran dan jiwa<br /> 2) Bertingkahlaku yang sesuai dengan norma susila agar tidak banyak mengalami konflik bathin yang serius dan tidak banyak mengalami konflik dengan lingkungan.<br /> 3) Adanya disiplin diri<br /> 4) Berusaha untuk berfikir dan bertindak dengan wajar, tanpa perlu menggunakan mekanisme pertahan diri yang negatif <br />5) Berani untuk mengahdapi kesulitan, memecahkannya dengan solusi yang konkrit dan tidak melarikan diri. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Daftar Pustaka<br /><br /><br />1. Abdul Mujib, Kepribadian Dalam Psikologi Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada<br />2. Dra. Kartini Kartono, Psikologi Abnormal & Pathologi Seks,Mandar Maju , Bandung,<br />3. Dra. Kartini Kartono,Hygiene Mental, Mandar Maju , Bandung,<br />4. Dra. Kartini Kartono,Patologi Sosial, Raja Grafindo Persada,Jakarta<br />5. http://anthoine.multiply.com/journal/item/120/KEKALUTAN_MENTAL<br />6. N. Daldjoeni, M. Suprihadi Sastrosupono, Ilmu Budaya Dasar,Universitas Kristen Satya Wacana<br /><br />By: ZULFADHLI,MUHAMMAD ZUBAIR,ABDUL HADIAbdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-86956329077125757402011-03-14T09:33:00.000-07:002011-03-14T09:36:37.405-07:00Konseptual Model Keperawatan Kesehatan mentalSeiring dengan perubahan jaman, peran perawat kesehatan jiwa mulai muncul pada tahun 1950-an. Weiss (1947) menggambarkan beda perawatan kesehatan jiwa dengan perawatan umum yaitu adanya terapi <br />Perawat menggunakan sikap yang baik dalam menyembuhkan pasien. Dalam mengimplementasikan terapi ini, perawat mendemonstrasikan penerimaan, pengertian tentang klien, meningkatkan interest dan partisipasi<br />Pada realitas, klien diperlakukan secara individual dan unik, jadi sikap perawat harus sesuai dengan masalah yang dihadapi pasien. Perawatan kesehatan jiwa adalah proses berhubungan yang meningkatkan dan mempertahankan perilaku yang akan menyokong integritas fungsi. Yang dimaksud klien meliputi individu, kelompok, keluarga, organisasi atau masyarakat. Menurut American Nurses Association (ANA) divisi perawatan kesehatan jiwa, mendefinisikan perawatan kesehatan jiwa sebagai area khusus dalam praktek keperawatan yang menggunakan ilmu perilaku manusia dan diri sendiri secara terapeutik untuk meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan jiwa klien dan meningkatkan kesehatan mental masyarakat dimana klien berada. <br />Berdasarkan konseptual model keperawatan dapat dikelompokkan ke dalam 6 model yaitu:<br />1. Psikoanalisa (Freud, Erickson)<br />Teori ini berfokus pada proses-proses intra psikis dan perkembangan psikoseksual. Merupakan model yang pertama dikemukakan oleh Sigmund Freud. Psikoanalisa meyakini bahwa penyimpangan perilaku pada usia dewasa berhubungan dengan perkembangan pada masa anak. Setiap fase perkembangan mempunyai tugas perkembangan yang harus dicapai. Gejala merupakan symbol dari konflik. <br />Model ini menjelaskan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi pada seseorang apabila ego(akal) tidak berfungsi dalam mengontrol id (kehendak nafsu atau insting). Ketidakmampuan seseorang dalam menggunakan akalnya (ego) untuk mematuhi tata tertib, peraturan, norma, agama(super ego/das uber ich), akan mendorong terjadinya penyimpangan perilaku (deviation of Behavioral).<br />Faktor penyebab lain gangguan jiwa dalam teori ini adalah adanya konflik intrapsikis terutama pada masa anak-anak. Misalnya ketidakpuasan pada masa oral dimana anak tidak mendapatkan air susu secara sempurna, tidak adanya stimulus untuk belajar berkata- kata, dilarang dengan kekerasan untuk memasukkan benda pada mulutnya pada fase oral dan sebagainya. Hal ini akan menyebabkan traumatic yang membekas pada masa dewasa.<br />Menurut Erikson, perkembangan ego terjadi akibat interaksi social, tugas-tugas perkembangan bersifat berurutan dan bergantung pada keberhasilan penelesaian sebelumnya, individu yang gagal menyelesaikan tugas perkembangan pada usia seharusnya, dapat kembali lagi nanti untuk menyelesaikan tugas tersebut. <br />Didalam gerakannya, psikoanalisis mempunyai beberapa prinsip, yakni :<br />1. Prinsip konstansi, artinya bahwa kehidupan psikis manusia cenderung untuk mempertahankan kuantitas konflik psikis pada taraf yang serendah mungkin, atau setidak-tidaknya taraf yang stabil. Dengan perkataan lain bahwa kondisi psikis manusia cenderung dalam keadaan konflik yang permanen (tetap)<br />2. Prinsip kesenangan, artinya kehidupan psikis manusia cenderung menghindarkan ketidaksenangan dan sebanyak mungkin memperoleh kesenangan (pleasure principle).<br />3. Prinsip realitas, yaitu prinsip kesenangan yang disesuaikan dengan keadaan nyata. <br />Dalam terapi Psikoanalisis ini terdapat lima tekhnik dasar, yaitu :<br />1. Asosiasi bebas<br />Yaitu klien diupayakan untuk mencernihkan atau mengikis alam pikirannya dari alam pengalaman dan pemikiran sehari-hari sekarang ini, sehingga klien mudah mengungkapkan pengalaman masa lalunya.<br />Tujuan tekhnik ini adalah untuk mengungkapkan pengalaman masa lalu dan menghentikan emosi-emosi yang berhubungan dengan pengalaman traumatic masa lampau. Hal itu disebut juga katarsis.<br />2. Interpretasi<br />Adalah tekhnik yang digunakan oleh terapis untuk menganalisis assosiasi bebas, mimpi, resistensi, dan transferensi klien.<br />Terapis menetapkan, menjelaskan dan bahkan mengajar klien tentang makna perilaku yang termanifestasi dalam mimpi, asosiasi bebas, resistensi dan transferensi klien. Tujuannya adalah agar ego klien dapat mencerna materi baru dan mempercepat proses penyadaran.<br />3. Analisis mimpi<br />Yaitu suatu tekhnik untuk membuka hal-hal yang tak disadari dan member kesempatan klien untuk menilik masalah-masalah yang belum terpecahkan.<br />Proses terjadinnya mimpi adalah karena diwaktu tidur pertahanan ego menjadi lemah dan kompleks yang terdesakpun muncul kepermukaan. Oleh freud mimpi itu ditafsirkan sebagai jalan raya terhadap keinginan-keinginan dan kecemasan yang tak disadari yang diekspresikan.<br />4. Analisis resistensi<br />Analisis resistensi ditujukan untuk menyadarkan klien terhadap alas an-alasan terjadinya resistensinya. Konselor/terapis meminta perhatian klien untuk menafsirkan resistensinya.<br />5. Analisis transferensi<br />Terapis mengusahakan agar klien mengembangkan transferensinya agar terungkap neurosisnya terutama pada usia selama lima tahun pertama dalam hidupnya. Konselor menggunakan sifat-sifat netral, objektif, anonym, dan pasif agar terungkap transferensi tersebut.<br /><br /><br />Proses terapi pada model ini adalah lebih sering menggunakan metode asosiasi bebas dan analisa mimpi, transferen untuk memperbaiki traumatic masa lalu. Misalnya klien dibuat dalam keadaan ngantuk yang sangat. Dalam keadaan tidak berdaya pengalaman alam bawah sadarnya digali dengamn pertanyaan-pertanyaan untuk menggali traumatic masa lalu. Hal ini lebih dikenal dengan metode hypnotis yang memerlukan keahlian dan latihan yang khusus.<br />Dengan cara demikian, klien akan mengungkapkan semua pikiran dan mimpinya, sedangkan therapist berupaya untuk menginterpretasi pikiran dan mimpi pasien.<br />Model psikoanalisis ini mempunyai ciri unik dalam proses terapinya. Yaitu konselor bersikap anonym, artinya konselor berusaha tak dikenal klien, dan bertindak sedikit sekali memperlihatkan perasaan dan pengalamannya. Tujuannya adalah agar klien dengan mudah memantulkan perasaan kepada konselor. Pemantulan itu merupakan proyeksi klien yang menjadi bahan analisisbagi konselor/terapis.<br /> Pada tahap awal konseling, konselor membuat suatu hubungan kerja dengan klien, selanjutnya kegiatan konselor adalah mendengarkan dan kemudian memberikan tafsiran terhadap pernyataan klien.<br />Hal yang penting dalam proses terapi adalah memberikan perhatian terhadap keadaan resistensi klien yaitu suatu keadaan dimana klien melindungi suatu perasaan, trauma atau kegagalan klien terhadap konselor. Keadaan resistensi klien ditandai oleh munculnya reaksi dalam bentuk pertahanan diri terhadap interpretasi yang tidak mengenakkan dari konselor.<br />Fungsi konselor/terapis adalah mempercepat proses penyadaran hal-hal yang tersimpan dalam ketaksadaran klien yang dilindunginya dengan cara transfferensi itu.<br />Peran perawat adalah berupaya melakukan assessment atau pengkajian mengenai keadaan-keadaan traumatic atau stressor yang dianggap bermakna pada masa lalu misalnya ( pernah disiksa orang tua, pernah disodomi, diperlakukan secar kasar, diterlantarkan, diasuh dengan kekerasan, diperkosa pada masa anak), dengan menggunakan pendekatan komunikasi terapeutik setelah terjalin trust (saling percaya). Proses terapi psikoanalisa memakan waktu yang lama dan mahal.<br />Karakter psikoanalisis adalah terapis atau analisa membiarkan dirinya anonym serta hanya berbagi sedikit perasaan dan pengalaman sehingga klien memproyeksikan dirinya kepada analisis. Proyeksi-proyeksi klien, yang menjadi bahan terapi, ditafsirkan dan dianalisis.<br />Analisis terutama berurusan dengan usaha membantu klien dalam mencapai kesadaran diri, kejujuran, keefektifan, dalam melakukan hubungan personal, dalam menangani kecemasanscara realistis serta dalam memperoleh kendali atas tingkah laku yang impulsive dan irasional.analisis terlebih dahulu harus membangun hubungan kerja dengan klien, kemudian perlu banyak mendengar dan menafsirkan. Analisis memberikan perhatian khusus pada penolakkan-penolakkan klien. Sementara yang dilakukan oleh klien sebagian besar adalah berbicara, yang dilakukan oleh analisis adalah mendengarkan dan berusaha untuk mengetahui kapan dia harus membuat penafsiran-penafsiran yang layak untuk mempercepat proses penyingkapan hal-hal yang tak disadari. <br />Analisis mendengarkan kesenjangan-kesenjangan dan pertentangan-pertentangan pada cerita klien, mengartikan mimpi-mimpi dan asosiasi bebas yang dilaporkan oleh klien mengamati klien secara cermat selama pertemuan terapi berlangsung, dan peka terhadap isyarat-isyarat yang menyangkut perasaan-perasaan klien kepada analisis. Pengorganisasian proses-proses terapeutik dalam konteks pemahaman terhadap struktur kepribadian dan psikodinamik-psikodinamik itu memungkinkan analisis bias merumuskan sifat sesungguhnya dari masalah-masalah klien. Salah satu fungsi utama analisis adalah mengajarkan arti proses-proses ini kepada klien sehingga klien mampu memperoleh pemahaman terhadap masalah-masalahnya sendiri, mengalami peningkatan kesadaran atas cara-cara untuk berubah. Dengan demikian, memperoleh kendali yang lebih rasional atas kehidupannya sendiri.<br /><br />2. Interpersonal ( Sullivan, peplau)<br />Model ini dikembangkan oleh Harry Stack Sullivan. Titik pandang Sullivan diidentifikasi dengan teori-teori social-psikologis. Ia menekankan peran hubungan-hubungan personal dan studi tentang manusia dalam hubungan dengan orang-orang lain yang berpengaruh. Jadi, unit studinya adalah situasi interpersonal bukan hanya individu itu semata-mata. Keopribadian mengejawantahkan dirinya dalam tingkah laku individu dalam hubungannya dengan orang lain. System diri menurutnya terbentuk sebagai akibat ancaman-ancaman terhadap rasa aman. Yang membawahi segenap dorongan adalah motif kekuasaan yang bekerja sepanjang hidup untuk mengatasi perasaan tak berdaya yang mendasar. System diri seesorang berkembang sebagai reaksi melawan kecemasan yang disebabkan oleh hubungan-hubungan interpersonal. <br />Sullivan menekankan peran proses-proses kognitif dalam perkembangan kepribadian. Tiga corak pengalaman terlibat dalam pembentukkan ego sebagai berikut: <br />1. Corak Protaktis: menandai tahun pertama kehidupan : tidak ada pemisahan antara waktu dan tempat, merupakan prasyarat bagi dua corak pengalaman yang lainnya.<br />2. Corak Prataksis: ditandai oleh keseluruhan pengalaman yang tak terdiferensiasi yang dipecah kedalam bagian-bagian tanpa kaitan yang logis, muncul pada masa kanak-kanak awal, anak menerima apapun yang terjadi tanpa evaluasi, dan bereaksi terhadap orang lain dalam basis yang tidak realistis.<br />3. Corak Sintaksis: ditandai oleh kurangnya distorsi, terdiri dari aktivitas symbol yang disahihkan secara mufakat, yang menjadi dasar bagi anak untuk mengevaluasi pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaannya sendiri terhadap pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan orang lain, dan lambat laun anak mengenal pola-pola hubungan dalam masyarakat, sikap-sikap diri dibentuk oleh reaksi-reaksi orang-orang lain yang berpengaruh.<br />Sullivan menekankan bahwa kepribadian tidak ditetapkan pada usia dini, dan kepribadian itu bias berubah dikemudian hari sejalan dengan berkembangnya hubungan – hubungan interpersonal baru. Manusia adalah makhluk yang mampu menyesuaikan diri. Ia juga menekankan bahwa kepribadian dibentuk melalui tahap-tahap perkembangan tertentu yang mencakup masa bayi, masa kanak-kanak, masa kanak-kanak akhir, praremaja, remaja awal, remaja akhir dan kematangan. Determinan-determinan social dari perkembangan kepribadian amatlah penting. <br /> Sebagai tambahan Hildegard Peplau mengembangkan teori interpersonal perawatan. Pandangan interpersonal terhadap penyimpangan perilaku, teori interpersonal meyakini bahwa perilaku berkembang dari hubungan interpersonal. Sullivan menekankan besarnya pengaruh perkembangan masa anak-anak terhadap kesehatan jiwa individu. Kecemasan pertama yang sungguh-sungguh dialami sewaktu bayi pada saat merasakan kecemasan ibu. Selanjutnya kecemasan dihubungkan dengan penolakan/tidak direstui oleh orang-orang yang dekat/penting bagi individu. Jika anak hanya menerima stimulus penolakan atau kecemasan atau kritik, maka anak akan mengembangkan sistem diri yang negatif. Menurut Sullivan: individu memandang orang lain sesuai dengan yang ada pada dirinya. Ada 2 dorongan yang dimiliki pada individu:<br />a. Dorongan untuk kepuasan Berhubungan dengan kebutuhan dasar seperti: lapar, tidur, kesepian, nafsu. <br />b. Dorongan untuk keamanan Berhubungan dengan kebutuhan budaya seperti penyesuaian norma sosial, nilai suatu kelompok tertentu Proses terapi Mengoreksi pengalaman interpersonal dengan mengalami hubungan yang sehat dengan terapis, klien akan belajar berhubungan interpersonal yang memuaskan dengan re-edukasi dan mengembangkan hubungan saling percaya. <br />Menurut konsep model ini, kelainan jiwa seseorang bisa muncul akibat adanya ancaman. Ancaman tersebut menimbulkan kecemasan (Anxiety). Ansietas timbul dan alami seseorang akibat adanya konflik saat berhubungan dengan orang lain (interpersonal). Menurut konsep ini perasaan takut seseorang didasari adnya ketakutan ditolak atau tidak diterima oleh orang sekitarnya.<br />Proses terapi menurut konsep ini adalh Build Feeling Security (berupaya membangun rasa aman pada klien), Trusting Relationship and interpersonal Satisfaction (menjalin hubungan yang saling percaya) dan membina kepuasan dalam bergaul dengan orang lain sehingga klien merasa berharga dan dihormati.<br />Peran perawat dalam terapi adalah share anxieties (berupaya melakukan sharing mengenai apa-apa yang dirasakan klien, apa yang biasa dicemaskan oleh klien saat berhubungan dengan orang lain), therapist use empathy and relationship ( perawat berupaya bersikap empati dan turut merasakan apa-apa yang dirasakan oleh klien). Perawat memberikan respon verbal yang mendorong rasa aman klien dalam berhubungan dengan orang lain.<br /><br />3. Social ( Caplan, Szasz,)<br />Model ini berfokus pada lingkungan sosial yang mempengaruhi individu dan pengalaman hidupnya. Pandangan sosial terhadap penyimpangan perilaku, kondisi sosial bertanggung jawab terhadap penyimpangan perilaku, perilaku yang dianggap normal pada suatu daerah tertentu mungkin sebagai penyimpangan pada daerah yang lain. Individu yang sudah dilabel/dicap jika tidak dapat menyesuaikan diri dengan norma lingkungan, maka perilaku tersebut memerlukan perawatan/dirawat. Menurut Szazz, individu bertanggung jawab terhadap perilakunya. Individu tersebut harus mampumengontrol untuk menyesuaikan perilakunya dengan yang diharapkan masyarakatnya. mengontrol untuk menyesuaikan perilakunya dengan yang diharapkan masyarakatnya. Kaplan, meyakini bahwa situasi sosial dapat mencetuskan gangguan jiwa. Oleh karena itu, konsep pencegahan primer, sekunder dan tertier sangat penting. Situasi yang dapat menjadi pencetus:<br />a. Kemiskinan, situasi keuangan tidak stabil, pendidikan tidak adekuat. <br />b. Kurang mampu mengatasi stress.<br />c. Kurang support system<br />Situasi tersebut di atas dapat diantisipasi dan dapat dicegah. Proses terapi: <br />a. Prevensi primer <br />b. Kesehatan jiwa masyarakat <br />c. Crisis intervensi <br />Menurut konsep ini seseorang akan mengalami gangguan jiwa atau penyimpangan perilaku apabila banyaknya factor social dan factor lingkungan yang akan memicu munculnya stress pada seseorang ( social and environmental factors create stress, which cause anxiety and symptom).<br />Prinsip proses terapi yang sangat penting dalam konsep model ini adalah environment manipulation and social support ( pentingnya modifikasi lingkungan dan adanya dukungan sosial).<br />Peran perawat dalam memberikan terapi menurut model ini adalah pasien harus menyampaikan masalah menggunakan sumber yang ada di masyarakat melibatkan teman sejawat, atasan, keluarga atau suami-istri. Sedangkan therapist berupaya : menggali system sosial klien seperti suasana dirumah, di kantor, di sekolah, di masyarakat atau tempat kerja.<br /><br />4. Existensial ( Ellis, Rogers)<br />Teori ini berfokus pada pengalaman individu pada saat ini dan disini. Pandangan model eksistensi terhadap penyimpangan perilaku, penyimpangan perilaku terjadi jika individu putus hubungan dengan dirinya dan lingkungan. Keasingan akan dirinya dan lingkungan dapat terjadi karena hambatan ataularangan pada diri individu. Individu merasa putus asa, sedih, sepi, kurang kesadaran akan dirinya dan penerimaan diri yang mencegah partisipasi dan penghargaan pada hubungan dengan orang lain. Klien sudah kehilangan atau tidak mungkin menemukan nilai-nilai yang memberi arti pada eksistensinya. Proses terapi: <br />a. Rasional Emotif Therapy Konfrontasi digunakan untuk bertanggung jawab terhadap perilakunya. Klien didorong untuk menerima dirinya, bagaimana adanya bukan karena apa yang akan dilakukan. Konsep dasar RET yang dikembangkan oleh Albert Ellis adalah sebagai berikut:<br />1. Pemikiran manusia adalah penyebab dasar dari gangguan emosional. Reaksi emosional yang sehat maupun yang tidak, bersumber dari pemikiran itu.<br />2. Manusia mempunyai potensi pemikiran rasional dan irrasional. Dengan pemikiran rasional dan inteleknya manusia dapat terbebas dari gangguan emosional.<br />3. Pemikiran irrasional bersumber pada disposisi biologis lewat pengalaman masa kecil dan pengaruh budaya.<br />4. Pemikiran dan emosi tidak dapat dipisahkan.<br />5. Berpikir logis dan tidak logis dilakukan dengan symbol-simbol bahasa.<br />6. Pada diri manusia sering terjadi self-verbalization. Yaitu mengatakan sesuatu terus-menerus kepada dirinya.<br />7. Pemikiran tak logis-irrasional dapat dikembalikan pada pemikiran logis dengan reorganisasi persepsi. Pemikiran tak logis itu merusak dan merendahkan diri melalui emosionalnya. Ide-ide irasional bahkan dapat menimbulkan neurosis dan psikosis. Sebuah contoh ide irasional adalah “seorang yang hidup dalam masyarakat harus mempersiapkan diri secara kompeten dan adekuat, agar ia dapat mencapai kehidupan yang layak dan berguna bagi masyarakat”. Pemikiran lain adalah “sifat jahat, kejam, dan lain-lain harus dipersalahkan dan dihukum”<br />RET bertujuan untuk memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi, cara berpikir keyakinan serta pandangan klien yang irasional menjadi rasional, sehingga ia dapat mengembangkan diri dan mencapai realisasi diri yang optimal. Menghilangkan gangguan emosional yang dapat merusak diri seperti: benci, takut, rasa bersalah, was-was, marah sebagai akibat berpikir yang irasional, dan melatih serta mendidik klien agar dapat menghadapi kenyataan hidup secara rasional dan membangkitkan kepercayaan diri, nilai-nilai dan kemampuan diri.<br />Proses terapi, terapis berusaha menunjukkan klien kesulitan yang dihadapi sangat berhubungan dengan keyakinan irrasional dan menunjukkan bagaimana klien harus bersikap rasional dan mampu memisahkan keyakinan irasional dengan rasional, setelah klien menyadari gangguan emosi yang bersumber dari pemikiran irasional, maka terapis menunjukkan pemikiran klien yang irasional, serta klien berusaha mengubah kepada keyakinan menjadi rasional, terapis berusaha agar klien menghindarkan diri dari ide-ide irrasionalnya, dan konselor berusaha menghubungkan antara ide tersebut dengan proses penyalahan dan perusakkan diri, proses terakhir terapis adalah terapis berusaha menantang klien untuk mengembangkan filosofis kehidupannya yang rasional, dan menolak kehidupan yang irrasional dan fiktif. <br />b. Terapi Logo Merupakan terapi orientasi masa depan (future orientated therapy). Individu meneliti arti dari kehidupan, karena tanpa arti berarti tidak eksis. Tujuan: agar individu sadar akan tanggung jawabnya. Atau klien akan dapat menemukan makna dari penderitaan dan kehidupan serta cinta. Dengan penemuan itu klien akan dapat membantu dirinya sehingga bebas dari masalah tersebut. Terapi logo masih menginduk kepada aliran psikoanalisis, akan tetapi menganut paham eksistensialisme. Mengenai teknik terapinya digunakan semua teknik yang kiranya sesuai dengan kasus yang dihadapi. Tampaknya kemampuan menggali hal-hal yang bermakna dari klien, amat penting. <br /><br />Menurut teori model eksistensial gangguan perilaku atau gangguan jiwa terjadi bila individu gagal menemukan jati dirinya dan tujuan hidupnya. Individu tidak memiliki kebanggan akan dirinya. Membenci diri sendiri dan mengalami gangguan dalam Bodi-image-nya <br />Prinsip dalam proses terapinya adalah : mengupayakan individu agar berpengalaman bergaul dengan orang lain, memahami riwayat hidup orang lain yang dianggap sukses atau dapat dianggap sebagai panutan(experience in relationship), memperluas kesadaran diri dengan cara introspeksi (self assessment), bergaul dengan kelompok sosial dan kemanusiaan (conducted in group), mendorong untuk menerima jati dirinya sendiri dan menerima kritik atau feedback tentang perilakunya dari orang lain (encouraged to accept self and control behavior).<br />Psikoterapi memperkuat proses pembelajaran seseorang untuk sepenuhnya menjadi dirinya sendiri. Rogers yakin bahwa penyakit jiwa terjadi akibat kegagalan mengembangkan diri sendiri sepenuhnya sebagai manusia. Ahli terapi harus tulus dan tanpa ada yang ditutup-tutupi ketika berhubungan dengan klien. Ahli terapis harus bersikap aktif dan mengekspresikan perasaan serta emosinya sendiri secara langsung dan jujur. Perilaku klien berubah kea rah fungsi diri yang positif bila ahli terapinya mau menerima, menghargai dan secara tulus berempati terhadap klien.<br />Prinsip keperawatannya adalah : klien dianjurkan untuk berperan serta dalam memperoleh pengalaman yang berarti untuk mempelajari dirinya dan mendapatkan feed back dari orang lain, misalnya melalui terapi aktivitas kelompok. Terapist berupaya untuk memperluas kesadaran diri klien melalui feed back, kritik, saran atau reward & punishment.<br /><br />5. Supportive Therapy ( Wermon, Rockland)<br />Penyebab gangguan jiwa dalam konsep ini adalah: factor biopsikososial dan respon maladaptive saat ini. Aspek biologisnya menjadi masalah seperti: sering sakit maag, migraine, batuk-batuk. Aspek psikologisnya mengalami banyak keluhan seperti : mudah cemas, kurang percaya diri, perasaan bersalah, ragu-ragu, pemarah. Aspek sosialnya memiliki masalah seperti : susah bergaul, menarik diri,tidak disukai, bermusuhan, tidak mampu mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya. Semua hal tersebut terakumulasi menjadi penyebab gangguan jiwa. Fenomena tersebut muncul akibat ketidakmamupan dalam beradaptasi pada masalah-masalah yang muncul saat ini dan tidak ada kaitannya dengan masa lalu.<br />Prinsip proses terapinya adalah menguatkan respon copinh adaptif, individu diupayakan mengenal telebih dahulu kekuatan-kekuatan apa yang ada pada dirinya; kekuatan mana yang dapat dipakai alternative pemecahan masalahnya, fokusnya pada saat ini dan bukan pada masa lalu. <br />Perawat harus membantu individu dalam melakukan identifikasi coping yang dimiliki dan yang biasa digunakan klien. Terapist berupaya menjalin hubungan yang hangat dan empatik dengan klien untuk menyiapkan coping klien yang adaptif.<br /><br />6. Medica ( Meyer, Kraeplin)<br />Menurut konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat multifactor yang kompleks meliputi: aspek fisik, genetic, lingkungan dan factor sosial. Sehingga focus penatalaksanaannya harus lengkap melalui pemeriksaan diagnostic, terapi somatic, farmakologik dan teknik interpersonal. Perawat berperan dalam berkolaborasi dengan tim medis dalam melakukan prosedur diagnostic dan terapi jangka panjang, therapist berperan dalam pemberian terapi, laporan mengenai dampak terapi, menentukan diagnose, dan menentukan jenis pendekatan terapi yang digunakan. <br />Konsep Berfokus pada diagnosa penyakit, sehingga pengobatan didasarkan pada diagnose itu. Medical model terus mengeksplorasi penyebab gangguan jiwa secara ilmiah. Pandangan medical terhadap penyimpangan perilaku: Banyak pendapat medical model bahwa penyimpangan perilaku merupakan manifestasi gangguan sistem syaraf pusat (SSP). Dicurigai bahwa depresi dan schizophrenia dipengaruhi oleh transmisi impuls neural, serta gangguan synaptic; yaitu masalah biokimia, faktor lingkungan dan sosial diperhitungkan sebagai faktor pencetus proses terapi.<br /> Hubungan klien dokter merupakan hubungan percaya dan mengikuti rencana pengobatan. <br />a. Pengobatan meliputi jangka pendek dan jangka panjang <br />b. Terapi supportif <br />c. Insight oriented terapi yaitu belajar meroda mengatasi stressor. <br /><br />Proses medis terapi didefinisikan dengan baik dan akrab dengan sebagian besar pasien. Pemeriksaan dokter pasien termasuk sejarah penyakit ini, sejarah masa lalu, sejarah social, sejarah medis, tinjauan system tubuh, pemeriksaan fisik dan status mental.<br />Peran pasien melibatkan mengakui sedang sakit, yang bisa menjadi masalah dalam psikiatri. Pasien kadang tidak sadar perilaku terganggu dan mungkin menolak pengobatan.<br /><br /><br /><br />Nama : Verawati Jevia<br /> Redzwan bin Abdul Aziz<br /> Wilda Ningsi<br />Mata Study : Kesehatan Mental II<br />Dosen : M. Fahli Zatra Hadi, S.Sos.I<br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Keliat, Budi Anna;Panjaitan;Helena. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Ed.2. Jakarta: EGC.<br />Ann Isaacs. 2005. Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik. Ed.3. Jakarta: EGC. <br /> <br /> Prof. DR. Sofyan S. Willis. 2007. Konseling Individual: Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta. <br /> <br />Gerald Corey. 2009. Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama. <br />Stuart Wiscarz, Sandra I. Sundeen.. 1995. Prinsip dan Praktik Ilmu Keperawatan Psikiatri. Ed.5. Missouri: Mosby.Abdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-32825322567789309722011-03-14T07:42:00.000-07:002011-03-14T07:45:26.941-07:00post power syndromePost Power Syndrom atau sering disebut kegelisahan pasca kehilangan kekuasaan, tidak hanya menyerang mereka para penguasa atau pemegang kekuasaan. Tetapi Post Power Syndrom lebih bersifat individuil. Yaitu kegelisahan kita terhadap apapun yang dimungkinkan akan menggeser posisi kita sekarang, bisa menjadi pemicu Post Power Syndrom..<br />Penyembuhan Unsur internel penderita Post Power Syndrom, mencakup:<br />1. Menerima dengan legowo/lapang dada apa yang sekarang dihadapi. Dalam hal ini, kalo sekarang kere, ya cobalah menjadi kere yang gaul atau kere yang bermartabat.<br />2. Jangan memperpanjang angan-angan. Berencana jangka pendek aja. Nggak usah muluk-muluk, atau malah menjadi skeptis. <br />3. Membuat agenda kecil untuk menghabiskan waktu, sesuai hobby. <br />4. Yang paling penting agar tidak terkena penyakit Post Power Syndrom adalah usahakan untuk tidak mencapai puncak kejayaan usaha atau pekerjaan atau kekuasaan secepat mungkin. Jadi untuk menghindari Post Power Syndrom usahakan se- rilex mungkin dalam ber bisnis.<br />5. Jika sedang terkena Post Power Syndrom, sadarilah bahwa dunia tetap berjalan meski terpuruk.<br />6. Pahamilah bahwa Penyakit Post Power Syndrom adalah penyakit temporer yang hanya menghinggapi beberapa saat, karena masa transisi. <br /><br />Secara umum, orang yang mengalami post power syndrome sebenarnya diliputi rasa kecewa, bingung, kesepian, ragu-ragu, khawatir, takut, putus asa, ketergantungan, kekosongan, dan kerinduan. Selain itu, harga dirinya juga menurun, merasa tidak lagi dihormati dan terpisah dari kelompok. Semua ini biasanya tidak begitu disadari oleh yang bersangkutan.<br />Gejala ini umumnya terjadi pada orang yang tadinya mempunyai kekuasaan atau jabatan dan ketika jabatan itu sudah tak lagi dipegang, muncullah berbagai gejala psikologis atau emosional yang sifatnya kurang positif.<br />Beberapa gejala biasanya dapat dibagi ke dalam 3 ranah.<br />1. Gejala fisik, misalnya tampak kuyu, terlihat lebih tua, tubuh lebih lemah, sakit-sakitan.<br />2. Gejala emosi, misalnya mudah tersinggung, pemurung, senang menarik diri dari pergaulan, atau sebaliknya cepat marah untuk hal-hal kecil, tak suka disaingi dan tak suka dibantah.<br />3. Gejala perilaku, misalnya menjadi pendiam, pemalu, atau justru senang berbicara mengenai kehebatan dirinya di masa lalu, senang menyerang pendapat orang, mencela, mengkritik, tak mau kalah, dan menunjukkan kemarahan baik di rumah maupun di tempat umum .<br /><br />Post power syndrome banyak dialami oleh mereka yang baru saja menjalani masa pensiun. Pensiun merupakan masa seseorang secara formal berhenti dari tugasnya selama ini, bisa merupakan pilihan atau keharusan.<br />Para pensiunan terbagi menjadi dua kelompok. Ada yang bahagia karena dapat menyelesaikan tugas dan pengabdiannya dengan lancar. Sebaliknya, ada juga yang mengalami ketidakpuasan atau kekecewaan akan kehidupannya.<br />Sindrom ini bisa dialami oleh pria maupun wanita, tergantung dari berbagai faktor, seperti ciri kepribadian, penghayatan terhadap makna dan tujuan kerja, pengalaman selama bekerja, pengaruh lingkungan keluarga dan budaya. Berbagai faktor tersebut menentukan keberhasilan individu dalam menyesuaikan diri menghadapi masa pensiun. Post power syndrome merupakan tanda kurang berhasilnya seseorang menyesuaikan diri.<br />Tujuan bekerja tak hanya untuk memenuhi kebutuhan primer manusia, tapi secara psikologis, bekerja dapat memenuhi pencapaian identitas diri, status, ataupun fungsi sosial lainnya. Beberapa orang sangat menghargai prestise dan kekuasaan dalam kehidupannya, hal ini bisa diperoleh selama ia memegang jabatan atau mempunyai kekuasaan. Apalagi bila lingkungan kerjanya juga mengondisikan dirinya untuk terus memperoleh prestise tersebut, misalnya anak buah yang tak berani memberikan masukan untuk perbaikan atau adanya fasilitas berlebihan yang diberikan perusahaan baginya selama menjabat.<br />Masa pensiun bisa memengaruhi konsep diri karena pensiun menyebabkan seseorang kehilangan peran, status, dan identitasnya dalam masyarakat menjadi berubah sehingga dapat menurunkan harga diri. Bila anggota keluarga memandang pensiunan sebagai orang yang sudah tidak berharga lagi dan memperlakukan mereka secara buruk, bukan tak mungkin juga akan memicu munculnya sindrom ini.<br />Beberapa ciri kepribadian yang rentan terhadap post power syndrome di antaranya adalah mereka yang senang dihargai dan dihormati orang lain, suka mengatur, ”gila jabatan”, menuntut agar permintaannya selalu dituruti, dan suka dilayani orang lain.<br />Secara ringkas disebut sebagai orang dengan need of power yang tinggi. Selain itu, ada pula mereka yang sebenarnya kurang kuat kepercayaan dirinya sehingga sebenarnya selalu membutuhkan pengakuan dari orang lain, melalui jabatannya dia merasa ”aman”.<br />Menghadapi penderita<br />Menghadapi orang yang sudah telanjur menderita memang diperlukan kesabaran luar biasa. Sebagai pasangan atau anggota keluarga yang serumah, pertama hendaknya memahami dulu bahwa penderita tidak sepenuhnya menyadari gejala yang dia alami. Tapi dengan melawan atau mencoba menyadarkan mereka secara langsung juga tidak bijak.<br />Lebih baik meminta pihak ketiga, yaitu seseorang yang cukup mendapat respek dari yang bersangkutan, untuk memberikan wejangan, atau melalui doa bersama, meditasi atau berzikir. Melalui kegiatan yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan, dia bisa belajar memahami bahwa ternyata kekuasaan itu tidak abadi.<br />Kedua, sebaiknya kita belajar menerima dia apa adanya, tidak merespons kemarahan dengan hal yang sama. Saya lebih menyarankan agar yang bersangkutan diusahakan untuk mempunyai berbagai aktivitas yang dapat menyalurkan emosi negatif atau ketidakpuasan hidupnya secara lebih konstruktif, seperti mengikuti kegiatan sosial yang menarik, diminta memberikan ceramah dengan topik yang dikuasainya ketika ada acara keluarga, mengajar keterampilan tertentu kepada orang yang memerlukan, menjalani hobi berkebun, dan berolahraga.Abdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-81626190828602787022011-03-14T07:15:00.000-07:002011-03-14T07:20:03.832-07:00fenomena bunuh diri, ( muhammad aman , nadri & juli)Kelompok: 4<br />Nadri, Muhammad Aman dan Juli Despriadi<br />Mata kuliah : Kesehatan Mental II<br />Judul makalah : FENOMENA BUNUH DIRI<br />Dosen pembimbing : M. Fahli Zatra Hadi S.sos,I<br />1. Devenisi Dan Cirri-Ciri Karakteristik<br />diri didaerah pdesaan juga jauah lebih rendah dari pada angka kematian daerah perkaotaan.<br /> Disgornisasi social disebabkan oleh sangat kompleksnya masyarakat urban dengan adanya mekanisasi, teknologi, induistrilisasi, transportasi, komunikasi, yang kemudian memunculkan banyak disorganisasi personal itu memanifestasikan dari dalam pola-pola.<br /> Semakin tidak mempunya orang-orang Menurut aliran human behavior, bunuh diri ialah bentuk pelarian diri yang paling parah dari dunia nyata, atau lari dari situasi yang tidak bisa di tolerir; atau merupakan bentuk regresi ingin kembali pada keadaan nikmat nyaman,tentram, lembut mengembang seperti bayi dalam rahim ibunya. Tindak bunuh diri ini nyaris tidak pernah dilakukan orang karena atau tidak bisa makan dan minum, tidak mampu membeli pakaian, atau berdasarkan alasan biologis lainnya. Motif-motif bunuh diri selalu ada dalam iklim human,social psikologis,atau religious. Misalnya karna orang merasa sangat terhina, malu sekali, kehilangan muka, dan runtuh harga dirinya, tidak suci atau bernoda, merasa tidak dihargai, dan tidak mampu mngatasi kesulitan-kesulitan hidupnya. Ringkasannya, dirasakanm adanya degradasi-diri atau devaluasi diri. Maka hal teramat penting untuk menegakkan eksistensi manusia adalah :<br />1. Integrasi kejiwaannya<br />2. Harga diri<br />3. Kepastian tempat/status dirinya ditengah lingkungan hidup sendiri<br />Defenisi: bunuh diri ialah perbuatan manusia yang disadari dan bertujuan untuk menyakiti diri sendiri dan menghentikan kehidupan sendiri.<br />Dalam kalimat ini ada lima hal yang penting yaitu:<br />1.merupakan perbuatan manusia<br />2. ada keinginan yang disadari untuk mati<br />3. memiliki motivasi-motivasi tertentu<br />4. bertujuan menggapai kematian<br />5. ada intropeksi penuh kesadaran mengenai satu konsep tentang kematian atau penghentian kehidupan.<br />Ringkasannya, bunuh diri ialah perbuatan dengan tujuan primer: ialah sengaja bermaksud mengambil jiwa sendiri. Maka perbuatan bunuh diri dapat digolongkan dalam dua tipe yaitu: yang konvesional dan personal. <br />Bunuh diri konvensional adalah produk dari tradisi dan paksaan dari opini umum untuk mengikuti criteria kepantasan, kepastian social, dan tuntutan social.<br />Bunuh diri tipe ini merupakan bagian dari tradisi dan gaya hidup sesuatu suku atau bangsa. Perbuatan bunuh diri tipe ini misalnya banyak dilakukan di jepang, cina, india dan Indonesia jaman dahulu zaman pemerintahan raja-raja.<br />Bunuh diri personal khas banyak terjadi pada zaman modern, karena orang merasa lebih bebas dan tidak mau tunduk pada aturan dan tabu prilaku tertentu orang tidak ingin terlalu terikat oleh kebiasaan-kebiasaan dan konvensi-konvensi yang ada untuk mencegah kesulitan hidupnya. Sebaliknya, mereka mencari jalan singkat dengna caranya sendiri yaitu bunuh diri, untuk mengatasi kesulitan hidupnya, atas keputusan sendiri. Karena itu peristiwa bunuh diri ialah bentuk kegagalan seseorang dalam upayanya menyesuaikan diri terhadap tekanan-tekanan social dan tuntutan-tuntutan hidup.<br />Faktor yang mempengaruhi kemauan bunuh diri adalah bermacam-macam, sehingga untuk melakukan perbuatan bunuh diri antara lain ialah: religi, jenis kelamin, pendidikan, profesi, doktrin, uisa, dll. Misalnya pada usia sangat muda dan sangat tua, jarang terjadi peristiwa bunuh diri. Persitiwa mengambil nyawa sendiri ini banyak terjadi usia remaja/puberitas, adolensi sampai usia pertengahan (14-40 tahun) <br />Laki-laki bnyak melakukan tindakan bunuh diri dari pada kaum wanita. Hal ini disebabkan karena kaum laki-laki memiliki lebih banyak keberania, keteguahan kemauan, dan kekuatan fisik lebih besar untuk mneyakiti dan merusak diri sendiri sampai pada kematiannya. Di amerika serikat, misalnya pada tahun 70-an perbandingan korban bunuh diri antarta laki-laki dan perempuan ialah 3:1 <br />Pribadi-pribadi yang tidak kawin dan bercerai , yang melakukan perbuatan bunuh diri ada tiga kali lebih banyak dari pada mereka yang kawin dan tidak bercerai. Di Negara barat yang maju orang-orang dengan profesi dan pendidikan yang relative tinggi misalnya dokter, ilmuwan, ahli hokum, politikus, pemimpin, dan lain-lain lebih banyak melakukan bunuh diri dari pada rakyat jelata dengan kedudukan social dan pendidikan yang relative rendah.<br />Factor-faktor lain yang member kontribusi pada tindakan bunuh diri antra lain ialah: factor sosiologis, factor ekonomi, antara lain berupa status ekonomi, depresi ekonomi, jatuh miskain secara mndadak, dll. Factor politik misalnya berupa: perubahan-perubahan iklim politik dangan macam-macam tekanannya degradasi secara politis, perubahan pranan dalam dunia politik dll. Factor pendidikan misalnya: kegagalan studi dalam universitas sehingga orang yang bersangkutan lebih suka memilih kedamaian abadi dibalik kematian dirinya, guna menyingkirkan mancam-macam kesulitan serta rasa aib yang rasa-rasany tidak bisa dikuasai oleh dirinya. Atau dengan tujuan ingin bersatu dengan kekasih yang sudah mendahuluinya.<br />Beberapa cirti karekteristik dari orang-orang yang cendrung melakukan dan sudah melakukan perbuatan bunuh diri, dapat dikemukakan dibawah ini antara lain ialah: <br />1. Ada ambivalensi yang sadar atau tidak sadar antara keinginan untuk mati dan untuk hidup.<br />2. Ada perasaan perasaan tanpa harapan, tidak berdaya, sia sia, sampai pada jalan buntu merasa tidak mampu mengatasi segala kesuliltan dalam hidupnya.<br />3. Dia merasa pada batas ujung kekuatan merasa sudah capai total secara fisik dan secara mental<br />4. Selalu dihantui atau dikejar-kejar oleh rasa cemas, takut, tegang, depresi, marah, dendam, <br />5. Ada kekacauan atau khas dalam kepribadiannya mengalami kondisi disorganisasi dan disentegrasi personal, tanpa mampu keluar dari jalan buntu dan tanpa kemampuan memperbaikinya.<br />6. Terayun-ayun dalam macam-macam suasana hati/steming yang kontroversal, agitasi lawan apati ingin lari lawan berdiam diri, memiliki potensialitas kontra kelemahan dan tidak keberanian <br />7. Terdapat penguratan kognitif, ada ketidak mampuan melihat dengna wawasan bening tidak mampu melihat alternative lain, bukan meyakini limitasi dan kelemahan dari potensial sendiri<br />8. Hilangnya kegairahan hidup, hilang minat terhdap aktivitas-aktivitas sehari-hari, pupus kegairan seks nya tanpa minat terhadap masyarakat sekitar <br />9. Banyak penderitaan jasmasniah, mengalami insomnia (tak bisa tidur) mengalami anoreksi atau tidak suka makan, dan menderita psikastenia, dan simtom-simtom psikosmatis lainnya.<br />10. Penderita pernah sekali atau bebrapa kali mencoba melakukannya.<br />Dengn melihat adanya cirri-ciri karekteristik tersebut diatas, terang bagi kita bahwa penderita tersebut mengalami gangguan atau penyakit mental. Jadi ada ketidak sehatan mental pada diri mereka.<br /><br />2. Aspek Sosiologis Perbuatan Bunuh Diri<br />Frekuensi tinggi dari peristiwa bunuh diri pada zaman romawi kuno pada kalangan kaum bangsawan, betul betul dilihat sebgai kejadian yang terhormat pada unsur kemuliaan dan menjadi bagian dari adat kebiasaan social. Namum pada zaman revolusi prancis bunuh diri bukan lagi menjadi adat istiadat yang dinilai tinggi akan tetapi dianggap sebagai kegagalan tingkah laku manusia jeklsnya merupkan kelemahan dan penyakit mental.<br />Asumsi diatas kemudian hari mendukung dan melatar belakangi teori psikologis yang menyatakan bahwa bunuh diri itu mebabakan oleh kegilaan atau kelemahan karaktert, atau ketidak imbangan jiwa (teori Dhalgren, 1945; Achile Delmas, 1932; Deshaies, 1947). Juga mendukung teori sosiologis yang menyatakan, bahwa bunuh diri disebabkan oleh kegagalan diri control normative pada individu oleh masyarakat (Briere de Boismont, 1856, Morselli, 1879, dan Emile Durkheim, 1897)<br />Pada abad ke 19, bunuh diri menjadi titik vocal atau tema sentral dalam argumentasi antara para filsus dengan para penganut gereja. Hal ini desebabkan oleh peningkatan secara statistic yang begitu besar dari peristiwa bunuh diri semasa abad ke 18 dan 19, berkaitan dengan opini dan interprestasi orang mengenai kehampaan hidup di dunia dan keindahan dunia keabadian sesudah mati, yang banyak diajarkan oleh kaum rokhaniawan. Ditambah dengan kurangnya disiplin diri, berkembangnya egoism dan materialaisme, dan mennjalarnya dengan pesat peristiwa-peristiwa disorganisasi moral.<br />Kemudian bunuh diri dianggap gerakan romantic atau symbol romantisme yang mengandung ide-ide egoism dan anopmi. Pada masa itu bunuh diri dilihat sebagi masalah social yang asasi. Seperti orang-orang amerika yang pada tahun 1980-1989 sekarang ini merasa ngeri dan pahit menghadapi juvenile delenguency (kejahatan remaja) mafia dan penyakit AIDS, maka pada abad 19 orang perancis dan penduduk eropa sama takut dan ngerinya menghadapi ia manie du suicide (mani kematian); Tssot, 1840<br />Bunuh diri dianggap sebgai lambing romatisme ; yaitu melambangkan seorang pengembara yang kesepian dan terisolir, yang tengah menari kesia-siaan dalam hal-hal yang tidak mungkin bisa dicapai ditengah masyarakat manusia. Kemudian orang menjadi semakin melankonis dankeranjingan pada keabadian(kematian, kehidupan abadi) kesepian dan isolasi mengakibatkan melankoli atau kesedihan dan selamjutnya menumbuhkan rasa-rasa kerinduan pada kematian dan perbuatan bunuh diri . dengan begitu bunuh diri di abad 19 menjdi model mitos dalam kehidupan manusia.<br />Selanjutnya Adolphe Quetelet (sosilog, 1835) menyatakan bahwa, setiap system social yang stabil akan menghasilkan satu tipe kepribadian yang rata-rata stabil; mereka berkumpul menjadi satu kelompok masyarakat dengan tata kehidupan dan aturan aturan tertentu untuk mengendalikan tingkah laku setiap anggotanya. Maka masyarakat dan moral-moral masyarakat (yang bersifat menekan) itu menjadi penyebab utamanya bunuh diri.<br />Sehubungan dengan hal sebut diatas, diperlukan satu otoritas moral eksternal untuk mengatur masyarakat dan menetapkan pola tingkah laku manusianya. Tanpa otoritas moral eksternal ini akan muncul egoism ekstrim, anomi, fatalism, dientgrasi social dan personal, kekacauan, ketidak imbangan, tanpa kesatuan dan persatuan atau kohesi, dan tidak adanya kejelasan. Semua ini menuju pada khaos, yang memunculkan disentegrasi-disorganisasi personal, dan bisa mendorong orang melakukan perbuatan bunuh diri.<br />Para sarjana di Negara-negara barat kemudian sampai pada prinsip umum yang mengemukakan pendapat sebagai berikut:<br />a. Urbanisasi akan bervariasi langsung dengan tingginya angka bunuh diri <br />b. Indusrtilisasi dan kesejahteraan, kedua-duanya akan bervariasi langsung dengn angka bunuh diri di Negara-nergara eropa pada abad ke 19 dan di Negara yang sudah maju dan berkembang pada abad modern sekarang ini <br />c. Priode-priode penuh disorganisasi dan reorganisasi sepeti masa-masa perang, akan menurunkan angka kematian bunuh diri (karena sisitem pencatatan tidak banyak melaporkannya dan lebih banyak tugas tugas penting lainnya yang harus dikerjakan) ditambah dengan mobilisasi ketahanan mental penduduk pada umumnya.<br />d. Semakin terintegrasi satu kelompok social perimer dan semakin merasa pedih mereka kehilangn anggota yang melakukan bunuh diri, maka semakin besar usaha mereka untuk menyembunyikan peristwa bunuh diri itu.<br />Maurice Halbwachs (1930) kemudian mengembangakan teorinya sebagi satu suplemen dari teori Durkheim mengenai BUNUH DIRI, dengan teori sosiologis yang radikal ia menyatakan:<br />Ada korelasi yang tinggi antara angka kematian bunuh diri dengan kompleksitas suatu masyarakat. Misalnya, gaya hidup pedesaan yang lebih sederhana dari pada gaya hidup urban perkotaaan dan <br />karena itu angka kematian bunuh kota mengatasi situasi-situasi krisis yang dihadapi sehari-hari karena itu banyak agensi kasus bunuh diri membuktikan, bahwa ada korelasi akrab antara tingginya angka bunuh diri dengan disintegrasi social.<br /> Maka inti teori sosiologis yang mutahir menyatakan bahwa semakin terintegrasi secara social atau semakin kurang konfliktius satu set/ perangkat setatus-setatus (seperti usia, ras, status marital, profesi atau pekerjaan sekolah, jaminan hari tua, dll) yang dimiliki oleh anggota –anggota masyarakat, maka semakin sedikit asosiasinya kondisi tersebut dengan peristiwa bunnuh diri.<br />3. Aspek Psikologis Perbuatan Binuh Diri<br />Penyajian tulisan ini bermaksud untuk mendapapatkan kejelasan mengenai fenomena bunuh diri dilihat dari segi kejiwaan pelakunya, dengan tujuan untuk menemukan treatment atau perlakuan dan tindakan –tindakan prefentif guna mencegahkan perbuatan bunuh diri atau pengrusakan diri. <br /> Telah disinggung didepan bahwa bunuh diri merupakan prilaku manusia, yang sadar menginginkan pencabutan nyawa sediri, beralasan motivasi-motivasi tertentu; dan ditambah dengan satu konsep ‘’idealistis’’ mengenai kelanggengan dan kebahagian abadi dari kematian (dengan menghentikan kehidupan sendiri). Maka pendekatan psikologis ini terutama sekali menyoroti segi-segi kejiwaan yang mendorong seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Secara primer, pendekantan ini banyak mendasarkan dari pada konsep SIGMUND FREUD (1917) yang menyatakan bahwa :<br />Gejala intrapsikis yang bersumber dari dalam jiwa manusia, khususnya ketidaksadaran dan individu itulah yang banyak mendorong orang untuk melakukan bunuh diri.<br /> Dalam perumusannya freud menyatakan bahwa bunuh diri merupkan produk dari satu proses dalam mana emosi emosi cinta dan afeksi yang pada mulanya ditujukan kepada obyek seseorang (yang kemudian di internalisasikan dalam diri sendiri), namun cintanya ditolak lalu ia megalami frustasi . peristiwa ini menimbulkan rasa amarah, benci dan sikap bermusuh. Namun, karena obyek kecintaan tadi telah diinternalisasikan dalam dirinya dan bagian dari kepribadiannya, maka perasaan bermusuh dan benci tadi kemudian ditujukan pada diri sendiri. Oleh karena itu, bunuh diri dilihat dari pandangan posikoanalisa bisa dianggap sebagi pembunuhan dalam 180-derajat.<br /> Pendekatan klasik psikoanalisa tidak hanya cendrung secara sistematis mengabaikan factor-faktor social, tetapi juga condong memfokuskan minatnya pada satu kompleksitas tunggal atau satu konstelasi psikodinamika yaitu factor seks. Dalam hal ini ialah kegagalan lilbido seksual. Tetapi pada masa sekarang kita memahami, bahwa orang-orang tertentu membunuh dirinya sendiri beralaskan satu deretan motiv-motiv yang dirasakan secara jiwani. Jadi bukan hanya didasari kebencian dan pembalasan dendam saja, akan tetapi didorong oleh rasa malu, emosi, ketergantungan, rasa bersalah/berdosa, loyalitas, rasa sakit hati, rasa bosan, dll. Seperti juga tidak ada satu formula atau pola tunggal yang bisa menjelaskan secara rinci dan khusus mengenai gejala homo seksualitas dan pelacuran, maka juga tidak ada satu formula psikologis tunggal yang bisa menjelaskan secra gemblang tidak destruksi diri manusia.<br /> Oleh karena itu perlu adanya sintese antara posisi psikologis klinis digunakan untuk mengenali drama internal individu di dalam jiwanya, dengan posisi sosiologis untuk menyimak factor eksternal yang mempengaruhi kehidupan kejiwaan manusia, karena itu Schneidman& Farberow, 1960, menekankan adanya interplay atau proses saling mempengaruhi antara factor-faktor social dan psikologis sebagian peran-peran yang saling mempertinggi /mempercepat terjadinya perubahan bunuh diri individual.<br /> Halbwachs (1930) menyatkan, bahwa penjelasan-penjelasan sisoal dan psikopatologis mengenai buhun diri itu sifatnya lebih komplementer dari pada antitetis. Yaitu adanya pemahaman, bagai mana pengaruh internal dan factor-faktor social (eksternal) digabungkan dan dimasak dalam totalitas individu.<br /> Jadi untuk memahami kejadian bunuh diri, orang perlu mengenal perasaan-perasaan dan fikiran-fikiran, fungsi-fungsi ego, dan konflik-komflik internal ijndividu; disamping memahami bagai mana memahami orang tersebut, mengintegrasikan diri sendiri dengan sesama warga masyarakat dan beberapa besar partisipasi dirinya secara moral sebagai anggota kelompok social tempat hidupnya.<br /> Posisi-posisi taksonomik (system klasifikasi) mengenai gejala bunuh diri banyak dikemukakan para sarjana. Emile Durkheim 1897 membaginya dalam empat tipe yaitu: bunuh diri alturistik, anomik, egoistik, dan fatalistik. Dalam pem bagian ini dapat ditambahkan pendapat Menninger yang mengklasifikasikan gelaja bunuh diri bersumber pada implus-implus bunuh diri, yaitu; keinginan untuk membunuh, keinginan untuk membunuh, dan keinginan untuk mati, 1938. Dia juga menambahkan pengklasifikasian gejala-gejala SUB-BUNUH DIRI ke dalam: <br />1. Bunuh diri kronis, asketisme, kesyahidan atau martyrdom, adikasi atau kecanduan obat-obatan invalidisme,psikosa.<br />2. Bujuh diri fokal (titik temu) pemotongan atau pengrusakan diri, pura-pura sakiit, kecalakaan-kecelakaan gand, impotensi dan frigiditas<br />3. Bunuh diri organik mencakup factor-faktor psikologis dalam penyakit-penyakit organic<br />Campuran dari golongan lain yang mencakup tipe bunuh diri dalah sebagai berikut:<br />- Bunuh diri sebagai komunikasi <br />- Bunuh diri sebagai balas dendam <br />- Bunuh diri sebai kejahatan fantasi <br />- Bunuh diri selakuj pelarian diri yang tidak disadari <br />- Bunuh diri selaku kebangkitan kembali ataui reuni magis <br />- Bunuh diri sebgai kelahiran kembali, dan pemulihan,atau ganti rugi.<br />Satu klasifikasi lagi yang diusulkan oleh schneidman (1961) berkenan dengan gaya logis atau gaya kognitif (dengan analisa logis) membagi bunuh diri dalam tiga tipe yaitu: <br />1. Yang loigis bedasarkan pertimbngan-pertimbangan logis <br />2. Yang katalogis bedasarkan perjiumlahan alasan-alasannya <br />3. Yang paleologis berdasarkan ilmu ketuaan karena undur uzur<br />Sebagian besar dari teori-teori psikoanalitis freud bersumber dari kontribusi teoritis mengenai “duka cita dan melancholia” (1917) dan pendapatnya mengenai instink kematian dalam bukunya “Dibalik prinsip kesenangan (1920) karna itu depresi, dan secarakonsekuen juga bunuh diri itu bisa terjadi, sebagai akibat dari dorongan agresif yang sangat kuat terhadap seorang obyek yang telah diintroyeksikan, yang dahulu sangat dicintai namun sekarang sanga dibencinya.<br />Menninger kemudian menerima konsep mengenai instink kematian tadi, dan memperluasnya menambah tiga unsur dalam bunuh diri, yaitu: keinginan untuk membunuh, untuk dibunuh, dan keinginan untuk mati (1938). Zilboorg (1936) menganggap bunuh dir sebagi untuk menghalang halangi kekuatan-kekuatan eksternal yang masuk dalam diri sendiri, dan sebgai suatu metodeuntuk mencapai keabadian.<br />O’connor menambahkan (1948) pada pristiwa bunuh diri ada perasaan bahwa pribadi yang bersangkutan akan mencapai yang mahakuasaan dengan jalan kembali menuju kekuatan narasisme. <br />Palmer (1941) mensugestikan, bahwa perkembangan psikoseksual yang tertahan terhalang-halang sebagai akibat dari ketidak bersediaan atau penolakan figure-figur penting dalam taraf-taraf perkembangan yang gawat, merupakan mekanisme asasi bagi terjadinya peristiwa bunuh diri. <br />Garma (1943) menekankan kehilangan satu obyek cinta yang penting artinya bagi seorang pribadi dan kemudian menggunakan jalan bunuh diri untuk memulihkan kepedihan hatinya.<br />Bergler (1946) melukiskan<br />1. Bunuh diri introyeksi sebagai suatu agresi terhadap perasaan perasaan bersalah atau berdosa. <br />2. Bunuh diri histeris sebagai darmatisasi bagai mana seseorang itu benar-benar tidak senang diperlakukan dengan cara tertentu<br />3. Bunuh diri yang serbaneka (miscellaneous type) seperti schizofenia paranoid, yang mereaksi terhadap suara-suara tertentu.<br /><br />Farberow (1961), kecuali unsur-unsur yang tercantum dibagian atas, masih menambahkan beberapa factor penyebab yaitu:<br />1. Ketergantungan yang telah dikecewakan atau terhambat<br />2. Kerinduan dan kelahiran ulang yang spiritual <br />3. Keinginan mencari kontak dengan jati diri /the self dengan jalalan merusak ego, atau melakukan bunuh diri<br />4. Perasaan-perasaan inferior yang sangat kuat, dan agresi yang terselubung pada individu-individu yang sangat bergantung pada orang lain, dengan penampilan diri bergaya hidup manja <br />5. Tipe kebencian diri dari struktur kepribadian yang berubah menjadi defresif, disebabkan oleh pengalaman-pengalaman interpersonal<br />6. Aliensi (rasa keterasingan) dan perasaan-perasaan disparitas/perbedaan antara aku yang diiderealisir dengan aku-riil<br />7. Usaha-usaha pribadi untuk mensahkan dirinya sesuai dengan kerangka ‘’konstruksi-kontruksi’’ sendiri<br />Maka factor-faktor psikologis itu benar-benar merupakan inti penggerak bagi usaha bunuh diri. Factor-faktor ini tidak hanya mencakup status pribadi sekarang dan konstelasi psikodinamis individu yang bersangkutan, akan tetapi juga motivasi-motivasi alasan-alasan perbuatannya, fikiran-fikiran dan perasaan-perasaan yang menuntut pada perbuatan bunuh diri, disamping hubungan interfersonal dan intrapersonal.<br />Motivasi-motivasi interpersonal dalam kasus bunuh diri terjadi apa bila pribdi yang melakukan tindakan bunuh diri tersebut lewat perbuatannnya berusaha untuk mempengaruhi t erjadinya perubahan sikap pada orang-orang lain; atau mengharap adanya perubahan tingkah laku pada orang lain. Karena itu bunuh diri dapat dilihat sebagai alat untuk mempengaruhi, membujuk,mendesak , memakasa, memanipulasikan, merangsang, mengubah, mengajak, dan memulihkan, perasaan –pikiran perbuatan orang lain. Orang lain ini biasanya adalah pribadi yang mempunyai relasi akrab denan dirinya, seperti suami istri , tunangan, atau anggota keluarga.<br />Motifasi-motivasi interpersonal ini dapat kita temukan pada semua usia; akan tetapi paling banyak kita temukan pada usia puber-adolesensi dan usia pertengahan, yang biasanya mereaksi dengan paksaan-paksaan yang kuat sekalai, penuh agitasi, disertai rasa ketergantungan ketidak dewasaan, pertimbangan yang tidak matang/miskin, dan implusivitas. Perbuatan bunuh diri juga digunakan sebagai ekspresi dari kemarahan, penolakan, dan pemaksaan kesediaan untuk menguah priaku pada respon-respon lain; atau untuk menumbuhkan perasaan-perasaan bersalah kepada mereka.<br />Motivasi-motivasi interpersonal paling banyak mucul pada orang-orang yang lebih tua, dalam mana: 1. Telah banyak hilang emosi ikatan-ikatan dengan pribadi lain <br />2. pribadi-pribadi merasakan adanya tekanan-tekanan dan ketegangan-ketegangan dari dalam, dan perlunya melakukan satu perbuatan penting yaitu bunuh diri.<br />3. mereka merasa bahwa kaitan-kaitan dengan orang-orang yang dekat dengan dirinya sudah sangat longgar misalnya karena dia ditinggal mati suami/istri anak-anak sudah berumah tangga sendiri-sendir, badan sudah sakit-sakitan dan dilupakan orang <br />4. hingga muncul kemudian emosi-emosi yang sangat kuat berupakan perasaan yang amat kesepian merasakan tidak diperlukan lagi, tidak bisa berkerja dengan efektif, badan semakin lemah dan sakit-sakitan dan bahwa dia sudah pernah hidup dan kini tidak punya apa-apa lagi. Suasana hatinya dipenuhi unsure depresi, dibarengi keinginan megucilkan diri, dan habis terkuras tenaganya secara fisik dan emosional lalu muncullah keinginan untuk mati saja.<br />Pada peristiwa bunuh diri ini ada semacam (1)”kegairahan’’ kronis dan patologis (yang tidak bisa ditahan atau diatur) (2) disertai penderitaan mental/batin yang sangat parah, yang disebabkan oleh kejadian-kejadian hebat atau pengalaman traumatis. Antara lain berupa kehilangan seseorang yang amat dikasihi, mendapatkan penghinaan habis-habisan, keluarga berantakan, ketergantungan mutlak secara elonomis, mengalami kekalahan atau kebangkrutan total, ada goncangan psikologis, dan frustasi-frustasi social dan seriuas lainnya.<br />Kasus bunuh diri pada umunya banyak terjadi pada usia 14-50 tahun, namun lebih dari separuhnya delakukan oleh orang-orang dengn usia sekitea 30-an hal ini mengindikasikan bahwa factor-faktor eksternal dan social misalnya keluarga, masyarakat lingkungan sekitar, dan lembaga-lembaga social yang ada itu bisa ikut memainkan peran pennting dalam usaha mengatasi dan mencegah perbuatan bunuh diri; yaitu ikut membantali penderitaan batin, dan menolong penderitanya dalri kesulitannya.disamping itu lembga-lembaga agama bisa ikut memainkan peran dalam bimbingan kesehatan jiwa para penderita, dan mencegah orang melakukan tindakan bunuh diri.<br />4. UPAYA PREVENTIF DAN PENGONTROLANNYA<br />Bnuh diri merupkan gejala personal sekaligus juga gejala social yang kompleks, dan sebab-sebabnya juga sama kompleksnya. Namu pada masa krisis dan sulit serta menghadapinya ancaman bahaya besar misalnya waktu mengalami bencana alam atau musibah perang, menghadapi serbuian musuh dan lain-lain. Jarang sekali orang melakukan tindakan bunuh diri <br />Sebaliknya, pada masa-masa penuh kejayaan dan kemakmuran, dengan macam-macam faslitas dan keenakan hidup justru banyak orang muda yang putus asa dan melakukan bunuh diri; yaitu didorong oleh rasa kejemuan dan kekosongan jiwa pad masa kemakmuran. Hal ini juga mengindikasikan, bahwa gairah hidup dan semangat mempertahankan diri pada kelompok disaat kritis itu benar-benar menyerap energy dan potensi individu untuk tetap bertahan hidup di saat-saat yang sangat sulit dan kritis itu.<br />Maka semngat jaung dan kegairahan hidup justru bisa mencegah orang melakukan bunuh diri, yang pada masa-masa normal besar kemungkinan tidak akan mampu dilakukan orang; dan akan membebaskan orang yang bersangkutan dari semua frustasi dan kepedihan pribadi dengan kata-kata lain, masa-masa krisi penuh bahaya dan tantangan itu memberikan ‘’daya ungkit’’ sosiopsikis temporer pada pribadi manusia untuk menegakkan keberadaan dirinya.<br />Sebaliknya, kehampaan hidup tanpa bobot dan arti diliputi-emosi-emosi tanpa guna dan sia-sia hidup di-dunia sungguhpun diliputi segala macam keenakan dan kemewahan justru bisa memberikan kepada bebrapa persons stimulasi melakukan perbuatan memusnahkan diri sendiri. Sekalipun trauma atau kepedihan mental bisa mendorong seseorng melakukan perbuatan bunuh diri, namun sumber azlinya terletak pada kondisi disorganisasi social yang pada saatnya akan menyebabkan disorganisasi personal.<br />Perubahan yang serba cepat disebabkan oleh proses urbanisasi, indurtrilisasi,mekanisasi dan teknologi canggih mengakibatkan banyak ketidak stabilan dan disorganisasi kuhususnya, kehancuran kontak-kontak intim antara individu dengan anggpota-anggota kelompoknya. Kejadian ini pasti menimbulkan rasa kesepian, ketakutan, kecemasan, kebingungan, kekacauan fikir, rasa tidak aman dan kepanikan. Dan dalam keputusasaan orang melakukan bunuh diri. Maka banyak penyelidik mengenai kasus bunuh diri membuktikan, bahwa ada korelasi akrab antara tingginya angka bunuh diri dengan disorganisasi social.<br />Bunuh diri merupakan reaksi personal yang tampaknya tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara lain kecuali tidak memusnahkan diri sendiri; yaitu merupakan reaksi paling akhir seseorang terhadap beban tekanan batin yang paling puncak.<br />Motiv-motiv- bunuh diri itupun berpariasi sebanyak jumlah orang yang dengan sengaja menggujnakan satu-satunya metode destruski diri ini untuk melepaskan diri dari kesulitan hidupnya. Misalnya rasa kehilangan kehormatan ini, runtuhnya posisi social, hapusnya kebebasan diri , kegagalan bercinta, rasa-rasa inferior yang serius, rasa aib dan malu besar, kesulitan dalam relasi seksual yang kronis, relasi personal yang mengecewkan, semua itu tampaknya ikut mendorong orang untuk melarikan diri ke ujung dunia mencari keabadian spiritual, dengan jalan bunuh diri.<br />Hanya satu factor penyebab saja, meskipun peristiwa ini amat serius, tidak mungkin bisa mendorong orang melakukan tindak bunuh diri. Sebabnya, biasanya peristiwa pristiwa permusuhan diri itu sudah didahului oleh frustasi-frustasi berat dan konflik-konflik emosional lainnya yang sangat parah kejadian-kejadian eksternal tadi ikut mempertajam kekacauan mentral orang yang bersangkutan, dan mempercepat keinginan orang untuk melakukan perbuatan bunuh diri. Ada pun kekuatan-kekuatan asai dalam kehidupan kejiwaan yang sering mengusik ketenangan batin dan banyak menimbulkan stress dan konflik batin ialah;<br />- Ketakutan <br />- Kecemasan <br />- Rasa-rasa inferior<br />- Dendam,benci, <br />- Nafsu membalas ,agresvitas<br />- Dan rasa-rasa berdosa<br />Oleh emosi-emosi negative orang justru tidak mempu mencapai kedewasaan psikis dan kestabilan emosional. Kemudian dalam ujung keputusannya dia melakukan prilaku bunuh diri. Jadi bunuh diri merupakan kompleks reaksi dari disintegrasi total/umum pada pola kehidupan indiovidu. Krisi-krisi pribadi dan krisis-krisis social ditengah masyarakat turut memperkuat keinginan orang untuk melarikn diri dari realitas hidup yang dirasakan seperti tidak tertanggungkan lalu orang melakukan bunuh diri.<br /> Maka krisis-krisis puncak dalam bentuk perbautan bunuh diri itu biasanya disebabkan oleh runtuhnya organisasi hidup, karena terjadinya serbuan kekuatan-kekuatan eksternal yang tidak bisa ditahan atau dikontrol, kemudian orang yang bersangkutan salah menanggapi dan salah memasak pengalaman tadi dalam kepribadian sendiri(internal yang salah) selanjutnya orang merasa amat capai, tidak berdaya, gagal, jadi depresif, dan pada akhirnya melakuakan bunuh diri.<br />Ringkasannya bunuh diri itu disebabkan oleh bertemunya dua factor yang saling memperngaruhi (hukum konvergensi) yaitu:<br />1. Ketidak stabilan/ketidak sehatan mental dengan unsure-unsur berkurngnya kesadaran, konflik-konflik emosional, kelicikan dan kelemahan pribadi, tidak berani menghadapi tantangan kesulitan hidup (banyak tendens untuk melarikan diri) depresi, organic, dan ketidak imbangan antara dorongan hidup melawan hasrat ketergantungan infantile si penderita;<br />2. Dan oleh bentuk-bentuk disorganisasi social ditengah masyarakat yang pada saatnya akan memprodusir disorganisasi-disintegrasi personal pada perorangan . <br /><br /><br /><br />5. Tipe-tipe bunuh diri <br />Shneidman (dalam Barlow dan Durand, 2002) membedakan bunuh diri berdasarkan individunya ke dalam empat tipe. Berikut empat tipe bunuh diri menurut Shneidman :<br /><br />a. Pencari Kematian (Death Seekers). <br />Individu-individu yang termasuk dalam tipe ini adalah individu yang secara jelas dan tegas mencari dan menginginkan untuk mengakhiri kehidupannya. Kesungguhan mereka untuk melakukan tindakan bunuh diri, sudah hadir dalam jangka waktu yang lama, mereka telah menyiapkan segala sesuatunya untuk kematian mereka. Mereka telah memberikan barang-barang milik mereka kepada orang lain, menuliskan keinginan mereka, membeli sepucuk pistol, lalu segera bunuh diri. Selanjutnya, kesungguhan mereka akan berkurang, dan jika mereka gagal melakukan bunuh diri, mereka kemudian menjadi ragu atau kebingungan (ambivalent) dalam memutuskan untuk mati.<br /><br /><br />b. Inisiator Kematian (Death Initiators). <br />Inisiator-inisiator mati juga mempunyai keinginan yang jelas untuk mati, tetapi mereka percaya jika kematian mau tidak mau akan segera mereka rasakan. Individu yang menderita penyakit serius tergolong ke dalam tipe ini. Sebagai contoh, beberapa penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus), sebelum mereka mendapatkan perawatan, baik itu perawatan medis atau bukan, terlebih dahulu memutuskan untuk bunuh diri. Hal ini mereka lakukan dengan pertimbangan bahwa mati lebih baik dari pada harus menghadapi penyakit mereka yang mau tidak mau akan bertambah parah dan kemungkinan berubahan menjadi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome).<br /><br />c. Pengabai Kematian (Death Ignorers).<br /> Bersungguh-sungguh untuk mengakhiri kehidupannya, tapi mereka tidak percaya jika keinginan tersebut merupakan akhir dari keberadaan (existence) dirinya. Mereka meyakini bahwa mati merupakan awal dari kehidupan mereka yang baru dan lebih baik. Kelompok-kelompok keagamaan tertentu termasuk ke dalam kategori ini. Sebagai contoh, pada tahun 1997, 39 orang anggota Heaven’s Gate cult melakukan bunuh diri massal.<br /><br />d. Penantang Kematian (Death Darers). <br />Ragu-ragu (Ambivalent) dalam memandang kematian, dan mereka bertindak jika kesempatan untuk mati bertambah besar. Tetapi hal tersebut, bukanlah suatu jaminan jika mereka akan mati. Orang-orang yang menelan segenggam obat atau pil tanpa mengetahui seberapa berbahaya obat atau pil tersebut, kemudian memanggil seorang teman, tergolong ke dalam tipe ini. Anak-anak muda yang secara acak memasukkan sebuah peluru ke dalam pistol, kemudian mengarahkan ke kepala mereka juga termasuk ke dalam tipe ini. Orang-orang yang termasuk Death Darers, adalah orang-orang yang membutuhkan perhatian atau membuat seseorang atau orang lain merasa bersalah. Dan hal tersebut, melebihi keinginan mereka untuk mati.<br /><br />6. Cara Pencegahan Dan Penaggulangan<br />Untuk mengurangi kasus bunuh diri, mencegah, dan menyembuhkan para penderita yang telah gagal melakukan bunuh diri, disarankan agar pemerintah dan masyarakat dapat melakuakan kegiaan sebagai berikut<br />1. Mendirikan pusat studi tentang pencegahan bunuh diri, dibawah naungan satu lembaga nasional hygiene mental yaitu suatu gerakan disiplin ilmu multidisipliner yang tersebut ‘’sucidology’’ studi humani dan ilmiah mengenai destruksi diri pada pribadi manusia yang memberikan training khusus masalah bunuh diri<br />2. Pemerintah masyarakat diharapkan memberikan lebih banyak jaminan keamanan dan jaminan social kepda anak-anak dan semua warga Negara agar mereka selalu terlindung dan sehat mentalnya sehingga bisa bebas mnegaktualisasikan diri secar aktif untuk menegakkan martabat dirinya.<br />3. Secepat mungkin melakukan resturasi pada pola-pola kelembagaan formal yang cukup berwibawa dan sesuai dengan tuntunan hidup modern ‘’wibawa’’ dalam pengertian bisa menegakkan standar, moralitas disiplin nasional, norma-norma dan nilai-nilai hidup baik/benar, yang dipatuhi dorang banyak; dan mampu mengontrol serta mengatur prilaku warga masyarakat dalam tata hidup yang hygienis secara mental dan social<br />4. Dianjurkan agar berorganisasi kemasyarakatan lebih banyak memberikan penekanan pada pembentukan kontak-kontal social yang lebih akrab, kegotong royongan yang lebih bermakna dan penyusunan interes kelompok baru yang sesuai dengan tuntutan zaman, untuk menggantikan kontak-kontak lama dan kelompok interes yang telah luluh berantakan atau mentalami erosi berat, diharapkan pula bahwa organisasi kemasyarakatan ini bisa menegakkan idela-idela kelompok yang sehat, norma dan standar hidup yang wajar kerukunan hidup beragama, moralitas bangsa yang tinggi penegakkan disiplin hidup dan etik kerja yang tinggi serta memberikan simpati dukungna moril dan bantuan nyata kepada mereka yang tengah menderita lahir bathin.<br />5. Memberikan lebih banyak bimbingan psikologis kepada anak-anak, orang-orang muda dll, dalam hal memupuk integritas psikologis/kejiwaan supaya bisa menjaga harga diri, hidup religious, memiliki tanggung jawab susila, memiliki ego struktur yang luwes, memiliki adabtabilitas tinggi ditengah banyak perubahan. Juga memupuk rasa bebas tidak terikat dalam mengekspresikan diri, memiliki konsep diri yang sehat dan berani meghadapi setiap tantangan hidup dengan ketabahan.<br />6. Khususnya pemberian bimbingan psikologis dan psikiatris kepada orang-orang yang mempunyai kecendrungan untuk melakukan perbuatan bunuh diri dengan jalan;<br />- Memperkuat integrasi kejiwaan<br />- Mempelancar fungsi-egonya untuk mengikuti jalan hidup yang sehat.ss<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR KEPUSTAKAAN<br />• Hygien mental,kartini kartono,mandar maju<br />• Kesehatan mental, yustinus semiun, kanisius<br />www.fenomens bunuh diri.comAbdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-37826735868535332092011-03-14T07:14:00.000-07:002011-03-14T07:15:45.639-07:00histeriaNama Kelompok : Darmawita <br /> Nur Aein<br />MK : Kesehatan Mental II<br />Daftar Fustaka :<br />Dr. Zakiah Darajat, Kesehatan Menteal, PT Gunung Agung, Jakarta : 1982<br />Kartini Kartono, Hygiene Mental, CV Mandar Maju, Bandung : 1972<br />http//www.google.com<br /><br /><br /><br />PEMBAHASAN<br />HISTERIA<br /><br /><br /> Histeria merupakan suatu kompleks neurosa mengambil bentuk yang bervariasi. Biasanya gangguannya ditandai oleh ketidakstabilan emosional, represi, dissosiasi, dan sugestibilitas.<br />Gangguan jiwa yang sudah dikenal sejak dulu ialah hysteria. Pada permulaan, orang menyangka bahwa yang dihinggapi penyakit ini hanya kaum wanita. Akan tetapi kemudian pendapat itu berubah setelah Freud menemukan bahwa laki-lakipun dapat dihinggapi penyakit ini.<br />Seperti gangguan jiwa lainnya hysteria juga terjadi akibat ketidakmampuan seseorang menghadapi kesukaran-kesukaran, tekanan perasaan, kegelisahan, kecemasan dan pertentangan batin. Dalam rnenghadapi kesukaran itu orang tidak mampu menghadapinya dengati cara yang wajar, lalu melepaskan tanggung jawab dan lari secara tidak sadar kepada gejala-gejala hysteria yang tidak wajar. Diantara gejala-gejalanya ada yang berhubungan dengan fisik dan ada pula yang berhubungan dengan mental.<br /><br /><br /><br /><br /><br /> Pada permulaan, orang menyangka bahwa yang dihinggapi penyakit ini hanya kaum wanita. Akan tetapi kemudian pendapat itu berubah setelah Freud menemukan bahwa laki-laki pun dapat dihinggapi penyakit ini.<br />Seperti gangguan jiwa lainnya hysteria juga terjadi akibat ketidakmampuan seseorang menghadapi kesukaran-kesukaran, tekanan perasaan, kegelisahan, kecemasan dan pertentangan batin. Dalam menghadapi kesukaran itu orang tidak mampu mnghadapinya dengan cara yanh wajar, lalu melepaskan tanggung jawab dan lari secara tidak sadar kepada gejala-gejala hysteteria yang tidak wajar<br /><br />Defenisi histeria :<br />1) Hysteria adalah gangguan atau disorder psikoneurotik yang khas ditandai oleh emosionalitas ekstrim, mencakup macam-macam ganguan fungsi psikis , sensoris, motoris,. Vasomotor ( syraf-syaraf yang membesarkan atau mengecilkan pembuluh-pembuluh darah ) dan alat pencernaan, sebagai produk dari represi terhadap macam-macamkonflik dalam kehidupan kesadaran.<br /><br /><br />2) Hysteria adalah penyakit yang karakteristik berupa dissosiasi kepribadian terhadap lingkungannya dalam berbagai bentuk dan gradasi, disebabkan oleh banyak konflik psikis atau internal, yang kemudian ditransformasikan dalam symptom-simptom fisik yaitu dalam bentuk hysteria konversia dan somatisme.<br /><br /><br />3) Hysteria adalah suatu neurosa kompleks dengan bentuk yang bermacam-macam dengan cirri ketidakstabilan emosional, represi, dissosiasi dan sugestibilitas. Keanekaragamannya berbentuk hysteria, konversia, somnabulisme, fugue, dan kepribadian majemuk.<br /><br /><br /><br /><br /><br />Jenis-jenis hysteria :<br />a) Hysteria konversia<br />Dengan tanda-tanda konflik mental yang diubah ke dalam symptom-simptom jasmaniah seperti kelumpuhan, kebutaan, dan anesthesia a tau mati rasa.<br />b) Somnabulisme atau tidur berjalan<br />c) Fugue atau pelarian , dengan mana penderita jadi kehilangan ingatan akan pengalaman-pengalaman pribadi dimasa lalu.<br />d) Pribadi majemuk <br />Pribad ganda atau majemuk mutiplepersonality, yaitu kepribadian yang terbelah dalam dua, tiga atau lebih kepribadian, dengan dissosiasi, serta kesadaran-kesadaran yang berbeda.<br /><br />Ciri-ciri kepribadian penderita hysteria antara lain sebagai berikut :<br />a) Pasien bersifat sangat egoistis, selfish dan semau gue, perangainya semisal anak yang manja dan busuk. Selalu menginginkan perhatian dan belas kasihan sebanyak-banyaknya, disamping mengharapkan pujian.<br />b) Selalu merasa tidak bahagia sangat sugestibel dan sensitive sekali terhadap opini orang lain. Selanjutnya dia melakukan semua sugesti orang lain itu untuk mendapatkan pujian, perhatian dan persetujuan. Akibatnya, ia malah mengalami banyak kebingungan dan konflik batin.<br />c) Emosinya sangat kuat dan semua penilaiannya ditentukan oleh rasa suka tidak suka yang kuat.<br />d) Selalu cenderung untuk melarikan diri dari kesulitan dan hal-hal yang tidak menyenangkan. Lalu berusaha dengan symptom-simptom fisik yang sengaja dibuat-buat, ditiru atau dihebatkan berupa gejala pingsan dan pura-pura sakit, untuk memperpanjang usaha melarikan diri , atau berusaha untuk mendapat kan maaf serta belas kasihan dari orang luar, tujuan utama dari perbuatannya ialah untuk menghindari tugas-tugas tertentu atau menghindari situasi yang tidak menyenangkan.<br /> Pendapat aliran psikoanalisa mengatakan bahwa kelemaha pribadi berupa pembawaan. Timbul fiksasi ide-ide yang keliru dan macam-macam perasaan negative ( malu, bersalah, berdosa, gagal )..yang ditekan menjadi komplek terdesak dan kemudian timbul menjadi banyak komplik internal, elemen-elemen yang ditekan dalam ketidaksadaran itu lalau ditampilkan keluar melalui motor behavior.<br /> Jadi, symptom histeris itu merupakan ekspresi yang dikamuflase dari fiksasi ide-ide dan elemen-elemen yang ditekan tadi. Selanjutnya terjadi dissosiasi antara dirinya dengan lingkungannyadalam berbagai bentuk dan graadasi.<br /><br /><br />Stigma atau ciri khas yang sering menyertai gejala histeris adalah :<br />1) Sering merasa pusing. Bisa juga mengalami stupor bagaikan terbius dan tidak merasakan apa-apa. Kadang-kadang seperti dalam keadaan trance ( seperti dlaam mimpi yang spiristis, merawankan jiwa )<br />2) Menjadi sangat pelupa atau pikun, sering dibarengi symptom somnabulistis, fugue, ataupun pribadi majemuk.<br />3) Adakalanya timbul keakitan-kesakitan histeris sekalipun tidak ada kesakitan organis yang disebabkan oleh sugesti diri dan ide-ide fixed yang salah ( merasa betul-betul sakit ).<br />4) Ada juga yang menderita kelumpuhan, anggota badan menjadi kaku, buta, tuli dan disertai invalidisme lain-lain yang sifatnya sementara.<br />5) Sangat sugestibel, egosentris , selfish, dengan emosi yang tidak stabil.<br />6) Ada tics ( gerak-gerak fical, diwajah ) dan tremor atau selalu bergetar atau gemetaran, ada juga yang sering kali kejang-kejang dan mau muntah.<br />7) Ada anaesthesia, yaitu tidak bisa merasa apa-apa. Dan sering mendapat gangguan pada alat pernapasan.<br /><br /><br /><br /><br /><br />Ada empat bentuk hysteria yaitu :<br />a) Hysteria minor ( bentuk lunak dari symptom hysteria )<br />Ditandai oleh serangan-serangan kekejangan atau comvulsive. Penderita suka menangis dan tertawa-tawa dengan tidak terkendali atau terkontrol, sebagai mekanisme pelepasan emosi-emosi yang kuat.<br />b) Hysteria mayor ( hysteria konversia )<br />Ada transformasi dari konflik-konflik psikis kedalam symptom-simptom fisik atau organis atau jasmaniah yaitu berbentuk, rasa bingung, genpar, heboh, kadng-kadang penderita melakukan gerak-gerikmirip symptom epileptis, semua gangguan psikoneurotis tersebut disebabkan oleh rasa kecemasan yang ditransformasikan atau di ubah dalam symptom fungsional pada organorgan atau bagian tubuh dan berlangsung di bawah control syaraf kemauan, jadi disadari segenap symptom keluar atau dilakukan dengan sengaja, untuk mengurangi kecemasan, pada galibnya hysteria mayor ini merupakan simbolisasi atau ekspresi dari konflik-konflik mental yang tersembunyi.<br /> <br /> Reaksi hysteria antara lai berwujud hilangnya rasa sensoris atau anaesthesia, hilangnya rasa pengecap, menjadi buta atau tuli ada pula bentuk paralisa atau kelumpuhan , paresis atau lumpuh sebagian, aphonia atau tidak bisa bicara, dan hemiplegia ( lumpuh pada satu sisi badan ) .<br /><br /> Bisa juga berupa gangguan dyskinesis atau gangguan gerak, yaitu : tics, tremor, sikap badan yang salah atau catalepsy yaitu seluruh tubuh menjadi kaku, mengalami kejang-kejang dan jadi pingsan. Symptom-simptom tadi sering kali berupa perbuatan pura-pura atau di buat berlebih-lebihan simptomnya , dengan tujuan mendomonir dan mentiransir lingkungan melalui kelemahan dan rasa invalidismenya atau bertujuan menghindari tugas-tugas, tanggung jawab dan situasi yang tidak disenangi dan bisa di maafkan segala kelemahan serta kegagalannya lalu dirinya dikasihani.<br /><br /><br /> Ringkasya reaksi-reaksi konversia ini merupakan symptom-simptom ganguang yang secara logis atau simbolis berkaitan dengan konflik-konflik psikologis atau berupa usaha untuk menghilangkan kecemasan dan ketegangan. <br /><br />c) Hysteria narkolepsi, ( narko atau narcosis sama juga dengan lumpuh terbius, tidur terus menerus seperti terbius.<br />Ada kecendrungan kuat untuk terus menerus tidur disebabkan oleh symptom histeris ( bukan oleh kelelahan atau oleh penyakit tidur ), tidurnya berlangsung dari beberapa jam sampai bebrapa hari, si penderita banyak tersenyum-senyum dan berkata-kata selagi tidur.<br /><br /> Sebab-sebabnya ialah kelemahan jasmani ditambah pengalaman-pengalaman emosional yang tidak menyenangkan timbul kemudian fantasi tentang mati, tidur atau jadi pingsan dalam tidurnya, penderita ingin melupkan semua konflik batin dan derita hidupnya atau dia ingin mati saja dalam tidurnya.<br /><br />d) Hysteria anoreksi ( tanpa lapar )<br />Penderita tidak merasa lapar dan menolak untuk makan, ini berlangsung selama beberapa hari, beberapa bulan, sampai beberapa tahun, sehingga berakibat patal. Yaitu mati kelaparan, penolakan untuk makan biasanya dimulai dengan gejala sakit perut dan rasa nyeri pada lambung, lalu tidak ada nafsu makan dan benar-benar orang yang bersangkutan juga tidak merasa lapar.<br /><br />Sebab-sebab hysteria anoreksi antara lain adalah :<br />1) Ada sikap berhati-hati yang ekstrim tentang makanan , yang kemudian berkembang menjadi fobia terhadap makanan.<br />2) Ada ide fixed atau fikiran melekat yang salah bahwa makanan itu adalah vulgair, rendah, kasar, menjijikkan, tidak pantas dan lain-lain, sehingga pasien menolak untuk minum dan makan.<br />3) Ada pengalaman – pengalaman emosional yang tidak menyenangkan, sehingga timbul keinginan kuat ( yang ditekan ) untuk mati kemudian ditransformasikan dalam bentuk sikap tidak mau makan.<br /><br />Cara penyembuhan symptom hysteria<br />a) Dengan hukuman-hukuman dan terapi kejutan sering berhasil. Akan tetapi ada kalanya juga tidak menumbuhkan mekanisme adjustment yang tepat dan positif. Sehingga terapi tersebut gagal.<br />b) Dengan memberikan sugesti untuk menyadarkan penderita pada realitas hidup dan menemukan mekanisme penyesuaian diri yang sehat. Lalu mengarah pada integrasi serta keseimbangan pribadi.<br />c) Menganalisa element-element yang ditekan dan menyadarkannya. Semua ide fixed dilenyapkannya dan unsur-unsur dissosiasi diintegrasikan dengan kepribadian. Bila pasien menyadari sifat dari kesukarannya dan menyadari kelemahan sendiri, symptom-simptom akan hilang dengan sendirinya.<br />d) Usaha redukasi melalui pemberian motivasi-motivasi hidup yang luhur mengarahkan pada tujuan hidup yang berarti, memberi sugesti-sugesti, di arahkan agar pasien mau berfikir kritis dan menggunakan insighat, menghilangkan ide-ide fixed.<br /><br /> Pasien harus menyadari, bahwa symptom-simptomnya itu adalah akbat dari cara berfikir, cara bertindak dan cara penyesuaian diri yang salah terhadap segenap kesulitan hidup yang dihadapi. <br />Termasuk dalam gejala-gejala fisik antara lain, ialah : <br />a) Lumpuh hysteria<br />Yang dimaksud dengan lumpuh hysteria, adalah lumpuhnya salah satu anggota fisik, akibat tekanan atau pertentangan batin yang tidak dapat diatasi. Biasanya si sakit menggunakan gejala ini secara tidak sadar untuk membela diri dan untuk mengatasi kesukaran-kesukaran yang dihadapinya. Biasanya gejala lumpuh itu terjadi tiba-tiba dan si sakit sebelum itu tidak merasa apa-apa.<br /><br />Contoh :<br />Di waktu perang, seorang anggota militer diserang oleh lum¬puh pada jari telunjuknya. Jari tersebut tiba-tiba lumpuh (tidak bisa digerakkan) di waktu ia berhadapan dengan musuh. Pada waktu dioperasi ternyata tidak terdapat apa-apa pada jari tersebut dan tiada satupun di antara urat saraf yang ter¬ganggu. Dari penelitian selanjutnya terbukti bahwa kelum¬puhan telunjuk itu adalah akibat dari perasaan himbang waktu ia akan menembak musuhnya. Ia bimbang antara menembak (matinya musuh) dengan tak ingin menembaknya. Akhirnya kelumpuhan jarinya itu menolongnya dalam mengatasi problemnya.<br /><br />Contoh lain :<br />Seorang gadis tiba-tiba Langan kanannya lumpuh, tidak bisa lagi digunakan untuk bekerja. Si gadis cepatcepat dibawa kei- rumah sakit, supaya segera dapat tertolong. Tetapi, setelah d periksa dokter antara lain dengan sinar X, terbukti bahwa tidak satupun bagian urat, otot dan sebagainya dari tangan itu yang rusak atau tidak teratur jalannya. Akhirnya, riwayat hidup dan pengalaman-pengalaman si gadis diselidiki, dan ter¬bukti bahwa ada satu peristiwa yang menyebabkan lumpuh tangannya itu. Suatu ketika si gadis berkenalan dengan se¬orang malia:'iiswa pada Fakultas Kedokteran. Perkenalan mereka makin lama makin intim, dan hubungan antara keduanya telah diketahui oleh orangtua si gadis. Si pemuda berjanji akan kawin dengan gadis tersebut, apabila ia telah selesai dari<br />Studinya. Setelah ia tamat dan menjadi dokter, ia minta supaya si gadis bersabar dulu, karena ia ingin bekerja (merasakan menjadi dokter) lebih dahulu, sebelum berumahtangga. Sementara itu hubungan biasa berjalan terus. Tidak lama yang sesudah itu dokter muda itu pindah praktek ke kota yang jauh dan kota tempat si gadis itu tinggal.<br /><br /><br /><br /><br /><br />Sejak itu hubungan antara keduanya hanya dengan surat- menyurat. Orang tua si gadis mulai gelisah melihat keadaan anaknya, yang ditinggalkan begitu saja oleh dokter tersebut, dan melarang anaknya menulis surat dan menyuruh agar hubungan itu diputuskan saja, karena mengira bahwa dokter itu tidak mau mengawini anaknya. Larangan itu makin keras, dan si gadis diancam dengan hukuman, jika ia tidak memutus¬kan hubungannya itu.<br />Si gadis bimbang, karena ia ingin menulis surat kepada dokter yang masih diharapkannya, tapi ia takut Melanggar perintah orang tunya. Akibatnya ia mengalami pertentangan batin yang tidaak dapat diatasinya, akhirnya tiba-tiba ia merasa bahwa tangannya yang kanan tidak bisa bergerak lagi. Kelumpuhan tangannya itu, menolongnya (secara tidak sadar) dal am menghadapi kesukaran tersebut.<br /><br />b) Cramp hysteria<br />Cramp hysteria disebabkan pula oleh tekanan perasaan, yang seringkali terjadi pada penulis yang mencari penghidupan dengan tulisan-tulisannya. Apabila is mengalami bahwa tulisannya tidak banyak mendapat sambutan orang, is kadang-kadang dihinggapi oleh cramp pada jari-jarinya waktu akan menulis. Tapi untuk pekerjaan lain masih bisa digunakan jari-jari itu.<br />Cramp hysteria itu banyak pula kejadian pada pemain-pemain biola, jurutik, tukang jam dan pegawai-pegawai di kantor telepon. Penyakit-penyakit itu terjadi karena kegelisahan dan kecemasan yang dirasakannya akibat kebosanan menghadapi pekerjaan¬-pekerjaan itu.<br /><br />c) Kejang hysteria.<br />Kejang hysteria yaitu badan seluruhnya menjadi kaku, tidak sadar akan diri, kadang-kadang sangat keras, disertai dengan teriakan-teriakan dan keluhan-keluhan, tapi air mata tidak keluar. Kejang-kejang ini biasanya terjadi pada siang hari selama beberapa menit saja, tapi mungkin pula sampai beberapa hari lamanya.<br /><br /><br />Di antara tanda-tanda kejang hysteria ialah, dalam pandangan matanya terlihat kebingungan. Setelah kejadian itu, biasanya si sakit kebingungan, tidak mau bicara atau menjawab pertanyaan¬pertanyaan yang diajukan kepadanya. Biasanya serangan ini terjadi akibat emosi yank sangat menekan, seperti rasa tersinggung, tertekan perasaan, penyesalan, sedih dan sebagainya. Orang yang terserang itu biasanya berusaha memegang, atau menarik apa saja yang dapat dicapai. Sebaiknya orang yang diserang kejang hysteria itu ditinggalkan saja sebagaimana adanya.<br /><br />Contoh :<br />Seorang calon mahasiswi berurnur 20 tahun sedang menjalan¬kan masa prabakti. Ketika apel tengah hari dengan kawan¬kawannya tiba-tiba ia jatuh pingsan dan tidak sadarkan diri. Teman-temannya kebingungan dan berusaha menolongnya, tetapi tak berhasil. Setelah akhirnya dia sadar, si gadis memandang ke sekelilingnya dengan mata kebingungan, dan minta gado-gado. Kawan-kawannya sernakin bingung.<br />Setelah penelitian, terbukti bahwa si gadis tinggal dengan ibu tiri yang sangat membatasi kebebasan dan belanjanya. Waktu masa prabakti itu, ia sangat sedih, karena memerlukan uang jajan lebih banyak, tetapi takut memintanya kepada orang-tuanya.<br />Ketika ia merasa lapar ia teringat akan kesusahan sehari-hari yang selalu dialaminya di rumah dan terlihatlah gejala-gejala itu.<br /><br />Banyak dapat dikemukakan contoh-contoh seperti itu yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Orang tiba-tiba pingsan, tegang dan kaku badannya, yang disangka karena sakit ayan, sawan atau keno nu na-guna. Pada hal gejala,ini adalah akibat dari rasa tertekan dan Icegelisahan yang terlalu hebat.<br /><br />d) Mutisnt (hilang kesanggupan berbicara)<br />Mutisnt itu ada dua macam, pertama tak sanggup berbicara dengan suara keras dan kedua tak dapat berbicara sama sekali.<br /><br /><br />Hilangnya kemampuan untuk berbicara itu, bukan disebabkan oleh kerusakan pada alat-alat percakapan seperti lidah, kerong¬kongan, pernapasan dan sebagainya. Alat-alat itu masih dapat melakukan fungsinya, tetapi orang tidak bisa berbicara. Biasanya gejala ini terjadi akibat tekanan perasaan, kecemasan, putus asa, merasa hina, gagal dan sebagainya.<br />Contoh :<br />Seorang laki-laki berumur 42 tahun, badannya tegap, tiba¬-tiba hilang kemampuannya untuk berbicara. Ia berusaha keras mengeluarkan kata-kata, tetapi tidak berhasil. Hilangnya kemampuan berbicara itu berlangsung sampai berbulan- bulan. Dalam pemeriksaan dokter, terbukti tidak ada ke¬rusakan apa-apa pada alai percakapannya.<br />Dari penyelidikan terhadap latar belakang kehidupannya terbukti bahwa gejala itu mulai tampak ketika dilaksanakan landreform terhadap tanahnya. Rupanya ia tidak dapat menerima tindakan pemerintah mengambil tanahnya untuk dibagikan kepada orang lain. Tetapi penolakannya itu tidak dapat diucapkannya, karena takut akan dianggap menentang hukum. Timbullah pertentangan batin dalam dirinya antara ingin membela haknya, dengan takut akan hukuman yang mungkin diterimanya akibat pembelaan itu. Demikian besar¬nya pertentangan batin itu, sehingga lidahnya menjadi lumpuh, tidak bisa bicara, sebagai penyelesaian dari ke¬tegangan batin dan tekanan perasaan itu.<br />Termasuk dalam gejala-gejala yang berhubung dengan mental antara lain ialah :<br /><br />(a) Hilang ingatan (amnesia)<br />Hilang ingatan atau lupa akan kejadian-kejadian tertentu dalam hidup sangat erat hubungannya dengan emosi. Hilang ingatan atau lupa ini mungkin hanya lupa akan. kejadian-kejadian tertentu dan ada pula lupa yang sungguh-sungguh. Ia lupa akan segala sesuatu, akan semua orang yang pernah dikenalnya, bahkan lupa akan dirinya, namanya, rumahnya, pekerjaannya dan sebagainya.<br /><br /><br /><br /><br />Contoh :<br />Seorang petani ditemui dalam keadaan sedang linglung, lalu dibawa ke rumah sakit. Waktu ditanya namanya, rumah¬nya, pekerjaannya dan sebagainya, satupun tidak bisa di¬jawabnya, karena ia lupa akan semuanya itu. Waktu diperiksa badannya tidak ditemui sesuatu penyakit, atau, gangguan kesehatan fisik. Setelah beberapa hari di rumah sakit, barulah ia sadar dan menanyakan apa sebabnya ia dibawa ke rumah sakit.<br />Sejak itu barulah dapat diketahui namanya, dari mana datang¬nya dan apa yang terjadi pada dirinya. Dia menceritakan bahwa ia seharusnya pergi ke kantor polisi, karena ia telah menyebabkan kematian seorang tua, ketika ia mendorong gerobak sayurnya di salah satu tikungan jalan dan sangat sukar baginya menghindari kecelakaan itu.<br />Kejadian itu sangat membingungkannya dan menyebabkannya sangat takut dan gelisah. Ketika ia menceritakan peristiwa itu kepada kawannya, mereka menakut-nakuti dan menyuruhnya pergi ke kantor polisi. Di jalan waktu menuju kantor polisi itulah terjadinya peristiwa lupa akan dirinya itu, karena ia takut akan dihukum mati oleh polisi.<br /><br />(b) Kepribadian kembar (double personality)<br />Kepribadian kembar adalah salah satu gejala hysteria, yang disebabkan oleh kegelisahan yang amat sangat, dan dijadikan cara untuk menghukum dirinya atau melepaskan diri dari ketegangan batin, kecemasan atau konflik yang dirasakannya. Dalam hal ini si sakit secara tidak sadar mengurung kepribadiannya yang pertama, sampai terpisah sama sekali dari alam kenyataan. Disamping menghukum diri, hal ini digunakan juga sebagai penarik perhatian orang kepadanya.<br />Dalam kepribadian kembar, tindakan-tindakan yang negatif terlihat jelas sekali, di mana penderitanya tidak mungkin bekerja sama dengan orang-orang yang sebelum sakit sering berhubungan dengannya. Penderita mendapat dua keuntungan yang jelas tanpa disadari yaitu, pemisahan sama sekali, dan penekanan yang sempurna. Dalam pertama, si sakit menjauhkan sama sekali dari kesadarannya. Semua aspek kehidupan yang mencakup perasaan, tindakan, pengalaman-pengalaman dan keseluruhan kepribadian yang lania, terpisah dari kesadarannya. Dalam hal kedua, salah satu kepribadian ditekan dengan jalan melupakan segala pengalaman-pengalanian yang dilaluinya dan .menghapus. kannya dart ingatan. Hal ini dilakukan oleh kepribadian yang kedua. <br /><br />Contoh :<br />Seorang istri yang berumur 22 tahun, cantik dan mempunyai dua orang anak, tiap-tiap bulan Juni menghilang, tanpa se¬orangpun mengetahui ke mana ia pergi. Setelah berlalu beberapa hari, ia kembali pulang. Ketika ditanyakan ke mana perginya, ia menjawab pendek : tidak tabu. Memang ia tidak tabu ke mana ia selama waktu tersebut. Air mukanya menun¬jukkan bahwa dia tidak membohong dan tidak berdosa, tapi kesehatannya kelihatan mundur, pakaiannya tidak teratur dan sebagainya.<br /><br />Sebenarnya pada tahun pertama dari perkawinannya, suami telah melihat bahwa pada bulan Mei, istrinya sangat penge¬lamun, terutama ketika mendengar musik atau lagu-lagu, Suaminya menyangka bahwa istrinya mencintai seorang laki¬-laki lain dan berniat membunuh isterinya jika ditemuinya dengan laki-laki lain itu. Waktu istrinya menghilang pada bulan Juni, ia ditemui di suatu kota lain. Pada mulanya suami menuduh istrinya telah berlaku serong, akan tetapi ia menyangkal, dan pada wajahnya tampak bahwa ia tak ber¬dosa, dan suaminya percaya kepadanya. Sejak itu suami selalu mengawasi istrinya, akan tetapi tak ada satupun keanehan yang terlihat. Hanya si istri merasa kesepian, dan untuk mengisi waktu dan kekosongan itu ia membaca buku, majalah-¬majalah dan sebagainya. Akan tetapi semuanya itu tidak menolong. Pada bulan Juni berikutnya istrinyapun menghilang kembali. Ternyata istrinya diserang oleh penyakit kepribadian kembar, karena terlalu berat tekanan perasaan yang diderita¬nya sejak kecil. Demikian juga dalam berkeluarga, suaminya tidak dapat memberi perhatian dan kepuasan kepadanya.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />(c) Mengelana secara tidak sadar (fugue) :<br />Salah satu gejala hysteria lain ialah, orang pergi mengelana berjalan tanpa tujuan, tidak tabu mengapa ia pergi dan kemana ia pergi.<br /><br />Contoh :<br />Seorang laki-laki berumur 30 tahun, pada suatu hari berang¬kat dari rurnahnya dengan tujuan pergi menghadiri rapat. Akan tetapi ia tidak sampai ke tempat rapat dan tiga hari kemudian ia ditemui berada di kota lain yang tidak begitu jauh dari kotanya. Ia tidak dapat mengingat apa-apa yang telah terjadi pada dirinya dan mengapa ia sampai ke sana. Dari penelitian terbukti, bahwa laki-laki ini mempunyai hubungan dengan seorang wanita yang telah bersuami. Ia sangat takut bila rahasianya terbongkar. Pada waktu ia akan berangkat ke tempat rapat itu telepon berbunyi, lalu diangkatnya, akan te¬tapi tidak ada yang menjawab. Tanpa curiga sedikitpun, ia pergi. Selagi mengendarai mobilnya, tiba-tiba ia rnelihat di belakangnya ada mobil yang dikendarai oleh swami wanita ter¬sebut. Timbullah keeemasannya, mobil dihentikannya dan ia melompat ke luar, lari tanpa tujuan. Akhirnya ia sampai ke tempat di mana ia ditemui dalam kebingungan.Ketika berlari itu, ia didorong oleh rasa takut yang amat sangat dan ke¬inginan untuk lari dari kesukaran yang dihadapinya itu.<br /><br />(d) Jalan-ialan sedang tidur (somnabulism) :<br />Orang yang diserang oleh gejala ini dikuasai oleh sejumlah pikiran dan kenang-kenangan yang berhubungan satu sama lain. Meskipun ia sedang tidur, tapi masih dapat mengenal dan membedakan mana pintu yang tertutup dan mana yang terbuka, dan mudah disuruh kembali ke tempat tidurnya. Waktu bangun pagi harinya, ia tidak tahu .apa yang terjadi pada dirinya waktu tidur itu.<br />Contoh :<br />Seorang anak berumur 6 tahun, tiap-tiap malam sedang tidur selalu berjalan-jalan. Kadang-kadang naik ke jendela, mem¬buka piutu dan sebagainya.<br />Setelah diperiksa, terbukti bahwa si anak mempunyai watak yang keras, pendiam, dan suka mengganggu dengan suatu eara, yang menyebabkan orang tidak menyangka bahwa ia yang bersalah. Orangtua anak ini, mempunyai banyak anak, semuanya masih kecil-kecil. Dalam mendidik anak-anaknya mereka sering menggunakan kekerasan, sering memukul, kadang-kadang sampai berbekas pada badan anak-anaknya. Dan yang paling sering dipukul adalah anaknya yang menderita penyakit itu.<br />Rupanya si anak ingin lari dari orangtua yang sangat kejam itu, akan tetapi ia tidak berani, karena tidak tahu ke mana ia akan pergi. Timbul pertentangan dalam batinnya antara ingin inenghindari kekerasan orangtua, dengan takut berpisah dari mereka. Akhirnya sedang tidur, ia masih dikuasai oleh pikiran¬pikiran ingin lari itu. Gejala-gejala itu disebabkan oleh kegon¬cangan jiwa, kecemasan, tekanan perasaan, ketakutan dan sebagainya.<br /><br /><br /><br />Histeria terjadi akibat ketidak mampuan seseorang menghadapi kesukaran-kesukaran, tekanan perasaan, kegelisahan, kecemasan dan pertentangan batin.<br />Macam-macam Histeria:<br />1. Lumpuh Histeria: kelumpuhan salah satu anggota fisik. Penyebab hysteria ini adalah adanya tekanan pertentangan batin yang tidak dapat diatasi.<br />2. Cramp Histeria: Cramp yang terjadi pada sebagian anggota fisik. Penyebab dari hysteria ini adanya tekanan perasaan, kegelisahan, kecemasan yang dirasakan akibat kebosanan menghadapi pekerjaan-pekerjaannya.<br />3. Kejang Histeria: yaitu badan seluruhnya menjadi kaku, tidak sadar akan diri, kadang-kadang sangat keras disertai dengan teriakan-teriakan dan keluhan-keluhan tetapi air mata tidak keluar. Penyebabnya adalah emosi sangat tertekan, seperti tersinggung, sedih, dan rasa penyesalan.<br />. Diantara gejala-gejalanya ada yang berhubungan dengan fisik dan ada pula yang berhubungan dengan mental.<br />Termasik gejala-gejala fisik antara lain, ialah:<br />a)Lumpuhhysteria<br />b)Cramphysteria<br />c)Kejanghysteria<br />d)Mutism(hilangkesanggupanberbicara)<br />Termasuk dalam gejalas-gejala yang berhubungan dengan mental antara lain, ialah:<br />a)Hilangingatan(amnesiaI<br />b)Kepribadiankembar(doublepersonality)<br />c)Mengelanasecaratidaksadar(fugue)<br />d) Jalan-jalan sedang tidur (somnambulism)Abdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-81658479006903108382011-03-14T05:59:00.000-07:002011-03-14T06:01:06.458-07:00MEKANISME KOPINGDalam kehidupan sehari-hari, individu menghadapi pengalaman yang mengganggu equilibirium kognitif dan afektifnya. Individu dapat mengalami perubahan hubungan dengan orang lain dalam harapannya terhadap diri sendiri cara negatif. Munculnya ketegangan dalam kehidupan mengakibatkan perilaku pemecahan masalah (mekanisme koping) yang bertujuan meredakan ketegangan tersebut.<br />Equilibrium merupakan proses keseimbangan yang terjadi akibat adanya proses adaptasi manusia terhadap kondisi yang akan menyebabkan sakit. Proses menjaga keseimbangan dalam tubuh manusia terjadi secara dinamis dimana manusia berusaha menghadapi segala tantangan dari luar sehingga keadaan seimbang dapat tercapai.<br />Coping adalah mekanisme untuk mengatasi perubahan yang dihadapi atau beban yang diterima. Apabila mekanisme coping ini berhasil, seseorang akan dapat beradaptasi terhadap perubahan atau beban tersebut.<br />Seorang ahli medis bernama ZJ Lipowski dalam penelitiannya memberikan definisi mekanisme coping: all cognitive and motor activities which a sick person employs to preserve his bodily and psychic integrity, to recover reversibly, impaired function and compensate to limit for any irreversible impairment. (Secara bebas bisa diterjemahkan: semua aktivitas kognitif dan motorik yang dilakukan oleh seseorang yang sakit untuk mempertahankan integritas tubuh dan psikisnya, memulihkan fungsi yang rusak, dan membatasi adanya kerusakan yang tidak bisa dipulihkan).<br />Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam (Keliat, 1999).<br />Sedangkan menurut Lazarus (1985), koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu.<br />Mekanisme coping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat, yang dimulai sejak awal timbulnya stressor dan saat mulai disadari dampak stressor tersebut. Kemampuan belajar ini tergantung pada kondisi eksternal dan internal, sehingga yang berperan bukan hanya bagaimana lingkungan membentuk stressor tetapi juga kondisi temperamen individu, persepsi, serta kognisi terhadap stressor tersebut.<br />Efektivitas coping memiliki kedudukan sangat penting dalam ketahanan tubuh dan daya penolakan tubuh terhadap gangguan maupun serangan penyakit (fisik maupun psikis). Jadi, ketika terdapat stressor yang lebih berat (dan bukan yang biasa diadaptasi), individu secara otomatis melakukan mekanisme coping, yang sekaligus memicu perubahan neurohormonal. Kondisi neurohormonal yang terbentuk akhirnya menyebabkan individu mengembangkan dua hal baru: perubahan perilaku dan perubahan jaringan organ.<br />Lipowski membagi coping menjadi: coping style dan coping strategy. Coping style adalah mekanisme adaptasi individu yang meliputi aspek psikologis, kognitif, dan persepsi. Coping strategy merupakan coping yang dilakukan secara sadar dan terarah dalam mengatasi rasa sakit atau menghadapi stressor. Apabila coping dilakukan secara efektif, stressor tidak lagi menimbulkan tekanan secara psikis, penyakit, atau rasa sakit, melainkan berubah menjadi stimulan yang memacu prestasi serta kondisi fisik dan mental yang baik.<br />Mekanisme koping menunjuk pada baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Mekanisme koping merupakan suatu proses di mana individu berusaha untuk menanggani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya.<br />Para ahli menggolongkan dua strategi coping yang biasanya digunakan oleh individu, yaitu: problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres; dan emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan diitmbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Hasil penelitian membuktikan bahwa individu menggunakan kedua cara tersebut untuk mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam berbagai ruang lingkup kehidupan sehari-hari (Lazarus & Folkman, 1984). Faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauhmana tingkat stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya. Contoh: seseorang cenderung menggunakan problem-solving focused coping dalam menghadapai masalah-masalah yang menurutnya bisa dikontrol seperti masalah yang berhubungan dengan sekolah atau pekerjaan; sebaliknya ia akan cenderung menggunakan strategi emotion-focused coping ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang menurutnya sulit dikontrol seperti masalah-masalah yang berhubungan dengan penyakit yang tergolong berat seperti kanker atau Aids.<br />Hampir senada dengan penggolongan jenis coping seperti dikemukakan di atas, dalam literatur tentang coping juga dikenal dua strategi coping, yaitu active & avoidant coping strategi (Lazarus mengkategorikan menjadi Direct Action & Palliative). Active coping merupakan strategi yang dirancang untuk mengubah cara pandang individu terhadap sumber stres, sementara avoidant coping merupakan strategi yang dilakukan individu untuk menjauhkan diri dari sumber stres dengan cara melakukan suatu aktivitas atau menarik diri dari suatu kegiatan atau situasi yang berpotensi menimbulkan stres. Apa yang dilakukan individu pada avoidant coping strategi sebenarnya merupakan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri yang sebenarnya dapat menimbulkan dampak negatif bagi individu karena cepat atau lambat permasalahan yang ada haruslah diselesaikan oleh yang bersangkutan. Permasalahan akan semakin menjadi lebih rumit jika mekanisme pertahanan diri tersebut justru menuntut kebutuhan energi dan menambah kepekaan terhadap ancaman. <br /><br />Koping adalah proses yang dilalui seorang individu dalam menyelesaikan situasi stresfull. Koping tersebut adalah merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologi.<br />Seseorang yang mengalami stress atau ketegangan psikolologi dalam menghadapi masalah kehidupan sehari-hari, memerlukan kemampuan pribadi maupun dukungan dari lingkungan, agar dapat mengurangi stress, cara yang digunakan oleh individu untuk mengurangi stress itulah yang disebut dengan koping. <br />Akibat stress yang berkepanjangan adalah terjadinya kelelahan baik fisik maupun mental, yang pada akhirnya melahirkan berbagai macam keluhan atau gangguan. Individu menjadi sakit. Namun sering kali penyebab sakitnya tidak diketahui secara jelas karena individu yang bersangkutan tidak menyadari lagi tekanan atau stress yang dialaminya. Tanpa disadari, individu menggunakan jenis penyesuaian diri yang kurang tepat dalam menghadapi stresnya. <br />Sebaliknya, bila individu mampu menggunakan cara-cara penyesuaian diri yang sehat atau baik atau sesuai dengan stress yang dihadapi, meskipun stress atau tekanan tersebut tetap ada, individu yang bersangkutan tetaplah dapat hidup secara sehat. Bahkan tekanan-tekanan tersebut akhirnya memunculkan potensi-potensi manusiawinya dengan optimal. Penyesuaian diri dalam menghaadapi stress, dalam konsep kesehatan mental dikenal dengan istilah koping. <br />1. Pengertian dan jenis-jenis koping. <br />Koping termasuk konsep sentral dalam memahami kesehatan mental. Koping berasal dari kata coping yang bermakna harfiah pengatasan atau penanggulangan (to cope with = mengatasi, menggulangi). Namun karena istilah coping merupakan istilah yang sudah jamak dalam psikologi serta memiliki makna yang kaya, maka pengggunaan istilah tersebut dipertahankan dan lansung diserap kedalam bahasa Indonesia untuk membantu memahami bahwa koping tidak sesederhaa makna harfiahnya saja. <br />Koping sering disamakan dengan adjustment (penyesuaian diri). Koping juga sering dimaknai sebagai cara untuk memecahkan masalah ( problem solving). Pengertian koping memang dekat dengan kedua istilah diatas, namun sebenarnya agak berbeda pemahaman adjustment biasanya merujuk pada penyesuaian diri dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. <br />Pemecahan masalah lebih mengarah pada proses kognitif dan persoalan yang juga kognitif. Koping itu sendiri dimaknai sebagai apa yang dilakukan oleh individu untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan, luka, kehilangan, dan ancaman. <br />Jadi koping lebih mengarah pada yang orang lakukan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang penuh tekanan atau yang membangkitkan emosi. Dengan kata lain, koping adalah bagaimana reaksi orang ketika menghadapi stres atau tekanan. <br />Secara ilmiah, baik disadari maupun tidak, individu sesungguhnya telah menggunakan strategi koping dalam menghadapi stress. Strategi koping adalah cara yang dilakukan untuk merubah lingkungan atau situasi atau meyelesaikan masalah yang sedang dirasakan atau dihadapi. Koping diartikan sebagai usaha perubahan kognitif prilakukan secara konstan untuk meyelesaikan stress yang dihadapi. <br />Koping yang efektif menghasilkan adaptasi yang menetap yang merupakan kebiasan baru dan perbaikan dari situasi yang lama, sedangkan koping yang tidak efektif berakhir dengan maladafur yaitu, prilaku yang menyimpang dari keinginan normatif dan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain atau lingkungan. Setiap individu dalam melakukan koping tidak sendiri dan tidak hanya menggunakan satu strategi, tetapi dapat melakukannya bervariasi, hal ini tergantung dari kemampuan dan kondisi individu. Dibawah ini akan dijelaskan 2 macam koping yaitu koping physiologi dan koping psiko social.<br />2. Macam-macam koping<br />a. Koping psikologis<br />Pada umumnya gejala yang ditimbulkan akibat stress psikologis tergantung pada dua factor yaitu: <br />1. Bagaimana persepsi atau penerimaan individu terhadap stressor, artinya seberapa berat ancaman yang dirasakan oleh individu tersebut terhadap stressor yang diterimanya. <br />2. Keefektifan strategi koping yang digunakan oleh individu; artinya dalam menghadapi stressor, jika strategi yang digunakan efektif maka menghasilkan adaptasi yang baik dan menjadi suatu pola baru dalam kehidupan, tetapi jika sebaliknya dapat mengakibatkan gangguan kesehatan fisik maupun psikologis.<br /><br />b. Koping psiko-sosial<br />Yang biasa dilakukan individu dalam koping psiko-sosial adalah, menyerang, menarik diri dan kompromi.<br />1. Prilaku menyerang <br />Individu menggunakan energinya untuk melakukan perlawanan dalam rangka mempertahan integritas pribadinya. Prilaku yang ditampilkan dapat merupakan tindakan konstruktif maupun destruktif. Destruktif yaitu tindakan agresif (menyerang) terhadap sasaran atau objek dapat berupa benda, barang atau orang atau bahkan terhadap dirinya sendiri. Sedangkan sikap bermusuhan yang ditampilkan adalah berupa rasa benci, dendam dan marah yang memanjang.<br />Sedangkan tindakan konstruktif adalah upaya individu dalam menyelesaikan masalah secara asertif. Yaitu mengungkapkan dengan kata-kata terhadap rasa ketidak senangannya.<br />2. Prilaku menarik diri<br />Menarik diri adalah prilaku yang menunjukkan pengasingan diri dari lingkungan dan orang lain, jadi secara fisik dan psikologis individu secara sadar meninggalkan lingkungan yang menjadi sumber stressor misalnya ; individu melarikan diri dari sumber stress, menjauhi sumber beracun, polusi, dan sumber infeksi. Sedangkan reaksi psikologis individu menampilkan diri seperti apatis, pendam dan munculnya perasaan tidak berminat yang menetap pada individu. <br />3. Kompromi<br />Kompromi adalah merupakan tindakan konstruktif yang dilakukan oleh individu untuk menyelesaikan masalah, lazimnya kompromi dilakukan dengan cara bermusyawarah atau negosiasi untuk menyelesaikan masalah yang sedang sihadapi, secara umum kompromi dapat mengurangi ketegangan dan masalah dapat diselesaikan. <br /><br />Kaitan antara koping dengan mekanisme pertahanan diri (defense mechanism), ada ahli yang melihat defense mechanism sebagai salah satu jenis koping (Lazarus, 1976). Ahli lain melihat antara koping dan mekanisme pertahanan diri sebagai dua hal yang berbeda. (Harber dan Runyon, 1984).<br />Lazarus membagi koping menjadi dua jenis yaitu: <br />1. Tindakan langsung (direct Action)<br />Koping jenis ini adalah setiap usaha tingkah laku yang dijalankan ole individu untuk mengatasi kesakitan atau luka, ancaman atau tantangan dengan cara mengubah hubungan hubunngan yang bermasalah dengan lingkungan. Individu menjalankan koping jenis direct action atau tindakan langsung bila dia melakukan perubahan posisi terhadap masalah yang dialami.<br /> Ada 4 macam koping jenis tindakan langsung :<br />a. Mempersiapkan diri untuk menghadapi luka<br />Individu melakukan langkah aktif dan antisipatif (bereaksi) untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya dengan cara menempatkan diri secara langsung pada keadaan yang mengancam dan melakukan aksi yang sesuai dengan bahaya tersebut. Misalnya, dalam rangka menghadapi ujian, Tono lalu mempersiapkan diri dengan mulai belajar sedikit demi sedikit tiap-tiap mata kuliah yang diambilnya, sebulan sebelum ujian dimulai. Ini dia lakukan supaya prestasinya baik disbanding dengan semester sebelumnya, karena dia hanya mempersiapkan diri menjelang ujian saja. Contoh dari koping jenis ini lainnya adalah imunisasi. Imunisasi merupakan tindakan yang dilakukan oleh orang tua supaya anak mereka menjadi lebih kebal terhadap kemungkinan mengalami penyakit tertentu. <br />b. Agresi <br />Agresi adalah tindakan yang dilakukan oleh individu dengan menyerang agen yang dinilai mengancam atau akan melukai. Agresi dilakukan bila individu merasa atau menilai dirinya lebih kuat atau berkuasa terhadap agen yang mengancam tersebut. Misalnya, tindakan penggusuran yang dilakuakan oleh pemerintah Jakarta terhadap penduduk yang berada dipemukiman kumuh. Tindakan tersebut bias dilakukan karena pemerintah memilki kekuasaan yang lebih besar disbanding dengan penduduk setempat yang digusur. <br />Agresi juga sering dikatakan sebagai kemarahan yang meluap-luap, dan orang yang melalakukan serangan secara kasar, dengan jalan yang tidak wajar. Karena orang selalu gagal dalam usahanya, reaksinya sangat primitive, berupa kemarahan dan luapan emosi kemarahan dan luapan emosi kemarahan yang meledak-meledak. Kadang-kadang disertai prilaku kegilaan, tindak sadis, dan usaha membunuh orang. <br />Agresi ialah seseperti reaksi terhadap frustasi, berupa seranngan, tingkah laku bermusuhan terhadap orang atau benda. <br />Kemarahan-kemarahan semacam ini pasti menggangu frustasi intelegensi, sehingga harga diri orang yang bersangkutan jadi merosot disebabkan oleh tingkah lakunya yang agresif berlebih-lebihan tadi. Seperti tingkah laku yang suka mentolerir orang lain, berlaku sewenang-wenang dan sadis terhadap pihak-pihak yang lemah, dan lain-lain. <br />c. Penghindaran (Avoidance)<br />Tindakan ini terjadi bila agen yang mengancam dinilai lebih berkuasa dan berbahaya sehingga individu memilih cara menghindari atau melarikan diri dari situasi yang mengancam. Misalnya, penduduk yang melarikan diri dari rumah-rumah mereka karena takut akan menjadi korban pada daerah-daerah konflik seperti aceh. <br />d. Apati <br />Jenis koping ini merupakan pola orang yang putus asa. Apati dilakukan dengan cara individu yang bersangkutan tidak bergerak dan menerima begitu saja agen yang melukai dan tidak ada usaha apa-apa untuk melawan ataupun melarikan diri dari situasi yang mengancam tersebut. Misalnya, pada kerusuhan Mei. Orang-orang Cina yang menjadi korban umumnya tutup mulut, tidak melawan dan berlaku pasrah terhadap kejadian biadab yang menimpa mereka. Pola apati terjadi bila tindakan baik tindakan mempersiapkan diri menghadapi luka, agresi maupun advoidance sudah tidak memungkinkan lagi dan situasinya terjadi berulang-ulang. Dalam kasus diatas, orang-orang cina sering kali dan berulangkali menjadi korban ketika terjadi kerusuhan sehingga menimbilkan reaksi apati dikalangan mereka. <br />2. Peredaan atau peringatan (palliation)<br />Jenis koping ini mengacu pada mengurangi, menghilangkan dan menoleransi tekanan-tekanan ketubuhan atau fisik, motorik atau gambaran afeksi dan tekanan emosi yang dibangkitkan oleh lingkungan yang bermasalah. Atau bisa diartikan bahwa bila individu menggunakan koping jenis ini, posisinya dengan masalah relatif tidak berubah, yang berubah adalah diri individu, yaitu dengan cara merubah persepsi atau reaksi emosinya.<br />Ada 2 jenis koping peredaan atau palliation:<br />a. Diarahkan pada gejala (Symptom Directid Modes)<br />Macam koping ini digunakan bila gangguan muncul dari diri individu, kemudian individu melakukan tindakan dengan cara mengurangi gangguan yang berhubungan dengan emosi-emosi yang disebabkan oleh tekanan atau ancaman tersebut. Penggunaan obat-obatan terlarang, narkotika, merokok, alcohol merupakan bentuk koping dengan cara diarahkan pada gejala. Namun tidak selamanya cara ini bersifat negative. Melakukan relaksasi, meditasi atau berdoa untuk mengatasi ketegangan juga tergolong kedalam symptom directed modes tetapt bersifat positif. <br />b. Cara intra psikis<br />Koping jenis peredaan dengan cara intrapsikis adalah cara-cara yang menggunakan perlengkapan-perlengkapan psikologis kita, yang biasa dikenal dengan istilah Defense Mechanism (mekanisme pertahanan diri). <br />Disebut sebagai defence mechanism atau mekanisme pembelaan diri, karena individu yang bersangkutan selalu mencoba mengelak dan membela diri dari kelemahan atau kekerdilan sendiri dan mencoba mempertahankan harga dirinya: yaitu dengan jalan mengemukakan bermacam-macam dalih atau alasan. <br /> <br />Macam-macam defense mechanism:<br />1. Identifikasi<br />Yaitu menginternalisasi ciri-ciri yang dimilki oleh orang lain yang berkuasa dan dianggap mengancam. Identifikasi biasanya dilakukan oleh anak terhadap orang tua mereka. <br />Seorang yang mengalami frustasi dan kegagalan-kegagalan, biasanya tidak mau melihat kekurangan diri sendiri. Dia selalu berusaha (dalam dunia imajinasinya) menyamakan diri dengan seorang yang mencapai sukses. Dia berusaha mengidentifikasikan diri dengan bintang film misalnya, dengan seorang pahlawan perang, atau seorang professor yang cemelang. Semua ini bertujuan untuk memberikan kepuasan semu pada diri sendiri, dan didorong oleh ambisi untuk meningkatkan harga diri. <br />2. Pengalihan<br />Yaitu memindahkan reaksi dari objek yang mengancam ke objek yang lain karena obyek yang asli tidak ada atau berbahaya bila diagresi secara langsung. Misalnya, seorang bawahan dimarahi oleh atasannya dikantor. Bawahannya tersebut kemudian memarahi istrinya dirumah karena tidak berani membantah atasannya. Istri kemudian memarahi anaknya. Ini merupakan contoh klasik dari displacement.<br />3. Represi<br />Yaitu menghalangi impuls-implus yang ada atau tidak bias diterima sehingga impuls-impuls tersebut tidak dapat diekspresikan secara sadar atau lansung dalam tingkah laku. Misalnya, dorongan seksual karena dianggap tabu lalu ditekan begitu saja kedalam ketidaksadaran. Dorongan tersebut lalu muncul dalam bentuk mimpi.<br />Represi juga disebut sebagai tekanan untuk melupakan hal-hal, dan keinginan-keinginan yang tidak disetujui oleh hati nuraninya. Semacam usaha untuk memelihara diri supaya jangan terasa dorongan-doronngan yang tidak sesuai dengan hatinya. Proses itu terjadi tanpa disadari.<br />Dalam represi, orang berusaha mengingkari kenyataan atau factor-faktor yang menyebabkan ia merasa berdosa jika keadaan itu disadarinya. <br />4. Denial <br />Yaitu melakukan bloking atau menolak terhadap kenyataan yang ada karena kenyataan yang ada dirasa mengancam integritas individu yang bersangkutan. Istri yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya secara mendadak, merasa suaminya masih hidup sehingga tiap sore dia masih membuatkan kopi untuk suaminya seprti biasanya, ini merupakan contoh dari denial. Fanatisme agama dengan menganggap agama atau kepercayaan lain merupakan sesuatu yang salah, sedangkan agama atau kepercayaan yang dijalani merupakan satu-satunya yang benar merupakan contoh lain mekanisme denial, karena sebenarnya individu yang fanatic tersebut merasa terancam dengan adanya keyakinan lain, yang berpotensi mengancam integritas keyakinannya sendiri. <br />5. Reaksi Formasi<br />Yaitu dorongan yang mengancam diekspresikan dalam bentuk tingkah laku secara terbalik. Contoh klasik dari pertahanan diri jenis ini adalah orang yang sebenarnya mencintai, namun dalm tingkahlaku memunculkan tindakan yang seolah-olah membenci orang yag dicintai.<br />6. Proyeksi<br />Yaitu mengatribusikan atau menerapkan dorongan-dorongan yang dimiliki pada orang lain karena dorong-dorongan tersebut mengancam integritas. Misalnya, A mencintai B, namun karena cinta yang dirasakan itu mengancam harga dirinya, lalu A menyatakan bahwa B lah yang mencintainya. <br />Proyeksi juga juga disubut sebagai usaha mensifatkan, melemparkan atau memproyeksikan sifat, fikiran dan harapan yang negative, juga kelemahan dan sikap sendiri yang keliru, kepada orang lain. Melemparkan kesalahan sendiri. <br />Inidividu yang bersangkutan tidak maau mengaku kesalahan, kenegatifan dan kelemahan sendiri, bahkan selalu memproyeksikan kehidupan yang negative tadi kepada orang lain. Sebagai contoh dalam hal ini adalah : seseorang sangat iri hati terhadap kekayaan dan sukses tetangganya. Tapi pada setiap orang ia selalu berkata, bahwa tetangganya itulah yang buruk hati, selalu cemburu dan iri hati terhadap dirinya. <br />7. Rasionalisme atau intektualisasi<br />Yaitu dua gagasan yang berbeda dijaga supaya tetap terpisahkan karena bila bersama-sama akan mengancam. Misalnya semua orang sepakat bahwa kesejahteraan umat manusia hanya bias terjadi lewat cara-cara damai, namun tidak sedikit pula orang yang mengakui hal diatas, mendukung jalan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka. <br />Rasionalisasi juga disebut dengan cara menolong diri sendirisecara tidak wajar atau teknik pembelaan diri dengan membuat sesuatu yang tidak rasional serta tidak menyenangkan menjadi suatu hal yang rasional dan menyenangkan bagi diri sendiri.<br />Rasionalisasi juga dapat disebut sebagai proses pembenaran kelakuan sendiri, dengan menemukakan alas an yang masuk aal atau bisa diterima secara social, untuk menggantikan alasan yang sesungguhnya. (J.P. Chaplin, 1981).<br />Jika sesorang mengalami frustasi dan kegagalan, biasanya ia selalu mencari kesalahan dan sebab-musababnya pada orang lain, atau mencarinya pada keadaan diluar dirinya. Dia menganggap dirinya paling benar, dan orang lain atau kondisi dan situasi luar yang menjadi biang keladi dari kegagalannya. Dia tidak mau mengakui kesalahan dan kekurangan sendiri. Ia selalu berusaha membelai-belai harga dirinya. Semua pujian dari lur dan pembenaran diharapkan bias memuaskan perasaan sendiri, dan bias membelai-belai harga dirinya.<br />Dia selalu menuntut agar segala perbuatan dan alasannya dibenarkan oleh fikiran atau akal orang lain. Karena itu perilakunya disebut sebagai rasionalisasi. Misalnya : seseorang yang gagal melaksanakan tugasnya akan berkata: “tugas itu terlalu berat bagi pribadi saya yang amat muda ini”. Atau dalih : “tugas semacam itu bagi saya tidak ada harganya, dan tidak masuk dalam bidang perhatian saya. Dan saya tidak ambil peduli, apakah tugas itu gagal atau berhasil. <br /> <br />8. Sublimasi<br />Yaitu dorongan atau implus yang ditransfortasikan menjadi bentuk-bentuk yang diterima secara social sehingga dorongan atau impuls tersebut menjadi suatu yang benar-benar berbeda dari dorongan atau impuls aslinya. Contoh sublimasi adalah orang yang memilki dorongan seks yang kuat lalu menggunakan energy tersebut untuk menjadi sumber dari dorongan religiusnya, sehingga dia mengalami pengalaman mistik dan mampu bekerja bagi kemanusiaan, karena pada dasarnya religiusitas memilki persamaan atau kaitan dengan seksualitas yaitu dalam hal pengalaman penyatuan atau peleburan.<br /><br />Pada dasarnya mekanisme pertahanan diri terjadi tanpa disadari dan bersifat membohongi diri sendiri terhadap realitayang ada didalam (dorongan atau inpuls atau nafsu). Defense mechanism bersifat menyaring realita yang ada sehingga individu yang bersangkutan tidak bias memahami hakekat dari keseluruhan realita yang ada. Ini membuat sebagian besar ahli meyatakan koping jenis defense mechanism merupakan koping yang tidak sehat (kecuali sublummasi).<br />Defense mechanism yang tidak disadari, akan dapat disadari melalui refleksi diri yang terus menerus. Dengan cara begitu individu bias mengetahui jenis mekanisme pertahanan diri yang biasa dilakukan dan kemudian menggantinya dengan koping yang lebih konstruksif. <br /> <br />Jenis-jenis koping yang konstruktif atau positif (sehat)<br />Harmer dan Ruyon (1984) menyebutkan jenis-jenis koping yang dianggap konstruktif: yaitu: <br />1. Penalaran (reasoning)<br />Yaitu penggunaan kemampuan kognitif untuk mengeksplorasi bebagai macam alternatif pemecahan masalah dan kemudian memilih salah satu alternate yang dianggap paling menguntungkan. Individu secara sadar mengumpulkan berbagai informasi yang relevan berkaitan dengan persoalan yang dihadapi, kemudian membuat alternatif-alternatif pemecahannya, kemudian memilih alternative yang paling menguntungkan dimana resiko kerugiannya paling kecil dan keuntungan yang diperoleh paling besar.<br />2. Objektifitas <br />Yaitu kemampuan untuk membedakan antara komponen-komponen emosional dan logis dalam pemikiran, penalaran maupun tingkah laku. Kemampuan ini juga meliputi kemampuan untuk membedakan antara pikiran-pikiran yang berhubungan dengan persoalan dengan yang tidak berkaitan. Kemampuan untuk melakukan koping jenis objektifitas mensyaratkan individu yang bersangkutan memilki kemampuan untuk mengelola emosinya sehingga individu mampu memilih dan membuat keputusan yang tidak semata didasari oleh pengaruh emosi. <br />3. Konsentrasi<br />Yaitu kemampuan untuk memusatkan perhatian secara penuh pada persoalan yang sedang dihadapi. Konsentrasi memungkinkan individu untuk terhindar dari pikiran-pikiran yang mengganggu ketika berusaha untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi. Pada kenyataannya, justru banyak individu yang tidak mampu berkonsetrasi ketika menghadappi tekanan. Perhatian mereka malah terpecah-pecah dalam berbagai arus pemikiran yang justru membuat persoalan menjadi seakin kabur dan tidak terarah. <br />4. Penegasan diri (self assertion)<br />Individu berhadapan dengan konflik emosional yang menjadi pemicu stress dengan cara mengekpresikan perasaan-perasaan dan pikiran-pikirannya secara langsung tetapi dengan cara yang tidak memaksa atau memanipulasi orang lain. Menjadi asertif tidak sama dengan tidakan agresi. Sertif adalah menegaskan apa yang dirasakan, dipikirkan oleh individu yang bersangkutan, namun dengan menghormati pemikiran dan perasaan orang lain. Dewasa ini pelatihan-pelatihan dibidang asertifitas mulai banyak dilakukan untuk memperbaiki relasi antar manusia.<br />5. Pengamatan diri (self observation)<br />Pengamatan diri sejajar dengan introspreksi, yaitu individu melakukan pengujian secara objektif proses-proses kesadaran sendiri atau mengadakan pengamatan terhadap tingkah laku, motif, cirri, sifat sendiri, dan seterusnya untuk mendapatkan pemahaman mengenai diri sendiri yang semakin mendalam. Pengamatan diri mengandaikan individu memilki kemampuan untuk melakukan transedensi, yaitu kemampuan untuk membuat jarak antara diri yang diamati dengan diri yang mengamati. Perkembangan kognitif dan latihan-latihan melakukan introspeksi yang dilakukan sejak remaja, akan mempertajam keterampilan untuk melakukan pengamatan diri. <br />3. Penggolongan Mekanisme Koping<br />Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi 2 (dua) (Stuart dan Sundeen, 1995) yaitu :<br />a. Mekanisme Koping Adaptif<br />Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif.<br />b. Mekanisme Koping Maladaptif<br />Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan / tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar.<br /><br />4. Strategi Koping<br />Para ahli menggolongkan dua strategi coping yang biasanya digunakan oleh individu, yaitu:<br />a. problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stress.<br />b. emotion-focused coping, dimana individumelibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yangakan diitmbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan.<br /> Hasil penelitian membuktikan bahwa individu menggunakan kedua cara tersebut untuk mengatasi berbagai masalah yang menekan dalamberbagai ruang lingkup kehidupan sehari-hari (Lazarus & Folkman, 1984). Faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dansejauhmana tingkat stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya. Contoh: seseorang cenderung menggunakan problem-solving focused coping dalam menghadapai masalah-masalah yang menurutnya bias dikontrol seperti masalah yang berhubungan dengan sekolah atau pekerjaan; sebaliknya ia akan cenderung menggunakan strategi emotion-focused coping ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang menurutnya sulit dikontrol seperti masalah-masalah yang berhubungan dengan penyakit yang tergolong berat sepertikanker atau Aids.Hampir senada dengan penggolongan jenis coping seperti dikemukakan di atas, dalam literatur tentang coping juga dikenal dua strategi coping, yaitu active dan avoidant coping strategi (Lazarus mengkategorikan menjadi Direct Action dan Palliative ).<br />Active coping merupakan strategi yang dirancang untuk mengubah cara pandang individu terhadap sumber stres, sementara avoidant coping merupakanstrategi yang dilakukan individu untuk menjauhkan diri dari sumber stres dengan cara melakukan suatuaktivitas atau menarik diri dari suatu kegiatan atau situasi yang berpotensi menimbulkan stres. Apa yangdilakukan individu pada avoidant coping strategi sebenarnya merupakan suatu bentuk mekanismepertahanan diri yang sebenarnya dapat menimbulkan dampak negatif bagi individu karena cepat atau lambatpermasalahan yang ada haruslah diselesaikan oleh yang bersangkutan. Permasalahan akan semakin menjadilebih rumit jika mekanisme pertahanan diri tersebut justru menuntut kebutuhan energi dan menambahkepekaan terhadap ancaman.<br /><br />5. Faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping<br />Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi kesehatan fisik/energi, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial dan dukungan sosial dan materi.<br />1. Kesehatan Fisik<br />Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar<br />2. Keyakinan atau pandangan positif<br />Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (external locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi coping tipe : problem-solving focused coping<br />3. Keterampilan memecahkan masalah<br />Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.<br />4. Keterampilan sosial<br />Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku dimasyarakat.<br /><br /><br />5. Dukungan sosial<br />Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya<br />6. Materi<br />Dukungan ini meliputi sumber daya daya berupa uang, barang barang atau layanan yang biasanya dapat dibeli. <br /><br /><br />6. Metode Koping<br />Ada dua metode koping yang digunakan oleh individu dalam mengatasi masalah psikologis seperti yang dikemukakan oleh Bell (1977), dua metode tersebut antara lain:<br />2. Metode koping jangka panjang, cara ini adalah konstruktif dan merupakan cara yang efektif dan realistis dalam menangani masalah psikologis dalam kurun waktu yang lama, contonhya: <br />1. Berbicara dengan orang lain.<br />2. Mencoba mencari informasi yang lebih banyak tentang masalah yang sedang dihadapi.<br />3. Menghubungkan situasi atau masalah yang sedang dihadapi dengan kekuatan supranatural.<br />4. Melakukan latihan fisik untuk mengurangi ketegangan.<br />5. Membuat berbagai alternative tindakan untuk mengurangi situasi.<br />6. Mengambil pelajaran atau pengalaman masa lalu.<br />7. Metode koping jangka pendek, cara ini digunakan untuk mengurangi stress dan cukup efektif untuk waktu sementara, tetapi tidak efektf untuk digunakan dalam jangka panjang. Contohnya: <br />1. Menggunakan alkohol atau obat<br />2. Melamun dan fantasi.<br />3. Mencoba melihat aspek humor dari situasi yang tidak menyenangkan.<br />4. Tidak ragu dan merasa yakin bahwa semua akan kembali stabil.<br />5. Banyak tidur<br />6. Banyak merokok.<br />7. Menangis<br />8. Beralih pada aktifitas lain agar dapat melupakan masalah. <br /><br /><br />Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek, salah satunya adalah aspek psikososial (Lazarus dan Folkman,1985; Stuart dan Sundeen, 1995; Townsend, 1996; Herawati, 1999; Keliat, 1999) yaitu :<br />1. Reaksi Orientasi TugasBerorientasi terhadap tindakan untuk memenuhi tuntutan dari situas stress secara realistis, dapat berupakonstruktif atau destruktif. Misal : Perilaku menyerang (agresif) biasanya untuk menghilangkan atau mengatasi rintangan untuk memuaskankebutuhan. Perilaku menarik diri digunakan untuk menghilangkan sumber-sumber ancaman baik secara fisik atau psikologis. Perilaku kompromi digunakan untuk merubah cara melakukan, merubah tujuan atau memuaskan aspek kebutuhan pribadi seseorang.<br /> <br />2. Mekanisme pertahanan ego, yang sering disebut sebagai mekanisme pertahanan mental. Adapunmekanisme pertahanan ego, adalah sebagai berikut:<br />a. Kompensasi <br />Proses di mana seseorang memperbaiki penurunan citra diri dengan/ secara tegas menonjolkankeistimewaan atau kelebihan yang dimiliki. Mudah mengingat hal-hal positif dari pada negative, lebih sering menekankan pada kejadian yang membahagiakan dan enggan membahagikan yang tidak membahagiakan. <br />b. Supresi <br /> Supresi merupakan suatu proses pengendalian diri yang terang-terangan ditujukan menjaga agar impuls-impuls dan dorongan-dorongan yang ada tetap terjaga (mungkin dengan cara menahan perasaan itu secarapribadi tetapi mengingkarinya secara umum). Individu sewaktu-waktu mengesampingkan ingatan-ingatanyang menyakitkan agar dapat menitik beratkan kepada tugas, ia sadar akan pikiran-pikiran yang ditindas(supresi) tetapi umumnya tidak menyadari akan dorongan-dorongan atau ingatan yang ditekan (represi) <br />c. Reaction Formation (Pembentukann Reaksi)<br /> Individu dikatakan mengadakan pembentukan reaksi adalah ketika dia berusaha menyembunyikan motif danperasaan yang sesungguhnya (mungkin dengan cara represi atau supresi), dan menampilkan ekspresi wajahyang berlawanan dengan yang sebetulnya. Dengan cara ini individu tersebut dapat menghindarkan diri darikecemasan yang disebabkan oleh keharusan untuk menghadapi ciri-ciri pribadi yang tidak menyenangkan.Kebencian, misalnya tak jarang dibuat samar dengan menampilkan sikap dan tindakan yang penuh kasihsayang, atau dorongan seksual yang besar dibuat samar dengan sikap sok suci, dan permusuhan ditutupidengan tindak kebaikan. <br />d. Fiksasi<br />Dalam menghadapi kehidupannya individu dihadapkan pada suatu situasi menekan yang membuatnya frustrasi dan mengalami kecemasan, sehingga membuat individu tersebut merasa tidak sanggup lagi untuk menghadapinya dan membuat perkembangan normalnya terhenti untuk sementara atau selamanya. Dengankata lain, individu menjadi terfiksasi pada satu tahap perkembangan karena tahap berikutnya penuh dengankecemasan. Individu yang sangat tergantung dengan individu lain merupakan salah satu contoh pertahan diridengan fiksasi, kecemasan menghalanginya untuk menjadi mandiri. Pada remaja dimana terjadi perubahan yang drastis seringkali dihadapkan untuk melakukan mekanisme ini. <br /><br />Kesimpulan:<br />Koping merupakan cara-cara yang digunakan oleh individu untuk menghadapi situasi yang menekan. Oleh karena itu meskipun koping menjadi bagian-bagian dari penyesuaian diri, namun koping merupakan istilah yang khusus digunakan untuk menunjukkan reaksi individu ketika menghadapi tekanan atau stress.<br />Ada berbagai macam koping, pendapat berbagai tokoh pun beragam. Ada yang menyebutkan istilah koping hanya untuk cara-cara mengatasi persoalan yang sifatnya positif. Namun ada jugayang melihat koping sebagai istilah yang netral.<br />Koping yang negative menimbulkan berbagai persoalan dikemudian hari, bahkan sangat mungkin memunculkan berbagai gangguan pada diri individu yang bersangkutan. Sebaliknya koping yang positif menjadikan individu semakin matang, dewasa dan bahagia dalam menjalani kehidupannya.<br /><br />Referensi:<br />http://ahyarwahyudi.wordpress.com/2010/02/11/konsep-diri-dan-mekanisme-koping-dalam-proses-keperawatan/<br />Rasmun, Skp., M.Kep, Stres, Koping dan Adaptasi, Sagung Seto, Jakarta,2004<br />Siswanto, S.Pi., Msi. Kesehatan Mental, konsep, cakupan dan perkembangannya, CV. Andi Offeset, Yogyakarta, 2007.<br />Dr. Kartini Kartono, Hygiene Mental, CV. Mandar Maju, bandung, 2000<br />Dr. Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, PT. Toko Gunung Agung, Jakarta, 1995 <br /><br /><br /><br />Nama kelompok:<br />Ida Rusma Herawati<br />NazirahAbdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-36179654910149638762011-03-14T05:57:00.000-07:002011-03-14T05:58:11.460-07:00PSIKOSA FUNGSIONAL (FUNCTIONAL PSYCHOSIS)A. Depenisi psikosa<br />Psikosa / psikosis adalah bentuk ketakutan mental yang di tandai adanya disentegrasi kepribadian (kepecahan pribadi) dan terputusnya hubungan dirinya dengan realitas.<br />Individu di sebut psikotis apabik :<br />1. Reality testingnya terganggu lama sekali, sihingga pikiran dan tanggapanya tidak sesuai dengan realitas, lalu di hinggapi halusinasi dan delusi-delusi (waham, denkbeelden).<br />2. Oleh disentegrasi kepribadiannya, orang mengelami kekalutan organis kekalutan fungsional dan kekalutan fungsi kejiwaan : misalnya pada intelegensi, kemauan dan perasaannya.hubungan dirinya dengan dunia luar dan realitas terputus dan dia hidup dalam dunia yang tidak ril. Yaitu dalam satu imaginary social world yang di ciptakannya sendiri. Dia menutup diri dari realitas nyata dan tidak mampu mengenali serta menilai realita yang ada. Sehingga dirinya menjadi tidak kompeten secara sosial dan tidak bisa memikul tanggung jawab atas segala tingkah lakunya.<br />3. Individu mereaksi (memarak dan mencerahkan) tekanan-tekanan interval serta eksternal dengan cara yang keliru dan merugikan sehingga semakin banyak muncul gangguan efektif yang serius, ketakutan, kecemasan-kecemasan hebat dan halusinasi ringkasnya, kehidupan psikisnya jadi kacau atau kwatir dan penderita tidak berdaya dan tidak mampu meluruskan kesulitan batinnya.<br />Penderita mengalami disentegrasi kepribadian disertai kekalutan organis, kekalutan fungsional dan kekalutan fungsi-fungsi kejiwaan pada intelegasi kemauan dan perasaannya. Mereka umumnya hidup dalam dunia yang tidak riil (dalam dunia fantasi, cita-cita atau dunia imaginer) sebab hubungan dirinya dengan dunia luar atau dunia realitas sudah putus. Penderita jadi tidak kompeten secara sosial ia mengalami malajusdmen yang berat.<br />B . Depenisi psikosa fungssional<br />Psikosa fungsional adalah psikosa di sebabkan oleh faktor-faktor non- organis, dan ada maladjustmen fungsional, sehingga penderita mengalami kepecahan pribadi total, menderita maladjustmen intelektual, dan instabilitas watak.<br />Psikosa fungsional (funcitional psyhosis) merupakan penyakit mental secara fungsional yang berat non-organis sifatnya, ditandai oleh desentegrasi /kepecahan keperibadian dan maladjustment sosial yang berat ;orang yang tidak mampu mengadakan relasi sosial dengan dunia luar, sering terputus sama sekali dengan realitas hidup, lalu menjadi inkompeten secara sosial. <br />Ada kekacauan mental secara funsional yang nonorganis sifatnya, sehingga terjadi kepecahan pribadi. Desentegrasi kepribadian ini di ikuti oleh maladjustmen sosial yang berat. Penderita tidak mampu mengadakan hubungan sosial dengan dunia luar. Bahkan sering terputus sams sekali dengan realitas hidup, lalu menjadi ikomten secara sosial. Hilanglah rasa tanggung jawabnya. Di tambah pula dengan gangguan pada karakter dan fungsi intelektualnya.<br />Sering kali pasien menderita ketakutan hebat; dihinggapi depresi, delusi, alusinasi, dan ilusi optis. Tidak mempunyai insight sam sekali, mengalami regresi psikis, menderita stopor(tidak bisa merasakan satupun, keadaanya seperti terbius) . gejala lainya ialah sering mengamuk. Disertai kekerasan dan serangan-serangan yang maniakal kegila-gilaan, sehimggah membahayakn sekali keselamatan orang lain. Juga bisa berbahaya bagi diri sendiri, karena munculnya usaha untuk bunuh diri. Sehinggah mereka perlu mendapatkan perawatan dalam rumah sakit jiwa atau assylum. <br />Jika tingkah lakunya itu jadi begitu abnormal dan irrasional, sehingga dia di anggap bisa jadi bahaya atau ancaman bagi keselamatan orang lain dan bagi dirinya sendiri, maka secara hukum ia di nyatakan sebagai orang gila.<br />Simptom umum psikosa fungsional :<br />1. Tidak ada insight. Biasanya pasien tidak menyadari simptom-simptom dan penyakitnya, putuslah hubungan dengan dunia realitas.<br />2. Ada maladjustmen berat, dan desorganisasi dan fungsi-fungsi kewajiban, intelegensi, perasaan dan kemauannya.<br />3. Sering mengalami stupor<br />4. Pribadinya terpecah, ada desintegrasi kepribadian, dan desorientasi terhadap lingkungan. Reaksi individu terhadap tekanan-tekanan batin sendiri dan tekanan-tekanan batin sendiri dan tekanan sosial selalu berbentuk gangguan efektif yang parah. Pasien selalu mengadakan introspeksi yang sangat mendalam berlebih-lebihan, dan salah. Caranyamenilai dunia luar juga selalu salah.<br />5. Terjadi kekalutan mental yang progresif, ada kepecahan pribadi.<br />6. Responsnya terhadap lingkungan sekitarnya selalu tidak tepat, kegila-gilaan, atau maniakal dan eksentrik. Dia tertawa-tawa mengikik-ngikik terus-menerus.<br />7. Kerap kali di bayangi oleh bermacam-macam halusinasi dan delusi.<br />8. Selalu merasa ketakutan dan bingung, mengalami kekacauan emosional yang kronis.<br />9. Jika pasien jadi agresif, sifatnya menjadi kasar, keras kepala dan kurang ajar, bahkan menjadi eksplosif meledak-ledak, ribut, berlari-lari, dan jadi amat berbahaya. Sebab dia mungkin menyerang dan membunuh orang lain, atau berusaha untuk membunuh diri sendiri.<br /> Sebab-sebab psikosa fungsional iyalah :<br />a . konstitusi mental dan jasmaniah yang herediter, di warisi dari orang tua atau generasi sebelumnya yang psikotis. Jumlahn ya kurang lebih 50% dari semua penderita.<br />b. Kebiasan mental dan pola-pola kebiasaan yang salah sejak masa kanak-kanak, di tambah mengalami maladjustmen, dan penggunaan escape mechanism yang salah. Pasien di ganggu oleh banyak konflik-konflik pribadi yang serius, dan kurang adanya integrasi kepribadian.<br /><br />Termasuk dalam kelompok psikosa fungsional ini adalah :<br />A . Schizophrenia<br />1. Schizophrenia hebephrenic<br />2. Schizophrenia catatonic<br />3. Schizophrenia paranoid<br /><br />C . Schizophrenia (Schizofrenia)<br />Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu “ skizo“ yang artinya retak atau pecah (split), dan “frenia“ yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian. <br />Definisi menurut pandangan ilmiah, skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis fungsional berupa gangguan mental berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas dan oleh kemunduran fungsi sosial, fungsi kerja, dan perawatan diri.<br />Pasien tidak bisa memahami lingkungannya, dan responsnya selalu maniakal kegila-gilaan. Perasaannya senantiasa tidak cocok. Ia mengalami gangguan intelektual yang sangat berat, sehingggah pikirannya melompat-lompat tanpa arah dan tanpa kendali.<br />Faktor-faktor skizofrenia<br />1. Riwayat skizofrenia dalam keluarga<br />2. Perilaku premorbid yang ditandai dengan kecurigaan, eksentrik, penarikan diri, dan/atau impulsivitas.<br />3. Stress lingkungan dan stress yang berlebihan<br />4. Kelahiran pada musim dingin. Faktor ini hanya memiliki nilai prediktif yang sangat kecil.<br />5. Status sosial ekonomi yang rendah sekurang-kurangnya sebagian adalah karena dideritanya gangguan ini<br />6. Tumbuh kembang di tengah-tengah kota<br />7. Penyalahgunaan obat seperti amphetamine<br />8. Komplikasi kehamilan.<br />Indikator premorbit (pra-sakit) pre-skifrenia antara lain ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang menyimpang (tanjential) atau berputar-putarsi) sirkumstantia.:Gangguan atensi : penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau memindahkan atensi.Gangguan prilaku : menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak disiplin.<br />Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas:<br />1. Gejala-Gejalapositif Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh orang lain.<br />2. Gejala-Gejalanegatif Gejala-gejala yang dimaksud disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal seseorang. Termasuk kurang atau tidak mampu menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan berbicara.<br />Pada penderita schizophrenia ini ada disentegrasi pribadi dan kepecahan pribadi. Tingkah-lakunya emosional dan intelektualnya jadi ambigious (majemuk), serta mengalami gangguan seriua, juga mengalami regresi atau dementia total. Pasien selalu berusaha melarikan diri dari kenyataan hidup dan berdiam dalam dunia fantasinya. Tampaknya ddia tidak bisa memahami lingkungannya, dan responsnya maniakal atau kegila-gilaan. Perasaannya selalu tidak cocok, mengalami gangguan intelektual berat, sehingga pikirannya melompat-lompat tanpa arah.<br />Definisi schizophnia : kondisi psikotis dengan gangguan disentegrasi, depersonalisasi, dan kebelahan atau kepecahan struktur kepribadian, serta regresi yang parah.<br />Penderita selalu melarikan diri dari realitas hidup, dan berdiam dalam dunia fantasi sendiri. Tampaknya dia tidak memahami lingkungannya. Reaksinya selalu maniakal atau kegila-gilaan.<br />Kehidupan emosional dan intelektualnya menjadi amblgious/majemuk, serta mengalami gangguan serius, bahkan juga mengalami regresi atau dementia total. Pikirannya melompat-lompat tanpa arah, karena dia menderita gangguan intelektual yangg berat. Juga perasaannya senantiasa tidak cocok dengan realitas nyata.<br />Simptom-simpto umum schizofrenia ialah sebagai berikut :<br />1. Simptom fisik; ada gangguan motorik berupa retardasi jasmaniah, lamban gerak geriknya . tingkah lakunya jadi streotipis, yaiti kadang-kadang ada gerak-gerak motorik lamban, tidak teratur, dan kaku ;atau tingkah lakunya menjadi aneh-aneh eksentrik.<br />2. Simptom psikis:<br />a) Intelek dan ingatanya jadi sangat mundur. Ia jadi sangat introvert dan pemimpi siang atau daydreamer. Tidak ada sedikit sekali berkontak dengan lingkungannya. Tendensi menjadi autistis sangat kuat.<br />b) Penderita mengalami regresi atau degenerasi mental, sehingga menjadi acuh tak acuh dan apatis, tanpa minat pada dunia sekitarnya, tanpa kontak sosial.<br />c) Afeksi dan perasaan kemesraannya menipis. Menjadi jorok dan kotor; tidak tau malu, suka memperlihatkan alat kelaminya;dan sering bertingkah laku a-moral.<br />d) Dia dihinggapi bermacam-macam angan-angan dan pikiran yang keliru,alusinasi,delusi, dan ilusi yang salah.<br />e) Ia suka mengarang kata-kata atau istilah-istilah baru,tanpa mengandung arti sesuatupun atau kata-kata yang diperpendek dan “ditelanya”nya.<br />f) Emosinya banyak terganggu. Dia menjadi acuh tak acuh sama sekali terhadap diri sendiri dan lingkungannya, apatis dan introvert sekali.<br />g) Gangguan keperibadian berupa breakdown mental yang secara total. Tiba-tiba ia bisa dihinggapi perasaan kebencian dan dendam yang meluap-luap.<br /><br />Sebab-sebab schizofrenia ialah :<br />1. Lebih dari separuh dari jumlah penderita schizofrenia mempunyai keluarga psikotis atau sakit mental.<br />2. Tipe kepribadian yang schizothym (dengan jiwa yang cenderung menjadi schizofren) dan bentuk jasmaniah asthenia (tidak berdaya/bertenaga), mempunyai kecenderungan kuat menjadi schizofren.<br />3. Sebab-sebab organis : ada perubuhan atau kerusakan pada sistem syaraf sentral. Juga terhadap gangguan –gangguan pada sistem kelenjar-kelenjar adrenal dann pituitary (ke lenjer di bawah otak). Kadang kala kelenjar thyroid dan kelenjar adrenal mengalami atrofi berat. Dapat juga di sebabkan oleh proses klimakterik dan gangguan-gangguan menstruasi. Semua gangguan tadi menyebabkan degenerasi pada energi fisik dan energi mentalnya.<br />4. Sebab-sebab psikologis : ada kebiasaan-kebiasaan infantil yang buruk dan salah, sehingga pasien hampir selalu melakukan maladjustment (salah-suai) terhadap lingkungannya. Ada konflik di antara super-ego dan id (freud). Integrasi kepribadiannya sangat miskin, dan ada kompleks-inferior yang berat.<br />Karena terdapat beberapa defek organis (cacat jasmaniah), biasanya timbul perasaan tidak mampu. Dia lalu berusaha menghindari realitas, dan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang salah. Sekalipun defek badannya sudah di betulkan lewat operasi-operasi, namun tetap saja dia terus-menerus menggunakan kebiasaan dan pola hidup yang salah, halusinasi dan delusi-delusi,perasaan-perasaan curiga, benci dan agresif sehingga dia menjadi eksplosif meledak-ledak dan sangat berbahaya, sebab bisa melukai dan membunuh orang-orang di sekitarnya.<br />Dia menjadi jorok, sama sekali tidak menghiraukan diri sendiri.gangguan kepribadian utama pada dirinya iyalah : mengalami kepatahan mental (mental breakdown) total.<br /><br />Schizofrenia ini di bagi dalam kategori, yaitu:<br />1. Schizofrenia hebefrenik<br />2. Schizofrenia katatonik<br />3. Schizofrenia paranoid<br />1. Schizofrenia hebefrenik, (hebefrenic=pengumpulann mental/jiwanya)<br />Hebefrenik itu artinya : mental atau jiwanya menjadi tumpul. Kesadarannya masih jernih, akan tetapi kesadaran akunnya sangat ternganggu. Berlangsulah disentegrasi total, tanpa memiliki identitas, dan tidak bisa membedakan diri sendiri dengan lingkungannya. Orangnya mengalami derealisasi dan depersonalisasi berat.di hinggapi macam-macam ilusi dan delusi, sebab pikirannya selalu melantur. Halusinasi dan delusinya biasanya aneh-aneh, pendek-pendek, dan cepat berganti-ganti. Pikirannya kacau melantur. Ia banyak tersenyum-senyum dengan muka yang selalu perat-perot/grimassen tanpa ada perangsang sedikitpun.<br />Terjadi regresi total dalam tingkah-lakunya, dan pasien menjadi kekanak-kanakan. Kehidupan perasaan yang tampaknya menumpul itu bisa di sertai kepekaan yang berlebih-lebihan. Dengan kata lain, menumpulnya kehidupan perasaan itu berfungsi sebagai tutup pelindung dari kepekaan emosi-emosinya yang berlebih-lebihan, bagaikan sebuah gunung api yang masih bekerja yang di liputitudung es salju.<br />Pasien menjadi jorok dan kotor sekali. Ia selalu ingin ngloyaor ke mana-mana, dan tidak menngenal sopan-santun lagi, tidak mengenal subasita, ada peristiwa kebilangan decorum. Ia suka memmperlihatkan alat kelaminnya, dan melakukan onani di hadapan orang lain.<br />Reaksi sikap dan tingkah-lakunya menjadi kegila-gilaan. Ia suka tertawa-tawa, untuk segera nangis tersedu-sedu. Perasaannya menjadi mudah tersinggung. Sering di hinggapi sarkasme, dan kerapkali menjadi eksplosif meledak marah-marah tanpa suatu sebabpun.<br />Gejala-gejala umum schizofrenia bebefrenik ialah sebagai berikut :<br />a) Ada reaksi sikap dan tingkah-laku yang kegila-gilaan, suka tertawa, untuk kemudian menangis tersedu-sedu. Mudah tersinggung atau sangat irritabel. Sering di hinggapi sarkasme dan jadi meledak-ledak marah atau menjadi eksplosif tanpa suatu sebab.<br />b) Pikirannya selalu melantur, banyak tersenyum-senyum dan mukanya perat-perot (grimassen) tanpa ada stimulasi. Halusinasi dan delusinya biasanya bersifat aneh-aneh, pendek-pendek ddan cepat berganti-ganti.<br />c) Terjadi regresi total, menjadi kekanak-kanakkan<br /><br />2. Schizofrenia katatonik (catatonic)<br />Penderita seperti menjadi kaku (catatonic : kaku). Ciri-cirinya sebagai berikut :<br />a) Urat-uratnya menjadi kaku dan mengalami chreaflexibility (waxy flexibility), yaitu badannya menjadi kaku beku seperti malas/was. Dia sering menderita catalepsy, yaitu keadaan tidak sadar seperti dalam kondisi trance. Seluruh badannya menjadi kaku, tidak pejal, dan tidak bisa di bengkokkan. Jika ia telah mengambil satu posisi tertentu, misalnya berdiri, berjongkok, kaki ada di atas dan kepala di bawah, miring, dan lain-lain, maka dia bisa bertingkah sedemikian ini untuk berjam-jam atau berhari-hari lamanya. Dirinya seperti dalam keadaan tidur yang hypnotik (kena sihir).<br />b ) Ada pola tingkah-lakunya yang stereotypis, aneh-aneh atau gerak-gerak atau otomatis dan tingkah yang aneh-aneh, yang tidak terkendalikan oleh kemauan.<br />c ) Ada gejala stupor, yaitu bisa merasa, seperti terbius. Sikapnya negatif dan pasif sekali, di sertai delusi-delusi kematian, mau ingin mati saja. Tidak ada interesse sama sekali pada sekelilingnya, tanpa kontak sosial. Penderita terus-menerus membisu (mutisme) dalam wktu yang lama. Dia menjadi autistis dan negativistis.<br />d ) Kadang-kadang di sertai catatonic excitement yaitu jadi meledak-ledak dan ribut hiruk-pikuk, tanpa sebab dan tanpa tujuan apapun.<br />e ) Mengalami regresi total <br />3) schizofernia Paranoid <br />Penderita diliputi macam-macam delusi dan alusinasi yang terus berganti –ganti coraknya dan tidak teratur ,serta kacau balau. Ada delusion of persection . sering merasa iri hati, cemburu dan curiga . pada umumnya emosinya beku,dan ia sangat apatis.<br />Pasien tampaknya lebih waras dan tidak sangat ganjil dan aneh jika dibandingkan dengan penderita schizofernia.jenis lainya. Akan tetapi pada umumnya dia bersikap sangat bermusuh terhadap siapa pun juga . merasa dirinya penting –besar grandieus. Sering sangat fanatic rejegius secara berlebih-lebihan sekal. kadang-kadang bersipat hipokondrs.<br />Pranogsa dan penyembuhan bagi schizophrenia pada umumnya:sedikit sekali kemungkinan bias seembuh, terutama jika keadaanya sudah parah. Pengebatan dengan :kuur obat-obatan. Yang penting usaha –usaha preventif berupa: menghindari frustasi-frustasi dan kesulitan-kesulitan psikisnya. Menciptakan kontak-kontak social yang sehat dan baik . membiasakan pasien memikiki sikap hidup (attitude) pusitif , dan mau melihat hari depan dengan rasa keberanian . Beranikah ia mengambil sikap tegas dalam menghadapi realitas dengn rasa positif,dan usahakan agar dia bias menjadi extrovert<br />C. PSIKOSA MANIS DEPRESIF<br />Tujuh puluh persen dari semua penderitanya adalah wanita. Psikosa manis-despresif ini merupakan kekalutan mental yang serius berbetuk gangguan emisionsl yang ekstrim, yaitu terus –menerus bergerak antara gembira ria tertawa-tawa (elation) sampai dengan rasa defresif sedih putus asa penderitanya selalu dihinggapi ketegangan-ketegangan afektif dan agresi yang terhambat-hambat. Implus-implusnya kuat, tetapi pendek –[enfek, dan tidak bias dikontrol atau dikendalikan . misalnya pikiran kacau dan ingatanya jadi semakin mundur . pasien menjadi sangat egosentris, dan tingkah-lakunya jadi kekanak-kanakan . ia merasa selalu gelisa, dan tidak pernah merasa puas.<br />Simptom-simptom pada saat manis (gembira,exited)<br />1) Penderitanya masih sangat aktif , amat rebut dan lari kesana kemari . gerakanya banyak sekali. Banyak berbicara sengat cepat dan ketawa-tawa riang; suka bernyanyi-nyanyindan mengeluarkan kata-kata atau bahasa yang kotor. Biasanya pasien amat gelisa.<br /><br />2) Ia sangat tidak sabaran dan tidak toleran. Menjadi irabel-irabel dan gelisah.<br /><br />3) Kesadaranya kabur , idenya campur –aduk dan khatois. Ia tidak lagi mengenal larangan dan pantangan-pantangan (inhibition)<br /><br />4) Ada disorientasi total terhadap ruang,tempat,dan waktu.<br /><br />5) Emosinya pendek-pendek dan meledak-ledak. Dalam keadaan excited ini sering melakukan kekerasan , membanting-banting dan merusak segala sesustu yang dapat dijangkaunya. Dia menjadi ribit dan lari-lari kegilaan.<br /><br />6) Penderita merasa selalu dikejar-kejar oleh ilusi-ilusi serta halusinasi –halusnasi visual dan aural ; juga delusi-delusi person.<br /><br />7) Pada stadium berat, disaat pasien mengalami manis , dia bias melakukan serangan-serangan , kekerasan dan usaha-usaha untuk membunuh orang lain atau bunuh diri.<br />Simptom-simptom padac saat depresif antara lain: <br /><br />1) Penderita menjadi melankonis ,bepresif ,sangat sedih,banyak menangis ,dihinggapi ketakutan dan kegelisahan.<br /><br />2) Perasaanya tidak pernah merasa puas. Merasa tidak berguna dan sia-siakan dalam hidupnya. Ia merasa sebatang kara didunia,menjadi positif, acuh tak acuh,dan apatis.<br /><br />3) Dihinggapi halusinasi-halusinasi dan delusi-delusi yang menakutkan atau menimbulkan kepedihan hati. Ada penyesalan –penyesalan atas kesalahan dan dosa-dosa di masa lampau.<br /><br />4) Merasa jemu hidup dan berputus asa . ia ingin mati dan melakukan usaha-usaha untuk bunuh diri. Kadang-kadang dibarengi dengan gejala stupor komplit,atau dihinggapi catelepsi (seluruh badan menjadi kaku dan tidak bias digerakkan ayau dibengkokkan) dia berdiam diri saja dalam waktu yang lama, tidak mau berbicara, serta menolak makan dan minum.<br /><br />5) Kesadaran jadi kabur . biasanya disertai redertasi motorik, dan redertasi mental yang semakin memburuk.<br /><br /><br /><br />1) Tingkatan-tingkatan/derajat manis<br /><br />a) Tingkatan hypomania (hypo= kurang;mania=kegilaan).<br />Kegelisahan yang berlebih-lebihan . [asien menjadi aktif sekali,tidak mengenal jemu. Bicaranya cepat, gembira dan penuh gairah . dia menjadi sangat irritable ,tidak toleran mania dan tidak sabaran.<br /><br /> <br /> b).Tingkatan mania akut:<br /> Pikiran dan ide-idenya begitu cepat bergerak atau berganti-ganti, sehinggah bicaranya tidak jelas dan ketinggalan (ketinggalan dari pikiran). hilang kemampuan beriontasi , dan kesadaranya jadi kabur.<br /><br />b) Mania hyperakut<br />Ada dorongan melakukan kekerasan dan ska berkelahi. Bersifat destruktif diikuti dengan kecapaian yang luar biasa. Terjadi disortentasi total terhadap waktu, tempat dan orang diikuti delirium, halusinasi dan hilang insightnya.<br /><br />2) Tingkat / derajat depresif<br /> Ciri-ciri umum dari depresi atau melancholia ialah ; ada retardasi motorik dan mental, kemurungan; tidak ada aktivitas sama sekali. Di ikuti delusi-delusi hypochondria, sedangkan tingkatan-tingkatan depresi dan ciri-cirinya ialah sebaagai berikt :<br /> Keterbatasan retardasi biasa: ada perasaan murung dan putus asa. Hilang ambisinya. Ada prosses rentaldasi mental, dan respon-respon motoriknya menjadi sangat lambat. Orientasi dan ingatannya belum banyak terganggu.<br />1) Melancholia akut (Acute Melancholia): hilang aktivitasnya. Pribadinya cenderung megasingkan diri secara total. Dalam status hypochondria, ia dipenuhi delusi-delusi menyalahkan diri sendiri. Ada rasa-rasa berdosa, pikiran-pikiran tidak riil, dan delusi-delusi merasa hina, sengsara serta miskin sekali.<br />2) Stupor Depresif (Depressive Stupor): dirinya sama sekali jadi membeku, diam mematung. Ia menolak untuk berbicara, makan atau bergerak. Pasien mengasingkan diri secara total dari lingkungannya. Kesadarannya menjadi kabur karena banyak di hinggapi delusi-delusi yang campur-aduk. Banyak penderita psikosa jenis ini sellalu bergerak dari status depresi / melankholis beralih pada status mania (axited).<br />Sebab-sebab Timbulnya Psikosa Manis-Depresif<br />1) Sebab <br />a. Gangguan glanduler pada kelenjar-kelenjar thyroid, gonadal, parathyroid<br />b. Infeksi-infeksi, trauma atau luka-luka, dan keracunan.<br />c. Tipe-tipe jasmani yang piknis / pycnis mempunyai kecendrungan mendapat gangguan penyakit ini.<br /><br /><br /><br />2) Sebab-sebab hederiter<br /><br />a. Banyak pasian yang mempunyai sanak keluarga yang sakit jiwanya , atau mempunyai gangguan mental yang serius. Pada umumnya pasien dihinggapi mania –mania kompensasi untuk meredudir pikiran-pikiran dan ide-ide yang tidak menyenangkan (dijadikan mekanisme untuk meluapkan kesedihan dan kekecewaan hidup) dalam bentuk aktifitas-aktifitas yang ekstrim. Sedang insir depresinya merupakan reaksi <br />b. untuk”meluapkan” atau melampiaskan kegagalan-kegagalanya. Pada umumnya ada rasa –rasa penyesalan hebat ,dan ada usaha untuk melarikan diri dari kenyataan hidup . muncullah kemudian rasa putus asa.<br />c. Tipe-tipe kepribadian cylcothym atau ekstrovert juga mempunyai kolerasi dengan gangguan manis depresif ini.<br /><br />d. Tidak ada control emosi. Tidak ada integrasi antara rasa-rasa penurut tunduk-tunduk dengan tendens-tendens harga –diri yang ekstrim.<br /><br />3) Sebab-sebab non herediter:<br />• Ada mania-mania kompensasi untuk meredusir fikiran-fikiran dan ide-ide yang tidak menyenagkan , yang dijadikan mekanisme –kompensatoris untuk meluapkan kesedian dan kekecewaan-kekecewaan hidup, dalm bentuk aktivitas-aktivitas yang ekstrim, sibuk, dan kacau tidk beraturan.<br />Sedang unsur depresinya dntuk merupakan kanalisasi pelepasan untuk melupakan kegagalan-kegagalan. Pada umumnya ada rasarasa penyesalan. Lalu timbul usaha untuk melarikan diri dari kenyataan hidup; kemudian muncul perasaan putus asa.<br />• Tidak ada kontrol terhadap emosi-emosinya. Tidak ada integrasi diantara perasaan-perasaan tunduk patuh dengan tendens-tendens harga-diri yang ekstrim.<br /> <br /><br />Pragnosa dan penyembuhan : ada kemungkinan disembuhkan ,khususnya bila treatment diberikan pada stadium permulaan dari penyakit. Yang penting sekali ialah: usaha-usaha preventif;yaitu mengajar anak-anak dan orang muda untuk mengepresikan emosinya dengan mekanisme yang positifnya ,dan menghindari penekanan-penekanan yang berlebihan-berlebihan terhadap luapan emosinya.<br /><br /><br />D.PSIKOSA PARANOIA<br />Paranoia adalah gangguan mental yang amat serius, dirikan dengan timbulnya delusi-delusi yang disistematiisir dan dihinggapi banyak ide fixed (ide-ide yang salah dan terus-menerus melekat). Tujuh puluh persen dari penderita paranoia ini adalah laki-laki. Pada umumnya ada sedikit integrasi pada oara penderitanya; akan tetapi mereka selalu megekspresikan diri dengan bentuk membannsel dank eras kepala.<br />Lebih kurang 70% dari penderita paranoia adalah kaum pria. Mereka selalu diliputim delusi-delusi, khususnya delosion of grandeur dan delusion of persection , rasa iri hati, cemburu, dan curiga .pada umumnya mereka tidak di ganggu oleh halusinasi-halusinasi.<br />Ide-ide na selalu salah dan kaku. Selalu di ikutu delusi-delusi, khususnya delusion of persecution dan delusion of grandeur; disamping senantiasa iri-hati, cemburu dan menaruh curiga. Pada umumnya mereka tidak dihinggapi halusinasi-halusinasi. Respon afektif / perasaannya selalu konsisten denga delusi-delusinya. System paranoidnya biasanya terlepas atau ada diluar kesadarannya. Pribadinya tetap intact berfungsi. Pasien pada umumnya menganggap dirinya superior dan memiliki bakat-bakat luar biasa, merasa memiliki bakat ketuhanan atau ke-Nabian. Banyak para pemimpin, agitator dan reformen gelisah / yang mempunyai symptom-simptom paranoid ini.<br /><br /> Symptom-simptom paranoia:<br />1. Selalu diikuti oleh delusi-delusi: delusion of grandeur (khayalan kemegahan), delusion of persecution (khayalan seperti di kejar-kejar), iri hati. Biasanya delusi-delusi tersebut berupa ide-ide fixed (fixation) yang “disistematisir”. Penderita menjadi dewa, nabi atau pemimpin-besar.<br />2. Kehidupan mentalnya tidak mengalami dementia. Pikiranya masih logis; tetapi ide-idenya selalu salah, khususnya ide-ide fixed (pikiran keliru / sesat yang tegar, sangkaan paksaan yang sesat).<br />3. Gaangguannya pada umumnya bersifat kompensatoris; yaitu ada rasa-rasa bersalah dan berdosa, rasa-rasa inferior, cemburu, iri dan lain-lainm yag diproyeksikan pada orang lain ntuk membela egonya sendiri. Sehingga pasien dihinggapi oleh delusi-delusi ssebagai defence mechanism dan rasa-rasa inferior, rasa bersalah dan rasa-rasa yang negative tadi.<br />Sebab-sebab psikosa paranoia:<br />1. Kecendrungan-kecendrungan homoseksual dan dorongan-doronga seksual yag tertekan, yang kemudian di proyeksikan (frued).<br />2. Ide-ide yang sarat dimuati oleh efek-efek yang luar biasa kuatnya.<br />3. Kebiasaan-kebiasaan berpikiy yang salah, disebabkan oleh rasa iri hati, selfish, egosentris. Terlalu sensitive dan kerap kali dihinggapi rasa curiga.<br />4. Merupakan bentuk-bentuk kompensasi terhadap kegagaaln-kegagalannya dan terhadap kompleks-kompleks inferior; atau ada defence mechanism terhadap rasa-rasa berdosa dan bersalah. Seringkali pula tumbuh perasaan-perasaan super dan lain dari pada orang biasa.<br /><br />Atau defence mechanism terhadap rasa berdosa dan bersalah. Sering kali ada perasaan-perasaan super (ada superriteitscompelexen), merasa lain dari pada orang biasa; ada “hoogmoedwaanzin”, yaitu merasa tinggi hati dan tinggi martabat yang kegila-gilaan sifatnya. <br /><br />E. IKHTISAR<br /> Pada psikosa fungsional ini ada kekacauan mental ( secara funsional ) yang non-organis sifatnya, sehingga terjadi kterpecahaan atau keterbelahan pribadi. Desintegrasi kepribadiaan ini membuahkan maladjustment susial yang berat, sehingga penderita terputus hubungannya dengan reaalitas hidup diluar. Dia menjadi tidak kompeten secara social.Dimasukkan dalam kelompok psikosa fungsional ini ialah : <br />a. Psikosa schizophrenia<br />b. Psikosa manis-depesif<br />c. Psikosa paranoia<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Referensi :<br />Kartini kartono ,cet viii,2003. Patologi Sosial. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada<br />Kartini kartono ,cet viii,2003. Hygene Mental . Bandung :cv. Mandar Maju<br />http://www.tanyadokteranda.com/artikel/2006/09/skizofrenia-antara-fantasi-dan-realita<br />http://www.resep.web.id/kesehatan/mengenal-penyakit-skizofrenia-salah-satu-gangguan-psikosis-fungsional.htm<br />http://id.shvoong.com/medicine-and-health/1617336-seputar-dunia-skizofrenia/<br />http://id.wikipedia.org/wiki/Ski<br /> <br /><br /><br />NAMA : NURHALIMAH&SUNARTI <br />NIM : 10942008883/10942008848<br />M.KULIAH : KESEHATAN MENTAL IIAbdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-17774783188079238132010-12-31T05:50:00.000-08:002010-12-31T05:51:15.874-08:00Komponen dasar bimbingan konselingKomponen adalah bentuk atau bagian, jadi komponen dasar bimbingan dan konseling adalah apa saja yang menjadi dasar dari bimbingan dan bimbingan konseling itu sendiri, sehingga dalam prosesnya akan berjalan sebagaimana mestinya. Yang ternasuk komponen dasar konseling yaitu :<br />1. Konselor <br />Konselor sebagai suatu propesi menolong memiliki peran-peran yang penting dalam kehidupan.propesi ini merupakan salah satu dari propesi-propesi lain yang tugasnya adalah memberikan bantuan kepada seseorang atau kelompok untuk memecahkan suatu masalah, baik masalah keluarga atau masalah dengan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, tantangan bagi konselor agar dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk membantu seseorang ataupun kelompok harus memiliki criteria-kriteria tertentu yaitu sebagai berikut :<br />a. Syarat menjadi konselor<br />1. Memiliki latar belakang pendidikan yang berkaitan dengan konseling dan juga mengikuti program propesi yang di selenggarakan disalah satu unuversitas.<br />2. Konselor hendaklah orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik keimanan dan ketakwaannya sesuai dengan agama yang di anutnya.<br />3. Konselor sedapat-dapatnya mampu mentransfer kaidah-kaidah agama secara garis besar yang relevan dengan masalah klien.<br />b. Kompetensi konselor <br />1. Kompetensi pedagonis yang didalamnya terdapat beberapa hal di antaranya adalah sebagai berikut :<br />a. Menguasai teori dan praktik pendidikan.<br />b. Mengaplikasikan perkembangan fisiologis dan psikologis serta prilaku konseling.<br />c. Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenis, dan jenjang satuan pendidikan.<br />2. Kompetensi kepribadian <br />Kompetensi yang di miliki konselor adalah sebagai berikut :<br />a. Beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa.<br />b. Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas, dan kebebasan memilih.<br />c. Menunjukan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat <br />d. Menampilkan kinerja berkualitas tinggi. <br /><br /><br /><br /><br /><br />3. Kompetensi social<br />a. Mengimplementasikan kolaborasi internal di tempat kerja.<br />b. Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling.<br />c. Mengimplementasikan kolaborasi antar propesi.<br />4. Kompetensi professional<br />Konselor harus memiliki kompetensi professional seperti berikut :<br />a. Menguasai konsep dan praktis asemen untuk memahami kondisi, kebutuhan, dan masalah konseling.<br />b. Menguasai kerangka teoritis dan praktis bimbingan dan konseling.<br />c. Merancang program bimbingan dan konseling.<br />d. Mengimplementasikan program bimbingan dan konseling yang komprehensif.<br />e. Menilai proses dan hasil kegiatan bimbingan dan konseling <br />f. Memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika propesional.<br />g. Menguasai konsep dan praktis penelitian dalam bimbingan dan konseling.<br />Dalam buku penataan pendidikan propesional konselor dan layanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal yang di terbitkan oleh depdiknas tahun 2008 disebutkan juga dua komponen sosok utuh kompetensi konselor. Yaitu kompetensi akademik konselor dan kompetensi professional konselor. <br />1. Kompetensi akademik konselor.<br />a. Mengenal secara mendalam klien yang hendak dilayani.<br />b. Menguasai khazanah teoritis dan procedural termasuk teknologi dalam bimbingan konseling.<br />- Menguasai secara akademis, teori, prinsip, teknik dan prosedur, serta sarana yang digunakan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling.<br />- Mengemas teori, prinsip, dan prosedur serta sarana bimbingan dan konseling sebagai pendekatan,prinsip teknik, dan prosedur dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan.<br />c. Menyelengarakan layanan ahli bimbingan dan konseling yang memendirikan.<br />- Merancang kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling.<br />- Mengimplementasikan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling.<br />- Menilai proses dan hasil kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling serta melakukan penyesuaian-penyesuaian (midcouese anjustment) berdasarkan keputusan transaksional selama rentang proses bimbingan dan konseling dalam rangka memandirikan konseling.<br />d. Mengembangkan profsionalitas sebagai konselor secara berkelanjutan.<br /><br /><br />2. Kompetensi peofesional konselor<br />Penguasaan kompetensi propesional konselor di peroleh melalui penerapan kompetensi akademik dalam bimbingan dan konseling yang telah di kuasai pada tahap pendidikan akademik dijenjang S-1 bimbingan dan konseling dalam latihan yang sistematis serta beragam situasinya dalam konteks otentik dilapangan,yang dikemas sebagai pendidikan profsi konselor, yang diselengarakan dibawah penyelesaian konselor senior yang bertindak sebagai pembimbing atau supervisor. Pendidikan profesi konselor merupakan wahana untuk peletakan landasan kemampuan serta kebiasaan untuk mengembangkan profesionalitas secara berkelanjutan.<br /><br />C .profil konselor <br />konselor adalah seorang terapis sehingga dia menjadi model terhadap kepedulian dan membantu pertumbuhan klien-kliennya. Adapun hal-hal yang perlu di miliki seorang konselor adalah sebagai berikut :<br />1. Identitas dari seorang konselor. Artinya bahwa seorang konselor harus memahami siapa dirinya, apa kemampuan yang dimiliki, apa yang diinginkan dalam hidup, dan apa yang dianggap penting. Konselor harus memiliki penguasaan dan kemampuan dalam berbagai teori mengenai konseling. Ini bertujuan agar dapat memberikan bantuan kepada seseorang ataupun kelompok.<br />2. Respek dan menghargai dirinya sendiri. Artinya konselor dapat memberikan bantuan, cinta, harga diri, dan kekuatan untuk diri sendiri.<br />3. Konselor mampu mengakui dan menerima kekuatan yang ada pada dirinya. Artinya konselor merasa mampu bahwa orang lain dapat merasakan kekuatannya, dan menggunakan kekuatannya untuk membantu klien.<br />4. Konselor mampu untuk bertoleransi terhadap perbedaan. Artinya konselor menyadari bahwa setiap individu berbeda dan dapat dipercaya.<br />5. Konselor mampu mengembangkan gaya dan cara dalam memberikan konseling. Artinya setiap konselor memiliki kekhasan dalam mengekpresikan serta dapat mengembangkan ide dan teknik-teknik yang ada.<br />6. Semangat hidup. Artinya konselor memiliki keaktifan dan memandang positif kehidupan, dan energy.<br />7. Asli, tulus, dan jujur. Artinya konselor tidak bersembunyi dibalik topeng, membela diri, peran yang kaku, dan menutupi kelemahan.<br />8. Konselor memiliki sence of humor. Artinya konselor mampu menempatkan kehidupannya dan menyadari bahwa mereka perlu tetap ceria.<br />9. Konselor mengakui bila berbuat salah. Artinya sebagai manusia, konselorpun tidak luput dari berbuat salah.<br />10. Konselor menghargai perbedaan budaya. Artinya menghargai beragamnya budaya dan nilai-nilai yang diyakini oleh orang yang berbeda budaya.<br />D . peran seoranng konselor <br />1. Sebagai mediator<br />Sebagai mediator, konselor akan menghadapi beragam klien yang memiliki perbedaan, budaya, nilai-nilai, agama serta keyakinan.<br />2. Sebagai penasehat dan pembimbinng. Peran konselor sebagai pembimbing dan penasehat adalah sebagai berikut :<br />a. Konselor memberikan bimbingan atau tuntunan kepada klien sesuai dengan masalah yang dihadapi keluarga tersebut. Oleh karena itu seorang konselor harus memilki kematangan dalam kepribadian agar konselor dapat memandang suatu masalah yang sedang di tanganinya dengan dewasa dan bijaksana.<br />b. Konselor memberikan nasehat dengan cara membantu klien agar dapat melakukan Sesuatu yang baik untuk keluarganya atau dirinya dan menghindari hal-hal yang tidak sepantasnya di lakukan, baik oleh dirinya ataupun keluarganya. Serta dapat menyelesaikan masalahnya.<br /><br />2 . klien<br /> Klien yaitu orang yang membutuhkan bantuan atau pelayanan dari seseorang ahli guna mendapat jawaban atau solusi. sehingga ia tidak lagi bermasalah.<br />a. Tujuan klien <br />Tujuan klien yang datang menemui konselor bersumber dari ekpektasiklien mengenai masalah mendesak yang sedang dirisaukan oleh klien. Dengan demikian, yang dirisaukan oleh klien pada saat itu adalah “ bagaimana mengatasi gangguan ini “ atau bahkan klien tidak mengerti perasaannya dan apa yang dikehendakinya menemui konselor. Dengan kata lain, klien sering kali tidak memiliki tujuan-tujuan masa datang yang terumuskan secara jelas. <br />Perlu ditegaskan lagi bahwa para klien menghadiri konseling dengan ekpektasi-ekpektasi dan tujuan-tujuan khas dan beragam dari klien ke klien. Seperangkat ekpektasi dan tujuan itu mempengaruhi arah dan hasil konseling, dan menentukan apakah konseling berlanjut, atau perlu direfer, ataukah konseling diakhiri¸setelah konseling sesi pertama. <br /><br /><br />3. Teknik-teknik konseling<br />Yang di maksud dengan teknik konseling disini adalah cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang konselor dalam proses konseling untuk membantu klien agar berkembang potensinya serta mampu mengatasi masalah yang dihadapi dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi lingkungannya yakni nilai-nilai social, budaya dan agama.dalam proses konseling, penguasaan terhadap teknik konseling akan merupakan kunci keberhasilanuntuk mencapai tujuan konseling. Seorang konselor yang efektif harus harus mampu merespon klien secara baik dan benar sesuai dengan klien pada saat itu. Respon-respon yang baik berupa pertanyaan-pertanyaan verbal dan nonverbal yang dapat menyentuh, merangsang, dan mendorong sehingga klien terbuka untuk menyatakan secara bebas perasaan, pikiran, dan pengalamannya. <br />Sebagai suatu proses, implementasi teknik-teknik konseling akan melalui beberapa tahap kegiatan. Tahap-tahap tersebut adalah :<br />1. Persiapan konseling <br />Dalam hal ini, ada tiga hal yang harus dilakukan oleh konselor untuk memulai proses konseling yaitu :<br />a. Kesiapan untuk konseling<br />Kesiapan untuk konseling tertuju kepada konselor atau kliennya. Setiap aktivitas yang berproses akan memerlukan persiapan yang matang. Tanpa persiapan konseling tidak akan dapat berjalan dengan efektif dan sangat mungkin tujuan konseling tidak tercapai.<br /> Hal-hal yang berkenaan dengan kesiapan konseling terutama yang berhubungan dengan klien adalah : <br />1. Motivasi klien untuk memperoleh bantuan.<br />2. Pengetahuan klien tentang konseling.<br />3. Kecakapan tentang intelektual.<br />4. Tingkat tilikan terhadap masalah dengan dirinya sendiri.<br />5. Harapan-harapan terhadap peran konselor,<br />6. System pertahanan diri<br />Agar klien siap dalam mengikuti konseling, disarankan kepada konselor agar melakukan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Memulai pembicaraan dengan berbagai pihak tentang berbagai topic masalah dan pelayanan konseling yang diberikan.<br />2. Menciptakan iklim kelembagaan yang kondusif sehingga merangsang klien untuk memperoleh bantuan.<br />3. Menghubungi sumber-sumber referral ( rujukan ) misalnya dari organisai, sekolah dan madrasah, guru dan sebagainya.<br />4. Memberikan informasi kepada klien tentang dirinya dan prospeknya,<br />5. Melalui proses pendidikan itu sendiri.<br />6. Melakukan survai terhadap masalah-masalah klien, dan<br />7. Melakukan orientasi pra konseling.<br /><br />b. Riwayat kasus.<br />Riwayat kasus adalah suatu kumpulan harta yang sistematis tentang kehidupan klien skarang dan masa yang lalu. menurut surya riwayat kasus dapat dibuat dalam berbagai bentuk:<br />1. Riwayat koneling psikoterapeutik,yang lebih memusatkan pada masalah-masalah psikoterapeutik dan diproleh melalui wawancara konseling.<br />2. Catatan komulatif ( commulative record), yaitu suatu catatan tentang berbagai aspek yang menggambarkan perkembangan seseorang.<br />3. Biografi dan autobiografi.<br />4. Tulisan-tulisan yang dibuat sendiri oleh klien yang berkasus, sebagai dokumen pribadi<br />5. Grafik waktu tentang kehidupan klien yang berkasus.<br /><br />c. Evaluasi psikodiagnostik<br />Secara umum diagnosis dalam bidang psikologi berarti pernyataan tentang masalah klien, perkiraan sebab-sebab kesulitan, kemungkinan teknik-teknik konseling untuk memecahkan masalah, dan memperkirakan hasil konseling dalam bentuk tingkah laku klien dimasa yang akan datang.<br /><br />Surya menyarankan dalam proses konseling hendaknya berhati-hati menggunakan diagnosis denganpengertian diatas: sebab dapat menimbulkan bahaya sebagai berikut:<br />1. Data yang terbatas atau kurang memadai, padahal kehidupan klien sangat kompleks.<br />2. Konselor kurang memperhatikan keadaan tingkah laku klien sekarang.<br />3. Terlalu cepat menggunakan test<br />4. Hilangnya pemahaman terhadap individualitas atau keunikan system diri klien<br />5. Pengaruh sikap menilai dari konselor.<br /><br />2. Teknik-teknik Melakukan Konseling<br /><br />Proses konseling memerlukan teknik-teknik tertentu sehinggga konseling bisa berjalan secara efektif dan efisien atau berdaya guna dan berhasil guna.berikut ini diuraikan beberapa teknik dalam konseling.<br />a. Teknik rapport<br />Teknik rapport dalam konseling merupakan suatu kondisi saling memahami dan mengenal tujuan bersama .tujuan utama teknik ini adalah untuk menjembatani hubungan antara konselor dengan klien, sikap penerimaan dan minat yang mendalam terhadap klien dan masalahnya.melalui teknik ini akan tercipta hubungan yang akrab antara konselor dan kliennya yang ditandai dengan saling memperdayai.implementasi teknik rapport dalam konseling adalah:<br />1. Pemberian salam yang menyenangkan,<br />2. Menetapkan topic pembicaraan yang sesuai.<br />3. Susunan ruang konseling yang menyenangkan <br />4. Sikap yang ditandai dengan:<br />a. Kehangatan emosi<br />b. Realisasi tujuan bersama<br />c. Menjamin kerahasiaan klien<br />d. Kesadaran terhadap hakikat klien secara alamiah.<br />b. Prilaku attending <br />Attending merupakan upaya konselor menghampiri klien yang diwujudkan dalam bentuk prilaku seperti kontak mata,bahasa tubuh,dan bahasa lisan. Prilaku attending yang baik harus mengombinasikan ketiga aspek diatas sehingga akan memudahkan konselor untuk membuat klien terlibat pembicaraan dan terbuka. Prilaku attending yang baik akan dapat: <br />1. Untuk meningkatkan harga diri klien.<br />2. Menciptakan suasana yang aman dan akrab.<br />3. Mempermudah ekpresi perasaan klien dengan bebas.<br /><br />c. Teknik structuring<br />Structuring adalah proses penetapan batasan konselor tentang hakikat, batas-batas dan tujuan proses konseling pada umumnya dan hubungan tertentu pada khususnya. Ada lima macam structuring dalam konseling yaitu:<br />1. Batas-batas waktu baik dalam satu individu maupun seluruh proses konseling.<br />2. Batas-batas tindakan baik konselor maupun klien<br />3. Batas-batas peranan konselor<br />4. Batas-batas proses atau prosedur, misalnya menyangkut waktu atau jadwal, berapa lama konseling akan dilakukan dan lain sebagainya<br />5. Structuring dalam nilai proses, misalnya menyangkut tahapan-tahapan yang harus ditempuh (dilalui), apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama proses konseling berlangsung.<br /><br />d. Empati <br />Empati merupakan kemampuan konselor untuk mersakan apa yang dirasakan oleh klien, merasa dan berfikir bersama klien dan bukan untuk atau tentang klien. Empati dilakukan bersamaan dengan attending, karena tanpa attending tidak akan ada empati. Empati ada dua macam:<br />1. Empati primer (primary empathy), yaitu apabila konselor hanya memahami perasaan, pikiran, keinginan dan pengalaman klien dengan tujuan agar klien terlibat pembicaraan dan terbuka<br />2. Empati tingkat tinggi ( advanced accurate empathy),yaitu apabila kepahaman konselor terhadap perasaan, pikiran, keinginan, dan pengalaman klien lebih mendalam dan menyentuh klien karena konselor ikut dengan perasaan tersebut.<br /><br />e. Refleksi perasaan <br />Refleksi perasaan merupakan suatu usaha konselor untuk menyatakan dalam bentuk kata-kata yang segar dan sikap yang diperlukan terhadap klien. Refleksi perasaan juga merupakan teknik penengah yang bermanfaat untuk digunakan setelah hubungan permulaan (tahap awal konseling) dilakukan dan sebelum pemberian informasi serta tahap interprepasi dimulai. Refleksi perasaan bias berwujud positif, negative, dan anbivalen.<br /><br />Refleksi perasaan akan mengalami kesulitan apabila:<br />1. Streotipe dari konselor.<br />2. Konselor tidak dapat mengatur waktu sesi konseling.<br />3. Konselor tidak dapat memilih perasaan mana untuk direfleksikan.<br />4. Konselor tidak dapat mengetahui isi perasaan yang direfleksikan.<br />5. Konselor tidak dapat menemukan didalam perasaan.<br />6. Konselor menambah arti perasaan dan,<br />7. Konselor menggunakan bahasa kurang tepat.<br /> Selanjutnya, menurut surya, manfaat refleksi perasaan dalam proses konseling adalah:<br />1. Membantu klien untuk merasa dipahami secara mendalam,<br />2. Klien merasa bahwa perasaan menyebabkan tingkah laku<br />3. Memuasatkan evaluasi pada klien<br />4. Member kekuatan untuk memilih <br />5. Memperjelas cara berpikir klien dan,<br />6. Menguji kedalaman motive-motive klien<br /><br />f. Teknik eksplorasi <br />Eksplorasi merupakan ketrampilan konselor untuk menggali perasaan, pengalaman, dan pikiran klien. Teknik ini dalam konseling sangat penting karena umumnya klien tidak ma uterus terang(tertutup, menyimpan rahasia bathin, menutup diri atau tidak mampu mengemukakannya secara terus terang. Eksplorasi memungkinkan klien untuk bebas berbicara tanpa rasa takut, tertekan, dan terancam. Eksplorasi ada tiga macam:<br />1. Eksplorasi perasaan<br />2. Eksplorasi pikiran <br />3. Eksplorasi pengalaman.<br /><br />g. Teknik paraphrasing ( menangkap pesan utama )<br />Untuk dapat melakukan paraphrasing yang baik, konselor harus:<br />1. Menggunakan kata-kata yang mudah dan sederhana <br />2. Dengan teliti mendengarkan pesan utama pembicaraan klien.<br />3. Menyatakan kembali dengan ringkas <br />4. Amati respon klien terhadap konselor. Dalam proses konseling paraphrasing misalnya ketika klien (ki) mengatakan: biasanya si A selalu senang dengan saya, tetapi entah kenapa dia memusuhi saya. Mendengar perkataan tersebut konselor atau ko mengatakan: apakah yang anda maksudkan adalah si A tidak konsisten.<br /><br />h. Teknik bertanya <br />Teknik bertanya ada dua macam, yaitu bertanya terbuka (open question) dan bertanya tertutup (closed question). Pada pertanyaan terbuka, klien bebas memberikan jawabannya, sedangkan pada pertanyaan tertutup telah menggambarkan alternative jawabannya misalnya jawaban ya atau tidak, setuju atau tidak dan lain sebagainya.<br /><br />i. Dorongan minimal (minimal encouragement)<br />Dalam proses konseling, konselor harus mengupayakan agar klien selalu terlibat dalam pembicaraan. Untuk itu konselor harus mampu memberikan dorongan minimal kepada klien, yaitu suatu dorongan langsung yang singkat terhadap apa yang telah dikatakan klien. Teknik ini memungkinkan klien untuk terusberbicara dan dapat mengarahkan agar pembicaraan mencapai tujuan.<br /> <br />j. Interpretasi <br />Interpretasi merupakan usaha konselor mengulas pikiran, perasaan dn prilaku atau pengalaman klien berdasarkan teori-teori tertentu. Tujuan utama teknik ini adalah untuk memberikan rujukan, pandangan atau tingkah laku klien, agar klien mengerti dan berubah melalui pemahaman dari hasil rujukan baru.<br /><br />k. Teknik mengarahkan (directing) <br />Upaya konselor mengarahkan klien dapat dilakukan dengan menyuruh klien memerankan Sesuatu (bermain peran) atau menghayalkan sesuatu. <br /><br />l. Teknik menyimpulkan sementara (summarizing)<br />Membuat kesimpulan bersama perlu dilakukan agar klien memiliki pemahaman dan kesadaran bahwa keputusan tentang dirinya menjadi tanggung jawab klien, sedangkan konselor hanya membantu. Kapan suatu pembicaraan akan disimpulkan bias ditetapkan sendiri oleh konselor atau bias tergantung kepada felling konselor.<br />Tujuan utama menyimpulkan sementara ( summarizing ) adalah:<br />1. Memberikan kesempatan kepada klien untuk mengambil kilas balik ( feedback ) dari hal-hal yang telah dibicarakan bersama konselor.<br />2. Untuk menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap.<br />3. Untuk meningkatkan kualitas kemampuan diri<br />4. Mempertajam atau memperjelas focus atau arah wawancara konseling.<br /><br />m. Teknik-teknik memimpin<br />Agar wawancara konseling tidak menyimpang ( pembicaraan terfokus pada masalah yang dibicarakan ) konselor harus mampu memimpin arah pembicaraan sehingga tujuan konseling bisa tercapai secara efektif dan efisien.<br /><br />n. Teknik focus<br />Konselor yang efektif harus mampu membuat focus melalui perhatiannya yang terseleksi terhadap pembicaraan dengan klien ( wawancara konseling ).<br /><br />o. Teknik konfrontasi<br />Teknik ini dalam konseling dikenal juga dengan “ memperhadapkan “. Teknik konfrontasi adalah suatu teknik yang menantang klien untuk melihat adanya inkonsistensi ( tidak konsisten ) antara perkataan dengan perbuatan, ide awal dengan ide berikutnya, senyum dengan kepedihan. Misalnya klien menceritakan hal-hal yang sedih tetapi sambil tertawa dan tersenyum gembira.<br /><br />p. Menjernihkan ( clarifying )<br />Dalam konseling, teknik dilakukan oleh konselor dengan mengklarifikasi ucapan-ucapan klien yang tidak jelas, salah samar, atau agak meragukan. Tujuan teknik ini adalah :<br />1. Mengundang klien untuk menyatakan pesannya secara jelas, ungkapan kata-kata yang tegas, dengan alasan-alasan yang logis <br />2. Agar klien menjelaskan, mengulang dan mengilustrasikan perasaannya. Dalam konseling, misalnya klien mengatakan: “konflik yang terjadi dirumah membuat saya bingung dan stres “. Saya tidak mengerti siapa yang menjadi pemimpin dirumah itu. Selanjutnya konselor mengatakan “ biasakah anda menjelaskan persoalan pokoknya ? misalnya peran ayah, peran ibu, atau saudara-saudara anda.<br /><br />q. Memudahkan ( facilitating ).<br />Facilitating adalah suatu teknik membuka komunikasi agar klien dengan mudah berbicara dengan konselor dan menyatakan perasaan, pikiran, dan pengalamannya secara bebas.<br /><br />r. Diam sebagai suatu teknik <br />Diam dalam konseling bisa dijadikan suatu teknik. Dalam konseling, diam bukan berarti tidak ada komunikasi. Komunikasi tetap ada, yaitu melalui prilaku nonverbal. Diam amat penting pada saat attending. Saat diam yang ideal dalam proses konseling adalah antara 5-10 detik.<br /><br />s. Mengambil inisiatif<br />Penagmbilan inisiatif perlu dilakukan oleh konselor ketika klien kurang bersemangat untuk berbicara, lebih sering diam, dan kurang partisipatif. Konselor mengucapkan kata-kata yang mengajak klien untuk berinisiatif dalam menuntaskan diskusi.<br /><br />t. Memberi nasihat<br />Dalam konseling, pemberian nasihat sebaiknya dilakukan apabila klien memintanya. Meskipun demikian, konselor tetap harus mempertimbangkanya, apakah pantas atau tidak memberikan nasihat. <br /><br /><br />u. Pemberian informasi<br />Apabila konselor tidak mengetahui suatu informasi, sedangkan klien memintanya, maka konselor harus secara jujur mengatakan tidak mengetahuinya. Sebaliknya apabila konselor mengetahui, sebaiknya diupayakan agar klien tetap mengusahakannya sendiri.<br /><br />v. Merencanakan<br />Menjelang akhir sesi konseling, konselor harus membantu klien untuk dapat membuat rencana suatu program untuk action (melakukan tindakan sesuatu) guna memecahkan masalah yang dihadapinya. <br /><br />w. Menyimpulkan<br />Pada akhir sesi konseling, bersama klien konselor membuet suatu kesimpulkan. Atau konselor membantu klien membuat suatu kesimpulan yang menyangkut hal: <br />1. Bagaimana keadaan perasaan klien saat ini terutama menyangkut kecemasannya akibat masalah yang dihadapinya.<br />2. Memantapkan rencana klien.<br />3. Pokok-pokok yang akan dibicarakan selanjutnya pada sesi berikut. Misalnya, menjelang waktu akan berakhir, konselor mengatakan:” apakah sudah dapat kita buat kesimpulan akhir pembicaraan kita ?<br /><br />x. Teknik mengakhiri (menutup sesi konseling)<br />Mengakhiri sesi konseling merupakan suatu teknik dalam proses konseling. Untuk mengakhiri sesi konseling, dapat dilakukan konselor dengan cara:<br />1. Mengatakan waktu sudah habis.<br />2. Merangkum isi pembicaraan.<br />3. Menunjukan kepada pertemuan yang akan datang <br />4. Mengajak klien berdiri dengan isyarat gerak tangan.<br />5. Menunjukan catatan-catatan singkat hasil pembicaraan konseling.<br />6. Memberikan tugas-tugas tertentu kepada klien yang relevan dengan pokok pembicaraan apabila diperlukan.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Drs. Tohirin, Mpd, bimbingan konseling di sekolah dan di madrasah, PT grafindo persada, Jakarta, 2002<br />Fatchiah E. kertamuda, konseling pernikahan untuk keluarga, salemba humanika, 2009<br />Dr. fenti hikmawati, M.si, bimbingan konseling, PT raja grafindo persada. Jakarta 2010<br />Andi mappiare AT, pengantar konseling dan psikoterapi, PT raja grafindo persada, Jakarta 2008<br /><br /><br />Disusun oleh kelompok<br />Uminidiatul hasanah<br />Nurhalimah<br />Sunarti<br /><br />Jurusan bimbingan penyuluhan islam<br />Fakultas dakwah dan ilmu komunikasi<br />Uin suska riau 2010Abdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-69226812983176387892010-12-31T05:26:00.000-08:002010-12-31T05:27:38.238-08:00Penambahan:Isu Bimbingan KonselingISU BIMBINGAN KONSELING<br />Dari : Ummu Hani dan Yasmiati BPI<br />Karakteristik Klien<br />A.Memahami Klien<br />Seseorang konselor memahami setiap klien yang datang kepadanya. Karena ada klien yang datang dengan kemauan sendiri dan ada juga yang datang karena dikirim oleh orang tua atau gurunya. Harapan, kebutuhan, latar belakang klien akan menentukan terhadap keberhasilan proses konseling. Keberhasilan dan kegagalan proses konseling ditentukan oleh tiga hal yaitu: 1) Kepribadian klien 2) Harapan klien 3) Pengalaman/pendidikan<br />1) Kepribadian Klien<br />Aspek-aspek kepribadian klien adalah sikap, emosi, intelektual, motivasi dan sebagainya. Seseorang konselor yang efektif akan mengungkapkan perasaan-perasaan cemas klien semaksimal mungkin dengan cara menggali atau eksplorasi sehingga keluar leluasa. Jika perasaan – perasaan klien sudah dikeluarkan dengan leluasa baik secara verbal maupun perilaku non verbal dengan jujur maka kecemasan klien akan menurun. Maka apabila pikirannya menjadi jernih baru konselor dapat menemukan intelektual klien karena ketika dalam keadaan sedih atau emosional yang negatif, sudah tentu klien akan gelap pikirannya.<br />Sebagai konselor, klien juga dilatarbelakangi oleh sikap, nilai-nilai, pengalaman, perasaan, budaya, sosial, ekonomi dan sebagainya. Semua itu membentuk pribadinya. Ketika proses konseling latar belakang itu akan muncul. Contohnya sikap, ada klien yang tidak terbuka, ada yang terlalu emosional, ada yang acuh tak acuh, terlalu bergnatung pada klien dan sebagainya. Ragam keadaan klien bukan berarti konselor bertputus asa, akan tetapi seharusnya belajar lebih banyak bagaimana cara mengantisipasinya.<br />2) Harapan Klien<br />Pada umumnya harapan klien terhadap proses konseling adalah untuk memperoleh informasi, menurunkan kecemasan, memperoleh jawaban atau jalan keluar dari persoalan yang dialami, dan mencari upaya bagaimana dirinya supaya lebih baik, lebih berkembang. Sering terjadi bahwa klien menaruh harapan terlalu tinggi terhadap proses konseling. Bisa juga seseorang klien akan merasa kecewa dan berputus asa untuk mengikuti proses konseling karena terlalu memberi harapan yang tinggi.<br />Seseorang konselor perlu mengkaji latar belakang harapan klien,adakah harapan tersebut muncul dalam diri klien atau dari faktor luaran (harapan luar). Tanpa keterbukaan dan keterlibatan klien, proses konseling tidak mungkin terjadi diskusi yang mendalam mengenai harapan-harapan dan cita-cita klien. <br /><br />3) Pengalaman dan Pendidikan Klien <br /><br />Pengalaman dan pendidikan klien akan mudah untuk dirinya menggali dirinya sehingga persoalannya semakin jelas dan upaya pemecahannya makin terarah. Pengalaman yang dimaksudkan adalah pengalaman konseling, wawancara, berkomunikasi, berdiskusi dan sebagainya. Namun jika bertemu klien yang kecanduan bicara (senang untuk berbicara namun tidak ada keinginan untuk berubah), maka sebaiknya dielakkan.<br /><br />Pengalaman dan pendidikan yang baik pada umumnya memudahkan proses konseling. Makin rendah taraf pendidikan dan kurangnya pengalaman berkomunikasi, makin sulit proses konseling dilakukan. Faktor keluarga dan sekolah yang baik akan membina anak yang begitu kondusif untuk kebebasan berpendapat dan berpikir kreatif.<br /><br />B. Aneka Ragam Klien<br />Berbagai jenis atau ragam klien yang akan dihadapi konselor:<br />i) Klien Sukarela<br />Klien sukarela artinya klien yang hadir di ruang konseling atas kesadaran sendiri, berhubung ada maksud dan tujuannya. Mungkin ia ingin memperoleh informasi, menginginkan penjelasan tentang persoalan yang dihadapinya, tentang karir dan lanjutan studi, dan sebagainya.<br /><br />ii) Klien terpaksa adalah klien yang kehadirannya di ruang konseling bukan atas kehendaknya sendiri. Dia datang atas dorongan orang tua, wali kelas, teman, dan sebagainya. Karakteristik klien terpaksa adalah bersifat tertutup, enggan berbicara, curiga terhadap konselor, kurang bersahabat dan menolak secara halus bantuan konselor.<br /><br />iii) Klien Enggan<br /><br />Salah satu bentuk klien enggan adalah yang banyak berbicara. Pada prinsipnya klien seperti ini enggan dibantu. Dia hanya senang untuk berbincang-bincang dengan konselor, tanpa ingin menyelesaikan masalahnya.<br />Upaya yang bisa dilakukan adalah menyadarkan kekeliruannya, memberi kesempatan adar dia dibimbing oleh orang lain.<br /><br />iv) Klien Bermusuhan / Menentang<br />Klien terpaksa yang bermasalah cukup serius, bisa menjelma menjadi klien bermusuhan. Sifat-sifatnya adalah: tertutup, menentang, bermusuhan dan menolak secara terbuka.<br /><br />Cara-cara efektif menghadapi klien seperti ini adalah<br />1. Ramah, bersahabat, dan empati<br />2. Toleransi terhadap perilaku klien yang nampak<br />3. Tingkatkan kesabaran<br />4. Memahami keinginan klien yaitu tidak sudi dibimbing.<br />5. Mengajak atau negosiasi <br /><br />v) Klien Krisis<br />Yang dimaksudkan klien krisis adalah jika seseorang menghadapi musibah, seperti kematian, kebakaran rumah, diperkosa dan sebagainya yang dihadapkan kepada konselor untuk member bantuan agar si dia menjadi stabil dan mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang baru.<br />Tujuan untuk membantu yang mengalami kesedihan mendalam adalah:<br />- Agar klien dapat menerima kesedihannya secara wajar<br />- Agar klien dapat mengekspresikan segala kesedihannya<br />- Membentuk lagi lingkungan yang baru<br /><br /><br />C. Negosiasi Dalam Konseling<br /><br />Untuk menghadapi klien terpaksa, dan enggan perlu diadakan negosiasi sebelum konseling.<br />Syarat-syarat untuk dapat melaksanakan negosiasi dengan baik adalah:<br />1) Kecerdasan dan wawasan yang luas<br />2) Keterampilan berbicara dan komunikasi yang menghargai<br />3) Bersikap ramah, murah senyuman, sopan, cermat, dan empati<br />4) Mempunyai informasi mengenai klien<br />5) Tidak membosankan, tidak memaksa, dan tidak mengecewakan orang lain.<br />Negosasi dalam konseling adalah dalam upaya untuk membujuk agar calon klien kita merasa aman, senang dan mau diajak bicara tentang dirinya.Abdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-46840857477693903312010-12-31T03:10:00.000-08:002010-12-31T03:11:45.527-08:00Pengertian kesehatan mental dan konsep sehatPengertian Kesehatan Mental<br />Menurut Dr. Jalaluddin dalam bukunya “Psikologi Agama” bahwa:<br />“Kesehatan mental merupakan suatu kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan tenang, aman dan tentram, dan upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat dilakukan antara lain melalui penyesuaian diri secara resignasi (penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan)”. <br />Sedangkan menurut paham ilmu kedokteran, kesehatan mental merupakan suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain. <br />Zakiah Daradjat mendefenisikan bahwa mental yang sehat adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat. Jika mental sehat dicapai, maka individu memiliki integrasi, penyesuaian dan identifikasi positif terhadap orang lain. Dalam hal ini, individu belajar menerima tanggung jawab, menjadi mandiri dan mencapai integrasi tingkah laku. <br /><br /><br /><br /><br />Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa orang yang sehat mentalnya adalah terwujudnya keharmonisan dalam fungsi jiwa serta tercapainya kemampuan untuk menghadapi permasalahan sehari-hari, sehingga merasakan kebahagiaan dan kepuasan dalam dirinya. Seseorang dikatakan memiliki mental yang sehat, bila ia terhindar dari gejala penyakit jiwa dan memanfatkan potensi yang dimilikinya untuk menyelaraskan fungsi jiwa dalam dirinya. <br /> Golongan yang kurang sehat mentalnya<br />Golongan yang kurang sehat adalah orang yang merasa terganggu ketentraman hatinya. Adanya abnormalitas mental ini biasanya disebabkan karena ketidakmampuan individu dalam menghadapi kenyataan hidup, sehingga muncul konflik mental pada dirinya . Gejala-gejala umum yang kurang sehat mentalnya, yakni dapat dilihat dalam beberapa segi, antara lain:<br /> Perasaan<br />Orang yang kurang sehat mentalnya akan selalu merasa gelisah karena kurang mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya.<br /><br /><br /><br /><br /> Pikiran<br />Orang yang kurang sehat mentalnya akan mempengaruhi pikirannya, sehingga ia merasa kurang mampu melanjutkan sesutu yang telah direncanakan sebelumnya, seperti tidak dapat berkonsentrasi dalam melakukan sesuatu pekerjan, pemalas, pelupa, apatis dan sebgainya.<br />Kelakuan<br />Pada umumnya orang yang kurang sehat mentalnya akan tampak pada kelakuan-kelakuannya yang tidak baik, seperti keras kepala, suka berdusta, mencuri, menyeleweng, menyiksa orang lain, dan segala yang bersifat negatif. <br />Dari penjelasan tersebut di atas, maka dalam hal ini tentunya pembinaan yang dimaksud adalah pembinaan kepribadian secara keseluruhan. Pembinaan mental secara efektif dilakukan dengan memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan dibina. Pembinaan yang dilakukan meliputi pembinaan moral, pembentukan sikap dan mental yang pada umumnya dilakukan sejak anak masih kecil. Pembinaan mental merupakan salah satu cara untuk membentuk akhlak manusia agar memiliki pribadi yang bermoral, berbudi pekerti yang luhur dan bersusila, sehingga seseorang dapat terhindar dari sifat tercela sebagai langkah penanggulangan terhadap timbulnya kenakalan remaja.<br />Pembentukan sikap, pembinaan moral dan pribadi pada umumnya terjadi melalui pengalaman sejak kecil. Agar anak mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat serta akhlak yang terpuji, semuanya dapat diusahakan melalui penglihatan, pendengaran, maupun perlakuan yang diterimanya dan akan ikut menentukan pembinaan pribadinya. Pembinaan mental/jiwa merupakan tumpuan perhatian pertama dalam misi Islam. Untuk menciptakan manusia yang berakhlak mulia, Islam telah mengajarkan bahwa pembinaan jiwa harus lebih diutamakan daripada pembinaan fisik atau pembinaan pada aspek-aspek lain, karena dari jiwa yang baik inilah akan lahir perbuatan-perbuatan yang baik yang pada gilirannya akan menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan pada seluruh kehidupan manusia lahir dan batin . <br />Istilah "KESEHATAN MENTAL" di ambil dari konsep mental hygiene. Kata mental di ambil dari bahasa Yunani, pengertiannya sama dengan psyche dalam bahasa latin yang artinya psikis, jiwa atau kejiwaan. Jadi istilah mental hygiene dimaknakan sebagai kesehatan mental atau jiwa yang dinamis bukan statis karena menunjukkan adanya usaha peningkatan. (Notosoedirjo & Latipun,2001:21).<br />Zakiah Daradjat(1985:10-14) mendefinisikan kesehatan mental dengan beberapa pengertian :<br />1. Terhindarnya orang dari gejala - gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala - gejala penyakit jiwa(psychose).<br />2. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan dimana ia hidup.<br />3. Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagian diri dan orang lain; serta terhindar dari gangguan - gangguan dan penyakit jiwa.<br /><br /><br /><br />4. Terwujudnya keharmonisan yang sungguh - sungguh antara fungsi - fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem - problem biasa yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagian dan kemampuan dirinya. <br /><br />Zakiah Daradjat<br />1. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa<br />(neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psichose). Definisi ini<br />banyak dianut di kalangan psikiatri (kedokteran jiwa) yang memandang<br />manusia dari sudut sehat atau sakitnya.<br />2. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan<br />dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tempat<br />ia hidup. Definisi ini tampaknya lebih luas dan lebih umum daripada<br />definisi yang pertama, karena dihubungkan dengan kehidupan sosial<br />secara menyeluruh. Kemampuan menyesuaikan diri diharapkan akan<br />menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan hidup.<br />3. Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguhsungguh<br />antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk<br />menghadapi problema-problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari<br />kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). Definisi ini menunjukkan<br />bahwa fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan<br />keyakinan harus saling menunjang dan bekerja sama sehingga<br />menciptakan keharmonisan hidup, yang menjauhkan orang dari sifat raguragu<br />dan bimbang, serta terhindar dari rasa gelisah dan konflik batin.<br /><br />4. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk<br />mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang<br />ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri<br />dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa.<br />5. Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguhsungguh<br />antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian<br />diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan<br />keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang<br />bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.<br />Dalam buku lainnya yang berjudul Islam dan Kesehatan Mental,<br /><br />Zakiah Daradjat mengemukakan, kesehatan mental adalah terhindar seseorang<br />dari gangguan dan penyakit kejiwaan, mampu menyesuaikan diri, sanggup<br />menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan biasa, adanya<br />keserasian fungsi-fungsi jiwa (tidak ada konflik) dan merasa bahwa dirinya<br />berharga, berguna dan bahagia, serta dapat menggunakan potensi yang ada<br />padanya seoptimal mungkin.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres) orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. (Noto Soedirdjo, 1980) menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang memilki kesehatan mental adalah Memilki kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang datang dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen Karentanan (Susceptibility) Keberadaan seseorang terhadap stressor berbeda-beda karena faktor genetic, proses belajar dan budaya yang ada dilingkungannya, juga intensitas stressor yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga berbeda .<br /><br />Pada abad 17 kondisi suatu pasien yang sakit hanya diidentifikasi dengan medis, namun pada perkembangannya pada abad 19 para ahli kedokteran menyadari bahwa adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi dan psikis manusia. Hubungan timbal balik ini menyebabkan manusia menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental dan sebaliknya gangguan mental dapat pesatnya namun apabila ditinjau lebih mendalam teori-teori yang berkembang tentang kesehatan mental masih bersifat sekuler, pusat perhatian dan kajian dari kesehatan mental tersebut adalah kehidupan di dunia, pribadi yang sehat dalam menghadapi masalah dan menjalani kehidupan hanya berorientasi pada konsep sekarang ini dan disini, tanpa memikirkan adanya hubungan antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.<br />Hal ini jauh berbeda dengan konsep kesehatan berlandaskan agama yang memiliki konsep jangka panjang dan tidak hanya berorientasi pada masa kini sekarang serta disini, agama dapat memberi dampak yang cukup berarti dalam Orang yang sehat mental akan senantiasa merasa aman dan bahagia dalam kondisi apapun, ia juga akan melakukan intropeksi atas segala hal yang dilakukannya sehingga ia akan mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya Solusi terbaik untuk dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan mental adalah dengan mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, kesehatan mental seseorang dapat ditandai dengan kemampuan orang tersebut dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya, mampu mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sendiri semaksimal mungkin untuk menggapai ridho Allah SWT, serta dengan mengembangkan seluruh aspek kecerdasan, baik kesehatan spiritual, emosi maupun kecerdasan intelektual.<br />Hal ini dapat ditarik kesimpulan karena pada dasarnya hidup adalah proses penyesuaian diri terhadap seluruh aspek kehidupan, orang yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya akan gagal dalam menjalani kehidupannya. Manusia diciptakan untuk hidup bersama, bermasyarakat, saling membutuhkan satu sama lain dan selalu berinteraksi, hal ini sesuai dengan konsep sosiologi modern yaitu manusia sebagai makhluk Zoon Politicon .<br /><br />C.Gangguan Mental dapat dikatakan sebagai perilaku abnormal atau perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dimasyarakat, perilaku tersebut baik yang berupa pikiran, perasaan maupun tindakan. Stress, depresi dan alkoholik tergolong sebagai gangguan mental karena adanya penyimpangan, hal ini dapat disimpulkan bahwa gangguan mental memiliki titik kunci yaitu menurunnya fungsi mental dan berpengaruhnya pada ketidak wajaran Adapun gangguan mental yang dijelaskan.<br /><br /><br /><br /><br />Konsep Sehat<br /><br />Sehat dan sakit adalah keadaan biopsikososial yang menyatu dengan kehidupan manusia. Pengenalan manusia terhadap kedua konsep ini kemungkinan bersamaan dengan pengenalannya terhadap kondisi dirinya. Keadaan sehat dan sakit tersebut terus terjadi, dan manusia akan memerankan sebagai orang yang sehat atau sakit.<br />Konsep sehat dan sakit merupakan bahasa kita sehari-hari, terjadi sepanjang sejarah manusia, dan dikenal di semua kebudayaan. Meskipun demikian untuk menentukan batasan-batasan secara eksak tidaklah mudah. Kesamaan atau kesepakatan pemahaman tentang sehat dan sakit secara universal adalah sangat sulit dicapai.<br />Pengertian <br />Sehat (health) adalah konsep yang tidak mudah diartikan sekalipun dapat kita rasakan dan diamati keadaannya. Misalnya, orang tidak memiliki keluhankeluahan fisik dipandang sebagai orang yang sehat. Sebagian masyarakat juga beranggapan bahwa orang yang “gemuk” adalah otrang yang sehat, dan sebagainya. Jadi faktor subyektifitas dan kultural juga mempengaruhi pemahaman dan pengertian orang terhadap konsep sehat.<br />Sebagai satu acuan untuk memahami konsep “sehat”, World Health Organization (WHO) merumuskan dalam cakupan yang sangat luas, yaitu “keadaan yang sempurnan baik fisik[2], mental maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat”. Dalam definisi ini, sehat bukan sekedar terbebas dari penyakit atau cacat. Orang yang tidak berpenyakit pun tentunya belum tentu dikatakan sehat. Dia semestinya dalam keadaan yang sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial.<br /><br />Pengertian sehat yang dikemukan oleh WHO ini merupakan suatau keadaan ideal, dari sisi biologis, psiologis, dan sosial. Kalau demikian adanya, apakah ada seseorang yang berada dalam kondisi sempurna secara biopsikososial? Untuk mendpat orang yang berada dalam kondisi kesehatan yang sempurna itu sulit sekali, namun yang mendekati pada kondisi ideal tersebut ada.[3] <br />Dalam kaitan dengan konsepsi WHO tersebut, maka dalam perkembangan kepribadian seseorang itu mempunyai 4 dimensi holistik, yaitu agama, organobiologik, psiko-edukatif dan sosial budaya.Keempat dimensi holistik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:<br /><br />a.Agama/spiritual, yang merupakan fitrah manusia. Ini merupakan fitrah manusia yang menjadi kebutuhan dasar manusia (basic spiritual needs), mengandung nilai-nilai moral, etika dan hukum. Atau dengan kata lain seseorang yang taat pada hukum, berarti ia bermoral dan beretika, seseorang yang bermoral dan beretika berarti ia beragama (no religion without moral, no moral without law). <br />b.Organo-biologik, mengandung arti fisik (tubuh/jasmani) termasuk susunan syaraf pusat (otak), yang perkembangannya memerlukan makanan yang bergizi, bebas dari penyakit, yang kejadiannya sejak dari pembuahan, bayi dalam kandungan, kemudian lahir sebagai bayi, dan setrusnya melalui tahapan anak (balita), remaja, dewasa dan usia lanjut .<br />c.Psiko-edukatif, adalah pendidikan yang diberikan oleh orang tua (ayah dan ibu) termasuk pendidikan agama. Orang tua merupakan tokoh imitasi dan identifikasi anak terhadap orang tuanya. Perkembangan kepribadian anak melalui dimensi psiko-edukatif ini berhenti hingga usia 18 tahun. <br /><br />d.Sosial-budaya, selain dimensi psiko-edukatif di atas kepribadian seseorang juga dipengaruhi oleh kultur budaya dari lingkungan sosial yang bersangkutan dibesarkan.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Daftar pustaka<br />• Hygien mental,kartini kartono,mandar maju<br />• Kesehatan mental, yustinus semiun, kanisius<br />• Bimbingan konseling islam , drs samsol munir amin , anzah Jakarta<br />• Kesehatan mental, dr, zakiah darajat,pt gunung agung Jakarta<br />• Ilmu jiwa,dr,jalaluddin dan dr ramayulis ,kalam mulia jakarta<br />disediakan oleh: hadi dan irjasAbdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-89359294343424398522010-12-30T20:16:00.000-08:002010-12-30T20:17:32.688-08:00tugas ujian kesmenPENDEKATAN KESEHATAN MENTAL<br />A. Pendekatan Berdasarkan Penyusunan Program.<br />Dalam penyusunan program kesehatan mental terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu pendekatan risiko, multisektoral, dan system.<br />a. Pendekatan risiko<br />Program kesehatan mental dapat berupa suatu strategi yang disebut pendekatan risiko. Strategi ini fleksibel dengan menggunakan sarana-sarana yang tersedia untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat risiko serta prioritas dalam masyarakat. Pendekatan ini merupakan strategi intervensi aktif berdasarkan pada data yang sahih mengenai biaya, dan efektifitas dari tenaga yang ada di beraneka tempat.<br />Pengukuran individu atau masyarakat dalam risiko diperlukan agar dapat digunakan dalam membuat formulasi objektif dan untuk alokasi dana dan penyebarannya.<br />Langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam penyusunan program, yaitu:<br />1. Menyeleksi indikator-indikator untuk mengidentifikasi individu dann masyarakat yang ada dalam risiko yang khusus antara lain usia lanjut, pengangguran, dan isolasi sosial.<br />2. Mengembangkan system pembuatan skor dengan pembobotan untuk indicator-indikator yang sangat penting.<br />3. Meneliti sumber-sumber yang dapat digunakan untuk usaha pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi.<br />4. Mengembangkan daya muat serta strategi pelayanan sesuai dengan tingkat risiko. Dalam hal ini, mengadakan tekanan khusus pada intervensi dini dan yang tepat bagi individu-individu yang ada dalam risiko tinggi dengan menggunakan sumber-sumber dengan sangat efektif.<br />5. Mengembangkan system pemantauan, dan system evaluasi.<br />b. Pendekatan multisektoral<br />Pendekatan multisektoral dilakukan dengan koordinasi padda semua tingkat pelayanan. Koordinasi ini merupakan keharusan yang sangat mendasar guna keberhasilan program kesehatan mental. Tujuan pendekatan ini untuk mencapai kerja sama dan koordinasi antara petugas kesehatann, guru, pemuka-pemuka agama, ,masyarakat, dan orang tua. Pemilihan cara-cara yang tepat, sederhana, efektif, dan tidak mahal dengan memberi tekanan pada pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi. <br />c. Pendekatan sistem<br />Pendekatan sistem dilakukan dengan cara mempelajari dan menkonseptualisasi masalah-masalah yang berkaitan satu sama lain maupun yang berdiri sendiri. Lima hal utama yang harus diperhatikan dalam pendekatan system ini, yaitu mempelajari:<br />1. Tujuan dari sistem dan ukuran (indikator) pencapaian system keseluruhan<br />2. Ruang lingkup system dan kendalanya.<br />3. Sumber penunjang system<br />4. Komponen-komponen system atau sub system<br />5. Manejemen system yang diperlukan.<br />Sebuah rumah sakit mental miisalnya, mepunyai banyak tujuan dan ini dapat dirancangkan dalam tujuan system keseluhan sebagai berikut :<br />- Membebaskan penderita dari gejala-gejala mental dan mengembalikan penderita kemasyarakat<br />- Merehabilitasi penderita dengan meningkatkan kemampuan, penyesuian penderita dalam masyarakat dan produktif<br />- Menyelenggarakan suatu fasilitas yang menyediakan pekerjaan bagi individu,<br />- Melaksanakan pendidikan dan latihan yang propesional untuk kesehatam mental.<br />- Menjalankan penelitian dan evaluasi pengobatan penderita mental serta penilaian keberhasilan petugas dan program latihan. <br />Untuk mencapai tujuan system itu perlu dilakukan penelitian terhadap berbagai variable yang berhubungan, dalam hal ini perlu diteliti mengenai hubungan rumah sakit dengan keadaan system sosial ekonomi keseluruhannya, sikap masyarakat terhadap sakit mental serta kesedihannya menerima penderita yang dipulangkan kembali kemasyarakat, tersedianya pekerjaan bagi penderita atau mantan penderita, serta ekonomi yang dapat menunjang kehidupan mereka. Sumber-sumber penunjang yang perlu dipelajari antara lain keuangan, ketenagaan, dan program yang berkaitan dengan “input”, pengobatan, dan “output”.<br /> Selain itu yang masih perludiperhatikan yaitu macam-macam komponen system yang perlu dipilih untuk diteliti. Komponen tersebut antara lain evaluasi pemasukan penderita, skrining, proses penegakan diagnostic; atau cirri-ciri demografis populasi yang masuk rumah sakit, jenis penyakit yang diderita, dan tingkat sangatnya penyakit..<br /> Karena input dalam system bervariasi dan ini berpengaruh besar terhadap output, maka ada variasi pula pada proses pengobatan, atau pada program rehabilitasi. Output dari system adalah kembalinya penderita kedalam masyarakat, petugas yang terlatih, profesi yang terdidik, dan lain sebagainya. Yang terpenting dari ini adalah bahwa semua adalah bahwa semua pendekatan ini harus ada dalam strategi perencanaan. <br />B. Pendekatan Berdasarkan Teori<br />1. Pendekatan psikodinamik<br />Teori psikoanalisa sebagai suatu teori tentang pribadi (sonality ) dengan semua teori-teori lain dalam bidang psikologi, baik dari segi cara yang digunakannya dalam mengumpulkan data-datanya, ataupun dari segi proses data tersebut. Teori ini berdiri atas asumsi-asumsi yang diterima oleh orang-orang yang menganutnya. <br />Teori-teori psikodinamik juga memusatkan perhatian pada pentingnya pengalaman awal masa kanak-kanak. Dalam pandangan ini, benih-benih dari gangguan-gangguan psikologis sudah ditanamkan pada tahun-tahun awal pertumbuhan. Karena teori psikoanalisa ini berasal dari Freud, maka penjelasan akan dimulai dengan sumbangan-sumbangan Freud.<br />- Psikoanalisis Freud<br />Sigmund Freud lahir pada tanggal 6 mei 1856 di Freiburg, dinegeri yang pada waktu itu dikenal Australia-Hongoria. Ia mulai sebagai peneliti, dan kemudian diangkat sebagai dosen penyakit saraf di Universitas Wina. Ia mulai mengadakan praktek privat dalam bidang neorologi pada tahun 1886. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Wina, tetapi kemudian melarikan diri ke London ketika Nazi mulai berkuasa. Ia tetap giat menulis sampai meninggal pada tahun 1939.<br />Ide-ide pokok Freud mengenai pembentukan dan struktur kepribadian langsung tumbuh dari pengalamannya dalam merawat pasien neorotik. Misalnya, ia mengetahui bahwa banyak sikap dan perasaan yang diungkapkan pasien-pasiennya tidak mungkin berasal dari alam sadar melainkan dari alam bawah sadar. Diantara ciri bawah sadar yang terpenting, ialah desakan untuk mencapai keinginannya, yang diikuti oleh bermacam-macam carakadang-kadang dilaksanakan melalui hilang ingatan, yang membantu orang dalam melepaskan tanggung jawab yang tidak diingininya. Sama dengan hilang ingatan adalah keadaan pingsan, dimana orang yang kehilangan kesadaran, tidak akan merasakan keadaan yang tidak dapat dipikulnya. <br />Pengalaman-pengalamannya kemudian dalam terapi memberinya keyakinan bahwa ketidaksadaran merupakan faktor penentu tingkah laku yang penting dan dinamik. <br />2. Pendekatan Behavioral<br />Yang dapat digolongkan sebagai tokoh-tokoh dan banyak memberikan informasi mengenai pendekatan Behavioral antara lain John D. Krumbolt, Carl E. Thoresen, Ray E. Hosfrord, Bandura, Wolpe dan sebagainya.<br />Konsep pokok <br />Konselor behavioral membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara bawaan dengan lingkungan. Prilaku yang dapat diamati merupakan suatu kepedulian dari para konselor sebagai criteria pengukuran keberhasilan konseling. Menurut pandangan ini manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar seperti yang dikemukakan oleh Freud. <br /> Dalam konsep behavioral, prilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. <br />3. Pendekatan Kognitif<br />Pandangan kognitif menjelaskan tingkah laku abnormal berdasarkan pikiran-pikiran yang keliru dan proses-proses pikiran yang kalut (Beck dan Emery, 1985). Biasanya masalah-masalah yang berkenaan dengan pikiran dianggap sebagai sintom-sintom dari gangguan-gangguan psikologis, tetapi dalam padangan kognitif, pikiran-pikiran itu dilihat sebagai penyebab dari gangguan-gangguan itu.<br />Masalah-masalah dengan isi kognitif<br />Masalah-masalah dengan isi kognitif (pikiran-pikiran ) adalah masalah-masalah dengan apa yang dipikirkan. Bila kita memiliki informasi yang salah tentang suatu situasi, maka respon kita terhadap situasi itu juga mungkin salah atau abnormal. para ahli teori berpendapat bahwa banyak tipe gangguan mental disebabkan masalah-masalah yang menyangkut isi kognitif. Misalnya, seorang mengalami depresi karena ia berfikir “ aku adalah seorang yang tidak berharga”. <br />Masalah-masalah dengan proses-proses kognitif<br /> Masalah-masalah dengan proses-proses kognitif adalah masalah-masalah dengan bagaimana orang berpikir. Perhatikan apabila proses kognitif kacau, maa isi kognitif bisa juga terpengaruh, tetapi akibat-akibatnya sangat berbeda dari apa yang terjadi bila hanya ada masalah dengan isi kognitif. Bila ada masalah-masalah dengan isi kognitif, maka kepercayaan-kepercayaan seseorang individu adalah salah tetapi pikiran-pikirannya mudah dipahami. Sebaliknya, apabila ada masalh-masalah dengan proses-proses kognitif, maka tidak hanya kepercayaan-kepercayaan individu salah tetapi juga pikiran-pikiran tidak dapat dipahami. <br />4. Pendekatan fisiologis<br />Pendorong utama untuk segi pandangan ini muncul penemuan-penemuan mengenai hubungan antara gangguan-gangguan fisik dan gangguan tingkah laku. <br />Segi pandangan fisiologis mengemukakan bahwa semua tingkah laku abnormal disebabkan oleh gangguan pada struktur atau fungsi tubuh. Gangguan tersebut dapat dapat disebabkan oleh cacat yang diperoleh melalui luka atau infeksi sebelum atau sesudah kelahiran, atau oleh suatu malfungsi yang kurang lebih bersifat sementara yang diseebabkan oleh suatu kondisi yang ada pada waktu tertentu, misalnya demam yang tinggi disebabkan eloh infeksi yang bersifat sementara. Segi pandangan yang kurang ekstrem, yang masih menekankan pentingnya fungsi fisiologis, mengemukakan bahwa tingkah abnormal merupakan produk gabungan dari tiga tipe gangguan proses: dalam tubuh ( misalnya kekurangan hormon), dalam fungsi psikologis (misalnya kecendrungan kearah perasaan malu), dan dalam lingkingan sosial (misalnya angka pengangguran yang tinggi pada masyarakat). <br /> Ada sejumlah factor fisiologis yang mempengaruhi tingkah laku organism. Bagaimana kita bertingkah laku dan berfikir tergantung tidak hanya pada tingkatan masing-masing factor saja, tetapi juga pada hubungan antara factor-faktor itu. Faktor-faktor genetik, otak dan sistem saraf, dan kelenjar-kelenjar dokrin memainkan peran yang penting dalam proses-proses psikologis dan tingkah laku manusia. <br />5. Pendekatan Humanistik-Eksistensial<br />Pandangan humanistik-eksistensial adalah suatu pandangan yang agak baru untuk memahami tingkah laku abnormal dan dalam banyak hal yang dikembangkan sebagai reaksi melawan pandangan-pandangan lain. Pandangan humanistik-eksistensial kadang-kadang disebut sebagai “mazhab ketiga” untuk membedakan dari segi pandangan psikodinamik dan pandangan behavioral yang dominan ketika pandangan humanistik-eksistensial dikembangkan. <br />Para pendukung pandangan ini tidak menerima pandangan yang mengemukakan bahwa manusia adalah produk dari dorongaon-dorongan tak sadar, pengongsian (conditioning), dan fisiologi. Para humanis dan eksistensialis mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk sadar yang memiilih secara bebas tindakan-tindakannya, dank arena pilihannya bebas itu maka setiap setiap manusia berkembang sebagai seorang individu yang unik. Pendukung dari pandangan ini juga mengemukakan bahwa untuk memahami tingkah laku seseorang sangat penting melihat atau mengalami dari segi pandangannya sendiri karena tingkah lakunya disebabkan oleh pilihan sadarnya dan pilihannya itu dipengaruhi oleh persepsi pribadinya tentangg situasi. Karena penekanan diletakkan pada pentingnya persepsi untuk menentukan tingkah laku, maka pandangan humanistik-esistensial kadang-kadang disebut pendekatan fenomenologis. Penomenologis adalah pendekatan fisiologis yang bertolak dari gagasan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dan bukan melalui pikiran dan intuisi. <br />Carl Rogers (1902-1987) <br />Carl Rogers adalah seorang pendeta sebelum dia menjadi psiikolog. Seperti para psikolog humanistik lain, ia berpendapat bahwa manusia cenderung membangun dirinya dengan kebebasan dan memiilih dan bertindak. <br />Rogers berpendapat bahwa orang-orang memilki cara-cara unik untuk melihat diri mereka sendiri dan dunia yang disebut Rogers frame of reference (kerangka acuan) yang unik. kita menetapkan diri kita dalam cara-cara yang berbeda dan menilai diri kita menurut sejumlah nilai yang berbeda-beda. Rogers mengemukakan bahwa kita semua mengembangkan suatu kebutuhan akan penghargaan diri dan penghargaan diri kita terbungkus dalam cara bagaimana kita bertindak sesuai dengan cita-cita kita. <br />6. Pendekatan Sosio-Budaya<br />Para ahli sosio-budaya mengemukakan bahwa penyebab tiingkah laku abnormal tidak ditemukan dalam individu melainkan dalam masyarakat itu sendiri. Orang-orang akan mengembangkan masalah-masalah psikologis bila mereka berada dalam stress yang hebat yang disebabkan kemiskinan, kemeralatan sosial, diskriminasi, dan tidak memiliki peluang. Dengan kata lain, pandangan sosio budaya melihat tingkah laku abnormal (maladaftif) sebagai akibat dari ketidakmampuan individu untuk menangani stress secara efektif. Hal itu tidak dilihat sebagai penyakit atau masalah yang ada hanya dalam individu, tetapi sekurang-kurangnya sebagian merupakan kegagalan system dukungan sosial. <br /> Menurut para ahli teori sosio-budaya yang radikal, seperti psikiater Thomas Szasz (1961), penyakit mental tidak lebih daripada mitos (suatu konsep yang digunakan untuk menodai dan menundukkan orang-orang yang tingkah lakunya menyimpang dari masyarakat). Szasz mengemukakan bahwa apa yang dinamakan penyakit mental sebenarnya adalah masalah-masalah dalam hidup bukan penyakit seperti influenza, tekanan darah tinggi, dan kanker. Lebih lanjut dia mengemukakan bahwa orang-orang yang melukai hati orang lain atau menjalankan tingkah laku yang menyimpang dari masyarakat dilihat sebagai ancaman oleh orang-orang yang sudah merasa diri mapan. <br />C. Pendekatan Berkaitan dengan Normal dan Abnormal<br />Pada umumnya ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang termasuk dalam kategori sehat secara mental ataukah tidak.<br />1. Pendekatan statistik<br />Pendekatan ini baranggapan bahwa orang yang sehat secara mental atau normal adalah orang yang melakukan tingkah laku yang umumnya dilakukan oleh banyak orang lainnya. Atau dengan kata lain, suatu tingkah lakudisebut sehat bila tingkah laku tersebut memiliki frekuensi kemunculan yang tinggi dalam populasi. Sebaliknya, orang yang bertingkah laku tidak seperti tingkah laku kebanyakan orang dianggap sebagai orang yang tidak normal. <br />Sepintaspendekatan ini terlihat benar, namun bila dipikirkan secara mendalam, tampat beberapa kelemahannya. Ada tingkah laku yang dimiliki orang kebanyakan tapi dianggap normal atau sehat. Misalnya mampu berbicara dalam 5 bahasa. Jarang ada yang memiliki kemampuan tersebut, namun orang yang memilikinya dianggap normal,atauu misalnya orang yang dapat berjalan diatas bara api tanpa terbakar, tetap dianggap sebagai orang yang sehat atau normal.<br />Sebaliknya, ada tingkah laku yang sebenarnya tidak sehat tetapi dilakukan oleh banyak orang. Misalnya merokok, tingkah laku mereka tergolong kedalam tingkah laku yang tidak sehat atau tidak normal, namun dilakukan banyak orang.<br />2. Pendekatan Normatif<br />Pendekatan ini melihat orang sehat secara mmental berdasarkan apakah tingkah laku orang tersebut menyimpang dari norma sosial yang berlaku dimasyarakat atau tidak.tolok ukur yang dipakai dalam pendekatan ini adalah norma-norma yang berlaku di masyarakat.<br />Orang yang mampu menyesuaikan diri dengan norma masyarakatnya dianggap sebagai orang yang memiliki kesehatan mental yang baik. Sementaraa orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan norma sekitarnya memiliki kesehatan mental yang buruk.<br />Pendapat inipun memiliki kelemahan. Ada tingkah laku yang sebetulnya menyimpang dari norma yang ada tetapi dianggap sebagai normal, misalnya tingkah laku homoseksual. Masyarakat barat sekarang ini menganggap prilaku homoseksual bukan lagi dikategorikan sebagai penyimpangan seks. Prilaku korupsi yang telah terjadi dinegara kita pada semua lapisan birokrasi, sekarang ini dianggap normal. Sebaliknya, orang yang tetap berusaha berprilaku jujur malah dianggap sebagai orang yang tidak normal dan bahkan “tidak sehat”. <br />3. Pendekatan Distress Subjektif<br />Pendekatan ini beranggapan orang dianggap normal atau sehat bila merasa sehat atau tidak ada persoalan dan tekanan yang mengganggunya.<br />Kelemahan pendekatan ini adalah karena menekankan padea subjektivitas individu mengakibatkan tidakl ada ukuran yang pasti sehingga semuanya menjadiserba relative, tergantung pada situiasi yan dihadapi. Contohnya, bila orang tiba-tiba berbicara terus meneruus diketahui artinya dimuka umum, maka ia dianggap sedang sakit atau terganggu dan tidak normal. Namun bila perilaku tersebut dimunculkan pada suatu ritual keagamaan, perilaku tersebut dianggap wajar dan normal.<br />4. Pendekatan Fungsi atau Peranan Sosial<br />Pendekatan ini melihat normal atau tidak sehatnya sesesorang bersdasarkan mampu tidaknya ourang tersebut menjalankan kegiatan hariannya. Orang dianggap sehat atau normal bila ia mampu menjalankan fungsi dan peranannya dalam masyarakat dan tiiidak mengalami gangguan dalam menjalankan tugas-tugas hariannya.<br />Kelemahan pendekatan ini adalah tidak semua orang bisa dikatakan normal meskipun ia mampu menjalankan fungsi dan perannya, misalnya penderita gangguan bipolar (manis depsresif). Pada saat itu orang bersangkutan mengalami episode mania, dia mungkin menjadi bersemangat dan mampu melakukan berbagai aktifitas dengan baik, padahal sebenarnya diasedang terganggu.<br />5. Pendekatan Interpersonal<br />Pendekatan ini melhat normal atau sehat tidaknya seseorang atau apakah orang tersebut mampu menyesuaikan diri dilihat berdasarkan kemampuan seseorang untuk menjalin hubungan yang interpersonal dengan orang lain dan tidak menarik diri dari orang lain. <br />Pendekatan inipun memiliki kelemahan, tidak selalu orang yang menyendiri itu tidak sehat atau tidak normal dan tidak map[u menyesuaikan diri. Terkadang kesendirian itu penting supaya orang mampu memahami diri dengan lebih baik atau juga sebagai kesempatan untuk memulihkan diri. Juga tidak selalu orang yang mampu menjalin relasi dengan orang lain merupakan orang yang sehat. Misalnya bagi individu yang mengalami gangguan siklotimia, yitu gangguan semacam manis depresi tetapi ayunan suasana perasaannya tidak ekstri. Penderitanya biasanya tidak bisa terpisah dari orang lain. <br />Berbagai pendekatan diatas menunjukkan kesulitan yang muncul untuk memberi arti apa maksud dengan sehat secara mental. Kesehatan mental tidak hanya sekedar dipahami sebagai kemampuan untuk tahan dalam kondisi tekanan (stres) yang tinggi. Nbanyak prajurut yang dilatih untuk tahan menghadapi lingkungan yang ekstrim, tapi seringkali mereka memiliki keluarga yang tidak bahagia karena perilaku kekerasan yang ditunjukkan kepada pasangan maupun kepada anak-anaknya.<br />Kesehatan mental juga tidak bisa dipahami hanya sebagai kemampuan untuk melakukan penyesuaian diri dengan baik saja. Banyak orang yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan tapi mereka belum bisa dikatakan sehat secara mental. <br /><br /><br /><br /><br /><br />REFERENSI<br />Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, Kesehatan Mental “konsep dan penerapan”, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 1999.<br />Prof. Dr. Hasan Siswanto. S.Psi.,M.Si,Kesehatan Mental ”konsep, cakupan dan perkembangannya”, Penerbit Andi, Yogyakarta,2007 <br />Langgulung, Teori-Teori Kesehatan Mental, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1992.<br />Yustinus Semiunn, OFM, Kesehatan Mental 1, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2006.<br /><br />Prof. Dr. Abdul Aziz el-Quussiy, Pokok-Pokok Kesehatan Mental, Bulan Bintang, Jakarta, 1986. <br /> <br />Prof. Dr. H. Mohammad Surya, Teori-Teori Konseling, C.V. Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2007.<br /><br />Oleh : Juli Despriadi <br /> Ida Rusma Herawati<br />Tugas : Ujian Akhir Semester<br />Mata Kuliah : kesehatan Mental<br />Dosen : M.Fahli Zatra Hadi., S.Sos.IAbdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-15749887542427114872010-12-30T20:00:00.000-08:002010-12-30T20:02:38.423-08:00Prinsip-prinsip BKPRINSIP-PRINSIP BIMBINGAN DAN KONSELING<br /><br />Yang dimaksud dengan prisip-prinsip adalah hal-hal yang menjadi pegangan dalam proses bimbingan dan konseling. <br />Bimbingan selalu merupakan bentuk pertolongan dari seseorang kepada oranglain, biasanya oleh seseorang yang dalam kondisi dapat menolong kepada seseorang yang memerlukan pertolongan, atau lebih tepat yang merasa memerlukan pertolongan dari pihak penolong, oleh karena itu maka situasi membimbing selalu merupakan situasi menolong dan hubungan antara pembimbing dengan yang dibimbing merupakan hubungan menolong. <br />Pertolongan dalam bimbingan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu :<br />1. setiap manusia perlu ditolong untuk mengembangkan potensinya semaksimal mungkin.<br />2. dalam memberikan pertolongan, si anak didik diusahakan agar makin dapat berdiri sendiri, dan makin mampu memecahkan masalah hidupnya. <br />3. dlam uasaha memecahkan masalah atau mengatasi kesukaran harus ada partisipasi (merumuskan masalah, mencari jalan keluar, tanggung jawab ) dari kedua pihak.<br />4. selain prinsip-prisip pada nomor 1 sampai nomor 3, hubungan membimbing juga ditandai oleh adanya:<br /> a. hubungan saling menghargai antara yang membimbing dengan yang dibimbing. <br /> b. hubungan percaya mempercayai antara kedua orang yang bersangkutan dalam hubungan menolong itu yaitu pembimbing dan yang dibimbing.<br /> c. hubungan menolong didasarkan atas pemahaman dan penerimaan antara dua pribadi itu. <br />Prinsip merupakan paduan hasil teoretik dan telaah lapangan yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan sesuatu yang dimaksudkan dalam pelayanan bimbingan dan konseling, prinsip-prinsip yang digunakannya bersumber dari kajian filosofis. Hasil-hasil penelitian dan pengalaman praktis tentang hakikat manusia, perkembangan dan kehidupan manusia dalam konteks sosial budayanya, pengertian, tujuan, fungsi, dan proses penyelenggaraan bimbingan dan konseling, misalnya Van Hoose (1969) mengemukakan bahwa : <br />a. bimbingan didasarkan pada keyakinan bahwa dalam diri tiap anak terkandung kebaikan-kebaikan; setiap pribadi mempunyai potensi dan pendidikan hendaklah mapu membantu anak memanfaatkan potensinya itu.<br />b. Bimbingan didasarkan pada ide bahwa setiap anak adalah unik; seorang anak berbeda dari yang lain.<br />c. Bimbingan merupakan bantuan kepada anak-anak dan pemuda dalam pertumbuhan dan perkembangan mereka menjadi pribadi-pribadi yang sehat.<br />d. Bimbingan merupakan usaha membantu mereka yang memerlukannya untuk mencapai apa yang menjadi idaman masyarakat dan kehidupan umumnya.<br />e. Bimbingan adalah pelayanan unik yang dilaksanakan oleh tenaga ahli dengan latihan-latihan khusus, dan untuk melaksanakan pelayanan bimbingan diperlukan minat pribadi khusus pula. <br /><br />Semua butir yang dikemukakan oleh Van Hoose itu benar, tetapi butir-butir<br />tersebut belum merupakan prisip-prisip yang jelas aplikasinya dalam praktek bimbingan dan konseling. Apabila butir-butir tersebut hendak dijadikan prisip-prinsip bimbingan dan konseling, maka aspek-aspek operasionalnya harus ditambahkan. <br />Berkenaan dengan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling, Arifin dan Eti<br />Kartikawati (1994) menjabarkan prinsip-prisip bimbingan dan konseling kedalam empat bagian, yaitu :<br />1. prinsip-prisip umum<br />2. prinsip-prinsip khusus yang berhubungan dengan individu<br />3. prinsip-prinsip khusus yang berhubungan dengan pembimbing <br />4. prinsip-prinsip khusus yang berhubungan dengan organisasi dan administrasi bimbingan dan konseling. <br />Rumusan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling pada umumnya berkenaan<br />dengan sasaran pelayanan, masalah kien, tujuan dan proses penanganan masalah, program pelayanan, penyelenggaraan pelayanan. <br /><br />1. Prisip-Prisip Berkenaan dengan Sasaran Pelayanan. <br />Sasaran pelayanan bimbingan dan konseling adalah individu-individu baik secara<br />perorangan maupun kelompok. Individu itu sangat bervariasi misalnya dalam hal umurnya, jenis kelaminnya, status social ekonomi keluarga kedudukan, pangkat dan jabatannya, ketertarikannya terhadap suatu lembaga tertentu, dan variasi-variasi lainya. Berbagai variasi itu menyebabkan individu yang satu berbeda dengan yang lainnya. Masing-masing individu adalah unik. Secara lebih khusus lagi, yang menjadi sasaran pelayanan pada umumnya adalah perkembangan dan perikehidupan individu, namun secara lebih nyata dan langsung adalah sikap dan tingkah lakunya. Sebagaimana telah disinggung terdahulu, sikap dan tingkah laku dalam perkembangan dan kehidupan itu mendorong dirumuskannya prinsip-prinsip bimbingan dan kinselinng sebagai berikut :<br />a. bimbingan dan konseling melayani setiap individu. Tanpa memandang umur, jenis kelamn, suku bangsa, agama, dan status sosial ekonomi.<br />b. Bimbingan dan konseling berurusan denga sikap dan tingkah laku individu yang unik, oleh karena itu pelayanan bimbingan dan konseling perlu menjangkau keunikan dan kekompleksan pribadi individu. <br />c. Untuk mengoptimalkan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai dengan kebutuhan individu itu sendiri perlu dikenali dan dipahami, keunikan sertiap individu dengan berbagai kekuatan, kelemahan, dan permasalahannya.<br />d. Setiap aspek pola kepribadian yang kompleks seorang individu mengandung faktor-faktor yang secara potensial mengarah kepada sikap dan dan pola-pola tingkah laku yang tidak seimbang. Oleh karena itu pelayanan bimbingan konseling yang bertujuan mengembangkan penyesuaian individu terhadap segenap bidang pengalaman harus mempertimbangkan berbagai aspek perkembangan individu. <br />e. Meskipun individu yang stau dengan lainnya adalah serupa dalam berbagai hal, perbedaan individu harus dipahami da dipertimbangkan dalam rangka upaya yang bertujuan memberikan bantuan kepada individu-individu tertentu, baik mereka itu anak-anak, remaja, maupun remaja.<br /><br />2. Prinsip-Prinsip Berkenaan dengan Masalah Individu. <br />Berbagai factor yang mempengaruhi perkembangan dan kehidupan individu<br />tidaklah selalu positif. Faktor-faktor yang pengaruhnya negatif akan menimbulkan hambatan-hambatan terhadap kelangsungan perkembangan dan kehidupan individu yang akhirnya menimbulka masalah tertentu pada diri individu. Masalah-masalah yang timbul seribu satu macam dan sangat bervariasi, baik dalam jenis dan intensitasnya. Secara ideal pelayanan bimbingan dan konselingingin membantu semua individu dengan berbagai masalahnya itu. Namun, sesuai dengan keterbatasan yang ada pada dirinya sendiri, pelayanan bimbingan dan konseling hanya mampu menangani masalah klien secara terbatas. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan hal itu adalah: <br />a. meskipun pelayanan bimbingan dan konseling menjangkau setiap tahap dan bidang dalam perkembangan dan kehidupan individu. Namun bidang bimbingan pada umumnya dibatasi hanya pada hal-hal yang menyangkut pengaruh kondisi mental dan fisik individu terhadap penyesuaian dirinya dirumah, di sekolah, serta dalam kaitannya denga kontak social dan pekerjaan, dan sebaliknya pengaruh kondisi lingkungan terhadap kondisi mental dan fisik individu.<br />b. Keadaan social, ekonomi dan politik yang kurang menguntungkan merupakan factor salah satu pada diri individu dan hal itu semua menuntut perhatian seksama dari para konselor dalam mengentaskan masalah klien.<br /><br /><br /><br /> <br />3. Prisip-Prinsip Berkenaan dengan Program Pelayanan<br />Kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling baik diselenggarakan secara<br />“incidental” maupu terprogram. Pelayanan “incidental” diberikan kepada klien-klien yang secara langsung (tidak terprogram atau terjadwal) kepada konselor untuk meminta bantuan. Konselor memberikan pelayanan ke[ada mereka secara langsung pula sesuai dengan permasalahan klien pada waktu mereka itu datang. Klien-klien incidental sepetrti biasanya dating dari luar lembaga tempat koselor bertugas. Pelayanan incidental itu merupakan pelayanan konselor yang sedang menjalankan praktek pibadi. <br /><br />Untuk warga lembaga tempat konselor bertugas, yaitu warga yang pemberian<br />pelayanan bimbingan dan konselingnya menjadi tanggung jawab konselor sepenuhnya, konselor dituntut untuk menyusun program pelayanan. Program ini berorientasi kepada seluruh warga lembaga itu (misalnya sekolah atau kantor) dengan memperhatikan variasi masalah yang mungkin timbil dan jenis layanan yang dapat diselenggarakan, rentangan dan unit-unit waktu yang tersedia (misalnya caturwulan, atau semester, atau bulan), ketersediaan staf, kemungkinan hubungan antar personal dan lembaga. Kemudahan-kemudan yang tersedia, dan faktor-faktor lainnya yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan dilembaga tersebut. Prinsip-prisip yang berkenaan dengan program layanan bimbingan dan konseling itu adalah sebagai berikut:<br />a. Bimbingan dan koseling merupakan bagian integral dari proses pendidikan dan pengembangan; oleh karena itu program bimbingan dan konseling harus disusun dan dipadukan sejalan dengan program pendidikan dan pengembangan secara menyeluruh.<br />b. Program bimbingan dan konseling harus fleksibel, disesuaikan dengan kondisi lembaga(misalnya sekolah), kebutuhan individu dan masyarakat. <br />c. Program pelayanan bimbingan dan konseling disusun dan diselenggarakan secara berkesinambungan kepada anak-anak sampai orang dewasa, disekolah misalnya dari jenjang pendidikan taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.<br /><br /><br />d. Terhadap pelaksanaan bimbingan dan konseling hendaknya diadakan penilaian yang teraturuntuk mengetahui sejauh mana hasil dan manfaat yang diperoleh, serta mengetahui kesesuaian antara program yang direncanakan dari pelaksanaannya.<br /><br />4. Prinsip-Prisip Berkenaan dengan Pelaksanaan Layanan<br />Pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling (baik yang bersifat “incidental” maupun terprogram) dimulai dengan pemahaman tentang tujuan layanan. Tujuan ini selanjutnya akan diwujudkan melalui proses tertentu yang dilaksanakan oleh tenaga ahli dalam bidangnya, yaitu konselor propesional. Konselor yang bekerja disuatu lembaga yang cukup besar (misalnya sebuah sekolah) sangat berkepentingan dengan penyelenggara program-program bimbingan dan konseling secara teratur dari waktu kewaktu. Kerjasama dengan berbagai pihak, baik didalam maupun diluar tempat ia bekerja perlu dikembangkan secara optimal. Prinsip-prinsip berkenaan dengan hal-hal tersebut adalah: <br />a. Tujuan akhir bimbingan dan konseling adalah kemandirian setiap individu; oleh karena itu pelayanan bimbingan dan konseling harus diarahkan untuk mengembangkan klien agar mampu membimbing diri sendiri dalam menghadapi setiap kesulitan atau permasalahan yang dihadapainya. <br />b. Dengan proses konseling keputusan yang diambil dan hendak dilakukan oleh klien hendaknya atas kemauan klien sendiri, bukan karena kemauan atau desakan dari konselor.<br />c. Permasalahan khusus yang dialami klien (untuk semua usia) harus ditangani oleh konselor (dan kalau perlu dialih tangankan kepada ) tenaga ahli dalam bidang yang relevan dengan permasalahan tersebut. <br />d. BK adalah pekerjaan propesional; oleh Karena itu dilaksanakan oleh tenaga ahli yang telah memperoleh pendidikan dan latihan khusus dalam bidang bimbingan dan konseling.<br />e. Guru dan orang tua memiliki tanggung jawab yang berkaitan dengan pelayanan bimbingan dan konseling, oleh Karen aitu bekerja sama antara konselor dan guru dan orang tua amat diperlukan.<br />f. Guru dan konselor berada dalam satu kerangka upaya pelayanan, oleh karena itu keduanya harus mengembangkan peranan yang saling melengkapi untuk mengurangi kebodohan dan hambatan-hambatan yang ada pada lingkungan individu atau siswa.<br />g. Untuk mengelola pelayanan bimbingan dan konseling dengan baik dan sejauh mungkin memenuhi tuntutan individu, program pengukuran dan penilaian tehadap individu hendaknya dilakukan. Dan himpunan data yang memuat hasil pengukuran dan penilaian itu dikembangkan dan dimanfaatkan dengan baik. Dengan pengadministrasian instrumen yang benar-benar dipilih dengan baik, data khusus tentang kemampuan mental, hasil belajar, bakat dan minat, dan berbagai cirri kepribadian hendaknya dikumpulkan dan disimpan, dan digunakan sesuai dengan keperluan. <br />h. Organisasi program bimbingan hendaknya fleksibel, disesuaikan dengan kebutuhan induvidu dengan lingkungannya.<br />i. Tanggung jawab pengelolaan program bimbingan dengan konseling hendaknya diletakkan dipundak seseorang pimpinan program yang terlatih dan terdidik secara khusus dalam pendidikan bimbingan dan konseling, bekerja sama denga staf dan personal, lembaga ditempat ia bertugas dan lembaga-lembaga lain yang dapat menunjang program bimbingan dan konseling<br />j. Penilaian terdidik perlu dilakukan terhadap program yang sedang berjalan. Kesuksesan pelaksanaan program diukur dengan melihat sikap-sikap mereka yang berkepentingan dengan program yang disediakan (baik pihak-pihak yang melayani maupun yang dilayani) dan perubahan tingkah laku mereka yang pernah dilayani.<br /><br /><br /><br />5. Prinsip-Prinsip Bimbingan dan Konseling di Sekolah<br />Dalam lapangan operasional bimbingan dan konseling, sekolah merupakan Lembaga yang wajah dan sosoknya sangat jelas. Disekolah pelayanan bimbingan dan konseling diharapkan dapat tumbuh dan berkembang dengan amat baik. Mengingat sekolah merupakan lahan yang secara operasional sangat subur; sekolah memiliki kondisi dasar yang justru menuntut adanya pelayanan ini pada kadar yang tinggi, para siswanya yang sedang dalam tahap perkembangan yang “menanjak” memerlukan segala jenis layanan bimbingan dan konseling dalam segenap fungsinya. Para guru terlibat langsung dalam pengajaran yang apabila pengajaran itu dikehendaki mencapai taraf keberhasilan yang tinggi, memerlukan upaya penunjang bagi optimalisasi belajar siswa. Dalam kaitan ini tepatlah apa yang dikatakan oleh Bernard dan Follmer (1969) bahwa “guru amat memperhatikan bagaimana pengajaran berlangsung sedangkan konselor amat memperhatikan bagaimana murid belajar”. Seiring dengan itu, Crow dan Crow (1960) mengemukakan “ perubahan materi kurikulum dan prosedur pengajaran hendaklah memuat kaidah-kaidah bimbingan. Apabila kedua hal itu memang terjadi, materi dan prosedur pengajaran berkaidah bimbingan, dibarengi oleh kerja sama yang erat antara guru dan konselor dapat diyakini bahwa proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dan murid itu akan sukses. <br />Guru pembimbing yang telah memahami secara benar dan mendasar prinsip- prinsip dasar konseling ini akan dapat menghindarkan diri dari kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan dalam praktik pemberian layanan bimbingan dan konseling. <br /> Adapun prinsip-prisip yang berkenaan dengan konseling di sekolah adalah sebagai berikut: <br />a. Dasar bimbingan dan konseling disekolah tidak terlepas dari dasar pendidikan pada umumnya dan pendidikan disekolah pada khususnya. Dasar dari pendidikan tidak dapat terlepas dari dasarnegara tempat pendidikan itu dilaksanakan. Dasar pendidikan nasional di Indonesia dapat dilihat sebagaimana tercantum dalam undang-undang no. 2 tahun 1989 Bab II Pasal 2 yang berbunyi: “ Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”. Dengan demikain, dapat dikemukakan bahwa dasar dari bimbingan dan konseling disekolah ialah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. <br />b. Tujuan bimbingan dan konseling disekolah tidak dapat terlepas dari tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional di Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Tahun 1989Bab II Pasal 4 yang berbunyi:”Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Terhadap Tuhan yang Maha Esa dan berbudi luhur, memilki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Dengan demikian, tujuan bimbingan dan konseling disekolah adalah membantu tercapainya tujuan pendidikan nasional dan membantu individu untuk mencapai kesejahteraan. <br />c. Fungsi bimbingan dan konseling dalam proses pendidikan dan pengajaran ialah membantu pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu, segala langkah bimbingan dan konseling harus sejalan dengan langkah-langkah yang diambil, serta harus sesuai denagn tujuan pendidikan. Dengan adanya bimbingan dan konseling itu, pendidikan akan berlangsung lebih lancar Karena mendapatkan dukungan dari bimbingan dan konseling.<br />d. Bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua individu, baik anak-anak maupun orang dewasa. Jadi, bimbingan dan konseling tidak terbatas pada umur tertentu. <br />e. Bimbingan dan konseling dapat dilakukan dengan bermacam-macam sifat yaitu secara:<br />1. Preventif, yaitu bimbingan dan konseling diberikan dengan tujuan untuk mencegah jangan sampai timbul kesulitam-kesulitan yang menimpa diri anak atau individu.<br />2. Korektif, yaitu memecahkan atau mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh anak atau individu.<br />3. Preservasif, yaitu memelihara atau mempertahankan yang telah baik, jangan sampai menjadi keadaan-keadaan yang tidak baik.<br />f. Bimbingan dan konseling merupakan proses continue. Bimbingan dan konseling harus diberikan secara kontunue dan diberikan oleh orang-orang yamng mempunyai kewenangan dalam hal tersebut. Dengan demikian, tidak semua orang boleh memberikan bimbingan dan konseling. <br />g. Sehubungan dengan itu, para guru perlu mempumyai pengetahuan mengenai bimbingan dan konseling karena mereka selalu berhadapan lansung dengan murid yang perlu mendapat bimbingan. Kalau keadaan memungkinkan, ada baiknya persoalan yang dihadapi murid diselesaikan oleh guru sendiri, tetapi kalu tidak mungkin maka dapat diserahkan kepada pembimbing.<br />h. Individu yang dihadapi tidak mempunyai kesamaan-kesamaan, tapi juga mempunyai perbedaan-perbedaan yang terdapat pada masing-masing individu harus diperhatikan dalam memberikan bimbingan dan konseling.<br />i. Tiap-tiao aspek individu merupakan factor pentimg yang menentukan sikap ataupun tingkahlaku. Oleh karena itu, pelaksanaan bimbingan dan konseling harus benar-benar memperhatikan setiap aspek dari individu yang dihadapi. Sehubungan dengan itu, bimbingan dan konseling haruslah didasarkan atas penelitian atau pengumpulan keterangan yang lengkap agar dapat bertindak secara tepat. Dengan demikian, diperlukan adanya daftar pribadi, hasil dari observasi, hasil angket, tes dan sebagainya. <br />j. Anak dan individu yang dihadapi adalah individu yang hidup dalam masyarakat. Oleh Karenaitu, tidak boleh memandang individu terlepas dari masyarakatnya, tetapi harus melihat individu beserta latar belakang social, budaya, dan sebagainya.<br />k. Anak dan individu yang dihadapi merupakan makhluk yang hidup, yang berkembang dan bersifat dinamis. Oleh karena itu, harus diperhatikan segi dinamikanya, segi dinamika inilah yang memungkinkan pemberian bimbingan dan konseling.<br />l. Dalam memberikan bimbingan dan konseling, haruslah selalu diadakan evaluasi. Dengan evaluasu, akan dapat diketahui tepat tidaknya bimbingan dan konseling yang telah diberikan.<br />m. Sehubungan dengan butir 10, pembimbing harus selalu mengikuti perkembangan situasi masyarakat dalam arti luas, yaitu perkembangan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya.<br />n. Dalam memberikan bimbingan dan konseling, pembimbing harus selalu ingat untuk menuju kepada kesanggupan individu agar dapat membimbing diri sendiri.<br />o. Karena pembimbing berhubungan secara lansung dengan masalah-masalah pribadi seseorang maka pembimbing harus dapat memegang teguh kode etik bimbingan dan konseling. <br /><br />Nama: Ida Rusma Herawati<br /> Desni Saputra<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />REFERENSI<br />Kartini Kartono, Bimbingan dan Dasar-Dasar Pelaksanaannya, CV. Rajawali, Jakarta, 1985<br />Prof. Dr. H. Prayitno, M.Sc. Ed dan Drs. Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2004<br /><br />Drs. Tohirin, M.Pd, Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah, PT. Grapindo Persada, Jakarta, 2007<br /><br /> Ketut Sukardi, MBA, MM. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2008<br /><br />Prof. Dr. Bimo Walgito, Bimbingan Konseling ( Studi dan Karier)Abdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-80507245118227059532010-12-29T02:59:00.000-08:002010-12-29T03:02:47.278-08:00tugas ujian semesterNAMA KELOMPOK : DARMAWITA<br /> DESNI SAPUTRA<br />MATA KULIAH : KESEHATAN MENTAL<br />DOSEN : M. FAHLI ZATRA HADI, S.Sos.I <br /><br /><br />Sejarah Kesehatan Mental dan Konsep Yang Salah<br /><br />A. sejarah kesehatan mental<br />seperti juga psikologi yang mempelajari ilmu kejiwaan manusia, dan mempunyai usia sejak adanya manusia di dunia, maka masalah kesehatan menatal jiwa itupun telah ada sejak beribu-ribu tahun yang lalu dalam bentuk pengetauhan yang sederhana.<br />Sebagai satu gerakan terorganisir dengan berselubungkan nama baru mental hygiene boleh dikatakan baru berkembang sejak kurang lebih 50 tahan yang lalu, namun pada hakekatnya ilmu ini dapat dipandang sebagai satu penamaan baru bagi ilmu pengetauhan yang menyelidiki masalah kehidupan manusia yang sudah ada sejak ribuan tahun yang lampau dan berkembangnya bersamaan waktunya dengan sejarah psikiatri dan psikologi abnormal.beratus ratus tahun yang lalu, orang menduga bahwa penyebab penyakit mental adalah syaitan-syaitan, roh-roh jahat, dan dosa-dosa. Oleh karena itu para penderita penyakit mental dimasukkan dalam penjara-penjara dibawah tanah atau dihukum dan ikat erat-erat dengan rantai yang besi yang sangat kuat, disebabkan oleh anggapan-anggapan yang keliru terhadap mereka, lambat lain ada usaha-usaha kemanusiaan yang mengadakan perbaikan dalam menanggulangi orang-orang yang terganggu mentalnya kemudian baru muncul sikap yang lebih ilmiah terhadap penyakit mental yaitu sejajar dengan berkembangnya ilmu pengetauhan alam di eropa. <br />Sejarah mengenai perkembangan kesehatan mental, terutama di amerika dan eropa, di bawah ini ada berbagai pandangan mengenai kesehatan mental :<br />A. gangguan mental tidak dianggap sebagai penyakit<br />• tahun 1600 adan sebelumnya <br />Pandangan masyarakat saat itu menganggap bahwa orang yang mengalami gangguan mental adalah karena mereka dimasuki oleh roh-roh yang ada di sekitar. Mereka dianggap melakukan kesalahn kepada roh-roh atau menjadi medium dari roh-roh untuk menyatakan keinginanmya, oleh karena itu mereka sering kali tidak dianggap sakit, sehingg mereka tidak disingkirkan dan di buang serta masih mendapatkan tempat dalam masyarakat.<br />• Tahun 1692<br />Di amerika orang yang bergangguan mental saat itu sering di anggap terkena sihir, terkena guna-guna atau dirasuki setan, ini merupakan penjelasan yang diterima secara umum sehingga masyarakat takut dan membenci mereka yang dianggap memiliki kekuatan sihir.<br />B. Gangguan mental dianggap sebagai sakit <br />• Thun 1908<br />CLIFFORD BEERS ( 1876-1943 ) dia adalah salah satu tokoh yang memberikan jasa dalam gerakan hygine mental. Karena pengalaman pribadinya yang amat pedih, ia sangat bisa mengerti betapa besar kejam dan kerasnya perlakuan serta cara penyembuhan atau pengobatan , sering didera dengan pukulan-pukulan dan menerima hinaan-hinaan yang menyakitkan hati dari perawat-perawat yang kejam dan masih banyak lagi perlakuan-perlakuan kejam yang tidak berperi kemanusiaan yang dialaminya. Dia menderita manis defresif pada tahun 1900. Dia merupakan lulusan yale dan seorang bisnisman, yang kemudian mengalami gangguan setelah mengelami sakit dan saudara laki-lakinya meninggal. Setelah mencoba bunuh diri, dia dimasukkan ke rumah sakit mental swasta di Connecticut. Dia menjadi subjek penanganan yang tidak manusiawi dan pengalami penyiksaan fisik dan mental di bawah kekuasaan orang yang tidak terlatih dan tidak kompeten di rumah sakit. Beers kemudia menghabiskan beberapa tahun di berbagai institusi dan mengalami perlakuan yang paling buruk di rumah sakit negeri di Middletown, Connecticut. Penangannan tidak manusiawi yang di terimanya di institusi yang menderita mental di amerika serikat. Pada tahun 1908 dia menulis buku yang berjudul a mind thatfound itself, merupakan laporan pengalamannya sendiri sebagai pasien sakit mental dan secar jelas menggambarkan kekjaman lembaga perawatan. Buku tersebut memberikan akibat yang segera Sesudah dirawat 2 tahun lamanya, Beers beruntung bisa sembuh. <br /><br />Maka oleh pengalaman-pengalaman dan kesengsaraan lahir batin dalam rumah sakit jiwa ini menyebabkan ia memberontak terhadap segala peraturan dan cara-cara pengobatan yang konvensional. Lalu dimulailah reformasi untuk mengadakan perbaikan dengan metode-merode baru yang lebih manusiawi uasahanya itu ditiru dan mendapat sambutan hangat disegenap penjuru dunia yaitu usaha melindung orang-orang gila dan penderita mental lainnya. <br /><br />Perioderisasi Perkembangnan Ilmu Kesehatan Mental :<br />Zaman prasejarah<br />Manusia purba sering mengalami gangguan mental atau fisik, seperti infeksi, arthritis, penyakit pernapasan, usus dan lain-lain.<br />Zaman Peradaban Awal <br />1) Phytagoras ( orang yang pertama memberi penjelasan ilmiah terhadap penyakit mental )<br />2) Hypocrates ( ia berpendapat penyakit atau gangguan otak adalah penyebab penyakit mental )<br />3) Plato, menurutnya gangguan mental sebagai gangguan moral, gangguan fisik dan sebagian lagi dari dewa-dewa.<br />Dalam semua peradaban awal yang kita kenal di mesopotamia, mesir, yahudi, india, cina dan benua afrika, imam-imam dan tukang – tukang sihir merawat orang-orang yang sakit mental. Di antra semua peradaban tersebut sepanjang zaman kun, penyakit mentl mulai menjadi hal yang umum. Bersama dengan penderita-penderita lain, kekalutan-kekalutan mental menjadi kawan seperjalnan yang setia bagi manusia.<br /> <br />Pada waktu itu ilmu kedokteran lebih terorganisir <br />Di babilonia dan ninive ( mesopotamia )<br />Orang-orang babilonia adalah orang-orang yang pertama menyeklidiki riwayat hidup penderita penyakit dan mengodifikasikan pertanggung jawaban dokter terhadap pasien serta memajukan ilmu kedokteran masyarakat.<br /><br /><br />Di mesir<br />Disana dikembangkan terapiuntuk pasien berupa reakreasi dan pekerjaan, serta diterapkan semacam psikoterapi yang berupa dengan beberapa pendekatan yang sangat modern untuk mengoati penyakit mental.<br />Di yahudi<br />Perhatian orang-orang yahudi tidakhanya tertuju pada keterlibatan agama dalam gejala-gejala kekalutan mental, tetapi mereka juga sangat memperhatikan segi-segi kemanusiaan dari ilmu kedokteran dan kesejahteraan masyarakat. Pada tahun 490 M, ada sebuah rumah sakit di yerusalem yang didirikan semata-mata untuk para pasien sakit metal.<br />Di persia<br />Setan-setan dipersalahkan krena menyebabkan penyakit- penyakit mentl dan segala penyakit lainnya.<br />Di cina dan india serta timur jauh<br />Dalam pandangan orang-orang cina, gangguan mental dilihat sebagai penyakit dan dianggap sebagai gangguan proses alam atau ketidak seimbangan antara yin dan yang.<br />Karena gangguan-gangguan mental dianggap sebagai tidak adanya keseimbangan fisik, maka orang yang mengalami gangguan mental tidak dinggap sebagai hal yang memalukan.<br />Berdampingan dengan pendekatan ketidak seimbangan fisik terdapat juga suatu pandangan lain yang mengemukakan bahwa gangguan mental itu juga disebabkan oleh kekuatan-kekuatan supernatural, dirasuki oleh roh-roh atau pembalasan terhadaap dosa-dosa yang telah dilakukan.<br />Di afrika<br />Diafrika pada abad-abad masa lampau erpendapat bahwa ganguan-ganguan fisik dan mental disebabkan oleh musuh-musuh, roh-roh jahat atau dalam beberapa kasus oelh nenek moyang yang marah.srjarah<br /><br /><br /><br /><br />Abad pertengahan<br />Dancing mania<br />Dalam periode dari abad 10 dan 15, dancing mania, disebut juga ” kegilaan massa” terdapat dieeropa, dimana sejumlah besar orang menari secara liar dan tak terkendali dsampai kehabisan tenaga<br /><br />Ilmu sihir kepercayaan akan demonologi<br />Penyakt mereka pada umumnya dianggap sebagai kerasukan setan dan perawatannya ialah mengusir keluar setannya dengan cara menghukum dan menyiksa. <br />Zaman Renaissesus <br />Pada zaman ini di beberapa Negara eropa, para tokoh keagamaan, ilmu kedokteran dan filsafat mulai menyangkal amggapan bahawa pasien sakit mental tenggelam dalam dunia tahayul dan lingkungan yang tidak berperikemanusiaan, namun di negara-negara tertentu di eropa suara-suara teriakan oleh tokoh-tokoh agama, ilmu kedokteran, dan filsaft. <br />Era pra ilmiah<br />1. kepercayaan animisme<br />Sejak zaman dulu gangguan mental telah muncul dalam konsep primitive, yaitu kepercayaan terhadap paham animisme bahwa dunia ini diawasi atau dikuasai oleh roh-roh atau dewa-dewa. Orang yunani kuno percaya bahwa orang mengalami gangguan mental, karena dewa marah kepadanya dan membawa pergi jiwanya. Untuk menghindari kemarahannya, maka mereka mengadakan perjamuan pesta ( sesaji ) dengan mantra.<br /><br />2. kepercayaan naturalisme<br />suatu aliran yang berpendapat bahwa gangguan mental dan fisik itu akibat dari alam. Hipocrates ( 460-367 ) menolak pengaruh roh, dewa atau hantu yang melukai badan anda, dia mengatakan jika anda memotong batok kepala maka anda akan menemukan otak yang basah dan mencium bau amis tapi anda tidak akan melihat roh, dewa atau hantu yang akan melukai badan anda.<br />Seorang dokter perancis, philipe pinel ( 1745-1826 ) mengemukakan filsafat politik dan social yang baru untuk memecahkan problem penyakit mental. Dia terpilih menjadi kepala rumah sakit bicetre di aris. Di rumah sakit ini pasien di rantai diikat ketembok dan tempat tidur, pasien yang telah dirantai selama 20 tahun atau lebih dan mereka dianggap sangat berbahaya dibawa jalan – jalan di sekitar rumah sakit. Akhirnya di antara mereka banyak yang berhasil , mereka tidak lagi menunjukkan kecendrungan untuk melikai atau meruasak dirinya.<br />Era modern <br />Perubahan luar biasa dalam sikap dan cara pengobatan gangguan mental terjadi pada saat berkembangnya psikologi abnormal dan psikiatri<br />Era Ilmiiah (Modern)<br />Perubahan yang sangat berarti dalam sikap dan era pengobatan gangguan mental, yaitu dari animisme (irrasional) dan tradisional ke sikap dan cara yang rasional (ilmiah), terjadi pada saat berkembangnya Psikologi Abnormal dan psikiatri di Amerika Serikat, yaitu pada tahun 1783. ketika itu Benyamin Rush (1745-1813) menjadi anggota staff medis dirumah sakit Penisylvania. Dirumah sakit ini ada 24 pasien yang dianggap sebagai ”lunaties” (orang-orang gila atau sakit ingatan).<br />Pada waktu itu sedikit sekali pengetahuan tentang penyakit kegilaan tersebut, dan kurang mengetahui bagaimana menyembuhkannya. Sebagai akibatnya, pasien-pasien tersdebut didukung dalam sel yang kurang sekali alat ventilasinya, dan mereka sekali-sekali diguyur dengan air.<br />Rush melakukan usaha yang sangat berguna untuk memahami orang-orang yang menderita gangguan mental tersebut. Cara yang ditempuhnya adalah dengan melalui penulisan artikel-artikel dalam koran, ceramah, dan pertemuan-pertemuan lainnya. Akhirnya, setelah usaha itu dilakukan (selama 13 tahun), yaitu pada tahun 1796, dirumah mental. Ruangan ini dibedakan untuk pasien wanita dan pria. Secara berkesenimbungan, Rush mengadakan pengobatan kepada para pasien dengan memberikan dorongan (motivasi) untuk mau bekerja, rekreasi, dan mencari kesenangan.<br />Perkembangan psikologi abnormal dan pskiatri ini memberikan pengaruh kepada lahirnya Mental Hygiene yang berkembang menjadi suatu ”Body Of Knowledge” berikut gerakan-gerakan yang teorganisir.<br />Perkembangan kesehatan mental dipengaruhi oleh gagasan, pemikiran dan inspirasi para ahli, dalam hal ini terutama dari dua tokoh perintis, yaitu Dorothea Lynde Dix dan Clifford Whittingham Beers. Kedua orang ini banyak mendedikasikan hidupnya dalam bidang pencegahan gangguan mental dan pertolongan bagi orang-orang miskin dan lemah. Dorthea Lynde Dix lahir pada tahun 1802 dan meninggal duinia tanggal 17 July 1887. dia adalah seorang guru sekolah di Massachussets, yang menaruh perhatian terhadap orang-orang yang mengalami gangguan mental. Sebagian perintis (pioneer), selama 40tahun dia berjuang untuk memberikan pengorbanan terhadap orang-orang gila secara lebih manusiawi.<br />Usahanya mula-mula diarahkan pada para pasien mental dirumah sakit. Kemudian diperluas kepada para penderita gangguan mental yang dikurung dirumah-rumah penjara. Pekerjaan Dix ini merupakan faktor penting dalam membangun kesadaran masyarakat umum untuk memperhatikan kebutuhan para penderita gangguan mental. Berkat usahanya yang tak kenal lelah, di Amerika serilkat didirikan 32 rumah sakit jiwa, dimana dia layak mendapat pujian sebagai salah seorang wanita besar di abad 19.<br />Pada tahun 1909, gerakan kesehatan mental secara formal mulai muncul. Selama dsekade 1900-19090 beberpa organisasi kesehatan mental telah didirikan, sepert: American Social Hygiene Associatin (ASHA), dan American Federation for Sex Hygiene. <br /><br />KONSEP YANG SALAH MENGENAI KESEHATAN MENTAL<br />Hingga saat sekarang banyak orang beranggapan bahwa penyakit mental merupakan suatu noda, atau merupakan akibat dari dosa-dosa yang di perbuat manusia. Karena itu masyarakat menangapi para penderita mental dengan rasa takut atau dengan rasa jijik. Oleh sikap yang keliru tersebut. Program umum mengenai kesehatan mental bagi rakyat pada umumnya belum mendapatkan tanggpan yang baik. Bahkan adakalanya mendapatkan tanggapan yang negatif berwujud prasangka, ketakutan, ketahayulan, dan anggapan-anggapan misterius mengenai penyakit mental sebagai akibat buatan roh-roh atau dukun-dukun jahat. <br /><br />Para penderita sendiri banyak yang takut dan tidak suka menjalani pemeriksaan oleh dokter atau oleh seorang psikolog. Mereka menjadi marah, sangat tersinggung saat diperiksa atau bersitegang leher, bahwa dirinya tidak sakit, dan sehat jiwanya. Beberapa anggapan yang keliru mengenai masalah kesehatan mental ini antara lain ialah sebagai berikut :<br />1) Penyakit mental adalah herediter, merupakan warisan atau keturunan. Pendapat semacam ini adalah keliru, peyakit mental itu tidak diturunkan oleh orang tua kepada anaknya seperti halnya penurunan ciri-ciri jasmaniah yang karakterisk pada umumnya. <br />Bukti-bukti penyelidikan menyatakan, bahwa memang terdapat kemungkinan faktor-faktor genetis atau konstitusional berupa kepekaan kepada seseorang terhadap berbagai tekanan ( stresses ), dan bisa mereaksi dalam bentuk tingkah laku yang patologis. Jelasnya, kemungkinan timbulnya penyakit-penyakit mental disebabkan oleh pola-pola hereditar itu tidak mustahil adanya. Namun, pada kebanyakan peristiwa, sebab musabab penyakit mental itu biasanya ialah tekanan-tekanan batin dan faktor-fakror sosia.<br />2) Penyakit mental mental tidak bisa di sembuhkan. Ide semacam ini tidak benar. Sebab, kurang lebih 80% dari para penderita di asylum yang telah mendapatkan peralatan prima atau perawatan khusus, terutama yang masih dalam stadia permulaan, dapat kembali ditengah keluarganya, dan dinyatakan sebagai “sembuh”.<br />Memang kesembuhan total, sehingga pulih kembali persis sebagai dahulu kala, biasanya tidak bisa. Akan tetapi mereka itu betul-betul bisa sembuh kembali, dan mampu hidup ditengah masyarakat biasa. Pasien yang mendapat perawatan biasa dalam rumah-rumah sakit jiwa 40% dari mereka dapat sembuh seluruhnya atau setengah sembuh, namun tidak membahayakan lingkungan atau diri sendiri.<br />3) Penyakit mental itu timbul dan menyerang penderita dengan tiba-tiba. Pendapat ini pun salah. Penyakit mental tidak pernah berlangsung secara mendadak pada seorang yang sehat. Dan tidak pernah satu krisis yang tunggal didalam kehidupan manusia menjadai satu-satunya sebab dari mental break down atau kepatahan mental. <br />Bibit-bibit dari gangguan mental itu pada galibnya sudah ada sbelum penampakan gejal-gejala atau penomenanya. Kejadian-kejadian dramatis, misalnya kematian seseorang kekasih, atau satu kebangkrutan finansial, pada umumnya merupakan faktor pemercepat timbulnya penyakit mental dan bukan merukan penyebab yang langsung. <br />4) Penyakit mental adalah satu noda hitam. Anggapan ini adalah konsepsi yang berlebih-lebihan. Sebab, penyakit mental itu merupakan akibat dari sebab sosial yang lumrah, merupakan produk dari tekanan dari kehidupan sehari-hari, dan umum terjadi. Orang yang sakit mentalnya itu bukannya orang yang “ berdosa “ atau “ bernoda “ .<br />Juga gangguan pada batin itu bukan satu stigma atau noda, ataupun satu peristiwa yang bisa menodai nama baik keluarga. Karena itu para penderitanya tidak sepatutnya mendapat olok-olokkan dan hinaan, karena mereka menderita sakit. Pendapat-pendapat yang mencemoohkan dan menyakitkan hati sudah kuno sebab orang menyangka bahwa penyebab penyakit tersebut adalah roh-roh jahat, demon-demon, syaitan-syaitan, atau dukun-dukun jahat. <br />5) Penyakit mental adalah satu peristiwa tunggal. Tidak, penyakit mental bukanlah satu penyakit yang tunggal. Gangguan mental itu banyak sebabnya, berpariasi, kompleks dan saling kait mengakit satu sama lain misalnya : ganguan psikoneurosa biasanya bertalian dengan anxiety neurosis, dipenuhi ketakutan-ketakutan yang irriil : dibarengi reaksi dissosiasi terhadap lingkungan, histeria konfersia, fobia-fobia, reaksi-reaksi kompulsif atau obsessif, defresi dan sebagainya.<br />Gangguan terhadap pola kepribadian pada galibnya bergandengan dengan atau paronia, ganguan pada tingkah laku individu bersambungan dengan emosi-emosi yang ekslusif, sikap yang pasif, agresif atau kompulsif, ganguan pribadi yang sosiopatis pada umumnya berkaitan dengan reaksi-reaksi anti sosial, tingkah kau dissosial, penyimpangan-penympangan sosial ( misalnya prostitusi ) dan penyimpangan- penyimpangan sex.<br />6) Sex merupakan sebab dari timbulnya penyakit mental. Inipun merupak pendapat salah. Tingkah laku sex yang abnormal adalah simptom, dan bukan dari sebab maladjusment pribadi yang kompleks dan serius. Dorongan-dorongan sexual itu memang merukan kecendrungan-kecendrungan yang kuat, dan senatiasa mengejar-mengejar manusia. Jika orang yang bersangkutan selalu terhambat atau senantiasa tidak terpuaskan dalam pemenuhan dorongan-dorongan sexsualnya, kejadian sedemikian menyebabkan frustasi. Dan frustasi ini dapat menjadi sumber bagi tekanan-tekanan batin dan komplik-komplik intern yang sangat hebat.<br />Ringkasnya, jiak ada aktifitas sexsual yang ikut serta menjadi penyebab, maka itu berupa rasa bersalah dan rasa-rasa ketakutan, atau rasa berdosa untuk melakukan relasi sex, yang menjadi penyebab timbulnya penyakit mental. Dan bukannya perbuatan sex itu sendiri yang menimbulkan gangguan menta. <br />Ada juga yang menganggap bahwa kesehatan mental dipandang sama dengn krtrnangan batin yang dimaknakan sebagai tidak ada konflik, tidak ada tekanana, hidup tanpa ambisi, pasrah,dan sejenisnya. Konsep-konsep itu untuk memhami pengertian kesehatan mental tidak lah tepat. <br />Pada psikoanalisa, bila motivasi-motivasi libido dan agressi ditahan atau dihalangi maka ia akan menimbulkan respons cara bela diri dalam bentuk, mencari-cari alas an, pembentukn reaksi, selain dari itu ada berbagai penyakit mental yang umum pata teori psikologi di barat yaitu kerisaun, kekecawan dan pertarungan.Abdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-60743604212656017772010-12-29T02:13:00.000-08:002010-12-29T02:14:21.977-08:00Normal dan AbnormalNORMAL DAN ABNORMAL<br /><br />Menggambarkan ciri-ciri tingkah laku yang norma atau sehat biasanya relatif agak sulit dibanding dengan tingkah laku yang tidak normal. Ini disebabkan karena tingkah laku yang normal seringkali kurang mendapatkan perhatian karen tingkah laku tersebut dianggap wajar, sedangkan tingkah laku abnormal biasanya lebih mendapatkan perhatian karena biasanya tidak wajar dan aneh (Siswanto, 2007 :24)<br />Pribadi yang normal itu pada umumnya memiliki mental yang sehat, sedangkan pribadi yang abnormal biasanya juga memiliki mental yang tidak sehat. Namun demikian, pada hakekatnya konsep mengenai normalitas dan abnormalitas itu sangat samar-samar batasnya. Sebab pola kebiasaan dan sikap hidup yang dirasakan normal oleh suatu kelompok tertentu, bisa dianggap abnormal oleh kelompok lainnya. Akan tetapi apabila satu tingkah laku itu begitu mencolok dan sangat berbeda dengan tingkah laku umum (biasa pada umumnya), maka kita akan menyebutnya sebagai abnormal (Kartini kartono, 2000 :6-7)<br />Dilihat dari setiap segi pandang, konsep normalitas-abnormalitas adalah konsep yang bersifat relatif. Penyimpangan dari norma apa pun yang diterima seseorang mungkin begitu kecil atau mungkin begitu mencolok sehingga kelihatan jelas sifat abnormalnya. Tetapi karena tidak ada dikatomi yang tegas, maka normalitas dan abnormalitas sulit dibedakan.<br />Kebanyakan orang menerima bahwa penyesuaian diri yang baik sangat serupa dengan normalitas dan ketidakmampuan menyesuaikan diri sama dengan abnormalitas. Konsep-konsep ini berhubungan erat, tetapi artinya berbeda (Yustinus Semium, 2006 :56)<br />Sehat dan normal seringkali digunakan makna yang sama. Normal mengandung beberapa pengertian. Survei yang dilakukan Offer dan Sabsiro ditemukan lima pengertian normalitas yaitu :<br />1. Tidak adanya gangguan atau kesakitan<br />2. Keadaan yang ideal atau keadaan mental yang positif<br />3. Normal sebagai rata-rata pengertian statistik<br />4. Diterima secara sosial<br />5. Proses berlangsung secara wajar, terutama dalam tahapan perkembangan. (korchin, 1976)<br /><br />Sedangkan secara antropologis, Ackerknecht menyatakan bahwa prilaku dibedakan dalam 4 kategori, yaitu :<br />1. Autopathological, yaitu prilaku abnormal dalam suatu budaya yang ditempati tetapi normal dibudaya lain.<br />2. Autonormal, yaitu prilaku normal budaya yang ditempati tetapi tidak normal untuk budaya yang lain.<br />3. Heteropathologikal, yaitu prilaku abnormal dalam seluruh budaya.<br />4. Heteronormal, yaitu prilaku normal dalam semua budaya. (Marsella dan White, 1984)<br />Didasarkan klasifikasi pengertian normal itu atau kategori prilaku diatas, maka istilah normal tidak selalu berarti sehat. Sehat lebih bermakna pengertian khusus, yaitu keadaan yang ideal atau keadaan mental yang positif. Meskipun itulah normal dapat digunakan untuk menyebut istilah sehat, namun tidak selalu tepat digunakan.<br />Normal secara harfiah berarti “konformitas” dengan suatu norma atau ukuran. Norma atau ukuran itu kerap kali berarti rata-rata dalam istilah statistik. Misalnya, tinggi normal pria indonesia adalah rata-rata 160 cm. Abnormal dalam arti ini adalah penyimpangan jauh dari rata-rata. Salah satu tugas dari statistik adalah mencari suatu angka disekitar mana nilai-nilaidalam suatu distribusi memusat. Angka yang menjadi pusat distribusi disebut “tendensi sentral”. Angka yang menjadi pusat distribusi dalam contoh diatas adalah 160 cm. Dengan demikian, pria indonesia yang tingginya 190 cm dikatakan abnormal.<br />Konsep statistik tentang normal dapat juga diterapkan pada tingkah laku manusia dan penyesuaian diri, tetapi kadang-kadang hasilnya mengejutkan dan membingungkan. Misalnya, menurut keterangan statistik anak laki-laki “rata-rata” telah melakukan masturbasi pada usia 15 tahun dan dari sini disimpulkan bahwa kebiasaan tersebut adalah normal. Kemudian lebih membingungkan lagi kalau ditarik kesimpulan bahwa apa saja normal adalah hal yang kodrati dan mengemukakan bahwa tingkah laku normal dalam pandangan statistik harus diterima tanpa memperhatikan cacat sosial atau moralnya. Ada beberapa contoh dalam pandangan statistik yang mengacu pada kondisi-kondisi yang tidak diinginkan. Misalnya, anak-anak yang berusia 6 tahun adalah normal kalau mengadakan 4 atau 5 tampalan gigi, atau normal bagi bagi rata-rata pria kalau merokok 2 bungkus gudang garam sehari, tetapi apa yang dikatakan normal disini sama sekali tidak diinginkan atau diterima.<br /><br /><br /><br />Pendekatan statistik sudah pasti dapat dipercaya dan berguna apabila yang diukur adalah faktor-faktor yang jelas seperti berat dan tinggi serta intelegensi tetapi dari segi pandangan penyesuaian diri, kesulitan dengan konsep “normal” dalam pandangan statistik ialah normal tersebut diturunkan dari apakah manusia itu atau apakah yang dilakukannya dan bukan dari kriteria untuk tingkah laku adekuat. Mungkin dalam pandangan statistik adalah normal kalau suami-istri bertengkar, tetapi dalam pandangan psikologi adalah jelek.<br />Normalitas dan abnormalitas menurut Norma budaya dan norma pribadi. Dari segi pandangan budaya, tingkah laku dan sikap hidup seseorang dianggap normal atau abnormal tergantung pada lingkungan sosial (budaya) tempat ia tinggal. Masyarakat merupakan pengawas (hakim) yang keras dan kejam terhadap tingkah laku para anggotanya dan tidak membiarkan penyimpangan-penyimpangan tingkah laku dari adat istiadat atau norma umum yang sudah ada. Kebebasan dalam batas yang rasional dari anggotanya bisa diberikan agar ia dapat mengungkapkan dirinya dengan bebas. Tetapi, penyimpangan radikal yang menyebabkan kekacauan pada individu dan orang-orang disekitarnya sangat kejam. Orang yang demikian dianggap sebagai pribadi yang abnormal.<br />Kalau normalitas dan abnormalitas dikaitkan dengan pandangan budaya, maka akibatnya adalah adat kebiasaan dan norma-norma hidup yang dianggap normal oleh kelompok budaya tertentu bisa dianggap abnormal oleh kelompok budaya lain. Atau juga apa yang dianggap abnormal oleh satu generasi atau atau masyarakat beberapa ratus tahun yang lalu mungkin bisa diterima dan dianggap normal oleh masyarakat modern dewasa ini.<br />Misalnya, dalam beberapa budaya halusinasi merupakan petunjuk adanya skizofrenia dan individu yang berhalusinasi akan dirawat dirumah sakit. Tetapi dalam budaya-budaya lain, halusinasi dilihat sebagai suara dewa dan individu yang berhalusinasi diangkat menjadi imam (Murphy, 1976). Dengan demikian dari segi pandangan budaya, abnormalitas didefinisikan menurut norma-norma budaya, dan hak dari individu diabaikan.<br />Tetapi, normalitas juga ditentukan oleh ukuran/norma pribadi. Bila tingkah laku didasarkan pada norma pribadi, maka perhatian dipusatkan kepada :<br />1. Kesukaran (kesulitan) yang dihadapi individu (individu dikatakan abnormal bila ia cemas, tertekan, tidak puas, atau sangat kalut)<br />2. Disabilitas individu (individu dikatakan abnormal bila ia tidak dapat berfungsi secara personal, sosial, fisiologis dan okupasional).<br /><br /><br />Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa kesulitan, disabilitas, dan penyimpangan dapat beperan dalam mendefinisikan tingkah laku abnormal. Kita harus tetap fleksibel berkenaan dengan kriteria yang digunakan dalam menentukan apakah individu tertentu itu abnormal atau tidak. Misalnya, apabila kita hanya menggunakan norma pribadi, maka individu yang bahagia tetapi mengalami halusinasi tidak akan dirawat, dan sebaliknya bila kita hanya menggunakan norma budaya, maka orang yang mengalami depresi tidak mengganggun siapapun akan diabaikan sampai ia berusaha dan berhasil bunuh diri.<br />Terkadang norma personal dan norma kultural bertentangan. Bisa terjadi norma kultural digunakan dan hak-hak dari individu diabaikan. Misalnya, kasus homoseksualitas (di amerika serikat). Praktek homoseksualitas menyimpang dari norma kultural, tetapi kemudian muncul suatu pertanyaan : Apakah kita berhak menyebut orang-orang homoseksual itu “abnormal” karena preferensi seksual mereka? Sudah bertahun-tahun homoseksualitas disebut “abnormal”, tetapi pada tahun 1980 di Amerika Serikat, hal tersebut dipertimbangkan lagi oleh panel para ahli dalam Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders yang memutuskan tingkah laku-tingkah laku seperti apakah yang akan didaftar, dan mereka telah memutuskan bahwa homoseksualitas bukan gangguan mental, kecuali individu tidak merasa bahagia terhadap preferensi seksualnya.<br />Hal ini dipertimbangkan lagi pada tahun1987, dan homoseksualitas tidak dianggap sebagai gangguan abnormal. Dengan demikian dalam kasus homoseksualitas, hak-hak dari individu lebih diutamakan daripada norma-norma kultural. Dengan tidak mengabaikan norma kultural dan norma personal seperti yang dikemukakan diatas. Tingkah laku abnormal mungkin dapat didefinisikan sebagai tingkah laku yang menyulitkan atau melumpuhkan pribadi orang itu sendiri atau secara kultural begitu menyimpang sehingga orang lain menilai tingkah laku itu tidak tepat atau maladaptif.<br />Pribadi normal dengan mental yang sehat akan bertingkah laku adekuat (serasi, tepat) dan bisa diterma oleh masyarakat pada umumnya. Sikap hidupnya sesuai dengan norma dan pola hidup kelompok masyarakat, sehingga ada relasi interpersonal dan intersosial yang memuaskan. Pribadi yang normal dengan mental sehat itu secara relatif dekat sekali dengan Integritas jasmaniah-rokhaniah yang ideal . Kehidupan psikisnya stabil, tidak banyak memendam konflikinternal, suasana hatinya tenang, imbang dan jasmaninya selalu sehat.<br />Sebaliknya pribadi abnormal dengan mental yang tidak hygienis/sehat mempunyai atribut sebagai berikut. Secara relatif mereka itu jauh daripada status integrasi, dan punya atribut “inferior” dan “superior”. Kompleks-kompleks inferior ini misalnya kita temukan pada para penderita, psikosa, neurosa, dan psikopat.<br />Sedangkan gejala kompleks-kompleks superior terdapat pada kaum idiot savant, yaitu para ilmuwan atau cerdik pandai yang luar biasa pandainya, namun bersifat idiot. Mereka memiliki derajat intelagensi sangat tinggi atau supernormal, memiliki bakat-bakat yang luar biasa. Misalnya dibidang seni, musik, matematika, teknik, ilmu pengetahuan alam, keterampilan tangn dan lain-lain. Akan tetapi mereka mengidap defek atau defisiensi mental secara total, sehingga tingkah lakunya aneh, kejam, sadis, atau sangat abnormal.<br />Pribadi abnormal pada umumnya dihinggapi gangguan mental, baik yang tunggal atau pun yang ganda, dengan kelainan-kelainan atau abnormalitas pada mentalnya, selalu diliputi banyak konflik batin, jiwanya miskin atau tidak stabil, tidak punya perhatian pada lingkungan sekitar, terpisah hidupnya dari masyarakat, dan selalu merasa gelisah, takut, biasanya mereka itu pun suka sakit-sakitan.<br />Ciri-ciri individu yang normal atau sehat (Warga, 1983) pada umunya adalah sebagai berikut :<br />1. Bertingkah laku menurut norma-norma sosial yang diakui.<br />2. Mampu mengelola emosi.<br />3. Mampu mengaktualkan potensi-potensi yang dimiliki<br />4. Dapat mengikuti kebiasaan-kebiasaan sosial<br />5. Dapat mengenali resiko dari setiap perbuatan dan kemampuan tersebut digunakan untuk menuntut tingkah lakunya.<br />6. Mampu menunda keinginan sesaat untuk mencaoai tujuan jangka panjang.<br />7. Mampu belajar dari pengalaman<br />8. Biasanya gembira.<br />Harber dan Runyon (1984), menyebutkan sejumlah ciri individu yang bisa dikelompokkan sebagai normal adalah sebagai berikut :<br />1. Sikap terhadap diri sendiri. Mampu menerima diri sendiri apa adanya, memiliki identitas diri yang jelas, mampu menilai kelebihan dan kekukarangan diri sendiri secara realitis.<br />2. Persepsi terhadap realita. Pandangan yang realistis terhadap diri sendiri dan dunia sekitar yang meliputi orang lain maupun segala sesuatunya.<br />3. Integrasi. Kepribadian yang menyatu dan harmonis, bebas dari konflik-konflik batin yang mengakibatkan ketidakmampuan dan memiliki toleransi yang baik terhadap setres.<br />4. Kompetensi. Mengembangkan keterampilan mendasar berkaitan dengan aspek fisik, intelektual, emosional, dan sosial untuk dapat melakukan koping terhadap masalah-masalah kehidupan.<br />5. Otonomi. Memiliki ketetapan diri yang kuat, bertanggung jawab, dan penentuan diri dan memiliki kebebasan yang cukup terhadap pengaruh soaial.<br />6. Pertumbuhan dan aktualisasi diri. Mengembangkan kecenderungan kearah peningkatan kematangan, pengembangan potensi, dan pemenuhan diri sebagai seorang pribadi.<br />7. Relasi interpersonal. Kemampuan untuk membentuk dan memelihara relasi interpersonal yang intim.<br />8. Tujuan hidup. Tidak terlalu kaku untuk mencapai kesempurnaan, tetapi membuat tujuan yang realistis dan masih didalam kemampuan individu.<br />Deskriptif tentang pribadi normal dengan mental yang sehat diuraikan dalam satu daftar kriteria oleh Maslow and Mittelmann dalam bukunya “Principles of Abnormal Psychology”. Yang esensinya kami kutip sebagai berikut :<br />1. Memiliki rasa aman (sense of secirity) yang tepat, mampu berkontak dengan orang lain dalam bidang kerja, ditengah pergaulan (medan sosial) dan dalam lingkungan keluarga.<br />2. Memiliki penilaian-diri/self-evaluation dan wawasan diri yang rasional, dengan rasa harga diri yang sedang, cukup, tidak berlebihan. Memiliki rasa sehat secara moril, dan tidak dihinggapi rasa-rasa berdosa atau bersalah. Bisa menilai prilaku orang lain yang a-sosial dan non-manusiawi sebagai gejala masyarakat yang “menyimpang”.<br />3. Punya spontanitas dan emosionalitas yang tepat. Dia mampu menjalin relasi yang erat, kuat dan lama. Seperti persahabatan, komunikasi sosial, dan relasi cinta. Jarang kehilangan kontrol terhadap diri sendiri, penuh tenggang rasa terhadap pengalaman orang lain. Dia bisa tertawa dan bergembira secara bebas, dan mampu menghayati penderitaan dan kedukaan tanpa lupa diri.<br />4. Mempunyai kontak dengan realitas sedara efisien, tanpa ada fantasi dan angan-angan yang berlebihan. Pandangan hidupnya realistis dan cukup luas. Dengan besar hati dia sanggup menerima segala cobaan hidup, kejutan-kejutan mental, serta nasib buruk lainnya. Dia memiliki kontak yang riil dan efisien dengan diri sendiri. Mudah melakukan adaptasi, atau mengasimilasikan diri jika lingkungan sosial atau dunia luar memang tidak bisa diubah oleh dirinya. Dia bisa menjalin “cooperation with the inevitable” yaitu bersifat kooperatif terhadap keadaan yang tidak bisa ditolaknya.<br />5. Memiliki dorongan dengan nafsu-nafsu jasmaniah yang sehat, dan mampu memuaskannya dengan cara yang sehat, namun dia tetap tidak bisa diperbudak oleh nmafsunya sendiri. Dia mampu menikmati kesenangan hidup (makan, minum, rekreasi), dan bisa cepat piluh dari kelelahan. Nafsu seknya cukup sehat, bisa memenuhi kebutuhan seks dengan wajar, tanpa terbebani rasa takut dan berdosa. Dia bergairah untuk bekerja, dan dengan tabah menghadapi segalakegagalan.<br />6. Mempunyai pengetahuan diri yang cukup, dengan motif-motif hidup yang sehat dan kesadaran tinggi. Dia cukup realistis, karena bisa membatasi ambisi-ambisi dalam batas kenormalan. Juga patuh terhadap pantangan-pantangan pribadi dan yang sosial. Dia bisa melakukan kompensasi yang positif, mampu menghindari mekanisme pembelaan diri yang negatif sejauh mungkin dan bisa menyalurkan rasa inferiornya.<br />7. Memiliki tujuan hidup yang tepat yang bisa dicapai dengan kemampuan sendiri, sebab sifatnya wajar dan realistis, ditambah dengan keuletan mengejarnya, demi kemanfaatan bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya.<br />8. Memiliki kemampuan belajar dari pengalaman hidupnya, yaitu mengolah dan menerima pengalamannya dengan sikap yang luwes. Dia bisa menilai batas kekuatan sendiri dan situasi yang dihadapi guna meraih sukses. Akan dihindari semua teknik pembenaran-diri dan pelarian-diri yang tidak sehat, dan ia sanggup memperbaiki metode kerjanya agar lebih efisien dan lebih produktif.<br />9. Ada kesanggupan untuk memuaskan, tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan dari kelompoknya sebab dia konfrom dengan yang lain (tidak terlalu berbeda dan tidak menyimpang). Dia bisa mengikut adat, tatacara dan norma-norma kelompok sendiri. Dia akan tetap memperlihatkan rasa persahabatan, tanggungjawab, loyalitas dan melakukan aktifitas rekreasi yang sehat dengan anggota lainnya.<br />10. Ada sikap emansipasi yang sehat terdapat kelompoknya dan terdapat kebudayaan, namun tetap dia memiliki originalitas dan individualitas yang khas, sebab ia mampu membedakan yang baik dari yang buruk. Dia menyadari adanya kebebasan yang terbatas dalam kelompoknya, tanpa memilikinya kesombongan, kemunafikan, dan usaha mencari muka, dan tanpa ada hasrat menonjolkan diri terlalu kedepan. Lagi pula dia memiliki derajat apresiasi dan toleransi yang cukup besar terhadap kebudayaan bangsanya dan terhadap perubahan-perubahan sosial.<br />11. Ada integritas dalam kepribadianya yaitu kebulatan unsur jasmaniah dan rokhaniahnya. Dia mudah mengadakan asimilasi dan adaptasi terhadap perubahan yang serba cepat, dan punya minat pada macam-macam aktifitas. Dia juga punya moralitas dan kesadaran yang tidak kaku, namun dia tetap memiliki daya konsentrasi terhadap satu usaha yang diminati. Juga tidak ada konflik-konflik serius dalam dirinya, dan tanpa diganggu oleh dissosiasi terhadap lingkungan sosialnya. (Kartini Kartono, 2000)<br />Dengan sendirinya semua kriteria yang dikemukakan oleh Maslow c.s. itu merupakan ukuran ideal, atau merupakan standar yang relatif sangat tinggi. Dan seorang yang normal pun tidak akan bisa diharapkan memenuhi secara mutlak kriteria tadi. Sebab setiap individu pasti punya kekurangan dan kelemahan dalam struktur kepribadiannya. Namun demikian dia tetap memiliki mental yang sehat, sehingga bisa digolongkan dalam klas manusia normal. <br />Sebaliknya, jika seorang itu terlalu jauh menyimpang dari kriteria tersebut diatas, dan banyak segi-segi karakteristiknya yang devisien (rusak, tidak efisien) maka pribadi tadi bisa digolongkan dalam kelompok pribadi abnormal. Selanjutnya, pribadi normal dengan mental yang sehat itu selalu memperlihatkan reaksi-reaksi personal yang cocok, tepat terhadap stimulasi eksternal. Karena itu reaksi-reaksi kenormalan pada tingkat psikologis dan sosial biasanya diukur dengan kelakuan individu ditengah kelompok tempat hidupnya. Reaksi tersebut disebut normal, bila tepat dan sesuai dengan ide dan pola tingkah laku kelompok, dan cocok dengan kesejahteraan umum dan kemajuan/progres. Karena itu normalitas/kesehatan mental ditandai oleh :<br />1. Integrasi kejiwaan<br />2. Kesesuaian tingkah laku sendiri dengan tingkah laku sosial<br />3. Adanya kesanggupan melaksanakan tugas-tugas hidup dan tanggungjawab sosial<br />4. Efisien dalam menanggapi realitas hidup.<br />Pada umumnya ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang termasuk kedalam kategori sehat secara mental ataukah tidak.<br />a. Pendekatan Statistik<br />Pendekatan ini beranggapan bahwa orang yang sehat secara mental/normal adalah orang yang melakukan tingkah laku yang umumnya dilakukan oleh banyak orang lainnya. Atau dengan kata lain, suatu tingkah laku disebut sehat bila tingkah laku tersebut memiliki frekuensi kemunculan yang tinggi dalam populasi. Sebaliknya, orang yang bertingkah laku tidak seperti tingkah laku kebanyakan orang dianggap sebagai orang yang tidak normal atau tidak sehat.<br />Sepintas pendekatan ini terlihat benar, namun bila difikirkan secara mendalam, tampak beberapa kelemahannya. Ada tingkah laku yang jarang dimilki oleh orang kebanyakan tapi tetap dianggap normal atau sehat. Misalnya mampu berbicara dalam 5 bahasa. Jarang ada orang yang memiliki kemampuan tersebut, namun orang yang memilikinya dianggap sebagai normal. Atau misalnya orang yang mampu berjalan diatas api tanpa terbakar, tetap dianggap sebagai orang yang sehat atu normal.<br />Sebaliknya, ada tingkah laku yang sebenarnya tidak sehat tetapi dilakukan oleh banyak orang. Misalnya merokok, tingkah laku merokok tergolong kedalam tingkah laku tidak sehat atau tidak normal, namun dilakukan oleh banyak orang.<br />b. Pendekatan Normatif<br />Pendekatan ini melihat orang secara sehat mental apakah tingkah laku orang tersebut menyimpang dari norma sosial yang berlaku dimasyarakat ataukah tidak. Tolak ukur yang dipakai dalam pendekatan ini adalah norma-norma yang berlaku dimasyarakat.<br />Orang yang mampu menyesuaikan diri dengan norma masyarakatnya dianggap sebagai orang yang memiliki kesehatan mental yang baik. Sementara orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan norma sekitarnya dianggap memiliki kesehatan mental yang buruk.<br />Pendekatan ini pun memiliki kelemahan, ada tingkah laku yang sebetulnya menyimpang dari norma yang ada tetapi dianggap sebagai normal. Misalnya tingkah laku homoseksual. Masyarakat barat sekarang ini menganggap prilaku homoseksul bukan lagi dikategorikan sebagai penyimpangan seks. Prilaku korupsi yang terjadi dinegara kita pada semua lapisan birokrasi, sekarang ini dianggap sebagai prilaku yang normal. Sebaliknya, orang yang tetap berusaha berprilaku jujur malah dianggap sebagai orang yang tidak normal dan bahkan “tidak sehat”.<br />c. Pendekatan Distress Subjektif<br />Pendekatan ini beranggapan orang dianggap normal atau sehat bila dia merasa sehat atau tidak ada persoalan dan tekanan yang menggangunya.<br />Kelemahan pendekatan ini adalah karena menekankan pada subjektifitas individu mengakibatkan tidak ada ukuran yang pasti sehingga semuanya menjadi serba relatif. Tergantung situasi yang dihadapi. Contohnya bila orang tiba-tiba berbicara terus menerus tanpa diketahui arti dimuka umum, maka dia dianggap sedang sakit atau terganggu dan tidak normal. Namun bila prilaku tersebut dimunculkan pada suatu ritual keagamaan, prilaku tersebut dianggap wajar dan normal.<br />d. Pendekatan Fungsi/Peranan Sosial<br />Pendekatan ini melihat normal atau sehat tidaknya seseorang berdasarkan mampu atau tidaknya orang tersebut menjalankan kegiatan hariannya. Orang dianggap sehat atau normal bila dia mampu menjalankan fungsi dan peranannya dalam masyarakat dan tidak mengalami gangguan dalam menjalankan tugas-tugas harioannya.<br /><br />Kelemahan pendekatan ini adalah tidak semua orang bisa dikatakan normal meskipun dia mampu menjalankan fungsi dan perannya. Misalnya penderita gangguan bipolar (manis depresif). Pada saat orang yang bersangkutan mengalami episode mania, dia mungkin menjadi bersemangat dan mampu melakukan berbagai aktifitas dengan baik, padahal sebenarnya ia sedang terganggu.<br />e. Pendekatan Interpersonal<br />Pendekatan ini melihat normal atau sehat tidaknya seseorang atau apakah orang tersebut mampu menyesuaikan diri dilihat berdasarkan kemampuan seseorang untuk menjalin hubungan yang interpersonal dengan orang lain. Menurut pendekatan in, orang dikatakan sehat dan mampu menyesuaikan diri dengan dengan baik bila dia mampu menjalin relasi dengan orang lain dan tidak menarik diri dari orang lain.<br />Pendekatan ini pun memiliki kelemahan. Tidak selalu orang yang menyendiri itu tidak sehat atau tidak normal dan tidak mampu menyesuaiklan diri. Terkadang kesendirian itu penting supaya orang mampu menahani diri sendiri dengan lebih baik atau juga sebagai kesempatan untuk memulihkan diri. Juga tidak selalu orang yang mampu menjalin relasi dengan orang lain merupakan orang yang sehat. Misalnya bagi individu yang mengalami gangguan siklotimia, yaitu gangguan semacam manis depresi tetapi yang ayunan suasana perasaan tidak ekstrim. Penderitanya biasanya tidak bisa terpisah dari orang lain, baik episode hipomania maupun pada episode overaktif. Hal ini terutama disebabkan karena energi mereka berklaitan dengan lingkungannya.<br />Berbagai pendekatan diatas menunjukkan kesulitan yang muncul untuk memberi arti apa yang dimaksud dengan sehat secara mental. Kesehatan mental tidak hanya sekedar dipahami sebagai kemampuan untuk tahan dalam kondisi tekanan (setres) yang tinggi. Kesehatan mental juga tidak bisa dipahami hanya sebagai kemampuan untuk melakukan penyesuaian siri yang baik saja. Banyak orang yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan tapi mereka belum bisa dikatan sehat secara mental. (Siswanto, 2007)<br /><br />Tugas : Ujian Kesehatan Mental<br />Dosen: M.Fahli Zatra Hadi, S.Sos.I<br />NAMA KELOMPOK 4 :<br />INDAH PRATIWIE<br />MAYSAROH<br />ILHAMDIAbdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-50521684641706336602010-12-29T02:04:00.000-08:002010-12-29T02:11:05.025-08:00Normal dan AbnormalNORMAL DAN ABNORMAL<br /><br />Menggambarkan ciri-ciri tingkah laku yang norma atau sehat biasanya relatif agak sulit dibanding dengan tingkah laku yang tidak normal. Ini disebabkan karena tingkah laku yang normal seringkali kurang mendapatkan perhatian karen tingkah laku tersebut dianggap wajar, sedangkan tingkah laku abnormal biasanya lebih mendapatkan perhatian karena biasanya tidak wajar dan aneh (Siswanto, 2007 :24)<br />Pribadi yang normal itu pada umumnya memiliki mental yang sehat, sedangkan pribadi yang abnormal biasanya juga memiliki mental yang tidak sehat. Namun demikian, pada hakekatnya konsep mengenai normalitas dan abnormalitas itu sangat samar-samar batasnya. Sebab pola kebiasaan dan sikap hidup yang dirasakan normal oleh suatu kelompok tertentu, bisa dianggap abnormal oleh kelompok lainnya. Akan tetapi apabila satu tingkah laku itu begitu mencolok dan sangat berbeda dengan tingkah laku umum (biasa pada umumnya), maka kita akan menyebutnya sebagai abnormal (Kartini kartono, 2000 :6-7)<br />Dilihat dari setiap segi pandang, konsep normalitas-abnormalitas adalah konsep yang bersifat relatif. Penyimpangan dari norma apa pun yang diterima seseorang mungkin begitu kecil atau mungkin begitu mencolok sehingga kelihatan jelas sifat abnormalnya. Tetapi karena tidak ada dikatomi yang tegas, maka normalitas dan abnormalitas sulit dibedakan.<br />Kebanyakan orang menerima bahwa penyesuaian diri yang baik sangat serupa dengan normalitas dan ketidakmampuan menyesuaikan diri sama dengan abnormalitas. Konsep-konsep ini berhubungan erat, tetapi artinya berbeda (Yustinus Semium, 2006 :56)<br />Sehat dan normal seringkali digunakan makna yang sama. Normal mengandung beberapa pengertian. Survei yang dilakukan Offer dan Sabsiro ditemukan lima pengertian normalitas yaitu :<br />1. Tidak adanya gangguan atau kesakitan<br />2. Keadaan yang ideal atau keadaan mental yang positif<br />3. Normal sebagai rata-rata pengertian statistik<br />4. Diterima secara sosial<br />5. Proses berlangsung secara wajar, terutama dalam tahapan perkembangan. (korchin, 1976)<br /><br />Sedangkan secara antropologis, Ackerknecht menyatakan bahwa prilaku dibedakan dalam 4 kategori, yaitu :<br />1. Autopathological, yaitu prilaku abnormal dalam suatu budaya yang ditempati tetapi normal dibudaya lain.<br />2. Autonormal, yaitu prilaku normal budaya yang ditempati tetapi tidak normal untuk budaya yang lain.<br />3. Heteropathologikal, yaitu prilaku abnormal dalam seluruh budaya.<br />4. Heteronormal, yaitu prilaku normal dalam semua budaya. (Marsella dan White, 1984)<br />Didasarkan klasifikasi pengertian normal itu atau kategori prilaku diatas, maka istilah normal tidak selalu berarti sehat. Sehat lebih bermakna pengertian khusus, yaitu keadaan yang ideal atau keadaan mental yang positif. Meskipun itulah normal dapat digunakan untuk menyebut istilah sehat, namun tidak selalu tepat digunakan.<br />Normal secara harfiah berarti “konformitas” dengan suatu norma atau ukuran. Norma atau ukuran itu kerap kali berarti rata-rata dalam istilah statistik. Misalnya, tinggi normal pria indonesia adalah rata-rata 160 cm. Abnormal dalam arti ini adalah penyimpangan jauh dari rata-rata. Salah satu tugas dari statistik adalah mencari suatu angka disekitar mana nilai-nilaidalam suatu distribusi memusat. Angka yang menjadi pusat distribusi disebut “tendensi sentral”. Angka yang menjadi pusat distribusi dalam contoh diatas adalah 160 cm. Dengan demikian, pria indonesia yang tingginya 190 cm dikatakan abnormal.<br />Konsep statistik tentang normal dapat juga diterapkan pada tingkah laku manusia dan penyesuaian diri, tetapi kadang-kadang hasilnya mengejutkan dan membingungkan. Misalnya, menurut keterangan statistik anak laki-laki “rata-rata” telah melakukan masturbasi pada usia 15 tahun dan dari sini disimpulkan bahwa kebiasaan tersebut adalah normal. Kemudian lebih membingungkan lagi kalau ditarik kesimpulan bahwa apa saja normal adalah hal yang kodrati dan mengemukakan bahwa tingkah laku normal dalam pandangan statistik harus diterima tanpa memperhatikan cacat sosial atau moralnya. Ada beberapa contoh dalam pandangan statistik yang mengacu pada kondisi-kondisi yang tidak diinginkan. Misalnya, anak-anak yang berusia 6 tahun adalah normal kalau mengadakan 4 atau 5 tampalan gigi, atau normal bagi bagi rata-rata pria kalau merokok 2 bungkus gudang garam sehari, tetapi apa yang dikatakan normal disini sama sekali tidak diinginkan atau diterima.<br /><br /><br /><br />Pendekatan statistik sudah pasti dapat dipercaya dan berguna apabila yang diukur adalah faktor-faktor yang jelas seperti berat dan tinggi serta intelegensi tetapi dari segi pandangan penyesuaian diri, kesulitan dengan konsep “normal” dalam pandangan statistik ialah normal tersebut diturunkan dari apakah manusia itu atau apakah yang dilakukannya dan bukan dari kriteria untuk tingkah laku adekuat. Mungkin dalam pandangan statistik adalah normal kalau suami-istri bertengkar, tetapi dalam pandangan psikologi adalah jelek.<br />Normalitas dan abnormalitas menurut Norma budaya dan norma pribadi. Dari segi pandangan budaya, tingkah laku dan sikap hidup seseorang dianggap normal atau abnormal tergantung pada lingkungan sosial (budaya) tempat ia tinggal. Masyarakat merupakan pengawas (hakim) yang keras dan kejam terhadap tingkah laku para anggotanya dan tidak membiarkan penyimpangan-penyimpangan tingkah laku dari adat istiadat atau norma umum yang sudah ada. Kebebasan dalam batas yang rasional dari anggotanya bisa diberikan agar ia dapat mengungkapkan dirinya dengan bebas. Tetapi, penyimpangan radikal yang menyebabkan kekacauan pada individu dan orang-orang disekitarnya sangat kejam. Orang yang demikian dianggap sebagai pribadi yang abnormal.<br />Kalau normalitas dan abnormalitas dikaitkan dengan pandangan budaya, maka akibatnya adalah adat kebiasaan dan norma-norma hidup yang dianggap normal oleh kelompok budaya tertentu bisa dianggap abnormal oleh kelompok budaya lain. Atau juga apa yang dianggap abnormal oleh satu generasi atau atau masyarakat beberapa ratus tahun yang lalu mungkin bisa diterima dan dianggap normal oleh masyarakat modern dewasa ini.<br />Misalnya, dalam beberapa budaya halusinasi merupakan petunjuk adanya skizofrenia dan individu yang berhalusinasi akan dirawat dirumah sakit. Tetapi dalam budaya-budaya lain, halusinasi dilihat sebagai suara dewa dan individu yang berhalusinasi diangkat menjadi imam (Murphy, 1976). Dengan demikian dari segi pandangan budaya, abnormalitas didefinisikan menurut norma-norma budaya, dan hak dari individu diabaikan.<br />Tetapi, normalitas juga ditentukan oleh ukuran/norma pribadi. Bila tingkah laku didasarkan pada norma pribadi, maka perhatian dipusatkan kepada :<br />1. Kesukaran (kesulitan) yang dihadapi individu (individu dikatakan abnormal bila ia cemas, tertekan, tidak puas, atau sangat kalut)<br />2. Disabilitas individu (individu dikatakan abnormal bila ia tidak dapat berfungsi secara personal, sosial, fisiologis dan okupasional).<br /><br /><br />Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa kesulitan, disabilitas, dan penyimpangan dapat beperan dalam mendefinisikan tingkah laku abnormal. Kita harus tetap fleksibel berkenaan dengan kriteria yang digunakan dalam menentukan apakah individu tertentu itu abnormal atau tidak. Misalnya, apabila kita hanya menggunakan norma pribadi, maka individu yang bahagia tetapi mengalami halusinasi tidak akan dirawat, dan sebaliknya bila kita hanya menggunakan norma budaya, maka orang yang mengalami depresi tidak mengganggun siapapun akan diabaikan sampai ia berusaha dan berhasil bunuh diri.<br />Terkadang norma personal dan norma kultural bertentangan. Bisa terjadi norma kultural digunakan dan hak-hak dari individu diabaikan. Misalnya, kasus homoseksualitas (di amerika serikat). Praktek homoseksualitas menyimpang dari norma kultural, tetapi kemudian muncul suatu pertanyaan : Apakah kita berhak menyebut orang-orang homoseksual itu “abnormal” karena preferensi seksual mereka? Sudah bertahun-tahun homoseksualitas disebut “abnormal”, tetapi pada tahun 1980 di Amerika Serikat, hal tersebut dipertimbangkan lagi oleh panel para ahli dalam Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders yang memutuskan tingkah laku-tingkah laku seperti apakah yang akan didaftar, dan mereka telah memutuskan bahwa homoseksualitas bukan gangguan mental, kecuali individu tidak merasa bahagia terhadap preferensi seksualnya.<br />Hal ini dipertimbangkan lagi pada tahun1987, dan homoseksualitas tidak dianggap sebagai gangguan abnormal. Dengan demikian dalam kasus homoseksualitas, hak-hak dari individu lebih diutamakan daripada norma-norma kultural. Dengan tidak mengabaikan norma kultural dan norma personal seperti yang dikemukakan diatas. Tingkah laku abnormal mungkin dapat didefinisikan sebagai tingkah laku yang menyulitkan atau melumpuhkan pribadi orang itu sendiri atau secara kultural begitu menyimpang sehingga orang lain menilai tingkah laku itu tidak tepat atau maladaptif.<br />Pribadi normal dengan mental yang sehat akan bertingkah laku adekuat (serasi, tepat) dan bisa diterma oleh masyarakat pada umumnya. Sikap hidupnya sesuai dengan norma dan pola hidup kelompok masyarakat, sehingga ada relasi interpersonal dan intersosial yang memuaskan. Pribadi yang normal dengan mental sehat itu secara relatif dekat sekali dengan Integritas jasmaniah-rokhaniah yang ideal . Kehidupan psikisnya stabil, tidak banyak memendam konflikinternal, suasana hatinya tenang, imbang dan jasmaninya selalu sehat.<br />Sebaliknya pribadi abnormal dengan mental yang tidak hygienis/sehat mempunyai atribut sebagai berikut. Secara relatif mereka itu jauh daripada status integrasi, dan punya atribut “inferior” dan “superior”. Kompleks-kompleks inferior ini misalnya kita temukan pada para penderita, psikosa, neurosa, dan psikopat.<br />Sedangkan gejala kompleks-kompleks superior terdapat pada kaum idiot savant, yaitu para ilmuwan atau cerdik pandai yang luar biasa pandainya, namun bersifat idiot. Mereka memiliki derajat intelagensi sangat tinggi atau supernormal, memiliki bakat-bakat yang luar biasa. Misalnya dibidang seni, musik, matematika, teknik, ilmu pengetahuan alam, keterampilan tangn dan lain-lain. Akan tetapi mereka mengidap defek atau defisiensi mental secara total, sehingga tingkah lakunya aneh, kejam, sadis, atau sangat abnormal.<br />Pribadi abnormal pada umumnya dihinggapi gangguan mental, baik yang tunggal atau pun yang ganda, dengan kelainan-kelainan atau abnormalitas pada mentalnya, selalu diliputi banyak konflik batin, jiwanya miskin atau tidak stabil, tidak punya perhatian pada lingkungan sekitar, terpisah hidupnya dari masyarakat, dan selalu merasa gelisah, takut, biasanya mereka itu pun suka sakit-sakitan.<br />Ciri-ciri individu yang normal atau sehat (Warga, 1983) pada umunya adalah sebagai berikut :<br />1. Bertingkah laku menurut norma-norma sosial yang diakui.<br />2. Mampu mengelola emosi.<br />3. Mampu mengaktualkan potensi-potensi yang dimiliki<br />4. Dapat mengikuti kebiasaan-kebiasaan sosial<br />5. Dapat mengenali resiko dari setiap perbuatan dan kemampuan tersebut digunakan untuk menuntut tingkah lakunya.<br />6. Mampu menunda keinginan sesaat untuk mencaoai tujuan jangka panjang.<br />7. Mampu belajar dari pengalaman<br />8. Biasanya gembira.<br />Harber dan Runyon (1984), menyebutkan sejumlah ciri individu yang bisa dikelompokkan sebagai normal adalah sebagai berikut :<br />1. Sikap terhadap diri sendiri. Mampu menerima diri sendiri apa adanya, memiliki identitas diri yang jelas, mampu menilai kelebihan dan kekukarangan diri sendiri secara realitis.<br />2. Persepsi terhadap realita. Pandangan yang realistis terhadap diri sendiri dan dunia sekitar yang meliputi orang lain maupun segala sesuatunya.<br />3. Integrasi. Kepribadian yang menyatu dan harmonis, bebas dari konflik-konflik batin yang mengakibatkan ketidakmampuan dan memiliki toleransi yang baik terhadap setres.<br />4. Kompetensi. Mengembangkan keterampilan mendasar berkaitan dengan aspek fisik, intelektual, emosional, dan sosial untuk dapat melakukan koping terhadap masalah-masalah kehidupan.<br />5. Otonomi. Memiliki ketetapan diri yang kuat, bertanggung jawab, dan penentuan diri dan memiliki kebebasan yang cukup terhadap pengaruh soaial.<br />6. Pertumbuhan dan aktualisasi diri. Mengembangkan kecenderungan kearah peningkatan kematangan, pengembangan potensi, dan pemenuhan diri sebagai seorang pribadi.<br />7. Relasi interpersonal. Kemampuan untuk membentuk dan memelihara relasi interpersonal yang intim.<br />8. Tujuan hidup. Tidak terlalu kaku untuk mencapai kesempurnaan, tetapi membuat tujuan yang realistis dan masih didalam kemampuan individu.<br />Deskriptif tentang pribadi normal dengan mental yang sehat diuraikan dalam satu daftar kriteria oleh Maslow and Mittelmann dalam bukunya “Principles of Abnormal Psychology”. Yang esensinya kami kutip sebagai berikut :<br />1. Memiliki rasa aman (sense of secirity) yang tepat, mampu berkontak dengan orang lain dalam bidang kerja, ditengah pergaulan (medan sosial) dan dalam lingkungan keluarga.<br />2. Memiliki penilaian-diri/self-evaluation dan wawasan diri yang rasional, dengan rasa harga diri yang sedang, cukup, tidak berlebihan. Memiliki rasa sehat secara moril, dan tidak dihinggapi rasa-rasa berdosa atau bersalah. Bisa menilai prilaku orang lain yang a-sosial dan non-manusiawi sebagai gejala masyarakat yang “menyimpang”.<br />3. Punya spontanitas dan emosionalitas yang tepat. Dia mampu menjalin relasi yang erat, kuat dan lama. Seperti persahabatan, komunikasi sosial, dan relasi cinta. Jarang kehilangan kontrol terhadap diri sendiri, penuh tenggang rasa terhadap pengalaman orang lain. Dia bisa tertawa dan bergembira secara bebas, dan mampu menghayati penderitaan dan kedukaan tanpa lupa diri.<br />4. Mempunyai kontak dengan realitas sedara efisien, tanpa ada fantasi dan angan-angan yang berlebihan. Pandangan hidupnya realistis dan cukup luas. Dengan besar hati dia sanggup menerima segala cobaan hidup, kejutan-kejutan mental, serta nasib buruk lainnya. Dia memiliki kontak yang riil dan efisien dengan diri sendiri. Mudah melakukan adaptasi, atau mengasimilasikan diri jika lingkungan sosial atau dunia luar memang tidak bisa diubah oleh dirinya. Dia bisa menjalin “cooperation with the inevitable” yaitu bersifat kooperatif terhadap keadaan yang tidak bisa ditolaknya.<br />5. Memiliki dorongan dengan nafsu-nafsu jasmaniah yang sehat, dan mampu memuaskannya dengan cara yang sehat, namun dia tetap tidak bisa diperbudak oleh nmafsunya sendiri. Dia mampu menikmati kesenangan hidup (makan, minum, rekreasi), dan bisa cepat piluh dari kelelahan. Nafsu seknya cukup sehat, bisa memenuhi kebutuhan seks dengan wajar, tanpa terbebani rasa takut dan berdosa. Dia bergairah untuk bekerja, dan dengan tabah menghadapi segalakegagalan.<br />6. Mempunyai pengetahuan diri yang cukup, dengan motif-motif hidup yang sehat dan kesadaran tinggi. Dia cukup realistis, karena bisa membatasi ambisi-ambisi dalam batas kenormalan. Juga patuh terhadap pantangan-pantangan pribadi dan yang sosial. Dia bisa melakukan kompensasi yang positif, mampu menghindari mekanisme pembelaan diri yang negatif sejauh mungkin dan bisa menyalurkan rasa inferiornya.<br />7. Memiliki tujuan hidup yang tepat yang bisa dicapai dengan kemampuan sendiri, sebab sifatnya wajar dan realistis, ditambah dengan keuletan mengejarnya, demi kemanfaatan bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya.<br />8. Memiliki kemampuan belajar dari pengalaman hidupnya, yaitu mengolah dan menerima pengalamannya dengan sikap yang luwes. Dia bisa menilai batas kekuatan sendiri dan situasi yang dihadapi guna meraih sukses. Akan dihindari semua teknik pembenaran-diri dan pelarian-diri yang tidak sehat, dan ia sanggup memperbaiki metode kerjanya agar lebih efisien dan lebih produktif.<br />9. Ada kesanggupan untuk memuaskan, tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan dari kelompoknya sebab dia konfrom dengan yang lain (tidak terlalu berbeda dan tidak menyimpang). Dia bisa mengikut adat, tatacara dan norma-norma kelompok sendiri. Dia akan tetap memperlihatkan rasa persahabatan, tanggungjawab, loyalitas dan melakukan aktifitas rekreasi yang sehat dengan anggota lainnya.<br />10. Ada sikap emansipasi yang sehat terdapat kelompoknya dan terdapat kebudayaan, namun tetap dia memiliki originalitas dan individualitas yang khas, sebab ia mampu membedakan yang baik dari yang buruk. Dia menyadari adanya kebebasan yang terbatas dalam kelompoknya, tanpa memilikinya kesombongan, kemunafikan, dan usaha mencari muka, dan tanpa ada hasrat menonjolkan diri terlalu kedepan. Lagi pula dia memiliki derajat apresiasi dan toleransi yang cukup besar terhadap kebudayaan bangsanya dan terhadap perubahan-perubahan sosial.<br />11. Ada integritas dalam kepribadianya yaitu kebulatan unsur jasmaniah dan rokhaniahnya. Dia mudah mengadakan asimilasi dan adaptasi terhadap perubahan yang serba cepat, dan punya minat pada macam-macam aktifitas. Dia juga punya moralitas dan kesadaran yang tidak kaku, namun dia tetap memiliki daya konsentrasi terhadap satu usaha yang diminati. Juga tidak ada konflik-konflik serius dalam dirinya, dan tanpa diganggu oleh dissosiasi terhadap lingkungan sosialnya. (Kartini Kartono, 2000)<br />Dengan sendirinya semua kriteria yang dikemukakan oleh Maslow c.s. itu merupakan ukuran ideal, atau merupakan standar yang relatif sangat tinggi. Dan seorang yang normal pun tidak akan bisa diharapkan memenuhi secara mutlak kriteria tadi. Sebab setiap individu pasti punya kekurangan dan kelemahan dalam struktur kepribadiannya. Namun demikian dia tetap memiliki mental yang sehat, sehingga bisa digolongkan dalam klas manusia normal. <br />Sebaliknya, jika seorang itu terlalu jauh menyimpang dari kriteria tersebut diatas, dan banyak segi-segi karakteristiknya yang devisien (rusak, tidak efisien) maka pribadi tadi bisa digolongkan dalam kelompok pribadi abnormal. Selanjutnya, pribadi normal dengan mental yang sehat itu selalu memperlihatkan reaksi-reaksi personal yang cocok, tepat terhadap stimulasi eksternal. Karena itu reaksi-reaksi kenormalan pada tingkat psikologis dan sosial biasanya diukur dengan kelakuan individu ditengah kelompok tempat hidupnya. Reaksi tersebut disebut normal, bila tepat dan sesuai dengan ide dan pola tingkah laku kelompok, dan cocok dengan kesejahteraan umum dan kemajuan/progres. Karena itu normalitas/kesehatan mental ditandai oleh :<br />1. Integrasi kejiwaan<br />2. Kesesuaian tingkah laku sendiri dengan tingkah laku sosial<br />3. Adanya kesanggupan melaksanakan tugas-tugas hidup dan tanggungjawab sosial<br />4. Efisien dalam menanggapi realitas hidup.<br />Pada umumnya ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang termasuk kedalam kategori sehat secara mental ataukah tidak.<br />a. Pendekatan Statistik<br />Pendekatan ini beranggapan bahwa orang yang sehat secara mental/normal adalah orang yang melakukan tingkah laku yang umumnya dilakukan oleh banyak orang lainnya. Atau dengan kata lain, suatu tingkah laku disebut sehat bila tingkah laku tersebut memiliki frekuensi kemunculan yang tinggi dalam populasi. Sebaliknya, orang yang bertingkah laku tidak seperti tingkah laku kebanyakan orang dianggap sebagai orang yang tidak normal atau tidak sehat.<br />Sepintas pendekatan ini terlihat benar, namun bila difikirkan secara mendalam, tampak beberapa kelemahannya. Ada tingkah laku yang jarang dimilki oleh orang kebanyakan tapi tetap dianggap normal atau sehat. Misalnya mampu berbicara dalam 5 bahasa. Jarang ada orang yang memiliki kemampuan tersebut, namun orang yang memilikinya dianggap sebagai normal. Atau misalnya orang yang mampu berjalan diatas api tanpa terbakar, tetap dianggap sebagai orang yang sehat atu normal.<br />Sebaliknya, ada tingkah laku yang sebenarnya tidak sehat tetapi dilakukan oleh banyak orang. Misalnya merokok, tingkah laku merokok tergolong kedalam tingkah laku tidak sehat atau tidak normal, namun dilakukan oleh banyak orang.<br />b. Pendekatan Normatif<br />Pendekatan ini melihat orang secara sehat mental apakah tingkah laku orang tersebut menyimpang dari norma sosial yang berlaku dimasyarakat ataukah tidak. Tolak ukur yang dipakai dalam pendekatan ini adalah norma-norma yang berlaku dimasyarakat.<br />Orang yang mampu menyesuaikan diri dengan norma masyarakatnya dianggap sebagai orang yang memiliki kesehatan mental yang baik. Sementara orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan norma sekitarnya dianggap memiliki kesehatan mental yang buruk.<br />Pendekatan ini pun memiliki kelemahan, ada tingkah laku yang sebetulnya menyimpang dari norma yang ada tetapi dianggap sebagai normal. Misalnya tingkah laku homoseksual. Masyarakat barat sekarang ini menganggap prilaku homoseksul bukan lagi dikategorikan sebagai penyimpangan seks. Prilaku korupsi yang terjadi dinegara kita pada semua lapisan birokrasi, sekarang ini dianggap sebagai prilaku yang normal. Sebaliknya, orang yang tetap berusaha berprilaku jujur malah dianggap sebagai orang yang tidak normal dan bahkan “tidak sehat”.<br />c. Pendekatan Distress Subjektif<br />Pendekatan ini beranggapan orang dianggap normal atau sehat bila dia merasa sehat atau tidak ada persoalan dan tekanan yang menggangunya.<br />Kelemahan pendekatan ini adalah karena menekankan pada subjektifitas individu mengakibatkan tidak ada ukuran yang pasti sehingga semuanya menjadi serba relatif. Tergantung situasi yang dihadapi. Contohnya bila orang tiba-tiba berbicara terus menerus tanpa diketahui arti dimuka umum, maka dia dianggap sedang sakit atau terganggu dan tidak normal. Namun bila prilaku tersebut dimunculkan pada suatu ritual keagamaan, prilaku tersebut dianggap wajar dan normal.<br />d. Pendekatan Fungsi/Peranan Sosial<br />Pendekatan ini melihat normal atau sehat tidaknya seseorang berdasarkan mampu atau tidaknya orang tersebut menjalankan kegiatan hariannya. Orang dianggap sehat atau normal bila dia mampu menjalankan fungsi dan peranannya dalam masyarakat dan tidak mengalami gangguan dalam menjalankan tugas-tugas harioannya.<br /><br />Kelemahan pendekatan ini adalah tidak semua orang bisa dikatakan normal meskipun dia mampu menjalankan fungsi dan perannya. Misalnya penderita gangguan bipolar (manis depresif). Pada saat orang yang bersangkutan mengalami episode mania, dia mungkin menjadi bersemangat dan mampu melakukan berbagai aktifitas dengan baik, padahal sebenarnya ia sedang terganggu.<br />e. Pendekatan Interpersonal<br />Pendekatan ini melihat normal atau sehat tidaknya seseorang atau apakah orang tersebut mampu menyesuaikan diri dilihat berdasarkan kemampuan seseorang untuk menjalin hubungan yang interpersonal dengan orang lain. Menurut pendekatan in, orang dikatakan sehat dan mampu menyesuaikan diri dengan dengan baik bila dia mampu menjalin relasi dengan orang lain dan tidak menarik diri dari orang lain.<br />Pendekatan ini pun memiliki kelemahan. Tidak selalu orang yang menyendiri itu tidak sehat atau tidak normal dan tidak mampu menyesuaiklan diri. Terkadang kesendirian itu penting supaya orang mampu menahani diri sendiri dengan lebih baik atau juga sebagai kesempatan untuk memulihkan diri. Juga tidak selalu orang yang mampu menjalin relasi dengan orang lain merupakan orang yang sehat. Misalnya bagi individu yang mengalami gangguan siklotimia, yaitu gangguan semacam manis depresi tetapi yang ayunan suasana perasaan tidak ekstrim. Penderitanya biasanya tidak bisa terpisah dari orang lain, baik episode hipomania maupun pada episode overaktif. Hal ini terutama disebabkan karena energi mereka berklaitan dengan lingkungannya.<br />Berbagai pendekatan diatas menunjukkan kesulitan yang muncul untuk memberi arti apa yang dimaksud dengan sehat secara mental. Kesehatan mental tidak hanya sekedar dipahami sebagai kemampuan untuk tahan dalam kondisi tekanan (setres) yang tinggi. Kesehatan mental juga tidak bisa dipahami hanya sebagai kemampuan untuk melakukan penyesuaian siri yang baik saja. Banyak orang yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan tapi mereka belum bisa dikatan sehat secara mental. (Siswanto, 2007)<br /><br />Tugas : Ujian Kesehatan Mental<br />Dosen: M.Fahli Zatra Hadi, S.Sos.I<br />NAMA KELOMPOK 4 :<br />INDAH PRATIWIE<br />MAYSAROH<br />ILHAMDIAbdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-88523667289457635142010-12-28T20:59:00.000-08:002010-12-28T21:00:45.316-08:00tugas kesmen k lompokl. ujianTugas kelompok kesehatan mental <br />Judul: kebutuhan dinamika manusia<br />Disusun oleh: Muhammad aman, nazira, Nadri<br />Dosen pembimbiing: M. fahli zatra hadi S.sos,I<br /><br />Kebutuhan dan dinamika manusia <br /><br />Setiap tingkah laku manusia merupakan metafestasi dari bebrapa kebutuhan, dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan kata lain: setiap tingkahlaku manusia itu selalu terarah pada suatu obyek atau suatu tujuan pemuasan kebutuhan, yang memberikan arah pada gerak aktivitasnya. <br />Tingkah laku itu sendiri merupakan suatu kesatuan perbuatan yang berarti. Tujuan atau obyek dari kebutuhan menonjolkan arti yang sebenarnya dari tingakah laku manusia. Jelasnya,tujuan atau obyek dari kebutuhan itu memberikan arti dan nilai tersendiri bagi tingkahlaku manusia khususnya untuk berbuat, bertingkah laku, atau berusaha.<br />Ketegangn-ketegangan dan konflik batin akan timul pada seseorag, apabila kebutuhan hidup yang sifatnya vital, terhalang; atau dirinya mengalami frustasi. Sebaliknya ketegangan/stress akan lenyap, apabila semua kebutuhan tadi bias terpuaskan.<br />Kebutuhan ialah subtansi sekuler, dorongan hewanoi, atau motif fisiologis dan psikologis, yang harus dipenuhi oleh organisme, binatang atau manusia supaya mereka bisa sehat sejahtera dan mampu melakukan fungsinya. (J.P. Chaplin, 1981)<br />Kebutuhan itu bisa bersifat fisis (organis biologis vital) juga bisa bersifat psikis dan social.maka demi kelancaran hidup manusia, kebutuhan-kebuthan ini harus mendapatkan pemuasan, atau dapat dicukupi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak boleh senantiasa dihalangi. Sebab jika orang terus menerus mengalami frustasi. Dia akan dilipiti oleh stress, ketegangan dan ketakutan mental.<br />Dan selama manusia masih bisa menentukan jalan keluar yang wajar untuk memecahkan kesulitan hidupnya serta pemenuhan kebutuhannya, selama itu akan terjamin kesehatan jiwa dan keseimbangan mentalnya, jadi terdapat adjustment sebab, kepuasan jasmaniah dan kepuasan psikis dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan oraganis dan social itu merupakan alas an fundamental bagi kesehatan mentalnya.<br /><br /><br />Kebutuha manusia dapat dibagi menjadi 3 niveau yaitu:<br />a. tingkat biologis atau vital.<br />b. Tingkat human (manusia sosio budaya, sosio kultual dan psikologis)<br />c. Tingkat metafisis dan religius<br /><br />A. Kebutuhan-kebutuhan biologis atau vital<br /> Kebutuhan-kebutuhan tingkat ini kita jumpai pula dalam dunia binatang yaitu kebutuhan akan makanan, minuman, udara segar, pakaian untuk bertahan terhadap cuaca, tidur, rumah, perlindungan, dorongan untuk beristirahat dan lain-lain.<br />Jika kebutuhan-kebutuhan pokok dan vital dari manusia tersebut tidak terpenuhi, maka hal tersebut menyebabkan ancaman bagi eksistensi manusia itu sendiri. Bila kebutuhn-kebutuhan tersebut sering dihambat, kejadian ini dapat menimbulkan kegoncangan dan gangguan jiwa, dari taraf yang paling ringan hingga ketaraf yang paling berat.<br />B. kebutuhan-kebutuhan yang human atau social budaya dan psikologis<br />Kepribadian manusia adalah suatu totalitas dari disposisi fisis dan psikis yang terorganisir dengn rapi, dan sifatnya dinamis. Maka kepribadian merupkan suatu sisitem psiofisik yang dinamis. Kesatuan psikofisik ini (unsure jasmani dan rohani) selalu menimbulkan dimensi ketegangan, disebabkan oleh usaha pemenuhan kebutuhan fisis dan kebutuhan psikis yang sering tidak imbang dan bertentangan.<br />Sebagi contoh kita ambil dorongan memiliki seringkali manusia tidak mau mengenali batas-batas nafsunya untuk memiliki sehingga mengganggu kepentingan orang lain. Oprang macam in terpaksa dihadapi macam-macam larangan, ancaman dan norma kesusilaan, yang mengekang nafsu memiliki tersebut juga terhadap nafsu sexs. Ada klanya manuisa ingin kembali pada niveau kebinatngan dengan membiarkan nafsu seknya tidak terkendali sehingga kejadian tersebut dapat mengganggu ketentraman lingkungan, dan terpaksa harus dikendalikan dengan beberapa larangan social, hukum keagamaan atau sanksi hukuman formal <br />Perjuangan manusia setiap saat untuk mempertahankan keberadaannya menetapkan dirinya selalu dalam kondisi ketegangan. Lagi pula manusia dalam merupakan suatu system yang dinamis, yang selalu mengadakan evaluasi dan revolusi dalam dirinya sendiri. Dengan demikian manusia itu terus tumbuh dalam lingkungannya. Dia dibudayakan oleh manusia lain, tapi dia juga ikut membuat budaya human yang baru.<br />Jadi manusia merupakan makhluk penuh dialetika hidup dia selalu membentuk diri sendiri, dan tidak akan pernah selesai. Sebab, kalau dia berhenti berarti dia mati.ia tidak pernah diam setiap saat manusia senatiasa merealisasikan kebutuhan-kebutuhan dan dorongan –dorongannya. Ia juga selalu merealisasikan dirinya sendiri ia selalu ingin melebihi keadaan dirinya yang sekarang (das sein) menuju aku di hari esok (dan sollen) yang lebih baik. Senantiasa saja sudah usaha untuk melakukan “zelfovertreffing” atau melebuhi diri sendiri,memasuki suatu taraf kemanusiaan lebih tinggi.<br />Maka dalam perjuangan hidup ini dia selalu ada dalam genangan ketegangan dan konflik-konflik diri, serta ingin menimbulkan keluar dari kurve biologisnya. Dengan demikian eksistensi diringi selalu direkonstruksikan dan direvisi lagi maka terjadilah diferensiasi dan integrasi yang lebih kompleks dan lebih sempurna dari pada semula sebagai makhluk social, manusia tidak bisa secara psikis terisolasi. Ia memerlukan pengarahan diri keluar, yaitu kepada aku lain. Dia membutuhkan kontak dan komuikasi dengan orang lain. Ia ingin dicintai dan mencintai, ingin dihitung dan dihargai oleh orang lain. Ia ingin berdialog dan mengadakan pertemuan , hanya dengan kontak dengan orang lain dia bisa berkembang. Sebab, orang yang selalu mengkonsentrasikan minatnya kepada awak sendiri dan tidak akan bisa berkembang dengan sempurna.<br />2.Otonomi fungsional<br />Devenisi otonomi fungsional adalah pengalaman kejutan yang sangat mencekam jiwa, punya arti dinamis yang sangat besar, dan menjadi kekuatan otonomi yang pada akhirnya secara fungsional menjadi terlepas dari pengalaman-pengalaman hidup sebelumnya. Otonomi fungsional: motif-motif itu cendrung menjadi bebas terlepas dari sumber aslinya (G.W. Allport) pada peristiwa otonomi fungsional terjadi suatu trauma. Trauma atau kejadian traumatis adalah luka jiwa yang dialami yang seseorang, disebabkan oleh satu pengalaman yang sangat menyedihkan atau melukai jiwanya. Sehingga karena pengalaman tersebut hidupnya sangat sejak saat kejadian itu berubah secara radikal: yaitu mendapatkan satu insight baru, serta mengalami proses penaikan atau makin menurunnya niveau kehidupan. Pengalaman traumatis tadi dapat bersifat jasmaniah umpamanya berupa kecelakaan berat, cedera fisik atau menjadi cacat secara mental. <br /> Dapat pula berupa pengalaman yang bersifat psikilogis; antara lain berupa pristiwa yang sangat mengerikan, sehingga menimbulkan kepiluan hati, keputus asaan shock jiwa dan lain-lain.<br /> Suatu pengalaman atau erlebnis yang begitu mencekam diri kita. Mempunyai arti dinamis yang sangat besar dinamika situasi demikian ini menjadi suatu kekuatan yang otonom, yang pada akhirnya secara fungsional menjadi terlepas dari penglaman-pengalaman hidup sebelumnya dengan kata lain menjadi suatu fungsi yang otonom dan terlepas dari rantai pengalaman-pengalaman yang terdahulu, sedang yang ada hanya hubunngan histories belaka.<br />3. Pertumbuhan bentuk pemuasan kebutuhan<br />Sejak lahir, bayi belajar memuaskan kebutuhan-kebutuhan organis dan social (humun cultural) dengan cara-cara tertentu yang tetap. Cara pemuasan kebutuhan ini ditentukan oleh lingkungannya, yaitu oleh lingkungan budaya anak. Dengan kata lain milieu kebudayaan mempengaruhi cara seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan menetukan macam kebutuhan tadi. Misalnya cara berpakaian cara memuaskan rasa lapar dan macamnya makanan yang di Negara-negara tropis jelas berbeda jenisnya dengan macam makanan di daerah beriklim dingin (misalnya di daerah kutub utara).<br />Cara pemenuhan kebutuh itu ditampilkan dalam bentuk-bentuk kebiasaan dan perbuatan-perbuatan otomatis, yang diberi model atau pola oleh kebudayaan seseorang. Lambat laun akan timbul bentuk-bentuk tingkah laku kebiasaan baru untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, jika pola baru tadi ternyata lebih efesien dari pada pola yang lama (sedangkan kebiasaan yang lama itu ditinggalkan ).<br />Maka akan lenyap bentuk-bentuk tingkah laku lama tertentu; ada bentuk kebutuhan tertentu yang digantikan dengan bentuk tingkah laku dan kebutuhan baru.jadi, bentuk yang lama tadi kehilangan potensi dinamisnya atau kehilangan valensinya.<br />Jelasnya kebutuhan manusia yang lama bisa digantikan dengan kebutuhan baru penggantian ini dapat berlangsung dengan cara yang lunak, tapi dapat pula dengan cara paksaan dan kekerasan desertai kemauan, hukuman, sanksi dan disiplin keras biasanya peristiwa ini didahului dengan sebagi konflik dan krisi batin. Misalnya saja seorang yang ingin brhenti merokok sedangkan dia adalah seorang pecandu rokok alangkah sulitnya usaha tersebut yaitu menghapus kebiasaan lama merokok)<br />4. frustasi dan reaksi frustasi (terhambat, kecewa, terkecoh harapan)<br /> Frustasi ialah suatu keadaan, dimana suatu kebutuhan, tidak bisa terpenuhi, dan tujuan tidak bisa tercapai sehingga orang kecewa dan mengalami satu barriere/halangan dalam usahanya mencapai suatu tujuan .<br />1.Frustasi ialah penghalang tingakah laku yang tengah berusaha mencapai satu tujuan.<br />2.Satu keadaan ketegangan yang tidak menyenangkan, desertai kecemasan, dan meningkatnya kegiatan simpatetis, disebabkan oleh hambatan atau halangan.<br />(J.P. Chaplin, 1981)<br /> Frustasi dapat mengakibatkan berbagai bentuk tingkah laku. Misalnya seseorang dapat mengamuk dan menghancurkan orang lain, merusak barang, atau menyebabkan desorganisasi pada struktur kepribadian sendiri, namum sebaliknya, frustasi dapat juga memunculkan titik tolak baru bagi satu perjuangan dan usaha baru.<br />1. Mobilitas dan penambahan kegiatan<br /> Jika seseorang dalam usahanya (dengan energi penuh) mencapai satu tujuan mengalami satu rintangan besar, maka sebagai reaksinya bisa terjadi suatu pengumpulan /stuwing energinya untuk menjebol hambantan yang menghalangi. Dalam hal ini terbenturnya seseorang pada suatu kesulitan besar itu justru menggugah rangsangan dan dorongan untuk memperbesar energi, dan usaha dan keuletannya, guna mengatasi kesulitan-keslitan tadi, menuju pada kemenangan.<br />Bukan saja energinya yang diperbesar, tapi segala sarana, segala kapasitas dan potensi, baik yang sudah dipakai maupun yang masih merupakan tenaga cadangannya, bahkan segala permintaan pribadi dikerahkan untuk mencari jalan keluar dari kesulitan, dan orang berusaha menemukan bentuk penemuan yang baru. Dengan begitu frustasi dapat memobilisir seluruh aspek kepribadian, dan memaksa mengaktualisasikan potensi-potensi lama dan potensi-potensi baru untuk mengatasi masalah yang dihadapi.<br />2. Beisnnung: berfikir secara mendalam disertai wawasan jernih<br /> Ssetiap frustasi memberikan masalah sekaligus tantangan manusia untuk diatasi. Kejadian ini memaksa dirinya untuk melihat realitas dengan jalan mengambil distansi/jarak pengambilan distansi ini merupakan syarat pertama untuk beisnnung. Beisnnung ialah berpikir secara mendalam wawasan dan jernih, serta menggunakan akal budi dan kebijaksnaan, hingga tersusun reorganis dari aktivitas-aktim vitasnya <br />Beisnnung memanggil perspektif-perspektif baru, dan memberikan kesempatan untuk menilai arti dari frustasi tersebut menurut proposisi sebenarnya, kemudian dengan akal sehat dan hati tenang orang berusaha mencari alternatif jalan keluarnya.<br />3. Resignation <br /> Resignation adalah tawakal dan pasrah pada ilahi “pasrah dan menerima” berarti menerima setuasi dan kesulitan yang diahadapi dengan sikap rasional dan siakap ilmiah. Sikap ilmiah itu antara lain mencakup mampu melakukan koreksi terhadap kelemahan sendiri, tidak picik pandangan, bersikap terbuka, sanggup menerima kritik dan saran-saran berani mengakui kesalaha sendiri, menghayati hukum sebab akibat dari setiap peristiwa responsive dan sensitive terhadap kejadian-kejadian diluar dirinya, jujur serta obyektif.<br /> Kemudian dengan tabah dan ulet orang terus bekerja dan mengusahakan keseimbagan. Ketenangan batin, kepuasaan, tanpa mengalami banyak konflik-konflik batin yang serius. Disarnkan orang belajar menggunakan pola hidup yang positif ini sejak masa anak-anak.<br />4. membuat dinamis irriil satu kebutuhan<br /> Kebutuhan-kebutuhan tertentu dapat mengalami atrofi merana, mengecil, tidak berfungsi lagi, karna tidak pernah dipakai lagi. Yaitu bisa lenyap dengan sendirinya. Karena sudah tidak diperlukan, atau sudah tidak sesuai dengan kecendrungan pribadi pada saat itu, bagi kader pertumbuhan kebutuhan dari kader pribadi tersebut. Kebetulan kebutuhan tadi dipastikan sebagai tidak sesuai, tidak berharga lagi bahkan dianggap sebagi salah tempat, salah waktu, dan tak berguna. “tidak sesuai” dalam arti ini adalah sejajar dengan: membuat kebutuhan-kebutuhan tersebut menjadi dinamis riil.<br /> Misalnya, seseorang yang telah yakin pada suatu paham politik atau satu kepercayaan agama tertentu, akan menyadari benar ada sejumlah kebutuhan-kebutuhan yang hingga suatu saat dianggap sebagi mutlak dan harus dipenuhi. Kini ternyata, bahwa kebutuhan tersebut menjadi tidak ternilai dan tidak bermanfaat lagi bagi dirinya, karena sudah tidak sesuai sama sekali dengan pola proyek hidupnya yang baru (sebab idiologi politik atau keyakinan agamanya sudah berubah)<br /><br /><br />5. kompensasi atau substitusi dari tujuan-tujuan <br /> Kompensasi ialah usaha menggantikan atau usaha mengimbangi suatu yang dianggap minder atau lemah. Kompensasi ialah proses mereaksi terhadap perasaan –perasaan inferior (adler)<br /> Kompensasi ialah tingkah laku untuk menggantikan frustasi social atau frustasi fisik, atau terhadap ketidak mampuan pada suatu arah kepribadian tertentu. (J.P.Chhaplin,1981)<br /> Kegagalan seseorang dalam suatu bidang dapat menimbulkan kecemasan, ketegangan dan derita batin, kemudian dialaihkan pada usaha pencapaian sukses dibidang lain. Dengna upaya kompensasi ini akan hilang segala stress dan gangguan batin, lalu orang menjadi senang dan seimbang kembali.<br />6.sublimasi (aublim= paling utama, maha tinggi)<br /> Sublimasi adalah usaha untuk mensubstitusikan atau mengganti kecendrungan-kecendrungan yang egoistis nafsu-nafsu seks yang animalistis, dorongan-dorongan biologis yang primitif dan aspirasi-aspirasi social yang tidak sehat menjadi tingkah laku yang lebih tinggi atau luhur, yang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat luar.<br />Sublimasi adalah proses yang tidak disadari dengan mana libido atau naluri seks diarahkan atau ditransformasikan kedalam bentuk penyaluran yang lebih bisa diterima. (freud).<br />Sublimasi adalah seberang pengarahan dari inplus-inplus social yang tidak bisa diterima kearah penyaluran yang lebih bisa diterima (J.P. Chaplin).<br />Misalkan, kekecewaan disebabkan oleh terhambatnya dorongan-dorongan organis atau dorongn seks bisa disalurkan kepada bidang seni dan kebudayaan. Karena putus cinta, seseorang menjadi juru rawat, atau menjadi bidan yang baik, karena kekecewaan ini dan hinaan-hinaan seorang fasien menjadi ahli dalam berfikir besar, menjadi dokter, atau menjadi seorang seniman yang berhasil dan lain-lain. Maka terbayar lunaslah segala kekecewaan, sakit hati dan derita batin, digantikan dengan bentuk kesuksesan usaha atau sublimatif dibidang lain.<br /><br /><br /><br /> <br /><br />1. Dinamika psyche atau Kepribadian<br />A. hukum pasangan berlawanan <br /> <br />Psyche atau kepribadiaan adalah sesuatu system energi yang tertutup tetapi tidak untuk seluruhnya, sifat tertutupnya tidak sempurna dikarenakan energy dari sunber-sumbr diluarnya dapat masuk atau ditambahkan pada system ini, misalnya dengan makan, dan energy didalam dapat berkuang, misalnya kalau orang melakukan kerja menggunakan tenaga jasmani kecuali itu dapat pula rangsangan dari luar menguabah distribusi energi pada saat itu, misalnya adanya perubahan yang mendadak pada dunia luar membawa perubahan dalam dalam orientasi, pengamatan, dan sebagainya.<br />B. Prinsip Ekuivalen<br /> Adapun prinsip-prinsip yang mengatur energy psikis itu juga “analog” dengan prinsip yang mengatur energy dalam ilmu alam. Jung mendasarkan pandangannya dalam “dinamika psyche ada dua prinsip pokok yaitu ekuivalens dan entropi. Prinsip ekuivalen itu analiog dengan hukum penyimpanan energy dalam thermodinamika, yang mula-mula dirumuskan oleh Helmholtz, yaitu mengatakan bahwa jumlah energy itu selalu tetap hanya distribusinya yang berubah-ubah. Prinsip ekuivalen menyatakan bahwa apa bila sesuatu nilai menurun atau hilang, maka jumlah energy yang didukung oleh nilai itu tidak hilang dari psyche melainkan akan muncul kembali dalam nilai baru. Jadi dalam seluruh system kejiwaan itu banyaknya energy tetap haya distribusinya yang berubah-ubah.<br />C. Prinsip Entropi<br /> Kalau prinsip ekuivalen itu merupkan hukum pertama dalam thermodinamika maka prinsip entropi merupakan hukum yang kedua. Hukum ini mengatakan bahwa apabila dua benda yang berlainan panasnya bersentuhan, maka panas akan mengalir dari yang lebih panas kepada yang lebih dingin <br />Bekerjanya prinsip entropi ini menghasilkan keseimbangan kekuatan. Benda yang dipanaskan berkurang energinya dan mengalir kepada yang lebih dingin sampai kedua benda itu sama panasnya. Prinsip ini diambil oleh jung untuk menggambarkan dinamika psyche, yaitu distribusi energy dalam psyche itu selalu menuju keseimbangan.<br />(Drs. Sumadi surya bata MA hal, 174). <br /><br />2. Arah dan intensitas Energi<br />a. Arah energy: progresi dan regresi, Ekstraversi dan Intraversi<br /> gerak energy ini mempunyai arah, dan arah geraknya itu dapat dibedakan antara gerak progresif dan gerak agresif. Gerak progresif adalah gerak kesadaran dan bentuk proses penyesuaian yang terus menerus terhadap tuntunan-tuntnan kehidupan sadar. Gerak regresif terjadi apabila dengan gagalnya penyesuaian secara sadar dan karenanya terbangunkan ketidak sadaran misalnya lewat kompleks-komleks terdesak terjadilah penumpukan energy yang berat sebelah dan berakibat bahwa isi-isi ketidak sadaran menjadi terlalu penuh energy dan kekuatannya bertambah besar. Hal ini dapat berakibat individu kembali kepad pase perkembangan yang telah dilewatinya, atau menderita neourosis, atau bila terjadi pemalikan total dimana ketidaksadran masuk kesadaran maka orang yang bersangkutan akan menderita psikosis.<br />b.Intensitas Energy: Gambaran <br /> kecuali arahnya, siat pokok proses energy yang lain adalah nilai intensitsnya (werteintensitat) bentuk khusus menifestasinya energy itu didalam jiwa adalah gambaran. Gambaran itu adalah hasil fantasi mencipta yang menonjolkan bahan-bahan dari ketidak sadaran menjadi gambaran seperti yang terdapat pada mimpi. Dalam mimpi gambaran itu merupakan lambing-lambang yang isinya atau maknanya tergantung kepada banyak sedikitnya energy, jadi dapat disamakan dengan werteintensitat energy. Adapun werteintensitat itu tergantung pada konstelasi dimana gambaran itu muncul, yaitu nilai gambaran itu dalam keseluruhan konteks proses psikis itu gambaran yang sama pada konteks yang satu merupakan pemegang peran utama, pada konteks lain hanya memegang peran tidak penting.<br />3.Interaksi Antara Aspek-Aspek Psyche Atau Kepribadian <br /> Keempat fungsi jiwa yang pokok dan kedua jiwa serta berbagai system yang membentuk keseluruhan kepribadian berintraksi satu sama lain dalam tiga macam cara, yaitu:<br />a. Suatu aspek atau system mengkompensasikan kelemahannya terhadap yang lain.<br />b. Sesuatu aspek atau system menentang aspek atau system yang lain<br />c. Satu atau dua system mungkin bersatu untuk membentuk sintesis.<br />Kompensasi dapat terjadi pada pasangan-pasangan berlawanan dan dengan mudah dapat ditunjukan dalam hal fungsi jiwa dan sikap jiwa. Orang yang fikirannya sangat berkembang, perasaannya sangat tidak berkembang dan ini menimbulkan tegangan yang menggangu keseimbangan jiwa dan perasaan itu butuh kompensasi.<br /> Pertentangan atau perlawanan terjadi antara berbagai aspek dalam kepribadian antara pikiran dan perasaa, antara intuisi dengna pendirian, antara aku dengan bayang-bayang dan antara pesona dan animus, pasangan diatas itu sering berlawanan berhubungan secara komoplementer dan kompensatoris, dan hal ini menyebabkan psyche itu selalu bersifat dinamis.<br />D. Perkembangan Kepribadian <br /> Jung tidak berbicara mengenai perkembangan dalam cara yang dilakukan oleh kebanyakan ahli-ahli lainnya. Dia berbicara tentang perkembangan umat manusia, orang-orang menuju ketaraf yang lebih senpurna, jung yakin bahwa manusia selalu maju atau mengejar kemajjuan, dari taraf perkembangan yang kurang sempurna ketaraf yang lebih sempurna. Juga manusia sebagi jenis selalu menuju taraf diferensiasi yang lebih tingi.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Daftar Kepustakaan<br />- Dr. kartono kartini, hygiene mental, cv mandar maju. <br />- Semium yustinus, 2006, kesehatan mental 1, yogyakarta: kanisius <br />- Sosiologi perkembanganAbdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-23914216467952297712010-12-28T09:41:00.001-08:002010-12-28T09:42:20.473-08:00Pengertian Bimbingan Konseling dan Ruang Lingkup Bimbingan konselingPengertian Bimbingan Konseling dan Ruang Lingkup BK<br />A. Pengertian BK <br />1. Pengertian bimbingan <br /> Rumusan tentang bimbingan formal telah diusahakan orang setidaknya sejak awal abad ke-20, sejak dimulainya bimbingan yang diprakasai oleh frank parson pada tahun 1908. Sejak itu rumusam demi rumusan tentang bimbingan bermunculan sesuai dengan perkembangan pelayanan bimbingan itu sendiri sebagai suatu pekerjaan khas yang ditekuni oleh para peminat dan ahlinya. Berbagai rumusan tersebut dikemukakan sebagai berikut :<br /> Bimbingan adalah sebagai bantuan yang diberikan kepada individu untuk dapat memilih, mempersiapkan diri dan memangku suatu jabatan serta mendapatkan kemajuan dalam jabatan yang dipilihnya itu ( farnk parson, dalam jones, 1951 )<br /> Bimbingan membantu individu untuk memahami dan menggunakan secara luas kesempatan-kesempatan pendidikan, jabatan dan pribadi yang mereka miliki atau dapat mereka kembangkan, dan sebagai suatu bentuk bantuan yang sistematik melalui mana mahasiswa dibantu untuk dapat memperoleh penyesuaian yang baik terhadap sekolah dan terhadap kehidupan.(dunsmoor dan miller, dalam mc Daniel, 1969 )<br /> Bimbingan membantu setiap individu untuk lebih mengenali berbagai informasi tentang dirinya sendiri.( chiskolm, dalam mcdaniel 1959 ).<br /> Bimbingan adalah bagian dari proses pendidikan yang teratur dan sistematik guna membantu pertumbuhan anak muda atas kekuatannya dalam menentukan dan mengarahkan hidupnya sendiri, yang pada akhirnya ia dapat pengalaman-pengalaman yang dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi masyarakat.<br /> Bimbingan sebagai proses layanan yang diberikan kepada individu-individu guna membantu mereka memperoleh pengetauhan dan keterampilan-keterampilan yang di perlukan dalam membuat pilihan-pilihan, rencana-rencana, dan interprestasi-interprestasi yang diperlukan untuk menyesuaikan diri yang baik.<br /> Bimbingan adalah bantuan yang diberi kan oleh seseorang laki-laki atau perempuan yang memeliki kepribadian yang memadai dan terlatih dengan baik kepada individu-individu setiap usia untuk membantunya membantu mengatur kegiatan hidupnya sendiri, mengembangkan pandangan hidupnya sendiri , membuat keputusan sendiri, dan menaggung bebannya sendiri.<br /> Bimbingan merupakan segala kegiatan yang bertujuan peningkatan realisasi pribadi setiap individu.<br /><br /> Bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada individu dalam membuat pilihan-pilihan dan penyesuaian – penyesuaian yang bijaksana, bantuan itu berdasarkan atas prinsip demokrasi yang merupakan tugas dan hak setiap individu untuk memilih jalan hidupnya sendiri sejauh tidak mencampuri hak orang lain. Kemampuan membuat pilihan seperti itu tidak diturunkan, tetapi harus dikembangkan. <br />Bimbingan merupakan proses membantu individu, membantu dalam arti tidak memaksa. Bimbingan tidak memaksa individu untuk menuju ke satu tujuan yang ditetapkan oleh pembimbingmelainkan membantu mengarahkan individu kearah tujuan yang sesuai dengan potensinya secara optimal, pilihan dalam pemecahan masalah ditentukan oleh individu sendiri sedangkan pembimbing hanya membantu mencarikan alternative solusinya saja. <br /> Makna bimbingan bisa diketauhi melalui akronim kata bimbingan sebagai berikut:<br />B ( bantuan )<br />I ( individu )<br />M ( mandiri )<br />B ( bahan )<br />I ( interaksi )<br />N ( nasehat )<br />G ( gagasan )<br />A ( asuhan )<br />N ( norma )<br />Jadi, dari keterangan pengertian bimbingan di atas dapat disimpulkan bahwa bimbingan adalah bantuan yang diberikan oleh pembimbing kepada individu agar individu yang dibimbing mencapai kemandirian dengan mempergunakan berbagai bahan, melalui interaksidan pemberian nasehat serta gagsan dalam suasana asuhan dan berdasarkan norma-norma yang berlaku. <br />2. Pengertian konseling<br /> Secara etimologis istilah konseling berasal dari bahasa latin, yaitu consilium yang berarti dengan atau bersama yang dirangkai dengan menerima atau memahami. <br />Dibawah ini ada beberapa pengertian konseling :<br /> Konseling adalah kegiatan di mana semua fakta dikumpulkan dan semua pengalaman klien difokuskan pada masalah tertentu untuk diatasi sendiri oleh yang bersangkutan, di mana ia diberi bantuan pribadi dan langsung dalam pemecahan masalah itu. Konselor tidak memecahkan masalah untuk klien. Konseling harus ditujukan pada perkembangan yang progresif dari individu untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri tanpa bantuan.<br /> Interaksi yang terjadi antara dua orang individu, masing-masing disebut konselor dan klien, terjadi dalam suasana yang professional.<br /> Suatu proses yang terjadi dalam hubungan tatap muka antara seorang individu yang terganggu oleh karena masalah-masalah yang tidak dapat diatasinya sendiri dengan seorang pekerja yang professional, yaitu orang yang terlatih dan berpengalaman membantu orang lain mencapai pemevcahan-pemecahan terhadap berbagai jenis kesulitan pribadi.<br /> Konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangan dirinya dan untuk mencapai perkembangan optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya. <br /> Konseling kadang disebut penyuluhan adalah suatu bentuk bantuan konseling merupakan suatu proses pelayanan yang emlibatkan kemampuan professional pada member layanan. <br />Konseling adalah suatu upaya bantuan yang dilakukan dengan empat mata atau tatap muka anatara konselor dan klien yang berisi usaha yang laras dan manusiawi yang dilakukan dalam suasana keahlian dan yang didasarkan atas norma-norma yang berlaku. <br />Sebagaimana makna bimbingan maka konseling juga bisa dimaknai dari akronim kata konseling sebagai berikut :<br />K ( kontak )<br />O ( orang )<br />N ( menangani ) <br />S ( masalah )<br />E ( expert atau ahli )<br />L ( laras )<br />I ( integrasi )<br />N ( norma )<br />G ( guna )<br /> <br /><br />Jadi, konseling dapat diartikan kontak atau hubungan timbal balik antara dua orang ( konselor dank lien ) untuk menangani masalah klien, yang didukung oleh keahlian dan dalam suasana yang laras dan integrasi, berdasarkan norma-norma yang berlaku untuk tujuan yang berguna bagi klien. <br />RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN KONSELING <br />Dalam dunia pendidikan tentu kita mengenal mengenai bimbingan konseling, tujuan utama pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di sekolah dasar, yaitu untuk membantu siswa agar dapat memenuhi tugas-tugas perkembangan yang meliputi aspek sosial pribadi, pendidikan dan karir sesuai dengan tuntutan lingkungan dan masyarakat.<br />Ruang Lingkup Bimbingan Konseling Baarti seluruh yang menyangkup tentang isi Bimbingan Konseling, intinya dimana ada manusia disitu ada Konseling.<br /> Ada beberapa bidang garapan dari bimbingan dan konseling ini, bidang bimbingan yang akan diberikan meliputi tiga bidang garapan adapun 3 bidang tersebut,yakni:<br />1. Bimbingan sosial pribadi yang memuat layanan bimbingan yang bersentuhan dengan:<br />• Pemahaman diri.<br />• Mengembangkan sikap positif<br />• Membuat pilihan kegaiatan secara sehat<br />• Menghargai orang lain<br />• Mengembangkan rasa tanggungjawab <br />• Mengembangkan keterampilan hubungan antar pribadi<br />• Keterampilan menyelesaikan masalah<br />• Membuat keputusan secara baik<br />2. Bimbingan Pengembangan Pendidikan, memuat layanan yang berkenaan dengan:<br />• Belajar yang benar<br />• Menetapkan tujuan dan rencana pendidikan<br />• Mencapai prestasi belajar secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannyaKeterampilan untuk menghadapi ujian<br /><br /><br /><br /> 3. Bimbingan pengembangan karier, meliputi:<br /> <br />• Mengenali macam-macam dan ciri-ciri berbagai jenis pekerjaan<br />• Menentukan cita-cita dan merencanakan masa depan<br />• Mengeksplorasi arah pekerjaan<br />• Menyesuaikan keterampilan, kemampuan dan minat dengan jenis pekerjaan <br /> Adapun menurut para ahli, layanan Bimbingan dan Konseling meliputi empat bidang garapan, seperti yang dikemukakan oleh Muro dan Kottman (Ahman, 1998;2530) yakni:<br />1. Layanan Dasar Bimbingan<br />Layanan ini bertujuan untuk membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan dasar untuk kehidupannya, dengan muatan materi yakni<br />• Self esteem<br />• Motivasi berprestasi<br />• Keterampilan pengambilan keputusan, merumuskan tujuan dan membuat perencanaan<br />• Keterampilan pemecahan masalah<br />• Kefektifan dalam hubungan antar pribadi<br />• Keterampilan berkomunikasi<br />• Keefektifan dalam memahami lintas budaya<br />• Prilaku yang bertanggungjawab<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />2. Layanan responsif<br />Layanan ini bertujuan untuk mengintervensi masalah-masalah atau kepedulian siswa yang muncul segera dan dirasakan saat itu, berkenaan dengan masalah sosial pribadi dan karier atau masalah perkembangan pendidikan, muatan materinya mencakup:<br /><br />• Kesuksesan akademik<br />• Kenakalan anak<br />• Masalah putus sekolah<br />• Kehadiran<br />• Sikap dan prilaku terhadap sekolah<br />• Hubungannya dengan teman sebaya<br />• Keterampilan studi<br />• Penyesuaian di sekolah baru<br /><br /><br />3. Sistem perencanaan individual<br />Tujuan layanan ini adalah membantu siswa untuk merencanakan, memonitor dan mengelola rencana pendidikan, karir dan pengembangan sosial pribadi oleh dirinya sendiri. Dengan kata lain, melalui sistem perencanaan individual siswa dapat:<br />• Mempersiapkan pendidikan, karir, tujuan sosial pribadi yang didasarkan atas pengetahuan akan dirinya, informasi tentang sekolah, dunia kerja, dan masyarakat.<br />• Merumuskan rencana untuk mencapai tujuan jangka pendek, jangka menengah, dan tujuan jangka panjang.<br />• Menganalisis kekuatan dan kelemahan dirinya dalam rangka pencapaian tujuannya<br />• Mengukur tingkat pencapaian tujuan dirinya<br />• Mengambil keputusan yang merefleksikan perencanaan dirinya<br /><br /><br /><br /><br />4. Sistem pendukung<br />Komponen sistem pendukung lebih diarahkan kepada pemberian layanan dan kegiatan manajemen yang secara tidak langsung bermanfaat bagi siswa. Layanan ini mencakup:<br />• Konsultasi dengan guru-guru<br />• Dukungan bagi program pendidikan orang tua dan upaya-upaya masyarakat<br />• Partisipasi dalam kegiatan sekolah bagi peningkatan perencanaan dan tujuan<br />• Implementasi dan program standarisasi instrumen tes<br />• Kerja sama dalam melaksanakan riset yang relevan<br />• Memberikan masukan terhadap pembuat keputusan dalam kurikulum pengajaran, berdasarkan perspektif siswa<br />Ruang Lingkup berarti persekitaran, sekitar yang ada dalam lingkungan.<br />A. Ruang Lingkup dari segi Pelayanan:<br />1) Pelayanan Bimbingan Konseling di Sekolah;<br />i. Keterkaitan antara bidang pelayanan bimbingan konseling dan bidang-bidang lain. <br />Terdapat tiga bidang pelayanan pendidikan yaitu;<br />- Bidang kurikulum dan pengajaran meliputi semua bentuk pengembangan dan kurikulum dan pelaksanaan pengajaran yaitu keterampilan, sikap dan kemampuan berkomunikasi peserta didik.<br />- Bidang administrasi dan kepimpinan, yaitu bentuk-bentuk kegiatan perencanaan, pembiayaan, prasaraan dan saran fisik, dan pengawasan.<br />- Bidang kesiswaan, yaitu bidang yang meliputi berbagai fungsi dan kegiatan yang mengacu kepada pelayanan kesiswaan secara individual.<br />ii. Tanggung Jawab Konselor Sekolah<br />Dalam melaksanakan tugas-tugas dan tanggung jawab, konselor menjadi ‘pelayan’ bagi pencapaian tujuan pendidikan secara menyeluruh.<br />2) Pelayanan Bimbingan Dan Konseling di Luar Sekolah<br />i. Bimbingan dan Konseling Keluarga<br />Mutu kehidupan di dalam masyarakat sebagian besar ditentukan oleh mutu keluarga. Pelayanan Bimbingan Konseling keluarga bertujuan menangani permasalahan dalam sesebuah keluarga seperti penceraian dan sebagainya.<br /><br /><br /><br /><br />ii. Bimbingan dan Konseling dalam Lingkungan Yang Lebih Luas<br />Permasalahan masyarakat juga berlaku di lingkungan perusahaan, industri, kantor-kantor dan lembaga kerja lainnya serta organisasi masyarakat seperti panti jompo, rumah yatim piatu dan lain-lain yang tidak terlepas dari masalah dan memerlukan jasa bimbingan konseling.<br />B. Ruang Lingkup dari segi Fungsi: Memberi kemudahan dalam tindakan konseling (pada konselor)<br />Fungsi Bimbingan Konseling:<br />1. Fungsi pemahaman <br />Dalam fungsi pemahaman. Terdapat beberapa hal yang perlu kita pahami, yaitu:<br />Pemahaman tentang masalah klien. Dalam pengenalan, bukan saja hanya mengenal diri klien, melainkan lebih dari itu, yaitu pemahaman yang menyangkut latar belakang pribadi klien, kekuatan dan kelemahannya, serta kondisi lingkungan klien.<br />Pemahaman tentang masalah klien<br />Pemahanman tentang lingkungan yang ”Lebih Luas”. Lingkungan klien ada dua, ada sempit dan luas. Lingkungan sempit yaitu kondisi sekitar individu yang secara langsung mempengaruhi individu, contohnya rumah tempat tinggal, kondisi sosio ekonomi dan sosio emosional keluatga, dan lain-lain. Sedangkan lingkungan yang lebih luas adalah lingkungan yang memberikan informasi kepada individu, seperti informasi pendidikan dan jabatan bagi siswa, informasi promosi dan pendidikan tempat lanjut bagi para karyawan, dan lain-lain.<br />2. Fungsi pencegahan<br />Fungsi pencegahan ini berfungsi agar klien tidak memasuki ketegangan ataupun gangguan tingkat lanjut dari hidupnya agar tidak memasuki hal-hal yang berbahaya tingkat lanjut, yang mana perlu pengobatan yang rumit pula.<br /><br /><br /><br /><br /><br />3. Fungsi pengentasan<br />Dalam bimbingan dan konseling, konselor bukan ditugaskan untuk mengental dengan menggunakan unsur-unsur fisik yang berada di luar diri klien, tapi konselor mengentas dengan menggunakan kekuatan-kekuatan yang berada di dalam diri klien sendiri.<br /><br />4. Fungsi pemeliharaan dan pengembangan<br />Fungsi pemeliharaan berarti memelihara segala yang baik yang ada pada diri individu, baik hal yang merupakan pembawaan, maupun dari hasil penembangan yang telah dicapai selama ini. Dalam bimbingan dan konseling, funsi pemeliharaan dan pengembang dilaksanakan melalui berbagai peraturan,kegiatan dan program.<br />C. Ruang Lingkup dari segi Sasaran: <br />1) Perorangan / individual;<br />Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai, dan mengembangkan potensi dan kecakapan, bakat dan minat, serta kondisi sesuai dengan karakteristik kepribadian dan kebutuhan dirinya secara realistik.<br />2) Kelompok<br />Bimbingan dan konseling kelompok mengarahkan layanan kepada sekelompok individu. Dengan satu kali kegiatan, layanan kelompok itu memberikan manfaat atau jasa kepada sejumlah orang.<br />D. Ruang Lingkup dari segi : <br />1) BK Pendidikan: Siswa, prestasi, pergaulan dll.<br />Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik mengembangkan kemampuan belajar dalam rangka mengikuti pendidikan sekolah/madrasah dan belajar secara mandiri.<br />2) Bimbingan Konseling Karir: Pekerja, motivasi, dll<br />Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />E. Ruang Lingkup dari segi Sosial Budaya: <br />Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial yang sehat dan efektif dengan teman sebaya, anggota keluarga, dan warga lingkungan sosial yang lebih luas.<br />Ruang Lingkup Kerja Bimbingan dan Konseling.<br />1. Bimbingan dan Konseling di Sekolah<br />Sekolah merupakan lembaga Formal yang secara Khusus Di bentuk untuk menyelenggarakan pendidikan bagi warga masyarakat:<br />a. Bidang Kokurikulum dan pengajaran meliputi semua bentuk pengembangan Kokurikulum dan Pelaksanaan dan pengajaran yaitu penyampaian dan pengembangan pengetahuan , keterampilan sikap .<br />b. Bidang Administrasi atau kepimpinan Yaitu bidang meliputi pelbagai fungsi berkenaan dengan tanggungjawab dan pengambilan<br />c. Bidang kesiswaan yaitu bidang yang meliputi pelbagai fungsi dan kegiatan yang mngacu kepada pelayanan kesiswaan cara individual agar masing-masing perta didik itu dapat berkembang sesuai dengan bakat potensi dan minat-minatnya. <br />Disediakan oleh : Abdul Hadi Bin Basri<br /> DarmawitaAbdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2299121835251253830.post-23291513782942663802010-12-28T07:33:00.000-08:002010-12-28T07:34:46.312-08:00Prinsip2 Kesmen Kelompok Verawati JeviaPRINSIP-PRINSIP KESEHATAN MENTAL <br /><br /><br /><br />A. Pengertian Kesehatan Mental<br /><br />Kesehatan mental memiliki sejumlah pengertian, kalangan klinisi berpandangan bahwa sehat mentalnya jika terbebas dari gangguan dan sakit mental. Pengertian yang lain lebih menekankan pada kemampuan individual dalam merespon lingkungannya. Selain itu juga ada yang menekankan pada pertumbuhan dan perkembangan yang positif. <br /><br />Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan masyarakat di aman ia hidup. Kesehatan mental tidak hanya jiwa yang sehat berada dalam tubuh yang sehat (means sana in corpore sano), tetapi juga suatu keadaan yang berhubungan erat dengan seluruh eksistensi manusia. Itulah suatu keadaan kepribadian yang bercirikan kemampuan seseorang untuk menghadapi kenyataan dan untuk berfungsi secara efektif dalam suatu masyarakat yang dinamik. Jadi orang yang bermental sehat adalah orang yang dapat menguasai segala faktor dalam hidupnya sehingga ia dapat mengatasi kekalutan mental sebagai akibat dari tekanan-tekanan perasaan dan hal-hal yang menimbulkan frustasi. <br /><br />Kesehatan mental secara relatif sangat dekat dengan integritas jasmaniah-rohaniah yang ideal. Kehidupan psikisnya stabil, tidak banyak memendam konflik internal, suasana hatinya tenang dan jasmaniahnya selalu sehat. Mentalitas yang sehat dimanifestasikan dalam gejala;tanpa gangguan batin, dan posisi pribadinya harmonis/seimbang, baik ke dalam (terhadap diri sendiri), maupun keluar (terhadap lingkungan sosialnya). Ciri-ciri khas pribadi yang bermental sehat antara lain: <br /><br />1. Ada koordinasi dari segenap usaha dan potensinya, sehingga orang mudah mengadakan adaptasi terhadaptuntutan lingkungan standar, dan norma sosial, serta terhadap perubahan-perubahan sosial yang serba cepat.<br />2. Memiliki integrasi dan regulasi terhadap struktur kepribadian sendiri, sehingga mampu memberikan partisipasi aktif kepada masyarakat.<br />3. Senantiasa giat melaksanakan proses realisasi diri (yaitu mengembangkan secara riil segenap bakat dan potensi), memiliki tujuan hidup dan selalu mengarah pada transendensi diri, berusaha untuk melebihi keadaan/kondisinya yang sekarang.<br />4. Bergairah, sehat lahir batin, tenang dan harmonis kepribadiannya, serta mampu menghayati kenikmatan dan kepuasan dalam pemenuhan kebutuhannya. <br /><br /><br />B. PRINSIP-PRINSIP KESEHATAN MENTAL<br /><br />Sangat sulit untuk menetapkan satu ukuran dalam menentukan dan menafsirkan kesehatan mental, masing-masing ahli mempunyai kriteria yang berbeda antara satu dengan yang lain. Prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh para ahli tersebut adalah sebagai berikut:<br /><br />• Maslow menyebutnya dengan self-actualization, yaitu: <br />1. Rasa aman yang memadai<br />2. Kemampuan menilai diri sendiri yang memadai<br />3. memiliki spontanitas dan perasaan yang memadai dengna orang lain<br />4. mempunyai kontak dengan efisien dengan realitas<br />5. Keinginan-keinginan jasmani yang memadai dan kemampuan untuk memuaskannya<br />6. Mempunyai kemampuan pengetahuan yang wajar<br />7. Kepribadian yang utuh dan konsisten<br />8. memiliki tujuan hidup yang wajar<br />9. kemampuan untuk belajar dari pengalaman<br />10. kemampuan memuaskan tuntutan kelompok <br />11. Mempunyai emansipasi yang memadai dari kelompok atau budaya<br /><br />• Carl Rogers menyebutnya dengan fully functioning (pribadi yang berfungsi sepenuhnya) <br />1. Terbuka terhadap pengalaman<br />2. Ada kehidupan pada dirinya<br />3. Kepercayaan pada organismenya<br />4. Kebebasan berpengalaman<br />5. Kreativitas<br /><br />• Golden Allport (1950) menyebutnya dengan maturity personality <br />1. Memiliki kepekaan pada diri secara luas<br />2. Hangat dalam berhubungan dengan orang lain<br />3. Keamana emosional atau penerimaan diri<br />4. Persepsi yang realistik, keterampilan dan pekerjaan<br />5. Mampu menilai diri secara objeltif dan memahami humor<br />6. Menyatunya filosofi hidup<br /><br />• D.S Wrigth dan A Taylor <br />1. Bahagia (happines)<br />2. Efisien dalam menerapkan dorongan untuk kepuasan kebutuhannya<br />3. Kurang dari kecemasan<br />4. Kurang dari rasa berdosa<br />5. Matang, sejalan dengan perkembangan yang sewajarnya<br />6. Mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya<br />7. Memiliki otonomi dan harga diri<br />8. Mampu membangun hubungan emosional dengan orang lain<br />9. Dapat melakukan kontak dengan realitas<br /><br />• Menurut (Schneiders, 1964) ada lima belas prinsip yang harus diperhatikan untuk memahami kesehatan mental. Prinsip ini berguna dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan mental serta pencegahan terhadap gangguan-gangguan mental. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: <br />1. Prinsip yang didasarkan atas sifat manusia, meliputi:<br />a. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan atau bagian yang tidak terlepas dari kesehatan fisik dan integritas organisme.<br />b. Untuk memelihara kesehatan mental dan penyesuaian yang baik, perilaku manusia harus sesuai dengan sifat manusia sebagai pribadi yang bermoral, intelektual, religius, emosional dan sosial.<br />c. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan integrasi dan pengendalian diri, yang meliputi pengendalian pemikiran, imajinasi, hasrat, emosi dan perilaku.<br />d. Dalam pencapaian dan khususnya memelihara kesehatan dan penyesuaian mental, memperluas pengetahuan tentang diri sendiri merupakan suatu keharusan.<br />e. Kesehatan mental memerlukan konsep diri yang sehat, yang meliputi penerimaan diri dan usaha yang realistik terhadap status atau harga dirinya sendiri.<br />f. Pemahaman diri dan penerimaan diri harus ditingkatkan terus menerus memperjuangkan untuk peningkatan diri dan realisasi diri jika kesehatan dan penyesuaian mental hendak dicapai.<br />g. Stabilitas mental dan penyesuaian yang baik memerlukan pengembangan terus-menerus dalam diri seseorang mengenai kebaikan moral yang tertinggi, yaitu hukum , kebijaksanaan, ketabahan, keteguhan hati, penolakan diri, kerendahan hati, dan moral<br />h. Mencapai dan memelihara kesehatan dan penyesuaian mental tergantung kepada penanaman dan perkembangan kebiasaan yang baik.<br />i. Stabilitas dan penyesuaian mental menuntut kemampuan adaptasi, kapasitas untuk mengubah meliputi mengubah situasi dan mengubah kepribadian. <br />j. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan perjuangan yang terus menerus untuk kematangan dalam pemikiran, keputusan, emosionalitas dan perilaku.<br />k. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan belajar mengatasi secara efektif dan secara sehat terhadap konflik mental dan kegagalan dan ketegangna yang ditimbulkannya.<br /><br />2. Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan lingkungannya, meliputi:<br /><br />a. Kesehatan dan penyesuaian mental tergantung kepada hubungan interpersonal yang sehat, khususnya di dalam kehidupan keluarga.<br />b. Penyesuaian yang baik dan kedamaian pikiran tergantung kepada kecukupan dalam kepuasan kerja.<br />c. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan sikap yang realistik yaitu menerima realitas tanpa distorsi dan objektif.<br /><br />3. Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan Tuhan, meliputi:<br />a. Stabilitas mental memerlukan seseorang yang mengembangkan kesadaran atas realitas terbesar daripada dirinya yang menjadi tempat bergantung kepada setiap tindakan yang fundamental.<br />b. Kesehatan mental dan ketenangan hati memerlukan hubungan yang konstan antara manusia dengan Tuhannya.<br /><br />Pengakuan secara intelektual tentang kebergantungan manusia keapada Tuhan tidak cukup. Pengakuan itu harus direalisasikan dan dimanifestasikan melalui hubungan aktif dengan Tuhan berupa shalat, berpuasa, berkurban, dan melaksanakan perintah-Nya yang lain sesuai kemampuan serta meninggalkan larangan-Nya. Tanpa ibadah pengakuan dengan Tuhan hanyalah khayalan belaka, shalat, berdoa, dan tata cara ibadah lain merupakan pendekatan jiwa raga, hati dan pikiran kepada Tuhan akan mengusir rasa cemas, takut, khawatir, sedih, rasa sendirian, dan rasa tidak berdaya, bahkan dapat menimbulkan rasa kemerdekaan, ketenangan dan kebahagiaan. <br /><br />• Richard T. Kinnier (dalam Capuzzi & Gross, 1997) <br /><br />1. Menerima diri sebagaimana adanya (self-aceptance)<br />Pada umumnya, orang yang sehat mentalnya dapat menerima keadaan dirinya sebagaimana adanya dan mempunyai self-esteem yang positif, tetapi jangan sampai berlebih-lebihan. Self-esteem merupakan essential component mengenai mental yang sehat (Allport, 1961; Maslow, 1970; Rogers, 1961 dalam Capuzzi & Gross, 1997). Self-esteem yang negatif dapat menimbulkan berbagai masalah sehingga keadaan mental kurang baik atau kurang sehat. Menerima keadaan diri sebagaimana adanya juga berarti menerima diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya.<br /><br />2. Mengerti tentang keadaan diri (self-knowledge)<br />Orang yang mentalnya sehat mengerti dengna baik tentang keadaan dirinya. Orang akan sadar, baik mengenai perasaannya, motivasinya, kemampuan berpikirnya, maupun aspek-aspek mentalnya yang lain. <br /><br />3. Self-confidence dan self control<br />Orang yang sehat mentalnya mempunyai percaya diri (self confidence) dan kontrol diri (self-control). Merek adapat independen bila diperlukan dan dapat pula asertif apabila yang bersangkutan ingin asertif. Mereka mempunyai internal focus of control. Merek adapat mengontrol dirinya dengan baik.<br /><br />4. A clear perception of reality<br />Orang yang sehat mentalnya mampu mengadakan persepsi keadaan realita secara baik. Orang dapat membedakan mana yang riil dan mana yang tidak. Orang yang demikian tidak mencampuradukkan anatara yang riil dengna yang tidak riil, bersifat objektif, dan selalu melihat realita seperti apa adanya.<br /><br />5. Balance and moderation <br />Orang yang mentalnya sehat mempunyai keseimbangan atau balance dalam kehidupannya. Mereka bekerja, tetapi juga istirahat atau main; menangis, tetapi juga tertawa; mementingkan diri (selfish), tetapi juga mementingkan sosial (altruistic); berpikir logis, tetapi juga intuitif, pada dasarnya, kehidupan mereka selalu dalam keadaan keseimbangan. Orang yang sehat mentalnya bersikap moderat, tidak ekstrim. Kalau bersikap ekstrim dapat menimbulkan masalah.<br /><br />6. Love of others<br />Orang yang sehat mentalnya akan menyayangi sesama manusia, mereka tidak mempunyai sikap permusuhan terhadap orang lain. Dengan demikian, mereka dapat diterima secara baik oleh orang-orang lain, tidak timbul permusuhan, suasana adanya kedamaian.<br /><br />7. Love of life <br />Orang yang sehat mentalnya akan menyayangi kehidupan yang dihadapi. Apa yang dihadapi dalam kehidupannya selalu diterima secara tulus dan penuh rasa sayang.<br /><br />8. Purpose in life<br />Orang yang sehat mentalnya menyadari dengan sepenuhnya tentang tujuan kehidupannya. Untuk apa dan ke arah mana kehidupannya disadari dengan sepenuhnya, tidak ada keragu-raguan dalam mengarungi kehidupannya.<br /><br />• Herber dan Runyon (1984), menyebutkan sejumlah prinsip-prinsip kesehatan mental, sebagai berikut: <br />1. Sikap terhadap diri sendiri.<br />Mampu menerima diri sendiri apa adanya, memiliki identitas diri yang jelas, mampu menilai kelebihan dan kekurangan diri sendiri secara realistis.<br /><br />2. Persepsi terhadap realita<br />Pandangan yang realistis terhadap diri sendiri dan dunia sekitar yang meliputi orang lain maupun segala sesuatu.<br /><br />3. Integrasi<br />Kepribadian yang menyatu dan harmonis, bebas dari knflik-konflik batin yang mengakibatkan ketidakmampuan dan memiliki toleransi yang baik terhadap stres.<br /><br />4. Kompetensi<br />Mengembangkan keterampilan mendasar berkaitan dengan aspek fisik, intelektual, emosional, dan sosial untuk dapat melakukan koping terhadap masalah-masalah kehidupan.<br /><br />5. Otonomi<br />Memiliki ketetapan diri yang kuat, bertanggung jawab, dan penentuan diri dan memiliki kebebasan yang cukup terhadap pengaruh sosial.<br /><br />6. Pertumbuhan dan aktualisasi diri<br />Mengembangkan kecenderungan ke arah peningkatan kematangan, pengembangan potensi, dan pemenuhan diri sebagai seorang pribadi.<br /><br />7. Relasi interpersonal<br />Kemampuan untuk membentuk dan memelihara relasi interpersonal yang intim.<br /><br />8. Tujuan hidup<br />Tidak terlalu kaku untuk mencapai kesempurnaan, tetapi membuat tujuan yang realistik dan masih di dalam kemampuan individu.<br /><br />• Altrocchi, 1980; Lehtinen, 1989, prinsip-prinsip kesehatan mental adalah sebagai berikut: <br />1. Kesehatan mental adalah lebih dari tiadanya perilaku abnormal.<br />Prinsip ini menegaskan bahwa yang dikatakan sehat mentalnya tidak cukup kalau dikatakan sebagai orang yang tidak mengalami abnormalitas atau orang yang normal. Karena pendekatan statistik memberikan kelemahan pemahaman normalitas itu. Konsep kesehatan mental lebih bermakna positif ketimbang makna keadaan umum atau normalitas sebagaimana konsep statistik.<br /><br />2. Kesehatan mental adalah konsep yang ideal.<br />Prinsip ini menegaskan bahwa kesehatan mental menjadi tujuan yang amat tinggi bagi seseorang. Apalagi disadari bahwa kesehatan mental itubersifat kontinum. Jadi sedapat mungkin orang mendapatkan kondisi sehat yang paling optimal, dan berusaha terus untuk mencapai kondisi sehat yang setinggi-tingginya.<br /><br />3. Kesehatan mental sebagai bagian dan karakteristik kualitas hidup.<br />Prinsip ini menegaskan bahwa kualitas hidup seseorang salah satunya ditunjukkan oleh kesehatan mentalnya. Tidak mungkin membiarkan kesehatan mental seseorang untuk mencapai kualitas hidupnya , atau sebaliknyakualitas hidup seseorang dapat dikatakan meningkay jika juga terjadi peningkatan kesehatan mentalnya.<br /><br />• Siswanto, S.Psi., M.Si (2007) <br />1. Bertingkah laku menurut norma-norma sosial yang diakui<br />2. Mampu mengelola emosi<br />3. Mampu mengaktualkan potensi-potensi yang dimiliki<br />4. Dapat mengikuti kebiasaan-kebiasaan sosial<br />5. Dapat mengenali resiko dari setiap perbuatan dan kemampuan tersebut digunakan untuk menuntun tingkah lakunya<br />6. Mampu menunda keinginan sesaat untuk mencapai tujuan jangka panjang<br />7. Mampu belajar dari pengalaman<br />8. Biasanya gembira. <br /><br />Demikianlah prinsip-prinsip kesehatan mental, pengembangan dan penyesuaian diri (adjustment) yang merupakan dasar kebahagiaan bagi setiap orang. Kekurangan pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut akan mengurangi kebahagiaannya. Derajat kebahagiaan anatara lain dapat diukur melalui kemantapan pelaksanaan prinsip-prinsip itu. <br /><br /><br />Nama : Verawati Jevia<br /> Nurhalimah<br /> Uminidiatul Hasanah<br />Mata Study : Kesehatan Mental<br />Dosen : M. Fahli Zatra Hadi, S.Sos.I<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Moeljono Notosoedirjo, Latipun. Kesehatan Mental; konsep & penerapan, Malang: UMM, 2002<br /><br />Yustinus Semium, OFM. Kesehatan Mental I, Yogyakarta: Kanisius, 2006<br />Drs. Samsul Munir Amin, M.A. Bimbingan dan Konseling Islam, Jakarta: Amzah, 2010<br />Prof . Dr. Bimo Walgito. Bimbingan dan Konseling, Yogyakarta: Andi, 2010, <br />11 Siswanto, S.Psi., M.Si. Kesehatan Mental; konsep, cakupan, & perkembangannya, Yogyakarta: Andi, 2007Abdul Hadi Bin Basrihttp://www.blogger.com/profile/16157590915138989451noreply@blogger.com0