BAB 1-PERMASALAHAN
Kesurupan Massal di Pabrik Bintang Bola Dunia, Malang.
Pabrik Bintang Bola Dunia adalah salah satu dari banyak pabrik rokok di kota Malang dan memproduksi rokok dengan merek Sapu Jagat Raya. Pabrik ini dijalankan di bawah manajemen PT Bentoel dan terletak di Jalan Ichwan Ridwan Rais No.47. Pabrik ini mempunyai karyawan sebanyak 1,000 orang dan semua buruh adalah buruh perempuan berumur mulai delapan belas sampai lima puluh tahun.
Peristiwa kesurupan massal terjadi pada hari kamis tanggal 17 April 2008. Mesikun demikian, menurut saksi mata Pak Suryono, seorang tukang parkir untuk pabrik, sebelum kesurupan massal tersebut terjadi, ada beberapa kasus kesurupan yang lebih kecil. Ketika mewawancari Pak Suryono, dia mengatakan bahwa selama satu minggu, tiga sampai lima buruh mengalami kesurupan setiap hari.
Buruh-buruh ini yang mengalami kesurupan berasal dari bagian Sigaret Kretek Tangan (SKT). Buruh-buruh yang kesurupan ini berkelahi satu sama lain dan menjerit-jerit. Kemudian pemimpin pabrik mengundang istigosah untuk mengeluarkan mahluk halus dan membebaskan buruh-buruh dari keadaan kesurupan. Beberapa Kyai dan orang Islam diundang untuk membaca ayat-ayat Al Qur.an.
Satu minggu sesudah peristiwa-peristiwa ini, kira-kira lima puluh buruh mengalami kesurupan massal pada tanggal 17 April sehingga seluruh aktivitas produksi rokok harus dihentikan untuk satu hari. Perisitiwa ini mirip dengan kasus kesurupan sebelumnya, tetapi lebih besar. Menurut Ibu Yuni (salah satu orang yang bekerja di warung es degan di luar pabrik), peristiwa kesurupan massal mulai sekitar jam 09.00 WIB. Pertama ada satu orang buruh saja yang mengalami kesurupan, kemudian menular pada kira-kira lima puluh orang buruh lainnya. Satu persatu orang berteriak histeris, menjerit-jerit dengan kata-kata tidak jelas, kejang-kejang, menari seperti pemain kuda lumping dan langsung pingsan. Ibu Yuni mengatakan bahwa, kali ini, manajemen dan pemimpinan pabrik tidak mengundang istigosah untuk mengeluarkan jin atau mahluk halus.
Meskipun demikian tim medis di klinik Bentoel datang ke pabrik dan banyak buruh dibawah langsung ke rumah sakit. Buruh yang sudah sembuh di pabrik diminta pulang ke rumah mereka pada hari itu juga. Rupanya, menurut Pak Suryono, banyak buruh merasa sangat lemah sehingga mereka tidak mampu berjalan kaki dan oleh karena itu harus diangkat dari pabrik ke sepeda motornya masing-masing.
Bab 2 – Pembahasan
Konsep kesurupan adalah sebuah fenomena tentang mahluk halus yang menguasai pikiran, perasaan, dan intelek (kesanggupan untuk membuat keputusan) pada diri seseorang dengan menyatu pada kesadarannya (Walker: 1973, 4). Hasilnya adalah mahluk halus ini bisa menguasai tindakan seseorang. Orang mengalami kesurupan ketika badannya dimasuki oleh mahluk halus yang menguasai jiwanya. Oleh karena itu, tingkah laku seseorang yang kesurupan akan dikuasai oleh mahluk halus. Hampir pada setiap kasus kesurupan, seseorang yang kesurupan tidak tahu atau tidak ingat bahwa dia kesurupan (Wallace: 2001, 14).
Konsep kesurupan telah ada selama beribu-ribu tahun yang lalu, di seluruh penjuru dunia. Kasus kesurupan terjadi pada orang Eskimo di Kutub Utara maupun orang Nguni Bantu di Afrika Selatan (Walker: 1973, 1). Bentuk dan interpretasi kesurupan merubah-rubah dari kebudayan yang satu ke kebudayaan yang lain. Kesurupan adalah fenomena yang dapat ditemukan dalam banyak agama dan di berbagai masyarakat di seluruh dunia. Dalam tradisi agama dan dongeng, seseorang yang dikuasai oleh mahluk halus kelakuannya akan menjadi tidak normal dan kepribadiannya akan berubah. Meskipun demikian, kesurupan bisa disebabkan oleh bermacam-macam unsur seperti narkotika, stres, dan hipnose (Walker: 1973, 4). Gejala-gejalanya adalah badan ringan, berteriak histeris, menjerit-jerit dengan kata-kata tidak jelas, kejang-kejang pingsan, muka datar, bibir pucat, sering menutup mata dengan kelopak mata berkedip-kedip secara otomatis, atau perubahan lain. Orang yang kesurupan merasa sepertinya badannya
Gejala kemasukan setan kerap terjadi ketika seseorang, berada pada tempat dan waktu yang salah. Biasanya seseorang yang kemasukan setan tersebut pikirannya dalam keadaan kosong , kondisi tubuhnya sedang lelah serta iman yang kurang kuat.Keadaan ini akan dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh kekuatan gaib yang biasanya tidak dapat terkendali oleh orang yang kesurupan itu. Pada umumnya orang yang kemasukan setan memiliki prilaku aneh dengan ciri-ciri seperti dibawah ini:
- Tatapan mata tajam, kosong lurus kedepan.
- Suaranya berubah menjadi datar tanpa intonasi.
- Mampu menjawab pertanyaan yang berbau paranormal.
- Kekuatan fisiknya melebihi kekuatan yang sebenarnya.
- Dan pada tingkatan tertentu, orang yang kemasukan setan mampu berbuat sesuatu yang tak lazim seperti terbang, melempar orang yang ada disekitarnya dengan sekali gerakan tangan dan lain sebagainya.
- Biasanya mereka mengeluarkan buih (busa) dari mulutnya dengan mata mendelik hingga terlihat putihnya saja
Apakah kesurupan bisa direkayasa?
Kemungkinan untuk direkayasa bisa, tapi bukan dari orang yang kerasukan itu sendiri. Biasanya dilakukan oleh pihak luar (orang lain dengan maksud negatif) dan itu bisa dilakukan oleh seorang ahli dengan menggunakan kekuatan gaib (mistik). Sebutan untuk ‘orang ahli’ ini biasa disebut “dukun santet”.
Apakah kesurupan bisa diobati?
Hampir semua orang yang kesurupan bisa diobati, orang yang bisa mengobati biasanya disebut “orang pintar” seperti guru agama, atau orang yang memiliki kekuatan gaib tapi digunakan untuk kebaikan bukan “dukun santet” yang cenderung untuk kejahatan.
Kenapa mahluk halus masuk ke tubuh manusia? Apa tujuannya?
Banyak alasan kenapa mahluk halus merasuki tubuh manusia. Biasanya mahluk gaib tersebut akan merasuk ketubuh manusia jika lingkungan atau tempat tinggalnya di usik oleh mahluk lain baik manusia atau binatang. Sebutan untuk mahluk gaib yang mendiami suatu tempat adalah “penunggu”. Tujuannya hanya sekedar mengingatkan bahwa tingkah laku orang yang di rasuki oleh penunggu tempat, dianggap telah mengusik ketenangannya. Ada juga yang ingin sekedar menyampaikan suatu pesan yang tidak sempat ia ungkapkan ketika masih hidup di dunia, yang kerap disebut arwah gentayangan.
Bab 3- Analisis Data
Berbagai Alasan Atas Kesurupan Massal Di Pabrik Bintang Bola Dunia
Sejumlah orang yang diwawancari mempunyai bermacam-macam pendapat
mengenai mengapa buruh-buruh tersebut kesurupan. Kemungkinan alasan-alasan
ini adalah sebagai berikut:
1. Menurut pendapat pak Suryono, buruh-buruh di pabrik Bintang Bola Dunia kesurupan karena jam bekerja mereka terlalu banyak pada setiap harinya dan oleh karena itu semakin bekerja semakin stres. Sebelum peristiwa kesurupan massal yang besar, buruh-buruh mulai bekerja jam setengah enam pagi sampai jam lima sore setiap hari, dari hari senin sampai hari minggu.
Banyak buruh tinggal di luar Malang dan sering tidak tiba di rumah sampai jam tujuh malam. Banyak buruh mempunyai keluarga yang juga harus dipelihara. Akhirnya, buruh-buruh ini merasa stres dan tertekan.
2. Menurut Ibu Yuni dari warung di luar pabrik, banyak buruh bercerita kepada dia bahwa ada masalah rumah tangga. Ibu Yuni merasa ragu-ragu untuk mengatakan banyak tentang topik ini karena hal ini merupakan informasi pribadi. Meskipun demikian, dia mengatakan bahwa banyak buruh bertengkar dengan suami mereka, sering tentang persoalan keluarga, uang dan pekerjaan. Ibu Yuni berpendapat bahwa buruh-buruh kesurupan karena mereka tidak senang dengan kehidupan di rumah yang tidak harmonis. Dengan mengalami kesurupan, buruh-buruh bisa mengungkapkan diri mereka dan melarikan diri dari kehidupan sehari-hari.
3. Akhirnya, menurut manajemen PT. Bentoel tidak ada kasus kesurupan tetapi kasus kepanikan. Ini karena banyak buruh panik sesudah ada gempa pada pagi hari itu. Selanjutnya karena kepanikan tersebut buruh-buruh menjadi pingsan. Oleh karena itu manajemen langsung menghentikan operasional pabrik khusus pada hari itu.
Teori Yang Digunakan :
Dalam kajian psikologi ada dua perspektif yang dapat digunakan untuk melihat kasus kesurupan yaitu kajian psikoanalisa dan psikologi transpersonal. Salah seorang pakar dalam psikoanalisa adalah Carl Bustav Jung.
a. Ketidaksadaran dalam pandangan Jung
C.G. Jung (Swis, 1875-1961) adalah tokoh yang paling penting untuk psikoanalisis (psikologi dalam) di samping Sigmund Freud dan Alfred Adler. Psikologi dalam (depth psychology) menemukan ketegangan antara hidup sadar dan tidak sadar dan menganalisa “ketidaksadaran” sebagai suatu lapisan psikologi manusia (di samping pikiran yang disadarinya) yang mempengaruhi perasaan, pikiran dan tindakan manusia. Ketidaksadaran itu muncul misalnya dalam mimpi-mimpi atau juga dalam mitos-mitos dan gambar-gambar religius.
Menurut C.G. Jung, ketidaksadaran punya dua lapisan, yaitu ketidaksadaran individual yang isinya dibentuk oleh pengalaman-pengalaman pribadi yang digeserkan ke bawah sadar, dan ketidaksadaran kolektif (collective unconsciousness) yang isinya merupakan warisan yang dimiliki semua manusia sebagai bagian dari kodratnya. Kedikaksadaran adalah “segala endapan pengalaman nenek moyang yang diturunkan sejak berjuta tahun yang tak dapat disebut yang sepenuhnya mengendalikan, gema peristiwa dari dunia prasejarah, yang oleh zaman selanjutnya ditambah sedikit demi sedikit penganekaragaman dan pembedaan-pembedaan”. Adanya ketidaksadaran itu bisa menjelaskan kenyataan bahwa baik dalam mimpi-mimpi individual maupun dalam budaya-budaya dan agama-agama yang berbeda, muncul motif-motif yang sama tanpa adanya hubungan tradisi satu sama lain atau diakibatkan oleh pengalaman konkret.
Ketidaksadaran adalah tempat dimana agama dan simbol-simbol religius berakar. Jadi, ketidaksadaran bukan hanya dasar kemampuan manusia untuk mengembangkan agama dan simbol-simbol religius dan “pintu masuk” yang membuka lubuk jiwa manusia untuk pengalaman religius, tetapi juga menyediakan materi-materi untuk gagasan-gagasan keagamaan.
Materi yang disediakan oleh ketidaksadaran untuk proses itu, oleh C. G. Jung disebut “arketipe”, yaitu “gambaran arkais, kuno dan universal, yang sudah ada sejak zaman yang amat silam. Dalam kata Jung, arketipe ‘merupakan bentuk atau gambaran yang bersifat kolektif yang terjadi praktis di seluruh bumi sebagai unsur kisah suci dan dalam waktu yang sama merupakan hasil asli dan individual yang asal-usulnya tidak disadari’. Arketipe itu secara laten tersembunyi dalam semua orang dan akan diberi ungkapan simbolis menurut situasi historis di mana orang itu tercakup. Konsep arketipe itu mengambil bentuk simbolis dalam berbagai ungkapan religius, dan menggambarkan solidaritas terdalam antara berbagai tradisi keagamaan umat manusia”. Jadi, simbol-simbol dasar dari agama-agama (misalnya: Tuhan, ayah/ibu, simbol-simbol untuk keberadaan transenden dan keseluruhan/keesan dll.) sudah berada di dalam ketidaksadaran setiap individu, mereka merupakan ide-ide yang pra-sadar dan primordial, dan merupakan dasar untuk pengalaman-pengalaman religius yang langsung.
Beberapa Cara menangani kasus kesurupan;
1. Isolasi sesegera mungkin buruh yang terkena kesurupan
2. Tenangkan suasana, karena kesurupan cenderung membuat suasana menjadi gaduh, ketakutan, dan crowded atau ramai.
3. Tenangkan buruh yang mengalami kesurupan dengan membiarkannya, jangan dipaksa atau dipegang apalagi diteriaki terlebih di pukul pukul,
4. Kalau membaca Qur’an bacakan dengan penuh kekhusyuan dan dengan nada pelan sehingga akan menenangkan si sakit, kalau dibaca dengan menghentak hentak buruh yang terkena akan semakin histeris dan teriakan dari pembacaan quran tadi akan memperkeruh keadaan. Dalam hal ini kita harus bijak dalam mendudukkan al quran jangan melecehkan quran dengan menggunakannya yang bukan pada tempatnya, gunakan quran sebagai petunjuk hidup bukan sebagai alat pengusiran jin.
5. Tempatkan si buruh di tempat tertutup namun yang aman dan udara bisa keluar masuk dalam ruangan dengan baik
6. Jika keadaan semakin tidak terkendali, jangan memanggil paranormal, atau memanggil dukun dan sejenisnya. Namun panggilah dokter untuk memberikan obat penenang kepada si buruh, dan jika sudah dampingi buruh dengan orang terdekatnya
BAB 4 – PENUTUP
Bagaimana Mencegahnya Agar Tidak Kesurupan?
Yang paling tepat untuk mencegahnya;
1. Jangan biarkan diri Anda dalam keadaan kosong (melamun)
2. Hindari tempat-tempat yang bisa dikatakan angker.
3. Jangan mempunyai kebiasaan berbicara atau teriak-teriak sembarangan. Lihat tempat dan waktu ketika anda berbicara atau berteriak-teriak (ketawa keras/ngakak).
4. Jangan menantang alam (seperti gunung, laut, hutan dsb) atau roh halus. Jangan sesumbar.
5. Dekatkan selalu diri Anda kepada Tuhan YMK.
Peran Agama Islam Merupakan Peran Penting Dalam Bidang Kesurupan.
Ini karena ada unsur agama Islam dalam bermacam tingkatan kesurupan, misalnya dari awal kesurupan sampai berhentinya kesurupan. Agama Islam menjelaskan alasan-alasan untuk kesurupan, yaitu ketika orang dimasuki oleh jin dan mahluk halusjahat, yang oleh agama Islam telah diperingatkan dalam Al Qur.an. Lagi pula,menurut agama Islam, orang Islam yang tidak saleh, lebih mudah kena kesurupan karena jiwanya tidak kuat dan moralnya lemah.
Selain menyediakan penjelasan tentang kesurupan, agama Islam merupakan alat yang digunakan untuk menghentikan proses kesurupan. Dalam studi kasus ini sama-sama mempunyai solusi berkenaan dengan agama Islam untuk menghentikan kesurupan. Solusinya biasanya adalah orang alim atau orang yang tahu dunia spiritual menggunakan kekuatannya untuk mengeluarkan mahluk halus dari badan orang yang kesurupan. Orang ketiga ini sangat penting pada proses kesurupan, dan setiap kasus yang diteliti untuk laporan ini, selalu ada orang ketiga. Dalam penelitian ini ada pengecualian ketidakhadiran orang ketiga, yaitu pada kasus kesurupan massal di pabrik rokok Bintang Bola Dunia, orang yang kesurupan dibawa ke rumak sakit.
Tugas Mandiri : Muhammad Zubair Bin Samsidi/BPI/kes Men II
Sumber : 1) http://kumel.blog.friendster.com/2009/06/analisa-kesurupan/
2)http://efrizalmalalak.blogspot.com/2010/10/kesurupan-dalam-tinjauan-agama.html
3)http://itha.wordpress.com/2007/08/16/fenomena-kesurupan-sebagai-suatu-bentuk-histeria/
4)http://www.puisiromantis.tk/2010/11/mengetahui-gejala-kesurupan.html
Himpunan Makalah Bimbingan Konseling dan Kesihatan Mental
Isnin, 6 Jun 2011
STUDI KASUS DI PATIJOMPO
BAB I
Pendahuluan
Tidak seorangpun yang tidak ingin menikmati ketenangan hidup, dan semua orang akan berusaha mencarinya, meskipun tidak semuanya dapat mencapai yang diinginkannya itu. Bermacam sebab dan rintangan yang mungkin terjadi sehingga banyak orang yang mengalami kegelisahan, kecemasan dan ketidak puasan.
Keadaan yang tidak menyenangkan itu tidak terbatas kepada golongan tertentu saja, tetapi tergantung pada cara orang menghadapi sesuatu persoalan. Misalnya ada orang miskin yang gelisah karena banyak keinginannya yang tidak tercapai, bahkan orang kaya yang juga gelisah, cemas dan merasa tidak tentram dalam hidupnya yang diakibatkan faktor lain seperti kebosanan atau ingin menambah hartanya lebih banyak lagi.
Masalah
Ada beberapa gangguan mental yang dialami para lansia diantaranya gangguan fungsi Kognitif, Dimensia, Apraksia, dan Gangguan orientasi.
1) Gangguan fungsi kognitif
Fungsi Kognitif merupakan kemampuan seseorang untuk menerima, mengolah, menyimpan dan menggunakan kembali semua masukan sensorik secara baik
2) Demensia
Pada tahap ini sudah terdapat gangguan daya ingat. Pasien umumnya sulit untuk mengingat hal-hal yang seharusnya mudah diingat. Dimensia umumnya akan dialami oleh lansia yang berumur di atas 80 tahun. Gejala dimensia meliputi gangguan daya ingat. Gejala awal yang dijumpai adalah gangguan memori yang baru (recent memory), sedangkan memori yang lama (remote memory) akan terganggu belakangan.
3) Apraksia dan ganguan orientasi
Gangguan lain yang juga sering dihadapi lansia adalah gangguan dalam melakukan kegiatan tertentu (apraksia) dan gangguan orientasi. Pada tahapan ini pasien bahkan akan lupa dengan rumah dan bahkan kamar tidurnya sendiri. Karena begitu beratnya beban yang dihadapi lansia, mereka bisa juga terkena depresi.
Bab II
Pembahasan
Identitas
Nama: Mak Jah
Umur: 53
Asal: Bengkalis
Lokasi: PatiJompo…Pekanbaru.Riau.
Permasalahan:
Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam masalah kesehatan yang dibahas pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri yang merupakan bagian dari Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain.
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia.
Bab III
Penyelesaian
Mendekati pasient dengan Kepribadian yang lemah atau kurang percaya diri sehingga menyebabkan yang bersangkutan merasa rendah diri. Memberi pendekatan Positif, bila trauma (luka jiwa) yang dialami seseorang, akan disikapi untuk mengambil hikmah dari kesulitan yang dihadapinya, setelah mencari jalan keluar maksimal, tetapi belum mendapatkannya tetapi dikembalikan kepada sang pencipta yaitu Allah SWT, dan bertekad untuk tidak terulang kembali dilain waktu
Analisa Kasus:
Sebab-sebab timbulnya Trauma yaitu :
• Terjadinya konflik sosial – budaya akibat dari adanya norma yang berbeda antara dirinya dengan lingkungan masyarakat.
• Negatif, bila trauma yang dialami tidak dapat dihilangkan, sehingga yang bersangkutan mengalami frustasi, yaitu tekanan batin akibat tidak tercapainya apa yang dicita-citakan.
Contohnya :
Agresi, yaitu : Meluapkan rasa emosi yang tidak terkendali dan cenderung melakukan tindakan sadis yang dapat mambahayakan orang lain.
Regresi, yaitu : Pola reaksi yang primitif atau kekanak-kanakan. (menjerit, menangis dll)
Fiksasi, yaitu : Pembatasan pada satu pola yang sama (membisu, memukul dada sendiri dll)
Proyeksi, yaitu : Melemparkan atau memproyeksikan sikap-sikap sendiri yang negatif pada orang lain.
Indentifikasi, yaitu : Menyamakan diri dengan sesorang yang sukses dalam imajinasi, (kecantikan, dengan bintang film .dll)
Narsisme, self love yaitu : Merasa dirinya lebih dari orang lain.
Autisme yaitu : Menutup diri dari dunia luar dan tidak puas dengan pantasinya sendiri.
Bab IV
Penutup
Kesimpulan
Salah satu penanganan trauma yaitu dengan konseling trauma. Konseling trauma merupakan kebutuhan mendesak untuk membantu mengatasi beban psikologis yang diderita akibat bencana mapun hal yang linnya. Guncangan psikologis yang dahsyat akibat kehilangan orang-orang yang dicintai, kehilangan sanak keluarga, dan kehilangan pekerjaan, bisa memengaruhi kestabilan emosi para korban. Mereka yang tidak kuat mentalnya dan tidak tabah dalam menghadapi petaka, bisa mengalami guncangan jiwa yang dahsyat dan berujung pada stres berat yang sewaktu-waktu bisa menjadikan mereka lupa ingatan atau gila.
Kesan :
Semangat hidup menjadi modal utama bagi para korban untuk sanggup bertahan dan menatap masa depan dari balik kehancuran hidup dan kesendirian. Dengan semangat hidup yang kuat, para penderita akan terbebas dari belenggu keputusasaan dan ketidakberdayaan. Konseling trauma juga sangat bermanfaat dalam membantu para korban untuk mampu memecahkan masalah secara kreatif melalui hubungan timbal balik dan dukungan lingkungan.
Disediakan : Abdul Hadi Bin Basri 10942008759
Pendahuluan
Tidak seorangpun yang tidak ingin menikmati ketenangan hidup, dan semua orang akan berusaha mencarinya, meskipun tidak semuanya dapat mencapai yang diinginkannya itu. Bermacam sebab dan rintangan yang mungkin terjadi sehingga banyak orang yang mengalami kegelisahan, kecemasan dan ketidak puasan.
Keadaan yang tidak menyenangkan itu tidak terbatas kepada golongan tertentu saja, tetapi tergantung pada cara orang menghadapi sesuatu persoalan. Misalnya ada orang miskin yang gelisah karena banyak keinginannya yang tidak tercapai, bahkan orang kaya yang juga gelisah, cemas dan merasa tidak tentram dalam hidupnya yang diakibatkan faktor lain seperti kebosanan atau ingin menambah hartanya lebih banyak lagi.
Masalah
Ada beberapa gangguan mental yang dialami para lansia diantaranya gangguan fungsi Kognitif, Dimensia, Apraksia, dan Gangguan orientasi.
1) Gangguan fungsi kognitif
Fungsi Kognitif merupakan kemampuan seseorang untuk menerima, mengolah, menyimpan dan menggunakan kembali semua masukan sensorik secara baik
2) Demensia
Pada tahap ini sudah terdapat gangguan daya ingat. Pasien umumnya sulit untuk mengingat hal-hal yang seharusnya mudah diingat. Dimensia umumnya akan dialami oleh lansia yang berumur di atas 80 tahun. Gejala dimensia meliputi gangguan daya ingat. Gejala awal yang dijumpai adalah gangguan memori yang baru (recent memory), sedangkan memori yang lama (remote memory) akan terganggu belakangan.
3) Apraksia dan ganguan orientasi
Gangguan lain yang juga sering dihadapi lansia adalah gangguan dalam melakukan kegiatan tertentu (apraksia) dan gangguan orientasi. Pada tahapan ini pasien bahkan akan lupa dengan rumah dan bahkan kamar tidurnya sendiri. Karena begitu beratnya beban yang dihadapi lansia, mereka bisa juga terkena depresi.
Bab II
Pembahasan
Identitas
Nama: Mak Jah
Umur: 53
Asal: Bengkalis
Lokasi: PatiJompo…Pekanbaru.Riau.
Permasalahan:
Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam masalah kesehatan yang dibahas pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri yang merupakan bagian dari Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain.
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia.
Bab III
Penyelesaian
Mendekati pasient dengan Kepribadian yang lemah atau kurang percaya diri sehingga menyebabkan yang bersangkutan merasa rendah diri. Memberi pendekatan Positif, bila trauma (luka jiwa) yang dialami seseorang, akan disikapi untuk mengambil hikmah dari kesulitan yang dihadapinya, setelah mencari jalan keluar maksimal, tetapi belum mendapatkannya tetapi dikembalikan kepada sang pencipta yaitu Allah SWT, dan bertekad untuk tidak terulang kembali dilain waktu
Analisa Kasus:
Sebab-sebab timbulnya Trauma yaitu :
• Terjadinya konflik sosial – budaya akibat dari adanya norma yang berbeda antara dirinya dengan lingkungan masyarakat.
• Negatif, bila trauma yang dialami tidak dapat dihilangkan, sehingga yang bersangkutan mengalami frustasi, yaitu tekanan batin akibat tidak tercapainya apa yang dicita-citakan.
Contohnya :
Agresi, yaitu : Meluapkan rasa emosi yang tidak terkendali dan cenderung melakukan tindakan sadis yang dapat mambahayakan orang lain.
Regresi, yaitu : Pola reaksi yang primitif atau kekanak-kanakan. (menjerit, menangis dll)
Fiksasi, yaitu : Pembatasan pada satu pola yang sama (membisu, memukul dada sendiri dll)
Proyeksi, yaitu : Melemparkan atau memproyeksikan sikap-sikap sendiri yang negatif pada orang lain.
Indentifikasi, yaitu : Menyamakan diri dengan sesorang yang sukses dalam imajinasi, (kecantikan, dengan bintang film .dll)
Narsisme, self love yaitu : Merasa dirinya lebih dari orang lain.
Autisme yaitu : Menutup diri dari dunia luar dan tidak puas dengan pantasinya sendiri.
Bab IV
Penutup
Kesimpulan
Salah satu penanganan trauma yaitu dengan konseling trauma. Konseling trauma merupakan kebutuhan mendesak untuk membantu mengatasi beban psikologis yang diderita akibat bencana mapun hal yang linnya. Guncangan psikologis yang dahsyat akibat kehilangan orang-orang yang dicintai, kehilangan sanak keluarga, dan kehilangan pekerjaan, bisa memengaruhi kestabilan emosi para korban. Mereka yang tidak kuat mentalnya dan tidak tabah dalam menghadapi petaka, bisa mengalami guncangan jiwa yang dahsyat dan berujung pada stres berat yang sewaktu-waktu bisa menjadikan mereka lupa ingatan atau gila.
Kesan :
Semangat hidup menjadi modal utama bagi para korban untuk sanggup bertahan dan menatap masa depan dari balik kehancuran hidup dan kesendirian. Dengan semangat hidup yang kuat, para penderita akan terbebas dari belenggu keputusasaan dan ketidakberdayaan. Konseling trauma juga sangat bermanfaat dalam membantu para korban untuk mampu memecahkan masalah secara kreatif melalui hubungan timbal balik dan dukungan lingkungan.
Disediakan : Abdul Hadi Bin Basri 10942008759
HISTERIA ( KESURUPAN )
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perspektif awam, peristiwa histeria tersebut di istilahkan dengan "kesurupan". Peristiwa semacam itu selalu dikaitkan dengan makhluk dari "dunia lain" yang dipercaya sebagai penyebab utamanya. Misalnya, dikaitkan dengan penebangan pohon di sekitar sekolah. Diyakini bahwa penyebab "kesurupan" tersebut adalah makhluk yang berasal dari "dunia lain" yang menghuni pohon-pohon itu merasa terganggu karena rumahnya ditebangi oleh manusia. Makhluk ini marah dan melampiaskan kemarahannya dengan merasuki jiwa manusia.
Ujung akhirnya pasti dapat diduga. Bahwa, satu-satunya yang mampu menyembuhkan "penderitaan" tersebut adalah dari kalangan paranormal, kiai, dukun atau yang sejenisnya. Sedangkan argumentasi kalangan akademikus, semisal psikiater atau ahli jiwa, cenderung disingkirkan karena dianggap bukan ahli dan bidangnya dalam menangani masalah tersebut.
B. Rumusan Masalah
1) Apa itu kesurupan
2) Teori dan penyelesaian dari kasus kesurupan
C. Tujuan
1) Untuk memenuhi tugas mata kuliah kesehatan mental II
2) Untuk menambah pengetahuan dalam masalah histeria-kesurupan dalam mempelajari kesehatan mental orang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Identitas
Nama : Juriana
Umur : 18 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jln. Sudirman Gg. Paus, Dumai-Riau
Jumlah saudara : 5 ( Lima )
Anak ke : 5 ( Lima )
B. Deskripsi
Juriana adalah siswa kelas 3 SMK, Pada saat para siswa / siswi dan para guru melaksanakan upacara bendera, tiba-tiba juriana jatuh pingsan. Teman temannya bingung dan berusaha menolongnya, pada saat juriana sadar ia tampak kebingungan dan tidak tahu lagi siapa dirinya, kadang ia menangis dan terkadang tertawa, selain itu juriana juga minta kepada orang di sekitarnya untuk membawakan jajanan kanti untuk ia makan. Dan keadaan yang seperti ini sering di alami oleh juriana di sekolah bahkan di rumahnya. Kejadian ini berawal pada saat juriana tinggal bersama ibu tiri na, karena ibu kandungnya sudah meninggal pada saat ia duduk di bangku kelas 2 SMK dan pada saat itu lah juriana mulai mengalami penyakit histeria ini.
BAB III
PENJELASAN
A. Teori
1. Menurut pandangan islam
Fenomena kesurupan dijelaskan sejak awal . penyebabnya adalah ganguan jin jahat dan setan. Hanya saja, jin dan setan itu hanya bisa menguasai orang-orang yang tidak percaya atau ragu pada Allah. Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa tiga titik itu adalah pembuluh darah yang menghidupkan potensi otak kecil manusia. Di titik itu, jika kita sering berpikir berlebihan sehingga tidak kuat menahan, hal itu bisa menimbulkan depresi. Ketika terjadi penegangan dalam pembuluh darah kita, maka melemahkan potensi elektro kita sehingga ada arus listrik dari golongan jin masuk dan mempengaruhi sehingga terjadi kesurupan. Yang kedua, terletak di pembuluh darah yang menghidupkan potensi khayalan. Sama halnya dengan yang pertama, jika itu menegang karena kita terlalu sering mengkhayal maka setan kemungkinan besar bisa masuk. Yang ketiga di pembuluh yang terletak di bawah telinga. Ini bisa menimpa mereka yang malas, kurang kreatif, tidak punya semangat hidup.
Jadi, menurut pandangan islam hal yang sebaiknya ada pada diri seseorang supaya tidak kesurupan adalah :
Selama kita beriman dan bertawakal, setan tidak akan menguasai manusia.
Jika imannya kuat dan bertawakal, mereka akan optimis, bersemangat, tenang, tenteram, dan tahan banting terhadap semua masalah.
Ketenangan jiwa akan membuat seseorang tak gampang kesurupan. Membaca Al Qur’an dan Zikir adalah salah satu langkah menengkan jiwa.
2. Dari sudut pandang Psikologi kesurupan merupakan:
a) Keadaan disosiasi, saat seseorang seakan terpisah dari dirinya;
b) Hysteria , saat seseorang tidak dapat mengendalikan dirinya, atau ketidakmampuan seseorang menghadapi kesukaran-kesukaran, tekanan perasaan, kegelisahan, kecemasan dan pertentangan batin. Dalam menghadapi kesukaran itu orang tidak mampu menghadapinya dengan cara yang wajar, lalu melepaskan tanggung jawab dan lari secara tidak sadar kepada gejala-gejala hysteria yang tidak wajar.
c) Split personality , saat pada diri seseorang tampil beragam perilaku yang dimunculkan oleh pribadi yang berbeda. Penjelasan ini seringkali mengalami benturan dengan kenyataan-kenyataan budaya.
Kesurupan, harusnya kita tahu bahwa ada dua jenis kesurupan. yaitu ledakan emosi dan pengambilalihan emosi. Ledakan emosi: yang dimaksud dengan ledakan emosi adalah melepasnya sistem kontrol diri karena tekanan psikologis kuat secara internal. faktor eksternal. misalnya karena marah, seseorang langsung mengamuk seperti banteng haus. Pengambilalihan emosi: Yang dimaksud dengan pengambilalihan disini adalah lepasnya kontrol kita dari akal sehat dan kesadaran kita, lalu ada pihak lain yang mengontrol dan mengendalikan kita.
3. Menurut Teori Sigmun Freud
Dalam kajian psikologi ada dua perspektif yang dapat digunakan untuk melihat kasus kesurupan yaitu kajian psikoanalisa dan psikologi transpersonal. Namun menurut freud yang paling sesuai untuk mengkaji kesurupan sebagai sebuah gangguan lebih tepat dengan menggunakan psikoanalisa terutama pendapatnya Carl Gustav Jung. Pada kajian psikologi transpersonal kajian trance lebih ke arah spiritual atau sebagai sesuatu yang tidak mengganggu. Kesurupan sebenarnya juga merupakan trance ke arah mengganggu dan tidak terkendali.individu, mereka merupakan ide-ide yang pra-sadar dan primordial, dan merupakan dasar untuk pengalaman-pengalaman religius yang langsung.
Seringkali orang yang kesurupan memiliki kekuatan yang melebihi kemampuan biasanya, dalam beberapa kasus kesurupan dia bisa berteriak teriak hingga berjam jam, atau bisa melemparkan beberapa orang yang sedang memeganginya. Ada lagi kesurupan mampu berbicara seperti bukan dia yang bicara, dalam keadaan seperti ini seseorang yang kesurupan sedang memasuki alam bawah sadarnya tepatnya di alam ketidaksadaran kolektif dimana menurut freud ketidaksadaran tersebut mengandung kekuatan jiwa (psyche) sehingga dia memiliki kekutan yang melebihi seperti biasanya .Mengapa orang bisa masuk kedalam alam bawah sadarnya ? sebab utamanya adalah lemahnya kesadaran seperti orang mau masuk tidur, kenapa bisa tidur jawabnya tentunya karena lemahnya kesadaran karena faktor mengantuk.
Jadi ,Menurut freud cara penyelesaian orang jika mengalami suatu kesurupan adalah dengan cara sebagai berikut :
a) isolasi sesegera mungkin anak yang terkena kesurupan.
b) tenangkan suasana, karena kesurupan cenderung membuat suasana menjadi gaduh, ketakutan, dan crowded atau ramai.
c) tenangkan anak yang mengalami kesurupan dengan membiarkannya, jangan dipaksa atau dipegang apalagi diteriaki terlebih di pukul pukul,
d) kalau membacaAl- quran bacakan dengan penuh kekhusyuan dan dengan nada pelan sehingga akan menenangkan si sakit, kalau dibaca dengan menghentak hentak anak yang terkena akan semakin histeris dan teriakan dari pembacaan quran tadi akan memperkeruh keadaan. Dalam hal ini kita harus bijak dalam mendudukkan Al-quran jangan melecehkan Al-quran dengan menggunakannya yang bukan pada tempatnya, gunakan Al- quran sebagai petunjuk hidup bukan sebagai alat pengusiran jin.
e) tempatkan orang yang terkena kesurupan di tempat tertutup namun yang aman dan udara bisa keluar masuk dalam ruangan dengan baik
f) jika keadaan semakin tidak terkendali, jangan memanggil paranormal, atau memanggil dukun dan sejenisnya. Namun panggilah dokter untuk memberikan obat penenang kepada orang yang kesurupan.
B. Analisa Kasus
Dari kasus di atas dapat di analisa bahwa histeria yang di alami oleh penderita di akibatkan karena rasa tertekan yang di rasakannya yang membuat ia merasa takut, kesal, cemas dan lain sebagainya yang tidak dapat di kontrolnya sehingga mengakibatkan ia menjadi stres dan terjadilah histeria ( kesurupan ) tersebut.
Adapun gejala-gejala dari kesurupan itu: Gejala-gejala beberapa waktu sebelum kesurupan antara lain kepala terasa berat, badan dan kedua kaki lemas, penglihatan kabur, badan terasa ringan, dan ngantuk. Perubahan ini biasanya masih disadari oleh subjek, tetapi setelah itu ia tiba-tiba tidak mampu mengendalikan dirinya. Melakukan sesuatu di luar kemampuan dan beberapa di antaranya merasakan seperti ada kekuatan di luar yang mengendalikan dirinya. Mereka yang mengalami kesurupan merasakan bahwa dirinya bukanlah dirinya lagi, tetapi ada suatu kekuatan yang mengendalikan dari luar. Keadaan saat kesurupan ada yang menyadari sepenuhnya, ada yang menyadari sebagian, dan ada pula yang tidak menyadari sama sekali. Dalam keadaan kesurupan korban melakukan gerakan-gerakan yang terjadi secara otomatis, tidak ada beban mental, dan tercetus dengan bebas. Saat itu merupakan kesempatan untuk mengekspresikan hal-hal yang terpendam melalui jeritan, teriakan, gerakan menari seperti keadaan hipnotis diri. Setelah itu, fisik mereka dirasa lelah tetapi, mental mereka mendapat kepuasan hebat. Gejala-gejala seperti yang tersebut yang dirasakan oleh juriana
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesurupan merupakan reaksi kejiwaan yang dinamakan reaksi disosiasi atau reaksi yang mengakibatkan hilangnya kemampuan seseorang untuk menyadari realitas di sekitarnya, yang disebabkan oleh tekanan fisik maupun mental (berlebihan). Tetapi kalau kesurupannya massal, itu melibatkan sugesti. Reaksi disosiasi dapat terjadi secara perorangan atau bersama-sama, saling memengaruhi, dan tidak jarang menimbulkan histeria massal. Kesurupan hannya terjadi pada diri orang yang memiliki jiwa yang lemah, sehingga ketika mendapat tekanan tidak mampu untuk mengatasinya. Orang yang lemah dari segi jiwa atau mental melepaskan ketidak berdayaanya dengan tanpa disadarinya masuk ke dalam bawah sadarnya. Ketika berada dalam wilayah bawah sadarnya tersebut terjadilah letupan-letupan emosinya yang tertahan selama ini. ketika hal itu terjadi, diiringi dengan daya kekuatan yang lahir dari dorongan kejiwaannya. Dia meronta dan melabrak orang disekelilinginya. Saat ini yang terjadi adalah dia berada dalam alam bawah sadar.
Dengan demikian dipahami bahwa kesurupan merupakan sebab dari lemahnya jiwa seseorang dalam menghadapi realitas social. Menurut penulis kesurupan yang marak terjadi bukanlah akibat diri seseorang dirasuki oleh jin. Namun justru karena adanya letupan emosi bawah sadarnya. Kesurupan jangan dipelihara. Bagaimanapun ini merupakan masalah kejiwaan.
Oleh karenanya solusi bagi masalah ini adalah bagaimana kita menciptakan jiwa yang sehat. Dengan kondisi yang sehat dan tenang akan membuat diri seseorang memiliki ketahanan di dalam menghadapi kerasnya hidup ini. Jiwa yang tenang hanya akan didapat dari ajaran-ajaran agama. Pengamalan ajaran agama akan menjauhkan seseorang dari keputus asaan.
Nama : Nur Hayatun Nufus
Nim : 10942006711
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perspektif awam, peristiwa histeria tersebut di istilahkan dengan "kesurupan". Peristiwa semacam itu selalu dikaitkan dengan makhluk dari "dunia lain" yang dipercaya sebagai penyebab utamanya. Misalnya, dikaitkan dengan penebangan pohon di sekitar sekolah. Diyakini bahwa penyebab "kesurupan" tersebut adalah makhluk yang berasal dari "dunia lain" yang menghuni pohon-pohon itu merasa terganggu karena rumahnya ditebangi oleh manusia. Makhluk ini marah dan melampiaskan kemarahannya dengan merasuki jiwa manusia.
Ujung akhirnya pasti dapat diduga. Bahwa, satu-satunya yang mampu menyembuhkan "penderitaan" tersebut adalah dari kalangan paranormal, kiai, dukun atau yang sejenisnya. Sedangkan argumentasi kalangan akademikus, semisal psikiater atau ahli jiwa, cenderung disingkirkan karena dianggap bukan ahli dan bidangnya dalam menangani masalah tersebut.
B. Rumusan Masalah
1) Apa itu kesurupan
2) Teori dan penyelesaian dari kasus kesurupan
C. Tujuan
1) Untuk memenuhi tugas mata kuliah kesehatan mental II
2) Untuk menambah pengetahuan dalam masalah histeria-kesurupan dalam mempelajari kesehatan mental orang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Identitas
Nama : Juriana
Umur : 18 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jln. Sudirman Gg. Paus, Dumai-Riau
Jumlah saudara : 5 ( Lima )
Anak ke : 5 ( Lima )
B. Deskripsi
Juriana adalah siswa kelas 3 SMK, Pada saat para siswa / siswi dan para guru melaksanakan upacara bendera, tiba-tiba juriana jatuh pingsan. Teman temannya bingung dan berusaha menolongnya, pada saat juriana sadar ia tampak kebingungan dan tidak tahu lagi siapa dirinya, kadang ia menangis dan terkadang tertawa, selain itu juriana juga minta kepada orang di sekitarnya untuk membawakan jajanan kanti untuk ia makan. Dan keadaan yang seperti ini sering di alami oleh juriana di sekolah bahkan di rumahnya. Kejadian ini berawal pada saat juriana tinggal bersama ibu tiri na, karena ibu kandungnya sudah meninggal pada saat ia duduk di bangku kelas 2 SMK dan pada saat itu lah juriana mulai mengalami penyakit histeria ini.
BAB III
PENJELASAN
A. Teori
1. Menurut pandangan islam
Fenomena kesurupan dijelaskan sejak awal . penyebabnya adalah ganguan jin jahat dan setan. Hanya saja, jin dan setan itu hanya bisa menguasai orang-orang yang tidak percaya atau ragu pada Allah. Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa tiga titik itu adalah pembuluh darah yang menghidupkan potensi otak kecil manusia. Di titik itu, jika kita sering berpikir berlebihan sehingga tidak kuat menahan, hal itu bisa menimbulkan depresi. Ketika terjadi penegangan dalam pembuluh darah kita, maka melemahkan potensi elektro kita sehingga ada arus listrik dari golongan jin masuk dan mempengaruhi sehingga terjadi kesurupan. Yang kedua, terletak di pembuluh darah yang menghidupkan potensi khayalan. Sama halnya dengan yang pertama, jika itu menegang karena kita terlalu sering mengkhayal maka setan kemungkinan besar bisa masuk. Yang ketiga di pembuluh yang terletak di bawah telinga. Ini bisa menimpa mereka yang malas, kurang kreatif, tidak punya semangat hidup.
Jadi, menurut pandangan islam hal yang sebaiknya ada pada diri seseorang supaya tidak kesurupan adalah :
Selama kita beriman dan bertawakal, setan tidak akan menguasai manusia.
Jika imannya kuat dan bertawakal, mereka akan optimis, bersemangat, tenang, tenteram, dan tahan banting terhadap semua masalah.
Ketenangan jiwa akan membuat seseorang tak gampang kesurupan. Membaca Al Qur’an dan Zikir adalah salah satu langkah menengkan jiwa.
2. Dari sudut pandang Psikologi kesurupan merupakan:
a) Keadaan disosiasi, saat seseorang seakan terpisah dari dirinya;
b) Hysteria , saat seseorang tidak dapat mengendalikan dirinya, atau ketidakmampuan seseorang menghadapi kesukaran-kesukaran, tekanan perasaan, kegelisahan, kecemasan dan pertentangan batin. Dalam menghadapi kesukaran itu orang tidak mampu menghadapinya dengan cara yang wajar, lalu melepaskan tanggung jawab dan lari secara tidak sadar kepada gejala-gejala hysteria yang tidak wajar.
c) Split personality , saat pada diri seseorang tampil beragam perilaku yang dimunculkan oleh pribadi yang berbeda. Penjelasan ini seringkali mengalami benturan dengan kenyataan-kenyataan budaya.
Kesurupan, harusnya kita tahu bahwa ada dua jenis kesurupan. yaitu ledakan emosi dan pengambilalihan emosi. Ledakan emosi: yang dimaksud dengan ledakan emosi adalah melepasnya sistem kontrol diri karena tekanan psikologis kuat secara internal. faktor eksternal. misalnya karena marah, seseorang langsung mengamuk seperti banteng haus. Pengambilalihan emosi: Yang dimaksud dengan pengambilalihan disini adalah lepasnya kontrol kita dari akal sehat dan kesadaran kita, lalu ada pihak lain yang mengontrol dan mengendalikan kita.
3. Menurut Teori Sigmun Freud
Dalam kajian psikologi ada dua perspektif yang dapat digunakan untuk melihat kasus kesurupan yaitu kajian psikoanalisa dan psikologi transpersonal. Namun menurut freud yang paling sesuai untuk mengkaji kesurupan sebagai sebuah gangguan lebih tepat dengan menggunakan psikoanalisa terutama pendapatnya Carl Gustav Jung. Pada kajian psikologi transpersonal kajian trance lebih ke arah spiritual atau sebagai sesuatu yang tidak mengganggu. Kesurupan sebenarnya juga merupakan trance ke arah mengganggu dan tidak terkendali.individu, mereka merupakan ide-ide yang pra-sadar dan primordial, dan merupakan dasar untuk pengalaman-pengalaman religius yang langsung.
Seringkali orang yang kesurupan memiliki kekuatan yang melebihi kemampuan biasanya, dalam beberapa kasus kesurupan dia bisa berteriak teriak hingga berjam jam, atau bisa melemparkan beberapa orang yang sedang memeganginya. Ada lagi kesurupan mampu berbicara seperti bukan dia yang bicara, dalam keadaan seperti ini seseorang yang kesurupan sedang memasuki alam bawah sadarnya tepatnya di alam ketidaksadaran kolektif dimana menurut freud ketidaksadaran tersebut mengandung kekuatan jiwa (psyche) sehingga dia memiliki kekutan yang melebihi seperti biasanya .Mengapa orang bisa masuk kedalam alam bawah sadarnya ? sebab utamanya adalah lemahnya kesadaran seperti orang mau masuk tidur, kenapa bisa tidur jawabnya tentunya karena lemahnya kesadaran karena faktor mengantuk.
Jadi ,Menurut freud cara penyelesaian orang jika mengalami suatu kesurupan adalah dengan cara sebagai berikut :
a) isolasi sesegera mungkin anak yang terkena kesurupan.
b) tenangkan suasana, karena kesurupan cenderung membuat suasana menjadi gaduh, ketakutan, dan crowded atau ramai.
c) tenangkan anak yang mengalami kesurupan dengan membiarkannya, jangan dipaksa atau dipegang apalagi diteriaki terlebih di pukul pukul,
d) kalau membacaAl- quran bacakan dengan penuh kekhusyuan dan dengan nada pelan sehingga akan menenangkan si sakit, kalau dibaca dengan menghentak hentak anak yang terkena akan semakin histeris dan teriakan dari pembacaan quran tadi akan memperkeruh keadaan. Dalam hal ini kita harus bijak dalam mendudukkan Al-quran jangan melecehkan Al-quran dengan menggunakannya yang bukan pada tempatnya, gunakan Al- quran sebagai petunjuk hidup bukan sebagai alat pengusiran jin.
e) tempatkan orang yang terkena kesurupan di tempat tertutup namun yang aman dan udara bisa keluar masuk dalam ruangan dengan baik
f) jika keadaan semakin tidak terkendali, jangan memanggil paranormal, atau memanggil dukun dan sejenisnya. Namun panggilah dokter untuk memberikan obat penenang kepada orang yang kesurupan.
B. Analisa Kasus
Dari kasus di atas dapat di analisa bahwa histeria yang di alami oleh penderita di akibatkan karena rasa tertekan yang di rasakannya yang membuat ia merasa takut, kesal, cemas dan lain sebagainya yang tidak dapat di kontrolnya sehingga mengakibatkan ia menjadi stres dan terjadilah histeria ( kesurupan ) tersebut.
Adapun gejala-gejala dari kesurupan itu: Gejala-gejala beberapa waktu sebelum kesurupan antara lain kepala terasa berat, badan dan kedua kaki lemas, penglihatan kabur, badan terasa ringan, dan ngantuk. Perubahan ini biasanya masih disadari oleh subjek, tetapi setelah itu ia tiba-tiba tidak mampu mengendalikan dirinya. Melakukan sesuatu di luar kemampuan dan beberapa di antaranya merasakan seperti ada kekuatan di luar yang mengendalikan dirinya. Mereka yang mengalami kesurupan merasakan bahwa dirinya bukanlah dirinya lagi, tetapi ada suatu kekuatan yang mengendalikan dari luar. Keadaan saat kesurupan ada yang menyadari sepenuhnya, ada yang menyadari sebagian, dan ada pula yang tidak menyadari sama sekali. Dalam keadaan kesurupan korban melakukan gerakan-gerakan yang terjadi secara otomatis, tidak ada beban mental, dan tercetus dengan bebas. Saat itu merupakan kesempatan untuk mengekspresikan hal-hal yang terpendam melalui jeritan, teriakan, gerakan menari seperti keadaan hipnotis diri. Setelah itu, fisik mereka dirasa lelah tetapi, mental mereka mendapat kepuasan hebat. Gejala-gejala seperti yang tersebut yang dirasakan oleh juriana
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesurupan merupakan reaksi kejiwaan yang dinamakan reaksi disosiasi atau reaksi yang mengakibatkan hilangnya kemampuan seseorang untuk menyadari realitas di sekitarnya, yang disebabkan oleh tekanan fisik maupun mental (berlebihan). Tetapi kalau kesurupannya massal, itu melibatkan sugesti. Reaksi disosiasi dapat terjadi secara perorangan atau bersama-sama, saling memengaruhi, dan tidak jarang menimbulkan histeria massal. Kesurupan hannya terjadi pada diri orang yang memiliki jiwa yang lemah, sehingga ketika mendapat tekanan tidak mampu untuk mengatasinya. Orang yang lemah dari segi jiwa atau mental melepaskan ketidak berdayaanya dengan tanpa disadarinya masuk ke dalam bawah sadarnya. Ketika berada dalam wilayah bawah sadarnya tersebut terjadilah letupan-letupan emosinya yang tertahan selama ini. ketika hal itu terjadi, diiringi dengan daya kekuatan yang lahir dari dorongan kejiwaannya. Dia meronta dan melabrak orang disekelilinginya. Saat ini yang terjadi adalah dia berada dalam alam bawah sadar.
Dengan demikian dipahami bahwa kesurupan merupakan sebab dari lemahnya jiwa seseorang dalam menghadapi realitas social. Menurut penulis kesurupan yang marak terjadi bukanlah akibat diri seseorang dirasuki oleh jin. Namun justru karena adanya letupan emosi bawah sadarnya. Kesurupan jangan dipelihara. Bagaimanapun ini merupakan masalah kejiwaan.
Oleh karenanya solusi bagi masalah ini adalah bagaimana kita menciptakan jiwa yang sehat. Dengan kondisi yang sehat dan tenang akan membuat diri seseorang memiliki ketahanan di dalam menghadapi kerasnya hidup ini. Jiwa yang tenang hanya akan didapat dari ajaran-ajaran agama. Pengamalan ajaran agama akan menjauhkan seseorang dari keputus asaan.
Nama : Nur Hayatun Nufus
Nim : 10942006711
histeria ( kesurupan )
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Fenomena kesurupan atau possesion belakang ini marak diperbincangkan dalam berbagai media, khususnya kasus kesurupan masal yang terjadi di berbagai daerah dan sering menimpa para pelajar sekolah,. Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari banyak orang yang mengalami semacam trance atau kesurupan tanpa disadari, di mana fenomena kesurupan sering kali dan bahkan selalu dikaitkan dengan adanya gangguan dari roh-roh halus yang mengambil alih tubuh korban selama beberapa waktu dan membuat korban tidak sadar akan apa yang ia perbuat. Tentunya paham seperti ini merupakan paham tradisional yang ada, diturunkan dan berkembang dalam masyarakat kita. Kesurupan individual yang terjadi muncul sebagai reaksi atas apa yang sedang dirasakan oleh individu sebelum proses kesurupan itu terjadi. . Kesurupan, menurut ahli jiwa ini adalah gejala gangguan jiwa yang disebut folie a deux, yaitu gejala gangguan jiwa pada seseorang yang diikuti orang lain. Mereka kehilangan kepribadian yang asli. Yang muncul kepribadian yang lain. Jika pernah mendengar dan melihat sesuatu, kemudian masuk dalam alam bawah sadarnya, saat kepribadian dia rapuh, muncul kepribadian lain itu. Sementara dari psikologi, kesurupan sendiri sebenarnya telah menjadi kajian psikologi klinis, terutama psikologi abnormal. Kesurupan dalam perspektif psikologi dikenal dengan istilah trans dissosiatif dan trans possession disosiatif. Trans dissosiatif adalah perubahan dalam kesadaran yang bersifat temporer atau hilangnya perasaan identitas diri tanpa kemunculan identitas baru. Sedang trans possession dissosiatif adalah perubahan dalam kesadaran yang dikarakteristikkan dengan penggantian identitas personal yang selama ini ada dengan identitas yang baru.
Berdasarkan jenis kelamin, perempuan mempunyai risiko lebih besar untuk kesurupan dibandingkan laki-laki. Hal ini terbukti dari kasus-kasus yang terjadi sebagian besar adalah perempuan. Hal ini mungkin karena perempuan lebih sugestible atau lebih mudah dipengaruhi dibandingkan laki-laki.
Mereka yang memunyai kepribadian histerikal yang salah satu cirinya sugestible lebih berisiko untuk kesurupan atau juga menjadi korban kejahatan hipnotis. Berdasarkan usia, sebagian besar korban kesurupan berusia remaja dan dewasa muda. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa mereka yang berisiko untuk kesurupan adalah perempuan usia remaja atau dewasa muda yang mudah dipengaruhi. Selain itu, wanita lebih labil ketimbang pria dan terjadi perubahan dalam jiwanya. Banyak hal bisa menjadi penyebabnya. Antara lain kondisi keluarga, kondisi sekolah, hubungan pertemanan, sosial politik, dan masih banyak lagi.
Mereka yang mengalami kesurupan merasakan bahwa dirinya bukanlah dirinya lagi, tetapi ada suatu kekuatan yang mengendalikan dari luar. Keadaan saat kesurupan ada yang menyadari sepenuhnya, ada yang menyadari kesurupan korban melakukan gerakan-gerakan yang terjadi secara otomatis, tidak ada beban mental, dan tercetus dengan bebas. Saat itu merupakan kesempatan untuk mengekspresikan hal-hal yang terpendam melalui jeritan, teriakan, gerakan menari seperti keadaan hipnotis diri. Setelah itu, fisik mereka dirasa lelah tetapi, mental mereka mendapat kepuasan hebat.
2. Rumuan Masalalah
a) apa yang menyebabkan seseseorang itu bisa mengalami kesurupan.
b) bagaimana penyelesaian terhadap kasus kesurupan yang sesuai dengan teori.
c) Bagaimana seharusnya seseorang agar tidak mengalami kesurupan yang di akibatkan karena stres.
3. Tujuan
Untuk memenuhi tugas mata kuliah kesehatan mental
Mengetahui apa penyebab sebenarnya terjadinya kesurupan pada sari
Agar mengetahui teori apa yang bagus digunakan dalam penyelesaian masalah histeriah(kesurupan) yang di alami sari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Identitas Korban
Nama : Sari
Usia : 17 Tahun
Alamat : JL. Patimura-Rengat
Pekerjaan : Siswi SMAN I Rengat
B. Deskripsi Masalah
Pertama kali kesurupan yang terjadi pada sari itu ketika ia duduk dikelas XII SMA, yang mana awal terjadinya di sekolah tempat dia bersekolah, sebelumnya sari belum pernah mengalami kesurupan. Kesurupan itu terjadi sewaktu dia belajar di lokal,tiba-tiba dia menjerit seisi lokal dimana tempat ia belajar oun kaget melihatnya ,kemudian teman-temanya lansung membantu dan membawak sari ke mushalah agar bisa di beri pertolongan dan disadarkan.disana dia di tolong oleh gurunya dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur,an untuk menyadarkannya akhirnya beberapa jam kemudian barulah sari sadar.
Kesurupan yang terjadi pada sari itu bukan hanya terjadi satu kali bahkan berkali-kali.Kesurupan yang dialami oleh sari tidak hanya terjadi disekolah, bahkan juga terjadi dirumahnya sendiri. Sari mengaku awal mulanya setiap dia mengalami kesurupan itu apabila dia lagi ada masalah dan pikirannya kosong.Apalagi sari adalah seorang remaja yang lemah pisik nya. Sari mengatakan sebelum terjadinya kesurupan dia merasa kepalanya sangat berat badannya terasa lemas, setelah itu dia tidak tau apa-apa lagi. Disaat sari kesurupan dia menjerit-jerit histeris, menangis badanya terasa dingin, matanya melotot tajam,bahkan suaranya berubah, sari berontak-rontak kepanasan dan bahkan berkata ngelantur, apabila di bacakan ayat-ayat Al.Qur,an dan orang yang memegangnya saat dia kesurupan kewalahan memegangnya karena dia berontak-rontak kuat sekali. Kesurupan yang terjadi pada sari itu tidak mengenal waktu dan tempat.Sari mengatakan bahwa dia juga tidak ingin terjadinya kesurupan karena setelah dia sadar dari kesurupan barulah badanya terasa sakit-sakit,tetapi setelah terjadinya kesurupan sari merasa bebanya sedikit terlepaskan dari jeritan dan tangisan yang dikeluarkanya ketika ia mengalami kesurupan.
Kesurupan yang dialami sari itu akan terjadi jika dia mengalami banyak masalah, dia juga termasuk anak yang pemurung yang suka memendam masalah dan dia tidak pernah menceritakan kepada orang lain akibatnya, dengan tidak kuatnya sari dalam mengolah masalah,menjadi stres yang mana masalahnya yang menjadi beban pikiranya tidak ada penyelesaian di buatnya akhirnya dia mengalami kesurupan yang kata orang dimasukin roh-roh jahat apabila pikiran seseorang kosong.
BAB III
PENYELESAIAN
1. Penyelesaian Dengan Teori
a. Menurut pandangan psikologis
Menurut psikolog Dadang Hawari, Ia menyebut peristiwa kesurupan ini sebagai fenomena disosiasi atau sebuah reaksi yang mengakibatkan hilangnya kemampuan seseorang untuk menyadari realitas di sekitarnya. Akibatnya secara tidak disadari kepribadian si korban berubah. Jadi, menurutnya ini merupakan fenomena kejiwaan dan bukannya karena kemasukan jin atau setan karena kepercayaan di masyarakat kita yang menghubung-hubungkan dengan mistik dan dianggap sebagai kesurupan . Jadi, karena bukan aksi kerasukan setan, maka pengobatannya pun bukan dengan cara memanggil orang ”pintar”. Obat sangat gampang, tinggal dibawa ke puskesmas, disuntik atau dikasih obat yang bisa membuat mereka tidur, nanti mereka akan sadar dan sehat lagi setelah bangun..Reaksi disosiasi menimpa mereka yang jiwanya labil ditambah dalam kondisi yang membuatnya tertekan. Stres yang bertumpuk ditambah pemicu memungkinkan reaksi yang dikendalikan alam bawah sadar ini muncul ke permukaan.Yang paling penting dalam menghadapi persoalan ini adalah jangan sampai semua orang panik, harus tenang, bawa korban ke puskesmas, diobati, disuruh tidur apabila sudah sembuh kesurupan.
Jika dilihat pada kasus yang di alami sari ini, Kemampuan yang perlu ditingkatkan pada sari adalah mengajar dan melatihnya untuk bisa mengelola stres dan konflik dengan cara yang baik dan benar. Artinya, bila di kemudian hari mengalami stres atau konflik, atau diberi tanggung jawab yang berat, cara penyelesaiannya tidak lagi dengan kesurupan, tetapi dengan cara yang lebih konstruktif. Selain itu, perlu pula meningkatkan toleransi terhadap stres.
b. Menurut Teori Sigmun Freud
Dalam kajian psikologi ada dua perspektif yang dapat digunakan untuk melihat kasus kesurupan yaitu kajian psikoanalisa dan psikologi transpersonal. Namun menurut freud yang paling sesuai untuk mengkaji kesurupan sebagai sebuah gangguan lebih tepat dengan menggunakan psikoanalisa terutama pendapatnya Carl Gustav Jung. Pada kajian psikologi transpersonal kajian trance lebih ke arah spiritual atau sebagai sesuatu yang tidak mengganggu. Kesurupan sebenarnya juga merupakan trance ke arah mengganggu dan tidak terkendali.individu, mereka merupakan ide-ide yang pra-sadar dan primordial, dan merupakan dasar untuk pengalaman-pengalaman religius yang langsung.
Seringkali orang yang kesurupan memiliki kekuatan yang melebihi kemampuan biasanya, dalam beberapa kasus kesurupan dia bisa berteriak teriak hingga berjam jam, atau bisa melemparkan beberapa orang yang sedang memeganginya. Ada lagi kesurupan mampu berbicara seperti bukan dia yang bicara, dalam keadaan seperti ini seseorang yang kesurupan sedang memasuki alam bawah sadarnya tepatnya di alam ketidaksadaran kolektif dimana menurut freud ketidaksadaran tersebut mengandung kekuatan jiwa (psyche) sehingga dia memiliki kekutan yang melebihi seperti biasanya .Mengapa orang bisa masuk kedalam alam bawah sadarnya ? sebab utamanya adalah lemahnya kesadaran seperti orang mau masuk tidur, kenapa bisa tidur jawabnya tentunya karena lemahnya kesadaran karena faktor mengantuk.
Jadi ,Menurut freud cara penyelesaian orang jika mengalami suatu kesurupan adalah dengan cara sebagai berikut :
a) isolasi sesegera mungkin anak yang terkena kesurupan.
b) tenangkan suasana, karena kesurupan cenderung membuat suasana menjadi gaduh, ketakutan, dan crowded atau ramai.
c) tenangkan anak yang mengalami kesurupan dengan membiarkannya, jangan dipaksa atau dipegang apalagi diteriaki terlebih di pukul pukul,
d) kalau membacaAl- quran bacakan dengan penuh kekhusyuan dan dengan nada pelan sehingga akan menenangkan si sakit, kalau dibaca dengan menghentak hentak anak yang terkena akan semakin histeris dan teriakan dari pembacaan quran tadi akan memperkeruh keadaan. Dalam hal ini kita harus bijak dalam mendudukkan Al- quran jangan melecehkan Al- quran dengan menggunakannya yang bukan pada tempatnya, gunakan Al- quran sebagai petunjuk hidup bukan sebagai alat pengusiran jin.
e) tempatkan orang yang terkena kesurupan di tempat tertutup namun yang aman dan udara bisa keluar masuk dalam ruangan dengan baik.
f) jika keadaan semakin tidak terkendali, jangan memanggil paranormal, atau memanggil dukun dan sejenisnya. Namun panggilah dokter untuk memberikan obat penenang kepada orang yang kesurupan.
c. Menurut pandangan islam
Fenomena kesurupan dijelaskan sejak awal . penyebabnya adalah ganguan jin jahat dan setan. Hanya saja, jin dan setan itu hanya bisa menguasai orang-orang yang tidak percaya atau ragu pada Allah.
Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa tiga titik itu adalah pembuluh darah yang menghidupkan potensi otak kecil manusia. Di titik itu, jika kita sering berpikir berlebihan sehingga tidak kuat menahan, hal itu bisa menimbulkan depresi. Ketika terjadi penegangan dalam pembuluh darah kita, maka melemahkan potensi elektro kita sehingga ada arus listrik dari golongan jin masuk dan mempengaruhi sehingga terjadi kesurupan. Yang kedua, terletak di pembuluh darah yang menghidupkan potensi khayalan. Sama halnya dengan yang pertama, jika itu menegang karena kita terlalu sering mengkhayal maka setan kemungkinan besar bisa masuk. Yang ketiga di pembuluh yang terletak di bawah telinga. Ini bisa menimpa mereka yang malas, kurang kreatif, tidak punya semangat hidup.
Jadi, menurut pandangan islam hal yang sebaiknya ada pada diri seseorang supaya tidak kesurupan adalah :
• Selama kita beriman dan bertawakal, setan tidak akan menguasai manusia.
• Jika imannya kuat dan bertawakal, mereka akan optimis, bersemangat, tenang, tenteram, dan tahan banting terhadap semua masalah.
• Ketenangan jiwa akan membuat seseorang tak gampang kesurupan. Membaca Al Qur’an dan Zikir adalah salah satu langkah menengkan jiwa.
2. Analisis kasus
Dapat di analisis dari kasus tersebut bahwa histeria (kesurupan )yang dialami oleh sari merupakan akibat dari ketidak kuatan mentalnya yang mengakibatkan dirinya mengalami stres berdampak pada kesurupan yang akan bisa terjadi jika dia mengalami perasaan kekalutan mental.jika dilihat dari kasusnya itu sari termasuk seseorang yang lemah dalam menghadapi masalah sehinggah dia mudah terkena pengaruh roh-roh jahat yang merasuki tubuhnya saat itu,yang mengendalikan segenap jiwanya yang kosong. Menurut saya kita tidak bisa juga mengatakan tidak ada pengaruh roh jahat karena saya juga pernah menyaksikan sari waktu kesurupan, dia menjadi kuat seolah-olah itu bukan dia yang sebenarnya padahal sari adalah seorang yang lemah. Jadi bagaimanapun jika dilihat dari penyebab sari mengalami kesurupan dia harus bisa mengolah sters,dan menghadapi masalah dengan baik agar tidak terjadinya kesurupan. Dan jika dilihat dari awal penyebab sari kesurupan itu mudah diatasi dengan memberikan pemahaman terhadap sari bagaimana agar tidak stres dengan pendekatan-pendekatan yang baik dari oarang tua,guru dan teman-temanya.
Kasus seperti ini banyak terjadi dimana-mana,bahkan kadangkala yang terkena kesurupan itu hanya satu orang, tetapi tertular ke yang lainya apalagi perempuan yang mudah tersugesti sehinggah menyebabkan menjadi kesurupan massal.
BAB IV
PENUTUP
I. Kesimpulan
menurut sudut pandang psikologi, kesurupan dianggap sebagai jalan keluar alternatif konflik yang lolos dari ketiganya, (id, ego, super ego). Karenanya secara psikologis kesurupan didudukkan sebagai status quo dari jiwa-jiwa yang “terluka” baik oleh pengalaman, impresi dan dogma-dogma buruk yang diterimanya selama ini.
Menurut Psikolog, Setiyo Purwanto, S. Psi, MSi, orang yang kerasukan bisa disebabkan keadaan disosiasi. yakni saat seseorang seakan terpisah dari dirinya. Kedua karena hysteria, yaitu saat seseorang tak dapat mengendalikan dirinya. Terakhir akibat split personality, saat pada diri seseorang tampil beragam perilaku yang dimunculkan oleh “pribadi” yang berbeda. Meski begitu, menurut Setiyo, penjelasan ini seringkali mengalami benturan dengan kenyataan-kenyataan budaya.
Dan dapat pula kita simpulkan dari kasus yang dialami sari itu akibat dari kekosongan jiwa saat itu yang mana akan mudah dirasuki oleh jin atau setan yang membuatnya mengalami kesurupan.dan penyelesaiannya ada tiga pandangan.
Menurut pandangan psikologis .
Menurut pandangan sigmund freud.
Menurut pandangan islam.
II. Kesan
Kesan dari saya ketika melakukan penelitian kesurupan yang di alami oleh sari yang kebetulan adalah tetanga sekaligus teman saya, saya merasa kasihan mendengar pengakuannya yang mana dia mengatakan lelah juga dengan seringnya dia mengalami kesurupan yang bukan hanya dirinya sendiri yang merasakan dampaknya,tetapi, bisa mengkhawatirkan kedua orang tuanya dan menyushkan orang lain juga yang membantunya saat dia mengalami kesurupan. sebagai sesorang teman saya ingin sekali membantunya agar dia tidak terkena lagi, mudah-mudahan kejadian seperti itu tidak terulang lagi karena akan berdampak buruk bagi kesehatan dan akan mengangu sari melakukan aktivitas sekolahnya, sebab apabila sari terkena kesurupan dia tidak bisa belajar. karena dia lelah dan bahkan menjadi sakit setelah dia mengalami kesurupan,intinya saya terkesan iba saja dengan keadaan sari. Semoga sari bisa mengendalikan stresnya agar dia tidak mengalami kesurupan lagi karena faktor yang utama menyebabkan terjadinya kesurupan pada sari itu karena tidak bisa mengolah masalah sehinggah dia sters dan akhirnya kesurupan.
Nama : Nurhalimah
Nim : 10942008883
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Fenomena kesurupan atau possesion belakang ini marak diperbincangkan dalam berbagai media, khususnya kasus kesurupan masal yang terjadi di berbagai daerah dan sering menimpa para pelajar sekolah,. Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari banyak orang yang mengalami semacam trance atau kesurupan tanpa disadari, di mana fenomena kesurupan sering kali dan bahkan selalu dikaitkan dengan adanya gangguan dari roh-roh halus yang mengambil alih tubuh korban selama beberapa waktu dan membuat korban tidak sadar akan apa yang ia perbuat. Tentunya paham seperti ini merupakan paham tradisional yang ada, diturunkan dan berkembang dalam masyarakat kita. Kesurupan individual yang terjadi muncul sebagai reaksi atas apa yang sedang dirasakan oleh individu sebelum proses kesurupan itu terjadi. . Kesurupan, menurut ahli jiwa ini adalah gejala gangguan jiwa yang disebut folie a deux, yaitu gejala gangguan jiwa pada seseorang yang diikuti orang lain. Mereka kehilangan kepribadian yang asli. Yang muncul kepribadian yang lain. Jika pernah mendengar dan melihat sesuatu, kemudian masuk dalam alam bawah sadarnya, saat kepribadian dia rapuh, muncul kepribadian lain itu. Sementara dari psikologi, kesurupan sendiri sebenarnya telah menjadi kajian psikologi klinis, terutama psikologi abnormal. Kesurupan dalam perspektif psikologi dikenal dengan istilah trans dissosiatif dan trans possession disosiatif. Trans dissosiatif adalah perubahan dalam kesadaran yang bersifat temporer atau hilangnya perasaan identitas diri tanpa kemunculan identitas baru. Sedang trans possession dissosiatif adalah perubahan dalam kesadaran yang dikarakteristikkan dengan penggantian identitas personal yang selama ini ada dengan identitas yang baru.
Berdasarkan jenis kelamin, perempuan mempunyai risiko lebih besar untuk kesurupan dibandingkan laki-laki. Hal ini terbukti dari kasus-kasus yang terjadi sebagian besar adalah perempuan. Hal ini mungkin karena perempuan lebih sugestible atau lebih mudah dipengaruhi dibandingkan laki-laki.
Mereka yang memunyai kepribadian histerikal yang salah satu cirinya sugestible lebih berisiko untuk kesurupan atau juga menjadi korban kejahatan hipnotis. Berdasarkan usia, sebagian besar korban kesurupan berusia remaja dan dewasa muda. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa mereka yang berisiko untuk kesurupan adalah perempuan usia remaja atau dewasa muda yang mudah dipengaruhi. Selain itu, wanita lebih labil ketimbang pria dan terjadi perubahan dalam jiwanya. Banyak hal bisa menjadi penyebabnya. Antara lain kondisi keluarga, kondisi sekolah, hubungan pertemanan, sosial politik, dan masih banyak lagi.
Mereka yang mengalami kesurupan merasakan bahwa dirinya bukanlah dirinya lagi, tetapi ada suatu kekuatan yang mengendalikan dari luar. Keadaan saat kesurupan ada yang menyadari sepenuhnya, ada yang menyadari kesurupan korban melakukan gerakan-gerakan yang terjadi secara otomatis, tidak ada beban mental, dan tercetus dengan bebas. Saat itu merupakan kesempatan untuk mengekspresikan hal-hal yang terpendam melalui jeritan, teriakan, gerakan menari seperti keadaan hipnotis diri. Setelah itu, fisik mereka dirasa lelah tetapi, mental mereka mendapat kepuasan hebat.
2. Rumuan Masalalah
a) apa yang menyebabkan seseseorang itu bisa mengalami kesurupan.
b) bagaimana penyelesaian terhadap kasus kesurupan yang sesuai dengan teori.
c) Bagaimana seharusnya seseorang agar tidak mengalami kesurupan yang di akibatkan karena stres.
3. Tujuan
Untuk memenuhi tugas mata kuliah kesehatan mental
Mengetahui apa penyebab sebenarnya terjadinya kesurupan pada sari
Agar mengetahui teori apa yang bagus digunakan dalam penyelesaian masalah histeriah(kesurupan) yang di alami sari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Identitas Korban
Nama : Sari
Usia : 17 Tahun
Alamat : JL. Patimura-Rengat
Pekerjaan : Siswi SMAN I Rengat
B. Deskripsi Masalah
Pertama kali kesurupan yang terjadi pada sari itu ketika ia duduk dikelas XII SMA, yang mana awal terjadinya di sekolah tempat dia bersekolah, sebelumnya sari belum pernah mengalami kesurupan. Kesurupan itu terjadi sewaktu dia belajar di lokal,tiba-tiba dia menjerit seisi lokal dimana tempat ia belajar oun kaget melihatnya ,kemudian teman-temanya lansung membantu dan membawak sari ke mushalah agar bisa di beri pertolongan dan disadarkan.disana dia di tolong oleh gurunya dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur,an untuk menyadarkannya akhirnya beberapa jam kemudian barulah sari sadar.
Kesurupan yang terjadi pada sari itu bukan hanya terjadi satu kali bahkan berkali-kali.Kesurupan yang dialami oleh sari tidak hanya terjadi disekolah, bahkan juga terjadi dirumahnya sendiri. Sari mengaku awal mulanya setiap dia mengalami kesurupan itu apabila dia lagi ada masalah dan pikirannya kosong.Apalagi sari adalah seorang remaja yang lemah pisik nya. Sari mengatakan sebelum terjadinya kesurupan dia merasa kepalanya sangat berat badannya terasa lemas, setelah itu dia tidak tau apa-apa lagi. Disaat sari kesurupan dia menjerit-jerit histeris, menangis badanya terasa dingin, matanya melotot tajam,bahkan suaranya berubah, sari berontak-rontak kepanasan dan bahkan berkata ngelantur, apabila di bacakan ayat-ayat Al.Qur,an dan orang yang memegangnya saat dia kesurupan kewalahan memegangnya karena dia berontak-rontak kuat sekali. Kesurupan yang terjadi pada sari itu tidak mengenal waktu dan tempat.Sari mengatakan bahwa dia juga tidak ingin terjadinya kesurupan karena setelah dia sadar dari kesurupan barulah badanya terasa sakit-sakit,tetapi setelah terjadinya kesurupan sari merasa bebanya sedikit terlepaskan dari jeritan dan tangisan yang dikeluarkanya ketika ia mengalami kesurupan.
Kesurupan yang dialami sari itu akan terjadi jika dia mengalami banyak masalah, dia juga termasuk anak yang pemurung yang suka memendam masalah dan dia tidak pernah menceritakan kepada orang lain akibatnya, dengan tidak kuatnya sari dalam mengolah masalah,menjadi stres yang mana masalahnya yang menjadi beban pikiranya tidak ada penyelesaian di buatnya akhirnya dia mengalami kesurupan yang kata orang dimasukin roh-roh jahat apabila pikiran seseorang kosong.
BAB III
PENYELESAIAN
1. Penyelesaian Dengan Teori
a. Menurut pandangan psikologis
Menurut psikolog Dadang Hawari, Ia menyebut peristiwa kesurupan ini sebagai fenomena disosiasi atau sebuah reaksi yang mengakibatkan hilangnya kemampuan seseorang untuk menyadari realitas di sekitarnya. Akibatnya secara tidak disadari kepribadian si korban berubah. Jadi, menurutnya ini merupakan fenomena kejiwaan dan bukannya karena kemasukan jin atau setan karena kepercayaan di masyarakat kita yang menghubung-hubungkan dengan mistik dan dianggap sebagai kesurupan . Jadi, karena bukan aksi kerasukan setan, maka pengobatannya pun bukan dengan cara memanggil orang ”pintar”. Obat sangat gampang, tinggal dibawa ke puskesmas, disuntik atau dikasih obat yang bisa membuat mereka tidur, nanti mereka akan sadar dan sehat lagi setelah bangun..Reaksi disosiasi menimpa mereka yang jiwanya labil ditambah dalam kondisi yang membuatnya tertekan. Stres yang bertumpuk ditambah pemicu memungkinkan reaksi yang dikendalikan alam bawah sadar ini muncul ke permukaan.Yang paling penting dalam menghadapi persoalan ini adalah jangan sampai semua orang panik, harus tenang, bawa korban ke puskesmas, diobati, disuruh tidur apabila sudah sembuh kesurupan.
Jika dilihat pada kasus yang di alami sari ini, Kemampuan yang perlu ditingkatkan pada sari adalah mengajar dan melatihnya untuk bisa mengelola stres dan konflik dengan cara yang baik dan benar. Artinya, bila di kemudian hari mengalami stres atau konflik, atau diberi tanggung jawab yang berat, cara penyelesaiannya tidak lagi dengan kesurupan, tetapi dengan cara yang lebih konstruktif. Selain itu, perlu pula meningkatkan toleransi terhadap stres.
b. Menurut Teori Sigmun Freud
Dalam kajian psikologi ada dua perspektif yang dapat digunakan untuk melihat kasus kesurupan yaitu kajian psikoanalisa dan psikologi transpersonal. Namun menurut freud yang paling sesuai untuk mengkaji kesurupan sebagai sebuah gangguan lebih tepat dengan menggunakan psikoanalisa terutama pendapatnya Carl Gustav Jung. Pada kajian psikologi transpersonal kajian trance lebih ke arah spiritual atau sebagai sesuatu yang tidak mengganggu. Kesurupan sebenarnya juga merupakan trance ke arah mengganggu dan tidak terkendali.individu, mereka merupakan ide-ide yang pra-sadar dan primordial, dan merupakan dasar untuk pengalaman-pengalaman religius yang langsung.
Seringkali orang yang kesurupan memiliki kekuatan yang melebihi kemampuan biasanya, dalam beberapa kasus kesurupan dia bisa berteriak teriak hingga berjam jam, atau bisa melemparkan beberapa orang yang sedang memeganginya. Ada lagi kesurupan mampu berbicara seperti bukan dia yang bicara, dalam keadaan seperti ini seseorang yang kesurupan sedang memasuki alam bawah sadarnya tepatnya di alam ketidaksadaran kolektif dimana menurut freud ketidaksadaran tersebut mengandung kekuatan jiwa (psyche) sehingga dia memiliki kekutan yang melebihi seperti biasanya .Mengapa orang bisa masuk kedalam alam bawah sadarnya ? sebab utamanya adalah lemahnya kesadaran seperti orang mau masuk tidur, kenapa bisa tidur jawabnya tentunya karena lemahnya kesadaran karena faktor mengantuk.
Jadi ,Menurut freud cara penyelesaian orang jika mengalami suatu kesurupan adalah dengan cara sebagai berikut :
a) isolasi sesegera mungkin anak yang terkena kesurupan.
b) tenangkan suasana, karena kesurupan cenderung membuat suasana menjadi gaduh, ketakutan, dan crowded atau ramai.
c) tenangkan anak yang mengalami kesurupan dengan membiarkannya, jangan dipaksa atau dipegang apalagi diteriaki terlebih di pukul pukul,
d) kalau membacaAl- quran bacakan dengan penuh kekhusyuan dan dengan nada pelan sehingga akan menenangkan si sakit, kalau dibaca dengan menghentak hentak anak yang terkena akan semakin histeris dan teriakan dari pembacaan quran tadi akan memperkeruh keadaan. Dalam hal ini kita harus bijak dalam mendudukkan Al- quran jangan melecehkan Al- quran dengan menggunakannya yang bukan pada tempatnya, gunakan Al- quran sebagai petunjuk hidup bukan sebagai alat pengusiran jin.
e) tempatkan orang yang terkena kesurupan di tempat tertutup namun yang aman dan udara bisa keluar masuk dalam ruangan dengan baik.
f) jika keadaan semakin tidak terkendali, jangan memanggil paranormal, atau memanggil dukun dan sejenisnya. Namun panggilah dokter untuk memberikan obat penenang kepada orang yang kesurupan.
c. Menurut pandangan islam
Fenomena kesurupan dijelaskan sejak awal . penyebabnya adalah ganguan jin jahat dan setan. Hanya saja, jin dan setan itu hanya bisa menguasai orang-orang yang tidak percaya atau ragu pada Allah.
Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa tiga titik itu adalah pembuluh darah yang menghidupkan potensi otak kecil manusia. Di titik itu, jika kita sering berpikir berlebihan sehingga tidak kuat menahan, hal itu bisa menimbulkan depresi. Ketika terjadi penegangan dalam pembuluh darah kita, maka melemahkan potensi elektro kita sehingga ada arus listrik dari golongan jin masuk dan mempengaruhi sehingga terjadi kesurupan. Yang kedua, terletak di pembuluh darah yang menghidupkan potensi khayalan. Sama halnya dengan yang pertama, jika itu menegang karena kita terlalu sering mengkhayal maka setan kemungkinan besar bisa masuk. Yang ketiga di pembuluh yang terletak di bawah telinga. Ini bisa menimpa mereka yang malas, kurang kreatif, tidak punya semangat hidup.
Jadi, menurut pandangan islam hal yang sebaiknya ada pada diri seseorang supaya tidak kesurupan adalah :
• Selama kita beriman dan bertawakal, setan tidak akan menguasai manusia.
• Jika imannya kuat dan bertawakal, mereka akan optimis, bersemangat, tenang, tenteram, dan tahan banting terhadap semua masalah.
• Ketenangan jiwa akan membuat seseorang tak gampang kesurupan. Membaca Al Qur’an dan Zikir adalah salah satu langkah menengkan jiwa.
2. Analisis kasus
Dapat di analisis dari kasus tersebut bahwa histeria (kesurupan )yang dialami oleh sari merupakan akibat dari ketidak kuatan mentalnya yang mengakibatkan dirinya mengalami stres berdampak pada kesurupan yang akan bisa terjadi jika dia mengalami perasaan kekalutan mental.jika dilihat dari kasusnya itu sari termasuk seseorang yang lemah dalam menghadapi masalah sehinggah dia mudah terkena pengaruh roh-roh jahat yang merasuki tubuhnya saat itu,yang mengendalikan segenap jiwanya yang kosong. Menurut saya kita tidak bisa juga mengatakan tidak ada pengaruh roh jahat karena saya juga pernah menyaksikan sari waktu kesurupan, dia menjadi kuat seolah-olah itu bukan dia yang sebenarnya padahal sari adalah seorang yang lemah. Jadi bagaimanapun jika dilihat dari penyebab sari mengalami kesurupan dia harus bisa mengolah sters,dan menghadapi masalah dengan baik agar tidak terjadinya kesurupan. Dan jika dilihat dari awal penyebab sari kesurupan itu mudah diatasi dengan memberikan pemahaman terhadap sari bagaimana agar tidak stres dengan pendekatan-pendekatan yang baik dari oarang tua,guru dan teman-temanya.
Kasus seperti ini banyak terjadi dimana-mana,bahkan kadangkala yang terkena kesurupan itu hanya satu orang, tetapi tertular ke yang lainya apalagi perempuan yang mudah tersugesti sehinggah menyebabkan menjadi kesurupan massal.
BAB IV
PENUTUP
I. Kesimpulan
menurut sudut pandang psikologi, kesurupan dianggap sebagai jalan keluar alternatif konflik yang lolos dari ketiganya, (id, ego, super ego). Karenanya secara psikologis kesurupan didudukkan sebagai status quo dari jiwa-jiwa yang “terluka” baik oleh pengalaman, impresi dan dogma-dogma buruk yang diterimanya selama ini.
Menurut Psikolog, Setiyo Purwanto, S. Psi, MSi, orang yang kerasukan bisa disebabkan keadaan disosiasi. yakni saat seseorang seakan terpisah dari dirinya. Kedua karena hysteria, yaitu saat seseorang tak dapat mengendalikan dirinya. Terakhir akibat split personality, saat pada diri seseorang tampil beragam perilaku yang dimunculkan oleh “pribadi” yang berbeda. Meski begitu, menurut Setiyo, penjelasan ini seringkali mengalami benturan dengan kenyataan-kenyataan budaya.
Dan dapat pula kita simpulkan dari kasus yang dialami sari itu akibat dari kekosongan jiwa saat itu yang mana akan mudah dirasuki oleh jin atau setan yang membuatnya mengalami kesurupan.dan penyelesaiannya ada tiga pandangan.
Menurut pandangan psikologis .
Menurut pandangan sigmund freud.
Menurut pandangan islam.
II. Kesan
Kesan dari saya ketika melakukan penelitian kesurupan yang di alami oleh sari yang kebetulan adalah tetanga sekaligus teman saya, saya merasa kasihan mendengar pengakuannya yang mana dia mengatakan lelah juga dengan seringnya dia mengalami kesurupan yang bukan hanya dirinya sendiri yang merasakan dampaknya,tetapi, bisa mengkhawatirkan kedua orang tuanya dan menyushkan orang lain juga yang membantunya saat dia mengalami kesurupan. sebagai sesorang teman saya ingin sekali membantunya agar dia tidak terkena lagi, mudah-mudahan kejadian seperti itu tidak terulang lagi karena akan berdampak buruk bagi kesehatan dan akan mengangu sari melakukan aktivitas sekolahnya, sebab apabila sari terkena kesurupan dia tidak bisa belajar. karena dia lelah dan bahkan menjadi sakit setelah dia mengalami kesurupan,intinya saya terkesan iba saja dengan keadaan sari. Semoga sari bisa mengendalikan stresnya agar dia tidak mengalami kesurupan lagi karena faktor yang utama menyebabkan terjadinya kesurupan pada sari itu karena tidak bisa mengolah masalah sehinggah dia sters dan akhirnya kesurupan.
Nama : Nurhalimah
Nim : 10942008883
Rabu, 16 Mac 2011
tugas kesmen indah & dkk. " perkosaan"
PERKOSAAN
Pengertian Perkosaan
Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi (Haryanto, 1997). Pada jaman dahulu perkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang istri. Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum (Wignjosoebroto dalam Prasetyo, 1997).
Pendapat ini senada dengan definisi perkosaan menurut :
• Rifka Annisa Women’s Crisis Center, bahwa yang disebut dengan perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual. Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan. Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan (Idrus, 1999).
• Warshaw (1994) definisi perkosaan pada sebagian besar negara memiliki pengertian adanya serangan seksual dari pihak laki-laki dengan menggunakan penisnya untuk melakukan penetrasi vagina terhadap korban. Penetrasi oleh pelaku tersebut dilakukan dengan melawan keinginan korban. Tindakan tersebut dilakukan dengan adanya pemaksaan ataupun menunjukkan kekuasaan pada saat korban tidak dapat memberikan persetujuan baik secara fisik maupun secara mental.
Beberapa Negara menambahkan adanya pemaksaan hubungan seksual secara anal dan oral ke dalam definisi perkosaan, bahkan beberapa negara telah menggunakan bahasa yang sensitive gender guna memperluas penerapan hukum perkosaan. Di dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pada pasal ini perkosaan didefinisikan bila dilakukan hanya di luar perkawinan. Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan akan tetapi masuk dalam kategori pencabulan (Soerodibroto, 1994).
Pernyataan tersebut senada dengan pernyataan Soesilo (dalam Harkrisnowo, 2000) yang mengatakan bahwa makna persetubuhan di dalam KUHP tersebut masih berkiblat ke Belanda, yaitu peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang dijalankan untuk mendapatkan anak . Hal ini akan membawa dampak yang berbeda pada tuntutan hukuman bagi pelaku. Selain itu di dalam hukum juga dijelaskan mengenai pemberatan hukuman yang diberikan kepada pelaku yang melakukan perkosaan dengan kriteria tertentu (Abar & Subardjono, 1998).
Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung dalam definisi perkosaan Black’s Law Dictionary (dalam Ekotama, Pudjiarto, dan Widiartana 2001), makna perkosaan dapat diartikan ke dalam tiga bentuk:
1. Perkosaan adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang wanita tanpa persetujuannya. Berdasarkan kalimat ini ada unsur yang dominan, yaitu: hubungan kelamin yang dilarang dengan seorang wanita dan tanpa persetujuan wanita tersebut.
2. Perkosaan adalah persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita yang bersangkutan. Pada kalimat ini terdapat unsur- unsur yang lebih lengkap, yaitu meliputi persetubuhan yang tidak sah, seorang pria, terhadap seorang wanita, dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita tersebut.
3. Perkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau di bawah kondisi ancaman lainnya. Definisi hamper sama dengan yang tertera pada KUHP pasal 285.
Pada kasus perkosaan seringkali disebutkan bahwa korban perkosaan adalah perempuan. Secara umum memang perempuan yang banyak menjadi korban perkosaan. Mereka dapat dipaksa untuk melakukan hubungan seksual meskipun tidak menghendaki hal tersebut. Apabila mengacu pada KUHP, maka laki- laki tidak dapat menjadi korban perkosaan karena pada saat laki-laki dapat melakukan hubungan seksual berarti ia dapat merasakan rangsangan yang diterima oleh tubuhnya dan direspon oleh alat kelaminnya (Koesnadi, 1992). Akan tetapi pada kenyataannya ada pula laki- laki yang menjadi korban perkosaan baik secara oral maupun anal. Perkosaan diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk kejahatan di Indonesia, bahkan di dunia, dan pelakunya diancam dengan sanksi pidana yang cukup berat (Ekotama, Pudjiarto, dan Widiartana 2001). Kusumah (Kompas, 1995) menyatakan bahwa perkosaan dinilai sebagai kejahatan dengan derajat kekejaman yang tinggi dan dinilai amat merendahkan harkat manusia. Sementara itu Susanto (dalam Prasetyo, 1997) menyatakan bahwa perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap wanita yang sangat serius dan mengakibatkan kerugian serta kecemasan dalam masyarakat. Pembicaraan mengenai perkosaan dihadapkan pada batasan undang-undang tentang perkosaan yang mencerminkan budaya dominasi pria terhadap wanita. Hal ini membawa implikasi dalam upaya perlindungan terhadap korban. Undang-undang yang ada sekarang dinilai lebih melindungi kepentingan pria dibandingkan korban. Pendapat seperti ini muncul karena di dalam undang-undang mensyaratkan terjadinya perkosaan dengan adanya penetrasi vaginal dari pelaku. Sementara itu perbuatan pelaku dengan memaksakan hubungan anal dan oral serta memasukkan benda-benda lain seperti jari atau botol ke dalam vagina tidak dapat dikategorikan sebagai tindak perkosaan. Sebagai tindak lanjut dari keprihatinan terhadap undang-undang perkosaan yang masih memposisikan perempuan rendah ini maka sejak tahun 1991 telah dirancang sebuah rumusan baru mengenai peraturan untuk tindak perkosaan (Taslim, 1995).
Rancangan tersebut tertuang ke dalam Rancangan Undang-undang (RUU) KUHP (dalam Syaffioedin dan Faturochman, 2001) dengan norma perkosaan sebagai berikut:
1. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut.
2. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan tanpa persetujuan pihak perempuan.
3. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan dengan persetujuannya, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh dan dilukai.
4. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan dengan persetujuannya karena perempuan tersebut percaya bahwa ia adalah suaminya yang sah atau ia orang yang seharusnya disetujuinya.
5. Seorang laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan yang berusia di bawah 14 tahun dengan persetujuannya.
Di dalam RUU KUHP tersebut juga dirumuskan bahwa dianggap melakukan pidana tindak perkosaan:
1) Seorang laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan.
2) Barang siapa memasukkan benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus seorang perempuan.
Berdasarkan beberapa definisi mengenai perkosaan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perkosaan adalah tindakan pemaksaan hubungan seksual dari lakilaki kepada perempuan. Pemaksaan hubungan seksual tersebut dapat berupa ancaman secara fisik maupun secara psikologis. Hubungan seksual antara pelaku dan korban tidak hanya berupa penetrasi vaginal, akan tetapi meliputi pemaksaan hubungan secara anal dan oral.
Penganiayaan seksual
Penganiayaan seksual adalah aktivitas seksual yang dipaksakan atau dibawah tekanan, termasuk percakapan atau tindakan yang distimulasi secara seksual, perbedaan atau hubungan seksual yang tidak tepat, perkosaan dan inses ( prilaku seksual antar saudara kandung.
Penganiayaan seksual terhadap anak-anak :
1. Penganiayaan seksual terhadap anak-anak sangat mempengaruhi perkembangan, menyebabkan harga diri rendah, membenci diri sendiri, sulit mempercayai orang lain dan control yang buruk terhadap influs atau dorongan agresif.
2. Terhadap korelasi yang tinggi antara penganiayaan seksual dimasa kanak-kanak dan gangguan psikatrik dimasa dewasa ( mis, ganguan disosiatif, gangguan penyalahgunaan zat) ( walker & scoot, 1998 )
3. Anak-anak korban penganiayaan seksual sering mengalami ganguan stress pascatrauma ( post-traumatic stress disordes { PTSD )
Korban penyeranggan seksual
Mengalami kekerasan dan ketidakberdayaan yang sangat mendalam setelah kejadian
a. Efek langsung dapat berupa pola respons yang diekspresikan, yaitu korban mengepresikan perasaan takut, marah dan ansietas, atau pola respons terkendali, yaitu mekanisme defensive.
b. Efek jangka panjang dapat meliputi gejala PTSD, sulit menjalin hubungan dekat, gangguan depresi, dan bahkan bunuh diri.
Sungguhpun persentase perkosaan dibandingkan dengan jumlah kejahatan sebagai keseluruhan masih dapat dianggap rendah, akan tetapi perkembangan perkosaan dalam 3 tahun terakhir (1982-1984) dan kecenderungan kenaikan dalam tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam priode tahun (1977-1981) memang sangat memerlukan pemikiran kalangan ilmuwan khususnya ilmu-ilmu sosial dan hukum, penegak hukum dan masyarakat pada umumnya terutama oleh karena perkosaan merupakan salah satu kejahatan yang dianggap mempunyai tingkat seriusitas tinggi dan mengundang tumbuhnya “ fear of crime” (kekuatan pada kejahatan) didalam masyarakat.
Dijakarta sebagai salah satu kota besar yang dikabarkan sering terjadi kasus perkosaan, nampak pula kecenderungan kenaikan dalam beberapa tahun terakhir walaupun persentasenya dibandingkan dengan total kejahatan memang relatif rendah.
Kolonel Polisi Drs. Moch Hindarto dalam makalahnya :
“Dari seluruh kasus perkosaan yang dilaporkan tidak seluruhnya merupakan kasus yang murni perkosaan, hal ini dapat diketahui setelah diadakan penyidikan. Banyak kasus yang dilaporkan perkosaan tetapi sebenarnya bukan, misalnya setelah mengadakan seks si laki-laki tidak bertanggung jawab maka ia dilaporkan telah memperkosa, atau orang tua yang tidak rela anak wanitanya digauli oleh laki-laki yang tidak disetujuinya dan masih banyak latar belakang lainnya yang tidak dikemukakan tetapi ditonjolkan dengan kasus perkosaan” (hal 9).
Delapan contoh kasus yang diajukan oleh makalah Kol.Pol.Drs.Hindarto, misalnya menunjukkan bahwa usia terendah korban adalah 5 tahun, sedangkan usia tertinggi 24 tahun, sedangkan usia pelaku yang terendah adalah 15 tahun dan usia tertinggi 30 tahun.
Tentu sulit untuk menarik semacam generalisasi dari hanya delapan contoh diatas. Tentang prilaku, umpamanya benarkah usia tertinggi pelaku sekitar 30 tahun?
Kasus-kasus lain yang dikutip dibawah ini menunjukkan kepada kita betapa perkosaan bukan hanya ulah menyimpan generasi muda :
“Pemerkosaan dewasa ini tampaknya tidak lagi dimonopoli kaum muda yang memang tengah diamuk nafsu birahi. Para kakek rupanya banyak pula yang terlibat dalam masalah ini. Tan Bong Kim, 79 misalnya, masih sempat memperkosa tetangganya. Ingin tahu korbannya? Mia, seorang bocah umur 6 tahun. Penduduk tanjung Lengkong, Jakarta timur tersebut sudah dihukum 6 bulan dan kini sudah bebas.
Boleh jadi mengekang nafsu untuk orang-orang tertentu jadi persoalan besar kendati mereka sudah bangkotan. Atmonadi 58, mengalami hal itu. Kakek bercucu dua ini masih terangsang melihat aswina, 13 tetangganya. Membujuk bakal memberikan uang seribu rupiah serta dengan setengah mengancam, dia memperkosa aswina sampai hamil. Menurut pengakuannya kalau itu terjadi lantaran istrinya setiap hari pergi berjualan. Nafsu itu pulalah yang membuat Abdullah nekat. Kakek berusia 60 tahun ini, sudah memperkosa 6 bocah cilik, berumur 7-10 tahun. Penghuni kelurahan Rawa BAdak itu terpaksa harus dilepaskan begitu saja. Sebab dalam pemeriksaan barulah diketahui dia seorang sek maniak.”
Secara teoritik sebagian diantaranya dengan mempergunakan rumusan hokum kriminologi membagi jenis-jenis perkosaan sebagai berikut :
1. “Sadistic Rape” (Perkosaan sadistis)
Pada tipe ini, seksualitas dan agressi berpadu dalam bentuk kekerasan yang merusak. Pelaku pemerkosaan Nampak menikmati kesenangan erotic bukan melalui hubungan seksnya melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.
2. “Anger Rape” Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melepaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Tubuh korban seakan-akan merupakan obyek terhadap siapa pelaku memproyeksikan pemecahan atas prustasi-prustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.
3. “Domination Rape” yang terjadi ketika pelaku mencoba “unjuk gigi” atas kekuasaan dan superioritasnya terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual. Pelaku menyakiti korban, namun memilikinya secara seksual.
4. “seductive Rape” yang terjadi pada situasi-situasi yang “merangsang” yang diciptakan oleh kedua belah pihak. Pada mulanya, korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh sanggama. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan bahwa wanita membutuhkan paksaan, oleh karena itu ia akan mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks, atau pelaku berpandangan memang seharusnya laki-laki memperoleh apa yang ia inginkan.
Tipe inilah sesungguhnya yang melahirkan apa yang disebut : “Victim Precipitated Rape” (Perkosaan yang berlangsung dengan korban sebagai factor pencetus. Manachem Amer melalui penelitian-penelitiannya di philadelphie mengungkapkan bahwa sekitar 19 % korban perkosaan memang berperan mencetuskan perkosaan. Dan, sekitar separu 9dari 646 kasus perkosaan yang diteliti) dari korban yang menjadi sasaran penalitian pernah mempunyai hubungan atau kenal dengan pelaku.
5. “Exploitation Rape” yang menunjukkan bahwa setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh laki-laki dengan mengambil keuntungan dari kerawanan posisi wanita yang tergantung padanya secara ekonomis atau social, atau dalam kasus wanita yang “diperkosa” suaminya yang terjadi oleh karena memang hokum tidak memberikan perlindungan. Dengan demikian, perkosaan jenis ini lebih dikondisikan oleh ketidak merataan relative dalam bidang social dan eknomi. Posisi yang lemah dari wanita dalam keadaan itu mendorongnya untuk melakukan pilihan rasional, walaupun hal itu menyakitkan.
Kelima tipe diatas mencerminkan perbedaan-perbedaan baik dalam jenis kekuasaan yang digunakan oleh pelaku, atau motifasinya dalam melakukan kekerasan terhadap genitalia seksual wanita.
Diindonesia terdapat pula tipe lain yakni perkosaan yang digunakan buat memenuhi persyaratan suatu ilmu tertentu. Konon, ada ilmu yang mensyaratkan siswanya untuk melakukan hubungan seks dengan puluhan perawan sebalum “lulus”. Perkosaan atas dua gadis dibawah umur, dikediri dua tahun silam, menurut berita berkaitan dengan usaha pelaku untuk mengamalkan ilmu hitam.
Dalam makalah yang diajukan oleh colonel polisi Drs.Moch.Hindarto maupun data dari polda metro jaya terlihat bahwa tingkat penyelesaian kasus perkosaan cukup tinggi dibandingkan dengan jenis-jenis kejahatan lain.
Kasus perkosaan dalam priode tahun 1980-1984 diindonesia mencapai rata-rata sekitar 69 % dan dijakarta dalam kurun waktu yang sama sekitar 60 %.
Disamping masalah pengalaman tempat kejadian perkara yang diakui cukup sulit dalam kasus-kasus perkosaan dari sudut pandangan medico-legal hasil pemeriksaan yang diharapkan sama halnya dengan korban kejahatan seks, yaitu :
1. Penetrasi penis, dari hasil pemeriksaan ditemukannya robekan selaput darah dan luka-luka pada daerah jenitalia.
2. Ejakulasi yang dari hasil pemeriksaan ditemukannya sperma diliang vagina dan asam fosfatase, kholin dan spermin diliang vagina serta kehamilan.
3. Penyakit kelamin yang dari hasil pemeriksaan ditemukan G.O. (Kencing nanah) dan lues (Siphilis)
4. Kekerasan dari hasil pemeriksaan ditemukannya perlukaan dan adanya obat-obatan didalam cairan tubuh korban
Dalam proses penanganan ini, kerjasama yang erat antar polri dengan kalangan lain dari bidang pengetahuan ilmiah medico-legal maupun kimia fhorensip sangat diperlukan guna mendapatkan bukti-bukti materil yang dibutuhkan dan kerjasama lain guna mengkaji aspek-aspek kriminologis dari perkosaan dapat dilakukan dengan kalangan dari bidang pengetahuan ilmiah kriminologi.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah korban perkosaan yang besar kemungkinan mengalami trauma psikis yang berat, juga berlainan dengan kejahatan lain memperoleh “stigma” sebagai korban perkosaan dari masyarakat. Media masa tak jarang pula berperan dalam hal yang terakhir ini dengan mendramatisasi pristiwa dan bukan hanya menonjolkan tokoh pelaku akan tetapi juga menyajikan gambaran yang kurang lebih lengkap tentang korban.
Pola penghukuman terhadap pelaku-pelaku perkosaan sebagai proses selanjutnya dari penangan tersebut diatas menunjukkan kecenderungan penghukuman yang jauh dari batas maksimal yang diancamkan dalam KUHP.
Majalah berita tempo pernah mengetengahkan bahwa jarang terdengar hukuman maksimal dijatuhkan.
Selanjutnya dikemukakan : “dipengadilan negeri medan, misalnya, yang dalam tahun 1983 memfonis 12 kasus perkosaan, rata-rata para pemerkosa Cuma dijatuhi hukuman kurungan sekitar 1 tahun. Dibandung, Surabaya, semarang, dan dijokjakarta paling tinggi pemerkosa dijatuhi hukuman 6 tahun, itu pun jarang terjadi. Yang umum sekitar 1 atau 2 tahun. Bahkan dijember, seorang kakek, 65 tahun yang memperkosa gadis berumur 14 tahun, Cuma kejatuhan 9 bulan”.
Proses penanganan yang professional dan pola penghukuman yang lebih terarah (sesuai dengan tipe, motif dan tingkat kerugian fisik, mental dan social yang dialami korban), serta proses pendidikan didalam lembaga kemasyarakatan seharusnya terpadu, dan oleh karena pemerkosaan merupakan gajala yang lahir dari suatu “Exsismaleculture” dengan “mistikemaskulinan” sebagai norma yang diterima oleh sebagian besar masyarakat, maka pencegahan dan penanggulangannya pun harus dikaitan kepada usaha penanaman dan kelembagaan nilai-nilai dan norma-norma yang menghormati hak-hak wanita.
Barangkali memang perkosaan tak jarang mengandung makna-makna simbolik, namun yang jelas perkosaan adalah hasil pertemuan dari sosialisasi seksual yang ada mendukung perwujudan seksualitas melalui kekerasan dengan sosialisasi wanita yang sarat oleh idealisasi feminitas yang diajarkan melalui sekolah, keluarga bahkan mass media dengan cirri pasifitas dan ketergantungan wanita.
Lantas, jika begitu, seperti dikatakan oleh L.Clark dan D.Lewis dapat dipahami bahwa laki-laki yang sangat kuat mengidentifikasi diri dengan kekuasaan (kedominanan) seksual dan agresi dan tidak lagi dapat membedakan apa yang mereka anggap sebagai bujukan dengan yang disandang oleh wanita sebagai perkosaan.
Beberapa akibat / efek dampak buruk pada korban pemerkosaan :
1. Menjadi stress hingga mengalami gangguan jiwa
2. Cidera atau luka-luka akibat penganiayaan
3. Kehilangan keperawanan / kesucian
4. Menjadi trauma pada laki-laki dan hubungan seksual
5. Bisa menjadi seorang lesbian atau homo yang menyukai sesama jenis
6. Masa depan suram karena dikanal sebagai korban perkosaan
7. Sulit mencari jodoh karena sudah tidak perawan
8. Bisa membalas dendam pada oang lain
9. Hamil di luar nikah yang sangat tidak diinginkan
10. Anak hasil perkosaan bisa dibenci orang tua, kerabat, tetangga, dll
11. Merusak mental seorang anak karena belum waktunya mengenal seks
12. Menjadi pasrah dan terus melakukan hubungan seks pranihah.
13. Merasa kotor dan akhirnya terjun sebagai psk untuk mendapat uang.
14. Terkena penyakit menular seksual yang berbahaya, dll
DAMPAK SOSIAL PSIKOLOGIS PERKOSAAN
Selama beberapa tahun terakhir ini bangsa Indonesia banyak menghadapi masalah Kekerasan,baik yang bersifat masal maupun yang dilakukan secara individual. Masyarakat mulai merasa resah dengan adanya berbagai kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Kondisi seperti ini membuat perempuan dan anak-anak menjadi lebih rentan untuk menjadi korban kekerasan. Perempuan yang berada di daerah aman juga dapat menjadi korban kekerasan, dengan kata lain masalah kekerasan terhadap perempuan ini merupakan masalah yang universal (Kompas, 1995; Muladi, 1997; Triningtyasasih, 2000).
Pada saat orang berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan, maka dapat dikatakan bahwa perempuan dalam situasi apapun tetap rentan untuk menjadi korban dari struktur atau sistem (sosial, budaya, maupun politik) yang menindas (Press Release Lokakarya WCC, 2000). Hal ini diperkuat oleh adanya pendapat bahwa posisi perempuan yang membuat keberdayaan mereka untuk melindungi diri juga kurang. Dikatakan bahwa perempuan yang berada di dalam rumah pun dapat menjadi korban kekerasan dari suaminya, perempuan di tempat kerja juga dapat memperoleh pelecehan seksual baik dari atasan maupun rekan sekerjanya (Suharman dalam Prasetyo, 1997).
Bentuk kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kekerasan secara fisik, akan tetapi dapat juga meliputi kekerasan terhadap perasaan atau psikologis, kekerasan ekonomi, dan juga kekerasan seksual. Hal ini sesuai dengan pendapat Hayati (2000) yang mengatakan bahwa kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun non verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional, dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya.
Berdasarkan catatan FBI terdapat sedikitnya 84.000 perempuan yang melaporkan menjadi korban perkosaan dalam satu tahun (Walter dalam Haryanto, 1997). Sementara itu di Indonesia, kasus perkosaan menempati peringkat nomor 2 setelah pembunuhan (Darwin, 2000). Data dari Kalyanamitra menunjukkan bahwa setiap 5 jam, ditemui 1 kasus perkosaan (Abar, 1995; Darwin, 2000; Tabah, 1994).
Sementara itu, Yayasan Kepedulian Untuk Konsumen Anak (KAKAK) selama tahun 2000 mencatat 90 kasus seksual yang dialami oleh anak Surakarta dan kasus perkosaan yang ada mencapai 18 orang (Suara Merdeka, 2001). Hal ini menunjukkan betapa banyaknya perempuan yang menjadi korban perkosaan. Data yang tersaji pada beberapa lembaga tersebut merupakan data dari hasil penelitian maupun dari korban yang melaporkan kejadian yang mereka alami. Asumsi yang muncul dari data yang tersaji selama ini adalah bahwa data yang ada merupakan fenomena gunung es. Pernyataan tersebut memiliki arti bahwa data yang muncul ke permukaan hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus yang terjadi di dalam masyarakat.
Berdasarkan pernyataan tersebut maka sebenarnya kekerasan yang terjadi di masyarakat dapat saja merupakan kelipatan dari data yang ada. Pada kasus perkosaan, setiap orang dapat menjadi pelaku perkosaan tanpa mengenal usia, status, pangkat, pendidikan, dan jabatan. Hal ini senada dengan hasil penelitian dari Abar & Subardjono (1998), yang mengatakan bahwa berdasarkan data usia pelaku tindak kejahatan perkosaan, dapat dikatakan bahwa pelaku perkosaan sesungguhnya tidak mengenal batas usia. Selama individu masih mempunyai daya seksual, dari anak-anak hingga kakek-kakek masih sangat mungkin untuk dapat melakukan tindak kejahatan perkosaan. Demikian pula dengan korban. Setiap perempuan dapat menjadi korban dari kasus perkosaan tanpa mengenal usia, kedudukan, pendidikan, dan status. Pendapat tersebut senada dengan pengamatan dari Rita Serena Kalibonso (Kompas, 1993), berdasarkan data kasus yang masuk ke kantor LBH Jakarta, yang mengatakan bahwa pelaku bukan hanya tetangga korban melainkan juga ayah tiri, anak majikan, majikan, teman dekat, dan juga saudara. Sementara korban ada yang memiliki profesi sebagai karyawan, ibu rumah tangga, pembantu rumah tangga, anak-anak di bawah umur, bahkan anak sekolah luar biasa. Salah satu contoh kasus perkosaan tentang hal tersebut dimuat oleh Bernas tanggal 15 Nopember 1999 yang menyebutkan tentang seorang kakek yang memperkosa seorang gadis cacat mental.
Dampak Psikologis
Upaya korban untuk menghilangkan pengalaman buruk dari alam bawah sadar mereka sering tidak berhasil. Selain kemungkinan untuk terserang depresi, fobia, dan mimpi buruk, korban juga dapat menaruh kecurigaan terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri. Linda E. Ledray (dalam Prasetyo, 1997) melakukan penelitian mengenai gambaran penderitaan yang dialami oleh perempuan korban perkosaan. Penelitian tersebut dilakukan dengan mengambil data perempuan korban perkosaan di Amerika, yang diteliti 2-3 jam setelah perkosaan.
Hasil yang diperoleh menyebutkan bahwa 96% mengalami pusing; 68% mengalami kekejangan otot yang hebat. Sementara pada periode post-rape yang dialami adalah 96% kecemasan; 96% rasa lelah secara psikologis; 88% kegelisahan tak henti; 88% terancam dan 80% merasa diteror oleh keadaan. Penelitian yang dilakukan oleh majalah MS Magazine (dalam Warshaw, 1994) mengatakan bahwa 30% dari perempuan yang diindetifikasi mengalami perkosaan bermaksud untuk bunuh diri, 31% mencari psikoterapi, 22% mengambil kursus bela diri, dan 82% mengatakan bahwa pengalaman tersebut telah mengubah mereka secara permanen, dalam arti tidak dapat dilupakan. Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres paska perkosaan yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi paska perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang merupakan gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan. Stres jangka panjang yang berlangsung lebih dari 30 hari juga dikenal dengan istilah PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder (Rifka Annisa dalam Prasetyo, 1997). Menurut Salev (dalam Nutt, 2001) tingkat simptom PTSD pada masing-masing individu terkadang naik turun atau labil. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan 12 yang terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang dialaminya.
Menurut Shalev (dalam Nutt, 2000) PTSD merupakan suatu gangguan kecemasan yang didefinisikan berdasarkan tiga kelompok simptom, yaitu experiencing, avoidance, dan hyperarousal, yang terjadi minimal selama satu bulan pada korban yang mengalami kejadian traumatik. Diagnosis bagi PTSD merupakan faktor yang khusus yaitu melibatkan peristiwa traumatis. Diagnosis PTSD melibatkan observasi tentang symptom yang sedang terjadi dan atribut dari simptom yang merupakan peristiwa khusus ataupun rangkaian peristiwa. Selanjutnya definisi PTSD ini berkembang lebih dari hanya sekedar teringat kepada peristiwa traumatis yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi juga disertai dengan ketegangan secara terus-menerus, tidak dapat tidur atau istirahat, dan mudah marah. PTSD yang dialami oleh tiap individu terkadang tidak stabil. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang dialaminya. Para korban perkosaan ini mungkin akan mengalami trauma yang parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang mengejutkan bagi korban. Secara umum peristiwa tersebut bisa menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000).
Berdasarkan definisi tersebut maka dapat diambil kesilmpulan bahwa PTSD adalah gangguan kecemasan yang dialami oleh korban selama lebih dari 30 hari akibat peristiwa traumatis yang dialaminya. Dampak jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari setelah kejadian. Dampak jangka pendek ini termasuk segi fisik si korban, seperti misalnya ada 13 gangguan pada organ reproduksi (infeksi, kerusakan selaput dara, dan pendarahan akibat robeknya dinding vagina) dan luka-luka pada bagian tubuh akibat perlawanan atau penganiayaan fisik.
Dari segi psikologis biasanya korban merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu, dan terhina. Gangguan emosi ini biasanya menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia), kehilangan nafsu makan, depresi, stres, dan ketakutan. Bila dampak ini berkepanjangan hingga lebih dari 30 hari dan diikuti dengan berbagai gejala yang akut seperti mengalami mimpi buruk, ingatan-ingatan terhadap peristiwa tiba-tiba muncul, berarti korban mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau dalam bahasa Indonesianya dikenal sebagai stres paska trauma (Hayati, 2000). Bukan tidak mungkin korban merasa ingin bunuh diri sebagai pelarian dari masalah yang dihadapinya.Menurut Freud (dalam Suryabrata, 1995), hal ini terjadi karena manusia memiliki instinginsting mati. Selain itu kecemasan yang dirasakan oleh korban merupakan kecemasan yang neurotis sebagai akibat dari rasa bersalah karena melakukan perbuatan seksual yang tidak sesuai dengan norma masyarakat.
Terkadang korban merasa bahwa hidup mereka sudah berakhir dengan adanya peristiwa perkosaan yang dialami tersebut. Dalam kondisi seperti ini perasaan korban sangat labil dan merasakan kesedihan yang berlarut-larut. Mereka akan merasa bahwa nasib yang mereka alami sangat buruk. Selain itu ada kemungkinan bahwa mereka menyalahkan diri mereka sendiri atas terjadinya perkosaan yang mereka alami. Pada kasus-kasus seperti ini maka gangguan yang mungkin terjadi atau dialami oleh korban akan semakin kompleks. 14 Tanda-tanda PTSD tersebut hampir sama dengan tanda dan simptom yang ada pada depresi menurut kriteria dari American Psychiatric Association (dalam Davison dan Neala, 1990). Tanda-tanda tersebut adalah: (1) sedih, suasana hati depres; (2) kurangnya nafsu makan dan berat badan berkurang, atau meningkatnya nafsu makan dan bertambahnya berat badan; (3) kesukaran tidur (insomnia): tidak dapat segera tidur, tidak dapat kembali tidur sesudah terbangun pada tengah malam, dan pagi-pagi sesudah terbangun; atau adanya keinginan untuk tidur terus-menerus; (4) perubahan tingkat aktivitas; (5) hilangnya minat dan kesenanga dan dalam aktivtas yang biasa dilakukan; (6) kehilangan energi dan merasa sangat lelah; (7) konsep diri negatif; menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna dan bersalah; (8) sukar berkonsentrasi, seperti lamban dalam berpikir dan tidak mampu memutuskan sesuatu; (9) sering berpikir tentang bunuh diri atau mati.
Menurut Georgette (dalam Warshaw, 1994) sindrom tersebut dialami oleh korban, baik korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal maupun pelaku adalah orang asing. Hal tersebut akan termanifestasikan ke dalam rentang emosi dan perilaku yang luas. Korban dapat menunjukkan reaksi yang terbuka terhadap pengalamannya atau dapat juga mengontrol responnya, bertindak secara kalem dan tenang. Bagaimanapun juga korban akan mengalami perasaan takut secara umum ataupun perasaan takut yang khusus seperti perasaan takut akan kematian, marah, perasaan bersalah, depresi, takut pada laki- laki, cemas, merasa terhina, merasa malu, ataupun menyalahkan diri sendiri. Korban dapat merasakan hal tersebut secara bersama-sama dalam waktu dan intensitas yang berbeda-beda. Korban dapat juga memiliki keinginan untuk bunuh diri. Sesaat setelah korban terlepas dari perkosaan mungkin ia akan merasakan suatu kelegaan untuk sesaat karena 15 sudah terlepas dari suatu peristiwa yang sangat mengancam. Akan tetapi setelah peristiwa tersebut maka korban akan mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi ataupun memfokuskan pemikirannya untuk menampilkan tugas yang sederhana. Korban akan merasa gugup, gelisah, mudah terganggu, mengalami goncangan, menggigil, nadi berdebar secara kencang, dan badan terasa panas dingin. Korban juga dapat mengalami kesulitan tidur, kehilangan nafsu makan, mengalami gangguan secara medis, diantaranya mungkin berhubungan langsung dengan penyerangan yang dialaminya. Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa perkosaan oleh pasangan ataupun teman kencan biasanya tidak melibatkan kekerasan secara nyata seperti adanya pemukulan atau penggunaan senjata dan ancaman.
Berdasarkan pandangan tersebut maka mereka menganggap bahwa trauma yang dialami oleh korban tidak seberat trauma yang dialami oleh korban perkosaan oleh orang asing (Warshaw, 1994). Akan tetapi pada kenyataannya yang terjadi adalah kebalikan dari pandangan tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Katz dan Burt (dalam Warshaw, 1994) ditemukan bahwa korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal oleh korban, mengalami proses penyembuhan yang lebih sedikit dibandingkan korban perkosaan dengan pelaku yang tidak dikenal korban. Penelitian ini didasarkan dengan melihat kondisi korban setelah jangka waktu tiga tahun dari peristiwa perkosaan yang dialami oleh korban.
Menurut Parrot (dalam Warshaw, 1994) yang seorang pakar tentang date rape, hal tersebut dapat diakibatkan karena korban yang mengalami perkosaan oleh orang yang dikenal biasanya menyimpan kenyataan mengenai peristiwa yang mereka alami. Hal ini berbeda dengan korban dengan pelaku yang tidak begitu dikenal. Mereka cenderung dengan segera mencari pertolongan, konseling, ataupun kelompok dukungan lainnya. Dengan demikian 16 maka korban dengan pelaku yang dikenal akan menyimpan dampak dari serangan yang dialaminya dalam jangka waktu yang lebih lama. Korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal, memiliki kemungkinan yang besar akan mengalami perkosaan secara berulang dan dalam jangka waktu yang panjang (Agaid, 2002).
Pelaku sebagai orang yang dikenal bahkan orang yang dekat dengan korban sudah mengetahui dengan baik situasi untuk melakukan perkosaan. Pelaku telah merancang waktu untuk melakukan niatnya dengan baik sehingga ia yakin bahwa perbuatannya tersebut tidak akan diketahui oleh orang lain. Korban yang memiliki relasi kuasa di bawah pelaku tidak berani mengungkapkan rahasia tersebut kepada orang lain termasuk keluarganya karena adanya berbagai alasan seperti: adanya ancaman dari pelaku, alasan menjaga kehormatan dan pemberian pengertian dari pelaku bahwa perkosaan tersebut adalah bukti kasih sayang pelaku kepada korban. Berdasarkan hal tersebut maka pelaku lebih leluasa untuk mengulang perbuatannya. Perkosaan seperti ini membuat posisi korban serba salah karena ia harus menanggung beban ganda, yaitu menjadi korban dari perkosaan yang dapat berulang setiap saat dan harus menyimpan rahasia tersebut dari orang lain. Kadang kala ketakutan yang dialami oleh korban membuat ia tidak berdaya dan lemah. Korban perkosaan mungkin akan mengalami ketakutan berada dalam situasi yang ramai atau berada sendirian. Korban dapat merasa ketakutan pada saat ia hanya berdua dengan orang lain. Posisi ini membuat korban tidak memiliki kepercayaan kepada orang lain, bahkan orang-orang yang selama ini dekat dengannya. Korban dapat pula menjadi paranoid terhadap alasan dari orang-orang yang tidak dikenalnya. Pemicu yang berhubungan dengan perkosaan seperti lagu yang didengar pada saat kejadian, bau 17 minuman yang diminum oleh pelaku pada saat kejadian, bau parfum pelaku, ataupun melihat seseorang yang mirip dengan pelaku akan membuat korban merasa cemas dan takut (Warshaw, 1994).
Alternatif Penyembuhan Proses penyembuhan korban dari trauma perkosaan ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan ini diperlukan untuk membangkitkan semangat korban dan membuat korban mampu menerima kejadian yang telah menimpanya sebagai bagian dari pengalaman hidup yang harus ia jalani (Hayati, 2000). Korban perkosaan memerlukan kawan bicara, baik teman, orangtua, saudara, pekerja sosial, atau siapa saja yang dapat mendengarkan keluhan mereka. Diharapkan dengan adanya dukungan ini maka korban akan mampu berdaya dan menjalani kehidupannya seperti sedia kala.
Pada kasus-kasus perkosaan yang didampingi oleh Rifka Annisa Women’s Crisis Center, beberapa korban tidak dapat ataupun tidak mau menghubungi keluarganya dengan berbagai pertimbangan dan alasan. Korban merasa malu dan bersalah karena merasa bahwa dirinya tidak dapat menjaga nama baik keluarga. Selain itu mereka juga merasa takut jika keluarga menjadi marah dan tidak mau menerima keadaan mereka. Korban yang tidak didampingi oleh keluarga mengalami kecemasan yang tinggi, merasa lemah, sering pingsan, bahkan mengalami PTSD. PTSD ini jarang terjadi pada korban yang mendapat dukungan dan pendampingan dari keluarga. Korban yang mendapat dukungan dari keluarga pada umumnya hanya mengalami stres paska perkosaan jangka pendek dan tidak mengalami PTSD. Korban terlihat lebih cepat pulih dengan adanya dukungan dari keluarga. Bahkan ada seorang anak yang pada saat kejadian dia sangat shock akan tetapi dengan pengertian dari keluarga serta dukungan yang diberikan ia mampu mengatasi perasaan tersebut dan mau melanjutkan kegiatannya seperti biasa. Salah satu korban dititipkan di rumah neneknya di luar Jawa karena pelaku perkosaan tersebut adalah ayah tirinya. Masing- masing keluarga memiliki cara sendiri di dalam memberi dukungan terhadap anggota keluarga mereka yang menjadi korban perkosaan.
Dampak Sosial
Korban perkosaan dapat mengalami akibat yang sangat serius baik secara fisik maupun secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain: (1) kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput dara, pingsan, meninggal; (2) korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual (PMS); (3) kehamilan tidak dikehendaki. Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus maup un kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual (Koesnadi, 1992).
Sementara itu, korban perkosaan berpotensi untuk mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya. Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik (Taslim, 1995). Secara umum peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Korban perkosaan dapat menjadi murung, menangis, mengucilkan diri, menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya. Trauma yang dialami oleh korban perkosaan ini tidak sama antara satu korban dengan korban yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh bermacam-macam hal seperti pengalaman hidup mereka, tingkat religiusitas yang berbeda, perlakuan saat perkosaan, situasi saat perkosaan, maupun hubungan antara pelaku dengan korban. Situasi dalam masyarakat seringkali dapat memperburuk trauma yang dialami oleh korban. Media massa juga memiliki pengaruh terhadap keadaan yang dirasakan oleh korban. Pada kasus-kasus perkosaan, media massa memiliki peranan dalam membentuk opini masyarakat tentang korban perkosaan. Baik buruknya korban perkosaan dapat dipengaruhi oleh cara penulisan berita tersebut (Abrar, 1998).
Selama ini, para wartawan cenderung menggunakan bahasa denotatif dalam mendeskripsikan runtutan peristiwa perkosaan, termasuk deskripsi tentang korban sehingga posisi korban dalam pandangan masyarakat semakin lemah (Abar & Subardjono, 1998). Ada stigma di dalam masyarakat yang memandang bahwa perempuan korban perkosaan adalah perempuan ya ng hina. Ada pula pandangan yang mengatakan bahwa dalam sebuah kasus perkosaan, yang salah adalah pihak perempuan. Perempuan korban perkosaan seringkali dipojokkan dengan pandangan masyarakat ataupun mitos-mitos yang salah mengenai perkosaan (Taslim, 1995).
Pandangan yang salah tersebut membuat masyarakat memberi “label” bahwa perempuan korban perkosaan sengaja “menggoda” dan “menantang” laki-laki dengan memakai pakaian mini, rok ketat, berdandan menor ataupun berbusana seksi, bahkan sengaja mengundang nafsu birahi laki-laki pemerkosa (Bernas, 1995; Kompas, 1995; Taslim, 1995).
Hal seperti ini akan membuat korban semakin takut untuk mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya. Korban akan merasa bahwa dirinya telah merusak nama baik keluarga, sehingga ia cenderung akan melakukan self-blaming yang justru akan semakin memperburuk keadaannya. Seringkali rasa bersalah ini juga membuat korban enggan untuk menceritakan pengalamannya kepada orang-orang di sekitarnya karena takut menerima “vonis” dari lingkungan (Republika, 1995; Taslim, 1995). Hal ini sesuai dengan pendapat Epictus (dalam Semiarti, 1989) yang mengatakan bahwa sebenarnya seseorang akan terganggu oleh cara dia melihat sesuatu hal. Apabila seseorang memandang suatu hal sebagai ancaman maka ia akan cenderung mengalami gangguan akibat penilaiannya tersebut. Harapan dan pikiran negatif akan mendorong seseorang untuk menjadi depresi (Abrahamson dalam Semiarti, 1989).
Tugas Kelompok Kesehatan Mental II :
Indah Pratiwie
Desni Saputra
Irjasmiati
Dosen : M Fahli Zatra Hadi S.Sos.I
Pengertian Perkosaan
Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi (Haryanto, 1997). Pada jaman dahulu perkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang istri. Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum (Wignjosoebroto dalam Prasetyo, 1997).
Pendapat ini senada dengan definisi perkosaan menurut :
• Rifka Annisa Women’s Crisis Center, bahwa yang disebut dengan perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual. Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan. Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan (Idrus, 1999).
• Warshaw (1994) definisi perkosaan pada sebagian besar negara memiliki pengertian adanya serangan seksual dari pihak laki-laki dengan menggunakan penisnya untuk melakukan penetrasi vagina terhadap korban. Penetrasi oleh pelaku tersebut dilakukan dengan melawan keinginan korban. Tindakan tersebut dilakukan dengan adanya pemaksaan ataupun menunjukkan kekuasaan pada saat korban tidak dapat memberikan persetujuan baik secara fisik maupun secara mental.
Beberapa Negara menambahkan adanya pemaksaan hubungan seksual secara anal dan oral ke dalam definisi perkosaan, bahkan beberapa negara telah menggunakan bahasa yang sensitive gender guna memperluas penerapan hukum perkosaan. Di dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pada pasal ini perkosaan didefinisikan bila dilakukan hanya di luar perkawinan. Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan akan tetapi masuk dalam kategori pencabulan (Soerodibroto, 1994).
Pernyataan tersebut senada dengan pernyataan Soesilo (dalam Harkrisnowo, 2000) yang mengatakan bahwa makna persetubuhan di dalam KUHP tersebut masih berkiblat ke Belanda, yaitu peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang dijalankan untuk mendapatkan anak . Hal ini akan membawa dampak yang berbeda pada tuntutan hukuman bagi pelaku. Selain itu di dalam hukum juga dijelaskan mengenai pemberatan hukuman yang diberikan kepada pelaku yang melakukan perkosaan dengan kriteria tertentu (Abar & Subardjono, 1998).
Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung dalam definisi perkosaan Black’s Law Dictionary (dalam Ekotama, Pudjiarto, dan Widiartana 2001), makna perkosaan dapat diartikan ke dalam tiga bentuk:
1. Perkosaan adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang wanita tanpa persetujuannya. Berdasarkan kalimat ini ada unsur yang dominan, yaitu: hubungan kelamin yang dilarang dengan seorang wanita dan tanpa persetujuan wanita tersebut.
2. Perkosaan adalah persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita yang bersangkutan. Pada kalimat ini terdapat unsur- unsur yang lebih lengkap, yaitu meliputi persetubuhan yang tidak sah, seorang pria, terhadap seorang wanita, dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita tersebut.
3. Perkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau di bawah kondisi ancaman lainnya. Definisi hamper sama dengan yang tertera pada KUHP pasal 285.
Pada kasus perkosaan seringkali disebutkan bahwa korban perkosaan adalah perempuan. Secara umum memang perempuan yang banyak menjadi korban perkosaan. Mereka dapat dipaksa untuk melakukan hubungan seksual meskipun tidak menghendaki hal tersebut. Apabila mengacu pada KUHP, maka laki- laki tidak dapat menjadi korban perkosaan karena pada saat laki-laki dapat melakukan hubungan seksual berarti ia dapat merasakan rangsangan yang diterima oleh tubuhnya dan direspon oleh alat kelaminnya (Koesnadi, 1992). Akan tetapi pada kenyataannya ada pula laki- laki yang menjadi korban perkosaan baik secara oral maupun anal. Perkosaan diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk kejahatan di Indonesia, bahkan di dunia, dan pelakunya diancam dengan sanksi pidana yang cukup berat (Ekotama, Pudjiarto, dan Widiartana 2001). Kusumah (Kompas, 1995) menyatakan bahwa perkosaan dinilai sebagai kejahatan dengan derajat kekejaman yang tinggi dan dinilai amat merendahkan harkat manusia. Sementara itu Susanto (dalam Prasetyo, 1997) menyatakan bahwa perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap wanita yang sangat serius dan mengakibatkan kerugian serta kecemasan dalam masyarakat. Pembicaraan mengenai perkosaan dihadapkan pada batasan undang-undang tentang perkosaan yang mencerminkan budaya dominasi pria terhadap wanita. Hal ini membawa implikasi dalam upaya perlindungan terhadap korban. Undang-undang yang ada sekarang dinilai lebih melindungi kepentingan pria dibandingkan korban. Pendapat seperti ini muncul karena di dalam undang-undang mensyaratkan terjadinya perkosaan dengan adanya penetrasi vaginal dari pelaku. Sementara itu perbuatan pelaku dengan memaksakan hubungan anal dan oral serta memasukkan benda-benda lain seperti jari atau botol ke dalam vagina tidak dapat dikategorikan sebagai tindak perkosaan. Sebagai tindak lanjut dari keprihatinan terhadap undang-undang perkosaan yang masih memposisikan perempuan rendah ini maka sejak tahun 1991 telah dirancang sebuah rumusan baru mengenai peraturan untuk tindak perkosaan (Taslim, 1995).
Rancangan tersebut tertuang ke dalam Rancangan Undang-undang (RUU) KUHP (dalam Syaffioedin dan Faturochman, 2001) dengan norma perkosaan sebagai berikut:
1. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut.
2. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan tanpa persetujuan pihak perempuan.
3. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan dengan persetujuannya, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh dan dilukai.
4. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan dengan persetujuannya karena perempuan tersebut percaya bahwa ia adalah suaminya yang sah atau ia orang yang seharusnya disetujuinya.
5. Seorang laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan yang berusia di bawah 14 tahun dengan persetujuannya.
Di dalam RUU KUHP tersebut juga dirumuskan bahwa dianggap melakukan pidana tindak perkosaan:
1) Seorang laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan.
2) Barang siapa memasukkan benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus seorang perempuan.
Berdasarkan beberapa definisi mengenai perkosaan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perkosaan adalah tindakan pemaksaan hubungan seksual dari lakilaki kepada perempuan. Pemaksaan hubungan seksual tersebut dapat berupa ancaman secara fisik maupun secara psikologis. Hubungan seksual antara pelaku dan korban tidak hanya berupa penetrasi vaginal, akan tetapi meliputi pemaksaan hubungan secara anal dan oral.
Penganiayaan seksual
Penganiayaan seksual adalah aktivitas seksual yang dipaksakan atau dibawah tekanan, termasuk percakapan atau tindakan yang distimulasi secara seksual, perbedaan atau hubungan seksual yang tidak tepat, perkosaan dan inses ( prilaku seksual antar saudara kandung.
Penganiayaan seksual terhadap anak-anak :
1. Penganiayaan seksual terhadap anak-anak sangat mempengaruhi perkembangan, menyebabkan harga diri rendah, membenci diri sendiri, sulit mempercayai orang lain dan control yang buruk terhadap influs atau dorongan agresif.
2. Terhadap korelasi yang tinggi antara penganiayaan seksual dimasa kanak-kanak dan gangguan psikatrik dimasa dewasa ( mis, ganguan disosiatif, gangguan penyalahgunaan zat) ( walker & scoot, 1998 )
3. Anak-anak korban penganiayaan seksual sering mengalami ganguan stress pascatrauma ( post-traumatic stress disordes { PTSD )
Korban penyeranggan seksual
Mengalami kekerasan dan ketidakberdayaan yang sangat mendalam setelah kejadian
a. Efek langsung dapat berupa pola respons yang diekspresikan, yaitu korban mengepresikan perasaan takut, marah dan ansietas, atau pola respons terkendali, yaitu mekanisme defensive.
b. Efek jangka panjang dapat meliputi gejala PTSD, sulit menjalin hubungan dekat, gangguan depresi, dan bahkan bunuh diri.
Sungguhpun persentase perkosaan dibandingkan dengan jumlah kejahatan sebagai keseluruhan masih dapat dianggap rendah, akan tetapi perkembangan perkosaan dalam 3 tahun terakhir (1982-1984) dan kecenderungan kenaikan dalam tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam priode tahun (1977-1981) memang sangat memerlukan pemikiran kalangan ilmuwan khususnya ilmu-ilmu sosial dan hukum, penegak hukum dan masyarakat pada umumnya terutama oleh karena perkosaan merupakan salah satu kejahatan yang dianggap mempunyai tingkat seriusitas tinggi dan mengundang tumbuhnya “ fear of crime” (kekuatan pada kejahatan) didalam masyarakat.
Dijakarta sebagai salah satu kota besar yang dikabarkan sering terjadi kasus perkosaan, nampak pula kecenderungan kenaikan dalam beberapa tahun terakhir walaupun persentasenya dibandingkan dengan total kejahatan memang relatif rendah.
Kolonel Polisi Drs. Moch Hindarto dalam makalahnya :
“Dari seluruh kasus perkosaan yang dilaporkan tidak seluruhnya merupakan kasus yang murni perkosaan, hal ini dapat diketahui setelah diadakan penyidikan. Banyak kasus yang dilaporkan perkosaan tetapi sebenarnya bukan, misalnya setelah mengadakan seks si laki-laki tidak bertanggung jawab maka ia dilaporkan telah memperkosa, atau orang tua yang tidak rela anak wanitanya digauli oleh laki-laki yang tidak disetujuinya dan masih banyak latar belakang lainnya yang tidak dikemukakan tetapi ditonjolkan dengan kasus perkosaan” (hal 9).
Delapan contoh kasus yang diajukan oleh makalah Kol.Pol.Drs.Hindarto, misalnya menunjukkan bahwa usia terendah korban adalah 5 tahun, sedangkan usia tertinggi 24 tahun, sedangkan usia pelaku yang terendah adalah 15 tahun dan usia tertinggi 30 tahun.
Tentu sulit untuk menarik semacam generalisasi dari hanya delapan contoh diatas. Tentang prilaku, umpamanya benarkah usia tertinggi pelaku sekitar 30 tahun?
Kasus-kasus lain yang dikutip dibawah ini menunjukkan kepada kita betapa perkosaan bukan hanya ulah menyimpan generasi muda :
“Pemerkosaan dewasa ini tampaknya tidak lagi dimonopoli kaum muda yang memang tengah diamuk nafsu birahi. Para kakek rupanya banyak pula yang terlibat dalam masalah ini. Tan Bong Kim, 79 misalnya, masih sempat memperkosa tetangganya. Ingin tahu korbannya? Mia, seorang bocah umur 6 tahun. Penduduk tanjung Lengkong, Jakarta timur tersebut sudah dihukum 6 bulan dan kini sudah bebas.
Boleh jadi mengekang nafsu untuk orang-orang tertentu jadi persoalan besar kendati mereka sudah bangkotan. Atmonadi 58, mengalami hal itu. Kakek bercucu dua ini masih terangsang melihat aswina, 13 tetangganya. Membujuk bakal memberikan uang seribu rupiah serta dengan setengah mengancam, dia memperkosa aswina sampai hamil. Menurut pengakuannya kalau itu terjadi lantaran istrinya setiap hari pergi berjualan. Nafsu itu pulalah yang membuat Abdullah nekat. Kakek berusia 60 tahun ini, sudah memperkosa 6 bocah cilik, berumur 7-10 tahun. Penghuni kelurahan Rawa BAdak itu terpaksa harus dilepaskan begitu saja. Sebab dalam pemeriksaan barulah diketahui dia seorang sek maniak.”
Secara teoritik sebagian diantaranya dengan mempergunakan rumusan hokum kriminologi membagi jenis-jenis perkosaan sebagai berikut :
1. “Sadistic Rape” (Perkosaan sadistis)
Pada tipe ini, seksualitas dan agressi berpadu dalam bentuk kekerasan yang merusak. Pelaku pemerkosaan Nampak menikmati kesenangan erotic bukan melalui hubungan seksnya melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.
2. “Anger Rape” Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melepaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Tubuh korban seakan-akan merupakan obyek terhadap siapa pelaku memproyeksikan pemecahan atas prustasi-prustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.
3. “Domination Rape” yang terjadi ketika pelaku mencoba “unjuk gigi” atas kekuasaan dan superioritasnya terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual. Pelaku menyakiti korban, namun memilikinya secara seksual.
4. “seductive Rape” yang terjadi pada situasi-situasi yang “merangsang” yang diciptakan oleh kedua belah pihak. Pada mulanya, korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh sanggama. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan bahwa wanita membutuhkan paksaan, oleh karena itu ia akan mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks, atau pelaku berpandangan memang seharusnya laki-laki memperoleh apa yang ia inginkan.
Tipe inilah sesungguhnya yang melahirkan apa yang disebut : “Victim Precipitated Rape” (Perkosaan yang berlangsung dengan korban sebagai factor pencetus. Manachem Amer melalui penelitian-penelitiannya di philadelphie mengungkapkan bahwa sekitar 19 % korban perkosaan memang berperan mencetuskan perkosaan. Dan, sekitar separu 9dari 646 kasus perkosaan yang diteliti) dari korban yang menjadi sasaran penalitian pernah mempunyai hubungan atau kenal dengan pelaku.
5. “Exploitation Rape” yang menunjukkan bahwa setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh laki-laki dengan mengambil keuntungan dari kerawanan posisi wanita yang tergantung padanya secara ekonomis atau social, atau dalam kasus wanita yang “diperkosa” suaminya yang terjadi oleh karena memang hokum tidak memberikan perlindungan. Dengan demikian, perkosaan jenis ini lebih dikondisikan oleh ketidak merataan relative dalam bidang social dan eknomi. Posisi yang lemah dari wanita dalam keadaan itu mendorongnya untuk melakukan pilihan rasional, walaupun hal itu menyakitkan.
Kelima tipe diatas mencerminkan perbedaan-perbedaan baik dalam jenis kekuasaan yang digunakan oleh pelaku, atau motifasinya dalam melakukan kekerasan terhadap genitalia seksual wanita.
Diindonesia terdapat pula tipe lain yakni perkosaan yang digunakan buat memenuhi persyaratan suatu ilmu tertentu. Konon, ada ilmu yang mensyaratkan siswanya untuk melakukan hubungan seks dengan puluhan perawan sebalum “lulus”. Perkosaan atas dua gadis dibawah umur, dikediri dua tahun silam, menurut berita berkaitan dengan usaha pelaku untuk mengamalkan ilmu hitam.
Dalam makalah yang diajukan oleh colonel polisi Drs.Moch.Hindarto maupun data dari polda metro jaya terlihat bahwa tingkat penyelesaian kasus perkosaan cukup tinggi dibandingkan dengan jenis-jenis kejahatan lain.
Kasus perkosaan dalam priode tahun 1980-1984 diindonesia mencapai rata-rata sekitar 69 % dan dijakarta dalam kurun waktu yang sama sekitar 60 %.
Disamping masalah pengalaman tempat kejadian perkara yang diakui cukup sulit dalam kasus-kasus perkosaan dari sudut pandangan medico-legal hasil pemeriksaan yang diharapkan sama halnya dengan korban kejahatan seks, yaitu :
1. Penetrasi penis, dari hasil pemeriksaan ditemukannya robekan selaput darah dan luka-luka pada daerah jenitalia.
2. Ejakulasi yang dari hasil pemeriksaan ditemukannya sperma diliang vagina dan asam fosfatase, kholin dan spermin diliang vagina serta kehamilan.
3. Penyakit kelamin yang dari hasil pemeriksaan ditemukan G.O. (Kencing nanah) dan lues (Siphilis)
4. Kekerasan dari hasil pemeriksaan ditemukannya perlukaan dan adanya obat-obatan didalam cairan tubuh korban
Dalam proses penanganan ini, kerjasama yang erat antar polri dengan kalangan lain dari bidang pengetahuan ilmiah medico-legal maupun kimia fhorensip sangat diperlukan guna mendapatkan bukti-bukti materil yang dibutuhkan dan kerjasama lain guna mengkaji aspek-aspek kriminologis dari perkosaan dapat dilakukan dengan kalangan dari bidang pengetahuan ilmiah kriminologi.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah korban perkosaan yang besar kemungkinan mengalami trauma psikis yang berat, juga berlainan dengan kejahatan lain memperoleh “stigma” sebagai korban perkosaan dari masyarakat. Media masa tak jarang pula berperan dalam hal yang terakhir ini dengan mendramatisasi pristiwa dan bukan hanya menonjolkan tokoh pelaku akan tetapi juga menyajikan gambaran yang kurang lebih lengkap tentang korban.
Pola penghukuman terhadap pelaku-pelaku perkosaan sebagai proses selanjutnya dari penangan tersebut diatas menunjukkan kecenderungan penghukuman yang jauh dari batas maksimal yang diancamkan dalam KUHP.
Majalah berita tempo pernah mengetengahkan bahwa jarang terdengar hukuman maksimal dijatuhkan.
Selanjutnya dikemukakan : “dipengadilan negeri medan, misalnya, yang dalam tahun 1983 memfonis 12 kasus perkosaan, rata-rata para pemerkosa Cuma dijatuhi hukuman kurungan sekitar 1 tahun. Dibandung, Surabaya, semarang, dan dijokjakarta paling tinggi pemerkosa dijatuhi hukuman 6 tahun, itu pun jarang terjadi. Yang umum sekitar 1 atau 2 tahun. Bahkan dijember, seorang kakek, 65 tahun yang memperkosa gadis berumur 14 tahun, Cuma kejatuhan 9 bulan”.
Proses penanganan yang professional dan pola penghukuman yang lebih terarah (sesuai dengan tipe, motif dan tingkat kerugian fisik, mental dan social yang dialami korban), serta proses pendidikan didalam lembaga kemasyarakatan seharusnya terpadu, dan oleh karena pemerkosaan merupakan gajala yang lahir dari suatu “Exsismaleculture” dengan “mistikemaskulinan” sebagai norma yang diterima oleh sebagian besar masyarakat, maka pencegahan dan penanggulangannya pun harus dikaitan kepada usaha penanaman dan kelembagaan nilai-nilai dan norma-norma yang menghormati hak-hak wanita.
Barangkali memang perkosaan tak jarang mengandung makna-makna simbolik, namun yang jelas perkosaan adalah hasil pertemuan dari sosialisasi seksual yang ada mendukung perwujudan seksualitas melalui kekerasan dengan sosialisasi wanita yang sarat oleh idealisasi feminitas yang diajarkan melalui sekolah, keluarga bahkan mass media dengan cirri pasifitas dan ketergantungan wanita.
Lantas, jika begitu, seperti dikatakan oleh L.Clark dan D.Lewis dapat dipahami bahwa laki-laki yang sangat kuat mengidentifikasi diri dengan kekuasaan (kedominanan) seksual dan agresi dan tidak lagi dapat membedakan apa yang mereka anggap sebagai bujukan dengan yang disandang oleh wanita sebagai perkosaan.
Beberapa akibat / efek dampak buruk pada korban pemerkosaan :
1. Menjadi stress hingga mengalami gangguan jiwa
2. Cidera atau luka-luka akibat penganiayaan
3. Kehilangan keperawanan / kesucian
4. Menjadi trauma pada laki-laki dan hubungan seksual
5. Bisa menjadi seorang lesbian atau homo yang menyukai sesama jenis
6. Masa depan suram karena dikanal sebagai korban perkosaan
7. Sulit mencari jodoh karena sudah tidak perawan
8. Bisa membalas dendam pada oang lain
9. Hamil di luar nikah yang sangat tidak diinginkan
10. Anak hasil perkosaan bisa dibenci orang tua, kerabat, tetangga, dll
11. Merusak mental seorang anak karena belum waktunya mengenal seks
12. Menjadi pasrah dan terus melakukan hubungan seks pranihah.
13. Merasa kotor dan akhirnya terjun sebagai psk untuk mendapat uang.
14. Terkena penyakit menular seksual yang berbahaya, dll
DAMPAK SOSIAL PSIKOLOGIS PERKOSAAN
Selama beberapa tahun terakhir ini bangsa Indonesia banyak menghadapi masalah Kekerasan,baik yang bersifat masal maupun yang dilakukan secara individual. Masyarakat mulai merasa resah dengan adanya berbagai kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Kondisi seperti ini membuat perempuan dan anak-anak menjadi lebih rentan untuk menjadi korban kekerasan. Perempuan yang berada di daerah aman juga dapat menjadi korban kekerasan, dengan kata lain masalah kekerasan terhadap perempuan ini merupakan masalah yang universal (Kompas, 1995; Muladi, 1997; Triningtyasasih, 2000).
Pada saat orang berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan, maka dapat dikatakan bahwa perempuan dalam situasi apapun tetap rentan untuk menjadi korban dari struktur atau sistem (sosial, budaya, maupun politik) yang menindas (Press Release Lokakarya WCC, 2000). Hal ini diperkuat oleh adanya pendapat bahwa posisi perempuan yang membuat keberdayaan mereka untuk melindungi diri juga kurang. Dikatakan bahwa perempuan yang berada di dalam rumah pun dapat menjadi korban kekerasan dari suaminya, perempuan di tempat kerja juga dapat memperoleh pelecehan seksual baik dari atasan maupun rekan sekerjanya (Suharman dalam Prasetyo, 1997).
Bentuk kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kekerasan secara fisik, akan tetapi dapat juga meliputi kekerasan terhadap perasaan atau psikologis, kekerasan ekonomi, dan juga kekerasan seksual. Hal ini sesuai dengan pendapat Hayati (2000) yang mengatakan bahwa kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun non verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional, dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya.
Berdasarkan catatan FBI terdapat sedikitnya 84.000 perempuan yang melaporkan menjadi korban perkosaan dalam satu tahun (Walter dalam Haryanto, 1997). Sementara itu di Indonesia, kasus perkosaan menempati peringkat nomor 2 setelah pembunuhan (Darwin, 2000). Data dari Kalyanamitra menunjukkan bahwa setiap 5 jam, ditemui 1 kasus perkosaan (Abar, 1995; Darwin, 2000; Tabah, 1994).
Sementara itu, Yayasan Kepedulian Untuk Konsumen Anak (KAKAK) selama tahun 2000 mencatat 90 kasus seksual yang dialami oleh anak Surakarta dan kasus perkosaan yang ada mencapai 18 orang (Suara Merdeka, 2001). Hal ini menunjukkan betapa banyaknya perempuan yang menjadi korban perkosaan. Data yang tersaji pada beberapa lembaga tersebut merupakan data dari hasil penelitian maupun dari korban yang melaporkan kejadian yang mereka alami. Asumsi yang muncul dari data yang tersaji selama ini adalah bahwa data yang ada merupakan fenomena gunung es. Pernyataan tersebut memiliki arti bahwa data yang muncul ke permukaan hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus yang terjadi di dalam masyarakat.
Berdasarkan pernyataan tersebut maka sebenarnya kekerasan yang terjadi di masyarakat dapat saja merupakan kelipatan dari data yang ada. Pada kasus perkosaan, setiap orang dapat menjadi pelaku perkosaan tanpa mengenal usia, status, pangkat, pendidikan, dan jabatan. Hal ini senada dengan hasil penelitian dari Abar & Subardjono (1998), yang mengatakan bahwa berdasarkan data usia pelaku tindak kejahatan perkosaan, dapat dikatakan bahwa pelaku perkosaan sesungguhnya tidak mengenal batas usia. Selama individu masih mempunyai daya seksual, dari anak-anak hingga kakek-kakek masih sangat mungkin untuk dapat melakukan tindak kejahatan perkosaan. Demikian pula dengan korban. Setiap perempuan dapat menjadi korban dari kasus perkosaan tanpa mengenal usia, kedudukan, pendidikan, dan status. Pendapat tersebut senada dengan pengamatan dari Rita Serena Kalibonso (Kompas, 1993), berdasarkan data kasus yang masuk ke kantor LBH Jakarta, yang mengatakan bahwa pelaku bukan hanya tetangga korban melainkan juga ayah tiri, anak majikan, majikan, teman dekat, dan juga saudara. Sementara korban ada yang memiliki profesi sebagai karyawan, ibu rumah tangga, pembantu rumah tangga, anak-anak di bawah umur, bahkan anak sekolah luar biasa. Salah satu contoh kasus perkosaan tentang hal tersebut dimuat oleh Bernas tanggal 15 Nopember 1999 yang menyebutkan tentang seorang kakek yang memperkosa seorang gadis cacat mental.
Dampak Psikologis
Upaya korban untuk menghilangkan pengalaman buruk dari alam bawah sadar mereka sering tidak berhasil. Selain kemungkinan untuk terserang depresi, fobia, dan mimpi buruk, korban juga dapat menaruh kecurigaan terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri. Linda E. Ledray (dalam Prasetyo, 1997) melakukan penelitian mengenai gambaran penderitaan yang dialami oleh perempuan korban perkosaan. Penelitian tersebut dilakukan dengan mengambil data perempuan korban perkosaan di Amerika, yang diteliti 2-3 jam setelah perkosaan.
Hasil yang diperoleh menyebutkan bahwa 96% mengalami pusing; 68% mengalami kekejangan otot yang hebat. Sementara pada periode post-rape yang dialami adalah 96% kecemasan; 96% rasa lelah secara psikologis; 88% kegelisahan tak henti; 88% terancam dan 80% merasa diteror oleh keadaan. Penelitian yang dilakukan oleh majalah MS Magazine (dalam Warshaw, 1994) mengatakan bahwa 30% dari perempuan yang diindetifikasi mengalami perkosaan bermaksud untuk bunuh diri, 31% mencari psikoterapi, 22% mengambil kursus bela diri, dan 82% mengatakan bahwa pengalaman tersebut telah mengubah mereka secara permanen, dalam arti tidak dapat dilupakan. Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres paska perkosaan yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi paska perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang merupakan gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan. Stres jangka panjang yang berlangsung lebih dari 30 hari juga dikenal dengan istilah PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder (Rifka Annisa dalam Prasetyo, 1997). Menurut Salev (dalam Nutt, 2001) tingkat simptom PTSD pada masing-masing individu terkadang naik turun atau labil. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan 12 yang terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang dialaminya.
Menurut Shalev (dalam Nutt, 2000) PTSD merupakan suatu gangguan kecemasan yang didefinisikan berdasarkan tiga kelompok simptom, yaitu experiencing, avoidance, dan hyperarousal, yang terjadi minimal selama satu bulan pada korban yang mengalami kejadian traumatik. Diagnosis bagi PTSD merupakan faktor yang khusus yaitu melibatkan peristiwa traumatis. Diagnosis PTSD melibatkan observasi tentang symptom yang sedang terjadi dan atribut dari simptom yang merupakan peristiwa khusus ataupun rangkaian peristiwa. Selanjutnya definisi PTSD ini berkembang lebih dari hanya sekedar teringat kepada peristiwa traumatis yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi juga disertai dengan ketegangan secara terus-menerus, tidak dapat tidur atau istirahat, dan mudah marah. PTSD yang dialami oleh tiap individu terkadang tidak stabil. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang dialaminya. Para korban perkosaan ini mungkin akan mengalami trauma yang parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang mengejutkan bagi korban. Secara umum peristiwa tersebut bisa menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000).
Berdasarkan definisi tersebut maka dapat diambil kesilmpulan bahwa PTSD adalah gangguan kecemasan yang dialami oleh korban selama lebih dari 30 hari akibat peristiwa traumatis yang dialaminya. Dampak jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari setelah kejadian. Dampak jangka pendek ini termasuk segi fisik si korban, seperti misalnya ada 13 gangguan pada organ reproduksi (infeksi, kerusakan selaput dara, dan pendarahan akibat robeknya dinding vagina) dan luka-luka pada bagian tubuh akibat perlawanan atau penganiayaan fisik.
Dari segi psikologis biasanya korban merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu, dan terhina. Gangguan emosi ini biasanya menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia), kehilangan nafsu makan, depresi, stres, dan ketakutan. Bila dampak ini berkepanjangan hingga lebih dari 30 hari dan diikuti dengan berbagai gejala yang akut seperti mengalami mimpi buruk, ingatan-ingatan terhadap peristiwa tiba-tiba muncul, berarti korban mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau dalam bahasa Indonesianya dikenal sebagai stres paska trauma (Hayati, 2000). Bukan tidak mungkin korban merasa ingin bunuh diri sebagai pelarian dari masalah yang dihadapinya.Menurut Freud (dalam Suryabrata, 1995), hal ini terjadi karena manusia memiliki instinginsting mati. Selain itu kecemasan yang dirasakan oleh korban merupakan kecemasan yang neurotis sebagai akibat dari rasa bersalah karena melakukan perbuatan seksual yang tidak sesuai dengan norma masyarakat.
Terkadang korban merasa bahwa hidup mereka sudah berakhir dengan adanya peristiwa perkosaan yang dialami tersebut. Dalam kondisi seperti ini perasaan korban sangat labil dan merasakan kesedihan yang berlarut-larut. Mereka akan merasa bahwa nasib yang mereka alami sangat buruk. Selain itu ada kemungkinan bahwa mereka menyalahkan diri mereka sendiri atas terjadinya perkosaan yang mereka alami. Pada kasus-kasus seperti ini maka gangguan yang mungkin terjadi atau dialami oleh korban akan semakin kompleks. 14 Tanda-tanda PTSD tersebut hampir sama dengan tanda dan simptom yang ada pada depresi menurut kriteria dari American Psychiatric Association (dalam Davison dan Neala, 1990). Tanda-tanda tersebut adalah: (1) sedih, suasana hati depres; (2) kurangnya nafsu makan dan berat badan berkurang, atau meningkatnya nafsu makan dan bertambahnya berat badan; (3) kesukaran tidur (insomnia): tidak dapat segera tidur, tidak dapat kembali tidur sesudah terbangun pada tengah malam, dan pagi-pagi sesudah terbangun; atau adanya keinginan untuk tidur terus-menerus; (4) perubahan tingkat aktivitas; (5) hilangnya minat dan kesenanga dan dalam aktivtas yang biasa dilakukan; (6) kehilangan energi dan merasa sangat lelah; (7) konsep diri negatif; menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna dan bersalah; (8) sukar berkonsentrasi, seperti lamban dalam berpikir dan tidak mampu memutuskan sesuatu; (9) sering berpikir tentang bunuh diri atau mati.
Menurut Georgette (dalam Warshaw, 1994) sindrom tersebut dialami oleh korban, baik korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal maupun pelaku adalah orang asing. Hal tersebut akan termanifestasikan ke dalam rentang emosi dan perilaku yang luas. Korban dapat menunjukkan reaksi yang terbuka terhadap pengalamannya atau dapat juga mengontrol responnya, bertindak secara kalem dan tenang. Bagaimanapun juga korban akan mengalami perasaan takut secara umum ataupun perasaan takut yang khusus seperti perasaan takut akan kematian, marah, perasaan bersalah, depresi, takut pada laki- laki, cemas, merasa terhina, merasa malu, ataupun menyalahkan diri sendiri. Korban dapat merasakan hal tersebut secara bersama-sama dalam waktu dan intensitas yang berbeda-beda. Korban dapat juga memiliki keinginan untuk bunuh diri. Sesaat setelah korban terlepas dari perkosaan mungkin ia akan merasakan suatu kelegaan untuk sesaat karena 15 sudah terlepas dari suatu peristiwa yang sangat mengancam. Akan tetapi setelah peristiwa tersebut maka korban akan mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi ataupun memfokuskan pemikirannya untuk menampilkan tugas yang sederhana. Korban akan merasa gugup, gelisah, mudah terganggu, mengalami goncangan, menggigil, nadi berdebar secara kencang, dan badan terasa panas dingin. Korban juga dapat mengalami kesulitan tidur, kehilangan nafsu makan, mengalami gangguan secara medis, diantaranya mungkin berhubungan langsung dengan penyerangan yang dialaminya. Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa perkosaan oleh pasangan ataupun teman kencan biasanya tidak melibatkan kekerasan secara nyata seperti adanya pemukulan atau penggunaan senjata dan ancaman.
Berdasarkan pandangan tersebut maka mereka menganggap bahwa trauma yang dialami oleh korban tidak seberat trauma yang dialami oleh korban perkosaan oleh orang asing (Warshaw, 1994). Akan tetapi pada kenyataannya yang terjadi adalah kebalikan dari pandangan tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Katz dan Burt (dalam Warshaw, 1994) ditemukan bahwa korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal oleh korban, mengalami proses penyembuhan yang lebih sedikit dibandingkan korban perkosaan dengan pelaku yang tidak dikenal korban. Penelitian ini didasarkan dengan melihat kondisi korban setelah jangka waktu tiga tahun dari peristiwa perkosaan yang dialami oleh korban.
Menurut Parrot (dalam Warshaw, 1994) yang seorang pakar tentang date rape, hal tersebut dapat diakibatkan karena korban yang mengalami perkosaan oleh orang yang dikenal biasanya menyimpan kenyataan mengenai peristiwa yang mereka alami. Hal ini berbeda dengan korban dengan pelaku yang tidak begitu dikenal. Mereka cenderung dengan segera mencari pertolongan, konseling, ataupun kelompok dukungan lainnya. Dengan demikian 16 maka korban dengan pelaku yang dikenal akan menyimpan dampak dari serangan yang dialaminya dalam jangka waktu yang lebih lama. Korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal, memiliki kemungkinan yang besar akan mengalami perkosaan secara berulang dan dalam jangka waktu yang panjang (Agaid, 2002).
Pelaku sebagai orang yang dikenal bahkan orang yang dekat dengan korban sudah mengetahui dengan baik situasi untuk melakukan perkosaan. Pelaku telah merancang waktu untuk melakukan niatnya dengan baik sehingga ia yakin bahwa perbuatannya tersebut tidak akan diketahui oleh orang lain. Korban yang memiliki relasi kuasa di bawah pelaku tidak berani mengungkapkan rahasia tersebut kepada orang lain termasuk keluarganya karena adanya berbagai alasan seperti: adanya ancaman dari pelaku, alasan menjaga kehormatan dan pemberian pengertian dari pelaku bahwa perkosaan tersebut adalah bukti kasih sayang pelaku kepada korban. Berdasarkan hal tersebut maka pelaku lebih leluasa untuk mengulang perbuatannya. Perkosaan seperti ini membuat posisi korban serba salah karena ia harus menanggung beban ganda, yaitu menjadi korban dari perkosaan yang dapat berulang setiap saat dan harus menyimpan rahasia tersebut dari orang lain. Kadang kala ketakutan yang dialami oleh korban membuat ia tidak berdaya dan lemah. Korban perkosaan mungkin akan mengalami ketakutan berada dalam situasi yang ramai atau berada sendirian. Korban dapat merasa ketakutan pada saat ia hanya berdua dengan orang lain. Posisi ini membuat korban tidak memiliki kepercayaan kepada orang lain, bahkan orang-orang yang selama ini dekat dengannya. Korban dapat pula menjadi paranoid terhadap alasan dari orang-orang yang tidak dikenalnya. Pemicu yang berhubungan dengan perkosaan seperti lagu yang didengar pada saat kejadian, bau 17 minuman yang diminum oleh pelaku pada saat kejadian, bau parfum pelaku, ataupun melihat seseorang yang mirip dengan pelaku akan membuat korban merasa cemas dan takut (Warshaw, 1994).
Alternatif Penyembuhan Proses penyembuhan korban dari trauma perkosaan ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan ini diperlukan untuk membangkitkan semangat korban dan membuat korban mampu menerima kejadian yang telah menimpanya sebagai bagian dari pengalaman hidup yang harus ia jalani (Hayati, 2000). Korban perkosaan memerlukan kawan bicara, baik teman, orangtua, saudara, pekerja sosial, atau siapa saja yang dapat mendengarkan keluhan mereka. Diharapkan dengan adanya dukungan ini maka korban akan mampu berdaya dan menjalani kehidupannya seperti sedia kala.
Pada kasus-kasus perkosaan yang didampingi oleh Rifka Annisa Women’s Crisis Center, beberapa korban tidak dapat ataupun tidak mau menghubungi keluarganya dengan berbagai pertimbangan dan alasan. Korban merasa malu dan bersalah karena merasa bahwa dirinya tidak dapat menjaga nama baik keluarga. Selain itu mereka juga merasa takut jika keluarga menjadi marah dan tidak mau menerima keadaan mereka. Korban yang tidak didampingi oleh keluarga mengalami kecemasan yang tinggi, merasa lemah, sering pingsan, bahkan mengalami PTSD. PTSD ini jarang terjadi pada korban yang mendapat dukungan dan pendampingan dari keluarga. Korban yang mendapat dukungan dari keluarga pada umumnya hanya mengalami stres paska perkosaan jangka pendek dan tidak mengalami PTSD. Korban terlihat lebih cepat pulih dengan adanya dukungan dari keluarga. Bahkan ada seorang anak yang pada saat kejadian dia sangat shock akan tetapi dengan pengertian dari keluarga serta dukungan yang diberikan ia mampu mengatasi perasaan tersebut dan mau melanjutkan kegiatannya seperti biasa. Salah satu korban dititipkan di rumah neneknya di luar Jawa karena pelaku perkosaan tersebut adalah ayah tirinya. Masing- masing keluarga memiliki cara sendiri di dalam memberi dukungan terhadap anggota keluarga mereka yang menjadi korban perkosaan.
Dampak Sosial
Korban perkosaan dapat mengalami akibat yang sangat serius baik secara fisik maupun secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain: (1) kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput dara, pingsan, meninggal; (2) korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual (PMS); (3) kehamilan tidak dikehendaki. Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus maup un kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual (Koesnadi, 1992).
Sementara itu, korban perkosaan berpotensi untuk mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya. Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik (Taslim, 1995). Secara umum peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Korban perkosaan dapat menjadi murung, menangis, mengucilkan diri, menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya. Trauma yang dialami oleh korban perkosaan ini tidak sama antara satu korban dengan korban yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh bermacam-macam hal seperti pengalaman hidup mereka, tingkat religiusitas yang berbeda, perlakuan saat perkosaan, situasi saat perkosaan, maupun hubungan antara pelaku dengan korban. Situasi dalam masyarakat seringkali dapat memperburuk trauma yang dialami oleh korban. Media massa juga memiliki pengaruh terhadap keadaan yang dirasakan oleh korban. Pada kasus-kasus perkosaan, media massa memiliki peranan dalam membentuk opini masyarakat tentang korban perkosaan. Baik buruknya korban perkosaan dapat dipengaruhi oleh cara penulisan berita tersebut (Abrar, 1998).
Selama ini, para wartawan cenderung menggunakan bahasa denotatif dalam mendeskripsikan runtutan peristiwa perkosaan, termasuk deskripsi tentang korban sehingga posisi korban dalam pandangan masyarakat semakin lemah (Abar & Subardjono, 1998). Ada stigma di dalam masyarakat yang memandang bahwa perempuan korban perkosaan adalah perempuan ya ng hina. Ada pula pandangan yang mengatakan bahwa dalam sebuah kasus perkosaan, yang salah adalah pihak perempuan. Perempuan korban perkosaan seringkali dipojokkan dengan pandangan masyarakat ataupun mitos-mitos yang salah mengenai perkosaan (Taslim, 1995).
Pandangan yang salah tersebut membuat masyarakat memberi “label” bahwa perempuan korban perkosaan sengaja “menggoda” dan “menantang” laki-laki dengan memakai pakaian mini, rok ketat, berdandan menor ataupun berbusana seksi, bahkan sengaja mengundang nafsu birahi laki-laki pemerkosa (Bernas, 1995; Kompas, 1995; Taslim, 1995).
Hal seperti ini akan membuat korban semakin takut untuk mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya. Korban akan merasa bahwa dirinya telah merusak nama baik keluarga, sehingga ia cenderung akan melakukan self-blaming yang justru akan semakin memperburuk keadaannya. Seringkali rasa bersalah ini juga membuat korban enggan untuk menceritakan pengalamannya kepada orang-orang di sekitarnya karena takut menerima “vonis” dari lingkungan (Republika, 1995; Taslim, 1995). Hal ini sesuai dengan pendapat Epictus (dalam Semiarti, 1989) yang mengatakan bahwa sebenarnya seseorang akan terganggu oleh cara dia melihat sesuatu hal. Apabila seseorang memandang suatu hal sebagai ancaman maka ia akan cenderung mengalami gangguan akibat penilaiannya tersebut. Harapan dan pikiran negatif akan mendorong seseorang untuk menjadi depresi (Abrahamson dalam Semiarti, 1989).
Tugas Kelompok Kesehatan Mental II :
Indah Pratiwie
Desni Saputra
Irjasmiati
Dosen : M Fahli Zatra Hadi S.Sos.I
DEVIASI
Disusun oleh:
Maisaroh
Yasmiati
DEVIASI
A. Pengertian Deviasi
Deviasi atau penyimpangan adalah tingkah laku yang menyimpang dari kecenderungan umum atau karakteristik rata – rata kebanyakan dari masyarakat. Sedangkan diferensiasi adalah tingkah laku yang berbeda dari tingkah laku umum. Misalnya, kejahatan adalah semua bentuk tingkah laku yang berbeda dan menyimpang dari ciri – cirri karakteristik umum, serta bertentangan dengan hukum, atau melawan peraturan yang berlaku. Sedangkan kejahatan itu sendiri mencakup banyak macam – macam tingkah laku dan sangat heterogen sifatnya, sebab bias dilakukan oleh pria, wanita, anak – anak, tua maupun remaja.
Ada yang membedakan diferensiasi itu menjadi:
• Differensiasi biologis
Differensiasi biologis yang mempunyai tanda penyimpangan yaitu macam – macam stigma rasial. ( stigma dari kata stigmayologis berarti tanda, selar, dan ciri ), misalnya dalam bentuk berat badan dan tinggi, raut muka, tampang, dan bentuk perbandingan badan, perut, bekas luka, mata juling, sipit, tanda – tanda tertentu sejak lahir,cacat jasmani karena kecelakaan atau penyakit yang merusak mekanisme tubuh dan tingkah laku.
Ciri – ciri tersebut mengakibatkan pola tingkah laku yang berbeda sekali dengan prilaku umum. Misalnya bias menjadi buta,gagap,timpang,tuli,bisu,menderita aphasia (kemampuan untuk menggunakan kata-kata sebagai simbol pikiran hilang atau terhambat,disebabkan oleh kerusakan pada kulit otak), dan aphonia atau tidak mampu nya mengeluarkan suara, dan cacat jasmania yang lainnya.
Cacat jasmaniah itu mengakibatkan persepsi tertentu dan respon-respon tingkah laku menjadi terhambat atau tidak berfungsi lagi.semuanya itu tergantung pada sifat dan beratnya kerusakan structural. Tingkah laku menjadi sangat berbeda dengan tingkah laku kebanyakan orang dan pribadi yang bersangkutan terhambat dalam melaksanakan peranan sosialnya. ( Kartini Kartono, 1981 : 23-24).
• Differensiasi demografis
Differensiasi demografis adalah perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan bangsa-bangsa dan bangsa yang menyimpang dari kelompok bangsa yang umumnya,yang tingkah lakunya aneh dan luar biasa misalnya dalam hal posisi seks, perbedaan usia seperti ada yang usianya sangat tua dan ada juga yang mati dalam usia sangat muda, lingkungan sosialnya dan lain-lainnya. Contohnya bangsa Yahudi atau Bani Israil bagaimana kondisinya ketika ditanah airnya sendiri dan didaerah lain, bangsa Sicilia yang terkenal dengan gang atau mafianya.
Deviasi behavioral menurut tipenya dapat dibedakan menjadi :
a) Personal, dan b) social.
Sedangkan menurut aspeknya dapat dibedakan menjadi :
a) Yang tampak (overt)
b) Yang tidak tampak (covert)
Yang menjadi objek kajian disini adalah deviasi behavioral artinya penyimpangan tingkah laku yang sering kali disebut juga dengan istilah abnormal atau maladjusted. Untuk mengetahui ingkah laku abnormal atau maladjusted atau yang menyimpang sudah barang tentu harus mengetahui tingkah laku yang normal, yang edjusted, yang telah disinggung di depan. Yang dijadikan ugeran atau patokan ialah norma social. Norma social ini tergantung pada waktu dan tempat, status usia, seks, serta kelas social.
Norma social ialah batas-batas dari berbagai tingkah laku yang secara jelas (eksplisit) atau samar (implisit) dimiliki atau dikenal secra retrospektif oleh anggota-anggata sesuatu kelompok, komunity atau society (St. Vembriarto : 1981 : 71).
Yang dimaksudkan dengan retospektif artinya bahwa sebagian besar orang tidak menyadarinya, dan norma itu baru disadari apabila dilanggar, atau disadari secara proyektif.
• Deviasi tingkah laku menurut aspeknya, dapat dibedakan menjadi :
1. Aspek lahiriah ;
Aspek yang berbentuk verbal, misalnya: bahasa yang tidak sesuai menurut gramatika serta pendapat – pendapat yang radikal mengenai berbagai hal
Aspek yang nonverbal, misalnya alkoholisme, madat, prostitusi (pelacuran ), kejahatan, dan sebagainya.
2. Aspek batiniah yang simbolik,
yaitu segi sikap dan emosi yang bersifat perilaku menyimpang yang dialami oleh seseorang, misalnya berupa mens area ( fikiran yang paling dalam yang tersembunyi ) atau berupa iktikad criminal dibalik semua aksi kejahatan dan tingkah laku menyimpang.
Perlu diketahui bahwa tingkah laku menyimpang itu tersembunyi sifatnya yang tampak itu hanya sebagian yang muncul kepermukaan. Aspek batiniah hanya dapat diselediki melalui aspek lahiriah verbal.
Dari proses simbolisasi itu, yang paling penting adalah simbolisasi diri atau “penamaan diri” maksudnya adalah anak-anak yang tumbuh dan berkembang menjadi dewasa dilingkungan social yang kriminal dan asusila, mudah mengambil alih warisan-warisan sosial yang jahat, buruk, dari masyarakat lingkungannya. Konsep sosial menanamkan nilai-nilai moral dan kebiasaan bertingkah laku buruk baik secara sadar atau tidak disadarinya.
Kelompok – kelompok bermain sejak masa kanak-kanak, dan masyarakat lingkungan yang criminal dan asusila itu secara perlahan – lahan membentuk tradisi, hokum, dan kebiasaan – kebiasaan tertentu, sehingga anak –anak tadi secara otomatis terkontrol untuk bertingkah laku criminal dan asusila.
Konsep – konsep asusila yang umumnya berlaku dalam lingkungan yang diopernya secara otomatis.proses konsepsi diri atau simbolisasidiri,pada umumnya berlangsung tidak sadar dan perlahan – lahan. Berlangsunglah proses sosialisasi dari tingkah laku menyimpang pada diri seseorang sejak masa kanak – kanak, remaja, hingga dewasa berlangsung pula pada pembentukan pola tingkah laku deviatif yang progesif sifatnya, kemudian dikembangkan menjadi kebisaan – kebiasaan patologis, menyimpangg dari pola tinkah laku umum.
B. Tingkah laku normal, yang menyimpang dari norma social
Banyak sosiolog mempersamakan “tingkah laku yang menyimpang “ dengan tingkah laku abnormal atau maladjusment (tidak mampu menyesuaikan diri ). Tingkah laku normal adalah tingkah laku yang serasi dan tepat yang bisa diterima oleh masyarakat pada umum. Tingkah laku pribadi yang normal adalah perilaku yang sesuai dengan pola kelompok masyarakat tempat dia berada sesuai pula dengan norma – norma social yang berlaku pada masyarakat.
Tingkah laku yang normal adalah tingkah laku yang serasi yang bias diterima oleh mayarakat pada umumnya.
Tingkah laku pribadi yang normal adalah perilaku yang sesuai dengan pola kelompok masyarakattempat dia berada sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku pada saat dan tempat itu, sehingga tercapai relasipersonal dan interpersonal yang relative memuaskan.
Pribadi yang itu secara relatif dekat dengan integrasi jasmaniah-rohaniahyang ideal. Kehidupan psikisnya kurang lebih stabil sifatnya, tidak banyak memendam konflik internal(konflik batin) dan konflik dengan lingkungannya; batinnya tenang, imbang,dan jasmaniahnya merasa saehat selalu.
Tingkah laku abnormal/ menyimpang ialah: tingkah laku yang tidak serasi, tidak bisa di terima oleh masyarakat pada umumnya, dan tidak sesuai dengan normal social yang ada.
Pribadi yang normal itu umumnya jauh dari pada status integrasi; baik secara internal dalam batin sendiri, maupun batin secara eksternal dengan lingkungan sosialnya, pada umumnya mereka terpisah hidupnya dari masyarakat, sering di dera oleh konflik batin, dan tidak jarang di hinggapi gangguan mental.
Norma adalah kaidah, aturan pokok, ukuran, kadar atau patokan yang di terima secara utuh dari masyarakat, guna mengatur kehidupan dan tingkah laku sehari-hari, agar hidup ini terasa aman dan menyenangkan. Dalam masyarakat primitif yang terisolir dan sedikit jumlahnya, lagi pula masyarakatnya relatif terintegrasi dengan baik, norma-norma untuk mengukur tingkah laku menyimpang atau abnormal itu ada jelas dan tegas. Sedangkan tingkah laku menyimpang itu sendiri mudah di bedakan dengan tingkah laku normal pada umumnya.
Akan tetapi, dalam masyarakat urban di kota-kota besar dan masyarakat teknologi industri yang serba kompleks, dengan macam-macam sub- kebudayaan yang selalu berubah dan terus membelah diri dalam fraksi-fraksi yang lebih kecil, norma-norma social yang di pakai sebagai standar kriteria pokok untuk mengukur tingkah laku orang sebagai “normal”dan “abnormal”itu menjadi tidak alasan. Dengan kata-kata lain, konsep tentang normalitas dan abnormalitas menjadi sangat samar-samar batasnya.
Sebab, kebiasaan-kebiasaan, tingkah laku dan sikap hidup yang dirasakan sebagai normal oleh suatu kelompok masyarakat, bisa di anggap sebagai abnormal oleh kelompok kebudayaan lainnya. Apa yang di anggap sebagai normal oleh beberapa generasi sebelum kita, bisa di anggap abnormal pada saat sekarang.
Norma itu sifatnya bisa formal; bisa juga noninstitusional atau sosial(norma umum). Norma juga bersifat positif. Yaitu mengharuskan, menekan atau kompulsif sifatnya. Mulai dari norma-norma yang ringan lunak, memperbolehkan, sampai penggunaan sedikit paksaan.
Sebaliknya norma juga bisa bersifat negatif,yaitu melarang sama sekali, bahkan menjadikan tabu dilarang menjamah atau melakukannya karena di liputi kekuatan-kekuatan gaib yang lebih tinggi. Bisa juga berupa larangan-larangan dengan sanksi keras, hukuman atau tindak pengasingan.
Khususnya terhadap tingkah laku menyimpang yang provokatif dan merugikan hak-hak serta privilege(hak istimewa) orang banya, di berikan sanksi keras berupa hukuman atau pengasingan oleh orang banyak. Dengan demikian dapat di nyatakan, bahawa tingkah laku deviatif atau menyimpang itu di cap dan ditentang dengan tegas secara kultural oleh umum, di satu tempat dan pada satu waktu tertentu.
MACAM-MACAM DEVIASI DAN LINGKUNGAN
Deviasi atau penyimpangan tingkah laku itu sifatnya bisa tunggal; misalnya hanya kriminil saja atau alkoholik atau mencandu bahan-bahan narkotik. Namun bisa juga jamak sifatnya; misalnya seorang wanita tunasusila sekaligus juga kriminal, jadi ada kombinasi dari beberapa tingkah laku menyimpang contoh lain: sudah kriminal, penjudi besar, alkoholik, sekaligus juga a-susila secara seksual.
Deviasi ini dapat kita bedakan dalam tiga kelompok yaitu ( Dr Kartini Kartono:15):s
(a) Individu-individu dengan tingkah laku yang menjadi “ masalah” merugikan dan destruktif bagi orang lain, akan tetapi tidak merugikan diri sendiri.
(b) Individu-individu dengan tingkah laku menyimpang yang menjadi “masalah” bagi diri sendiri, akan tetapi tidak merugikan orang lain.
(c) Individu-individu dengan deviasi tingkah laku yang menjadi “masalah” bagi diri sendiri dan orang lain.
Yang jelas, deviasi tingkah laku itu tidak pernah berlangsung dalam isolasi;tidak berlangsung sui generis( unik khas satu-satunya dalam jenis) dan dalam keadaan vakum. Akan tetapi selalu berlangsung dalam satu konteks sosio-kultural dan antar personal. Jadi, sifatnya bisa organismis atau fisiologis; bisa juga psikis, interpersonal, antar-personal dan kultural,sehub ungan dengan lingkungan sosio-kultural ini, deviasi tingkah laku ini dapat di bagikan menjadi: (1) deviasi individual, (2) deviasi situasional, (3) deviasi sistematik.( Dr.Kartini Kartono:16-22)
1.)Deviasi individual
Beberapa deviasi merupakan gejala personal, pribadi atau individual, sebab di timbulkan oleh cirri-ciri yang khas unik dari individu itu sendiri. Yaitu berasal dari anomali-anomali ( penyimpangan dari hukum, kelainan-kelainan), variasi-variasi biologis, dan kelainan-kelainan psikis tertentu, yang sifatnya herediter ada sejak lahir. Kelainan cirri tingkah laku bisa juga di sebabkan oleh penyakit dan kecelakaan. Jika tidak ada di ferensiasi biologis, maka deviasi-deviasi itu pasti di sebabkan oleh pengaruh sosial dan kultural, yang “ membatasi”dan merusak kualitas-kualitas psiko-pisik individu.
Deviasi jenis ini sering kali sifatnya simptomatik. Yaitu di sebabkan pleh konflik-konflik intrapsikis yang kronis dan sangat dalam; atau berasal dari konflik-konflik semacam ini mengakibatkan keterbelahan pribadi; orangnya menjadi khoatis kacau, dan kepribadiannya tidak terintegrasi dengan baik.
Di masukkan dalam kelompok deviasi individual ini antara lain ialah: anak-anak luar biasa, penemu-penemu,genius-genius,fanatisi(orang-orang yang sangat fanatik), idiot savant atau genius-genius yang bersifat idiot dan tidak berperikemanusiaan, dan individu-individu yang psikotis. Pribadi-pribadi sedemikian ini pada dasarnya sudah memiliki kencenderungan-kecenderungan yang menyimpang, baik secara biologis maupun psikis, yang kemudian di perhebat oleh rangsangan sosial dan stimuli( stimulus= rangsangan)kultural dari lingkungan hidupnya.
2.)Deviasi Situasional
Deviasi jenis ini di sebabkan oleh pengaruh bermacam-macam kekuatan situasional/sosial di luar individu; oleh pengaruh situasi dalam mana pribadi yang bersangkutan menjadi bagian integral dari padanya. Situasi tadi memberikan pengaruh yang memaksa, sehingga individu tersebut terpaksa harus melanggar peraturandan norma-norma umum atau hukum formal.jika anak istri hampir-hampir mati kelaparan, dan tidak ada jalan lain untuk mendapatkan bahan makanan kecuali dengan cara mencur, sehingga pria yang bersangkutan terpaksa harus mencuri, maka jadilah ia seorang penjahat situasional.
Dan deviasinya bersifat situasional,contoh lain, gadis-gadis tertentu melakukan pekerjaan WTS, menjadi tuna susila di sebabkan oleh perasaan tidak puas terhadap pekerjaan yang lalu, karena upahnya tidak mencukupi untuk membeli jenis-jenis perhiasan dan pakaian yang di inginkannya.
Ringkasnya, individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu bisa mengembangkan tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma susila atau hukum, sebagai produk dari transformasi-transformasi psikologis yang di paksakan oleh situasi dan kondisi lingkungan sosialnya. Situasi sosial yang eksternal itu memberikan tekanan-tekanan serta paksaan-paksaan dan mengalahkan factor-faktor internal yaitu pikiran, pertimbangan akal, hati nurani sehingga memunculkan deviasi situasional tadi.
Maka ruang dan waktu itu merupakan dimensi-dimensi pokok dari situasi sosial yang memberikan pengaruh tekanan dan paksaan kepada individu. Sampai berapa besar pengaruh situasi sosial menekan dan memaksa, dapat kita ketahui apabila individu yang menyimpang itu dipindahkan kedalam situasi sosial lain. Maka akan lenyaplah pola-pola situasi sosial nya diubah secara drastis.
Pada umumnya, deviasi situasional yang kumulatif itu merupakan produk dari konflik kultural; yaitu merupakan produk dari periode-periode dengan banyak konflik kultur. Konflik budaya/ kultural ini dapat di artikan sebagai:
(a) Konflik antara individu dengan masyarakat
(b) Konflik antara nilai-nilai dan praktek-praktek dari dua atau lebih kelompok-kelompok sosial
(c) Konflik-konflik introjektif yang berlangsung dalam diri seorang, yang hidup dalam lingkungan sosial penuh dengan nilai dan norma-norma yang bertentangan.
Konflik-konflik budaya ini dapat di artikan pula sebagai situasi sosial di penuhi dengan kelompok-kelompok sosial yang tidak bisa di rukunkan atau di damaikan, dan ada banyak golongan berpengaruh yang di sebut sebagai pressure-groups, sehingga mengakibatkan timbulnya ketegangank-ketegangan, ketakutan dan kecemasan-kecemasan batin yang tak dapat di integrasikan oleh banyak individu.
Maka apabila tingkah laku menyimpang ini berlangsung secara meluas dalam masyarakat jadilah deviasi situasional kumulati. Contoh deviasi demikian ini ialah:
(1) kebudayaan korupsi,
(2) pemberontakan anak remaja,
(3) “adolescent revolt”,
(4) kesukaran-kesukaran menopausal di kalangan wanita setengah umur,
(5) deviasi-deviasi seksual di sebab oleh penundaan saat perkawinan jauh sesudah kematangan biologis serta pertimbangan-pertimbangan ekonomis,dan banyak disimulir oleh rangsangan-rangsangan erotic berupa film-film biru,buku-buku porno dan tingkah laku yang a-susila juga,
(6) peristiwa homo seksual banyak terjadi di kalangan narapidana di penjara-penjara, yang akan hilang dengan sendirinya apa bila para narapidana sudah di bebaskan, dan bisa di melakukan relasi heteroseksual dengan jenis kelamin lainnya.
Aspek kebudayaan yang sering menumbuhkan gejala deviasi sosial dan banyak mengandung konflik-konflik serta ketegangan sosial, sehingga menelorkan tidak sedikit perilaku patologis,antara lain ialah:
1. Berakhirnya feodalisme, namun muncul kemudian pola neofeodalisme yang mendewakan hak-hak individual; dan pengutamaan egoisme,egosentrisme, serta pendewaan terhadap nilai uang
2. Lenyapnya atau berkurangnya kontrol sosial di sebabkan oleh proses urbanisasi, industrialisasi dan mekanisasi
3. Menghebatnya rivalitas dan kompetisi untuk memperebutkan status sosial yang tinggi,serta kekayaan dan jabatan.
4. Asprasi materiil yang semakin menanjak, dengan menonjolkan pola hidup bermewah-mewah.
Pengaruh komunikasi dengan daerah urban, media massa, iklan-iklan,pendidikan formal dan informal, semua itu bisa mempertinggi standar-standar prestasi, ambisi-ambisi sosial dan aspirasi materill yang berlebih-lebihan. Intensitas dari pencapaian simbol-simbol sukses dan materill yang berkembang baik secara luas itu di sebut sebagai deviasi-deviasi endemis, dan R.Merton menyebutnya anomie.
Kebudayaan materiildan standar prestasi tinggi dari modernitasitu menumbuhkan banyak cita-cita untuk memiliki benda-benda eksotik (ekspor luar negeri,dari negeri asing) dan benda-benda lainnya. Apabila semua ini tidak terpenuhi,ditambah pula dengan antisipasi kegagalan-kegagalan dihari esok, pastilah akan menimbulkan kecemasan, dan rasa tidak aman. Semua ini menyebabkan gangguan terhadap ketenangan hidup, dan berubahlah dari perangai normal menjadi deviasi situasional. Misalnya tindakan kriminalitas, pemberontakan, pambiasaan diri dengan bahan-bahan narkotika, dan perbuatan asusila lainnya
Anomi itu pada umumnya menjadi sumber dari macam-macam deviasi. Kelompok sosial yang banyak mengembangkan penyimpangan tingkah laku, antara lain: orang-orang tua usia, anak-anak puber, wanita-wanita professional dan ibu-ibu rumah tangga yang neurotis. Semua pribadi ini mengalami banyak konflik batin, ketegangan, dan kecemasan, yang disebabkan oleh factor-faktor sosiokultural.dan sosial
Ketidak sinambungan budaya (diskontinuitas kultural) banyak menumbuhkan gejala deviasi. Diskontinuitas kultural itu di sebabkan oleh adanya bermacam-macam budaya dan sub-budaya yang berbeda saru sama lain,dan tidak saling mengait atau mendukung. Misalnya: kebudayaan-miskin dan kebudayaan-kaya.
3.)Deviasi sistematik
Deviasi sistematik itu pada hakikatnya adalah satu subkultural atau satu sistem tingkah laku yang di sertai: organisasi sosial khusus, status formal, peranan-peranan, nilai-nilai, rasa kebanggaan, norma dan moral tertentu, yang semuanya berbeda dengan situasi umum. Segala pikiran dan perbuatan yang menyimpang dari norma umum, kemudian di rasionalisir atau di benarkan oleh semua anggota kelompok dengan pola yang menyimpang itu.
Sehingga penyimpangan tingkah lakunya/ deviasi-deviasi itu berubah menjadi deviasi yang terorganisasi atau deviasi sistematik. Pada umumnya kelompok-kelompok deviasi itu mempunyai peraturan-peraturan yang sangat ketat, sanksi dan hukum-hukum yang sangat berat yang di perlukan untuk bisa menegakkan konformitas dan kepatuhan anggota-anggotanya.
Kelompok-kelompok patologis dan menyimpang secara sosial itu muncul dan bertambah banyak jumlahnya pada periode-periode transisional dengan perubahan-perubahan sosial yang cepat di sertai diskontinuitas dalam kebudayaan, dan di penuhi dengan macam-macam krisis serta konflik.
Kelompok-kelompok deviasi itu pada umumnya memiliki pola organisasi yang unik, dengan rite-rite, kode-kode etik, norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan yang aneh-aneh, untuk menegakkan gengsi dan status sosialnya, organisasi=-organisasi sedemikian itu merupakan pemecahan dari organisasi induknya, yang kemudian menyimpang dari pola-pola aslinya, karena alasan-alasan “menolak kebekuan” atau “konservatisme”dalam organisasi dalam induknya. Pada intinya,pemimpin atau kelompok pemimpin baru itu tengah gigi bersaing memperebut kekuasaan dan kedudukan, untuk menggeser pemimpin-pemimpin lama atau lebih tua dari jabatan yang di kuasai oleh mereka.
Proses kepecahan atau pembelaha semacam ini tidak hanya berlangsung pada organisasi-organisasi agama, ekonomi dan politik saja, akan tetapi juga berlangsung di segenap lapisan masyarakat. Terjadilah perpecahan dan penggolongan dalam bentuk fraksi-fraksi, kumpulan-kumpulan dan gerobolan-gerombolan.
Berlangsunglah proses integrasi pada organisasi baru itu yang lebih pekat, melalui konflik-koflik dengan organisasi induk, kelompok-kelompok sosial dan organisasi eksternallainnya. Integrasi in dapat di pertinggi dengan menambahkan aktifitas “penutup diri”. Tidak mau berkemonikasi dengan organisasi luar, penyelenggaraan rite-rite, serta upacara agama penuh rahasia, dan penggunaan kata-kata atau bahasa sandi.
Tingkah laku sosiopatik sistematik yang di anggap sebagai masalah bisa juga berkembang dan menyebar(di tanah air kita) melalui proses di fusi/ penyebaran kultural. Dengan kata lain, tingkah laku patologis dan organisasi sosiapatis yang sistematis, yang aslinya berasal dari luar (Negara-negara lain) itu di bawak ke Indonesia oleh para migrant, pedangang-pedangang, para entrepreneur, petualang-petualang, kader-kader dan petugas sandi khusus. Macam-macam bentuk permainan judi dan kriminalitas.
Organisasi dari kelompok deviasi itu sangat bervariasi. Dari koloni/ kumpulan informal dengan ikatan yang longgar misalnya berupa gang-gang anak-anak nakal dari golongan berstatus “jetset” ( anak pejabat-pejabat dan orang-orang berduit) sampai pada kelompok-kelompok aksionis radikal-revolusioner, dengan struktur organisasi yang ketat rapi, di siplin tinggi, dan sanksi hukuman yang sangat berat.
Ciri-ciri organisasi dan sifat kebudayaan dari kelompok penyimpang itu sangat bergantung pada:
(a) fungsi sentralnya,
(b) tujuan organisasinya.
Selanjutnya, reaksi sosial terhadap perbuatan- perbuatan sosial patologis itu bergantung pada jelas tindaknya penampakan perbuatan-perbuatan mereka, dan besar kecil akibat buruk yang di timbulkan perbuatan tadi. Kejahatan yang sangat kejam tidak berperikemanusiaan, akan menimbulkan reaksi hebat dan spontan dari masyarakat, jika di banding dengan perbuatan melacur diri secara seksual. Namun hendaknya selalu kita ingat, bahwa status statistic kriminal dan statistik mengenai kaum radikal itu tidak atau kurang bisa di percaya.
Alasannya ialah: sebagian besar dari tindak pidana itu tidak pernah di laporkan dan luput dari sanksi hukum. Banyak peristiwa abortus, kejahatan seks, pemalsuan uang, penggelapan, penyuapan, korupsi, pencopetan, perampasan, perjudian dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya ternyata tidak sampai ke tangan polisi, dan lolos dari sanksi-sanksi hukum(Dr. kartini kartono, patologi sosial jilid 1,Pt Raja Grafindo Persada, Jakarta, maret 1981).
Deviasi atau penyimpangan di maksudkan sebagai tingkah laku yang menyipang dari kecenderungan umum atau cirri karakteristik rata-rata dari masyarakat kebanyakan.deviasi menunjuk pada norma sosial, bahwa orang yang deviasi jika melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma masyarakat.( Moeljono Notosoedirjo:10)
Diferensiasi ialah tingkah laku yang berbeda dari tingkah laku umum. Misalnya kejahatan, yaitu semua tingkah laku yang menyimpang dari ciri-ciri karakteristik umum, serta bertentangan dengan hukum atau melawan peraturan yang illegal. ( Dr. S. Imam Syari:57 )
DAFTAR PUSTAKA
Drs.S.Imam Syari. Patologi Sosial. Surabaya: Usaha Nasional
Moeljono Notosoedirjo. 2002.Kesehatan Mental Konsep dan Penerapan. Malang: Universitas
Muhammadiyah
Dr. kartini Kartono.1981. Patologi Sosial Jilid 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada s
Maisaroh
Yasmiati
DEVIASI
A. Pengertian Deviasi
Deviasi atau penyimpangan adalah tingkah laku yang menyimpang dari kecenderungan umum atau karakteristik rata – rata kebanyakan dari masyarakat. Sedangkan diferensiasi adalah tingkah laku yang berbeda dari tingkah laku umum. Misalnya, kejahatan adalah semua bentuk tingkah laku yang berbeda dan menyimpang dari ciri – cirri karakteristik umum, serta bertentangan dengan hukum, atau melawan peraturan yang berlaku. Sedangkan kejahatan itu sendiri mencakup banyak macam – macam tingkah laku dan sangat heterogen sifatnya, sebab bias dilakukan oleh pria, wanita, anak – anak, tua maupun remaja.
Ada yang membedakan diferensiasi itu menjadi:
• Differensiasi biologis
Differensiasi biologis yang mempunyai tanda penyimpangan yaitu macam – macam stigma rasial. ( stigma dari kata stigmayologis berarti tanda, selar, dan ciri ), misalnya dalam bentuk berat badan dan tinggi, raut muka, tampang, dan bentuk perbandingan badan, perut, bekas luka, mata juling, sipit, tanda – tanda tertentu sejak lahir,cacat jasmani karena kecelakaan atau penyakit yang merusak mekanisme tubuh dan tingkah laku.
Ciri – ciri tersebut mengakibatkan pola tingkah laku yang berbeda sekali dengan prilaku umum. Misalnya bias menjadi buta,gagap,timpang,tuli,bisu,menderita aphasia (kemampuan untuk menggunakan kata-kata sebagai simbol pikiran hilang atau terhambat,disebabkan oleh kerusakan pada kulit otak), dan aphonia atau tidak mampu nya mengeluarkan suara, dan cacat jasmania yang lainnya.
Cacat jasmaniah itu mengakibatkan persepsi tertentu dan respon-respon tingkah laku menjadi terhambat atau tidak berfungsi lagi.semuanya itu tergantung pada sifat dan beratnya kerusakan structural. Tingkah laku menjadi sangat berbeda dengan tingkah laku kebanyakan orang dan pribadi yang bersangkutan terhambat dalam melaksanakan peranan sosialnya. ( Kartini Kartono, 1981 : 23-24).
• Differensiasi demografis
Differensiasi demografis adalah perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan bangsa-bangsa dan bangsa yang menyimpang dari kelompok bangsa yang umumnya,yang tingkah lakunya aneh dan luar biasa misalnya dalam hal posisi seks, perbedaan usia seperti ada yang usianya sangat tua dan ada juga yang mati dalam usia sangat muda, lingkungan sosialnya dan lain-lainnya. Contohnya bangsa Yahudi atau Bani Israil bagaimana kondisinya ketika ditanah airnya sendiri dan didaerah lain, bangsa Sicilia yang terkenal dengan gang atau mafianya.
Deviasi behavioral menurut tipenya dapat dibedakan menjadi :
a) Personal, dan b) social.
Sedangkan menurut aspeknya dapat dibedakan menjadi :
a) Yang tampak (overt)
b) Yang tidak tampak (covert)
Yang menjadi objek kajian disini adalah deviasi behavioral artinya penyimpangan tingkah laku yang sering kali disebut juga dengan istilah abnormal atau maladjusted. Untuk mengetahui ingkah laku abnormal atau maladjusted atau yang menyimpang sudah barang tentu harus mengetahui tingkah laku yang normal, yang edjusted, yang telah disinggung di depan. Yang dijadikan ugeran atau patokan ialah norma social. Norma social ini tergantung pada waktu dan tempat, status usia, seks, serta kelas social.
Norma social ialah batas-batas dari berbagai tingkah laku yang secara jelas (eksplisit) atau samar (implisit) dimiliki atau dikenal secra retrospektif oleh anggota-anggata sesuatu kelompok, komunity atau society (St. Vembriarto : 1981 : 71).
Yang dimaksudkan dengan retospektif artinya bahwa sebagian besar orang tidak menyadarinya, dan norma itu baru disadari apabila dilanggar, atau disadari secara proyektif.
• Deviasi tingkah laku menurut aspeknya, dapat dibedakan menjadi :
1. Aspek lahiriah ;
Aspek yang berbentuk verbal, misalnya: bahasa yang tidak sesuai menurut gramatika serta pendapat – pendapat yang radikal mengenai berbagai hal
Aspek yang nonverbal, misalnya alkoholisme, madat, prostitusi (pelacuran ), kejahatan, dan sebagainya.
2. Aspek batiniah yang simbolik,
yaitu segi sikap dan emosi yang bersifat perilaku menyimpang yang dialami oleh seseorang, misalnya berupa mens area ( fikiran yang paling dalam yang tersembunyi ) atau berupa iktikad criminal dibalik semua aksi kejahatan dan tingkah laku menyimpang.
Perlu diketahui bahwa tingkah laku menyimpang itu tersembunyi sifatnya yang tampak itu hanya sebagian yang muncul kepermukaan. Aspek batiniah hanya dapat diselediki melalui aspek lahiriah verbal.
Dari proses simbolisasi itu, yang paling penting adalah simbolisasi diri atau “penamaan diri” maksudnya adalah anak-anak yang tumbuh dan berkembang menjadi dewasa dilingkungan social yang kriminal dan asusila, mudah mengambil alih warisan-warisan sosial yang jahat, buruk, dari masyarakat lingkungannya. Konsep sosial menanamkan nilai-nilai moral dan kebiasaan bertingkah laku buruk baik secara sadar atau tidak disadarinya.
Kelompok – kelompok bermain sejak masa kanak-kanak, dan masyarakat lingkungan yang criminal dan asusila itu secara perlahan – lahan membentuk tradisi, hokum, dan kebiasaan – kebiasaan tertentu, sehingga anak –anak tadi secara otomatis terkontrol untuk bertingkah laku criminal dan asusila.
Konsep – konsep asusila yang umumnya berlaku dalam lingkungan yang diopernya secara otomatis.proses konsepsi diri atau simbolisasidiri,pada umumnya berlangsung tidak sadar dan perlahan – lahan. Berlangsunglah proses sosialisasi dari tingkah laku menyimpang pada diri seseorang sejak masa kanak – kanak, remaja, hingga dewasa berlangsung pula pada pembentukan pola tingkah laku deviatif yang progesif sifatnya, kemudian dikembangkan menjadi kebisaan – kebiasaan patologis, menyimpangg dari pola tinkah laku umum.
B. Tingkah laku normal, yang menyimpang dari norma social
Banyak sosiolog mempersamakan “tingkah laku yang menyimpang “ dengan tingkah laku abnormal atau maladjusment (tidak mampu menyesuaikan diri ). Tingkah laku normal adalah tingkah laku yang serasi dan tepat yang bisa diterima oleh masyarakat pada umum. Tingkah laku pribadi yang normal adalah perilaku yang sesuai dengan pola kelompok masyarakat tempat dia berada sesuai pula dengan norma – norma social yang berlaku pada masyarakat.
Tingkah laku yang normal adalah tingkah laku yang serasi yang bias diterima oleh mayarakat pada umumnya.
Tingkah laku pribadi yang normal adalah perilaku yang sesuai dengan pola kelompok masyarakattempat dia berada sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku pada saat dan tempat itu, sehingga tercapai relasipersonal dan interpersonal yang relative memuaskan.
Pribadi yang itu secara relatif dekat dengan integrasi jasmaniah-rohaniahyang ideal. Kehidupan psikisnya kurang lebih stabil sifatnya, tidak banyak memendam konflik internal(konflik batin) dan konflik dengan lingkungannya; batinnya tenang, imbang,dan jasmaniahnya merasa saehat selalu.
Tingkah laku abnormal/ menyimpang ialah: tingkah laku yang tidak serasi, tidak bisa di terima oleh masyarakat pada umumnya, dan tidak sesuai dengan normal social yang ada.
Pribadi yang normal itu umumnya jauh dari pada status integrasi; baik secara internal dalam batin sendiri, maupun batin secara eksternal dengan lingkungan sosialnya, pada umumnya mereka terpisah hidupnya dari masyarakat, sering di dera oleh konflik batin, dan tidak jarang di hinggapi gangguan mental.
Norma adalah kaidah, aturan pokok, ukuran, kadar atau patokan yang di terima secara utuh dari masyarakat, guna mengatur kehidupan dan tingkah laku sehari-hari, agar hidup ini terasa aman dan menyenangkan. Dalam masyarakat primitif yang terisolir dan sedikit jumlahnya, lagi pula masyarakatnya relatif terintegrasi dengan baik, norma-norma untuk mengukur tingkah laku menyimpang atau abnormal itu ada jelas dan tegas. Sedangkan tingkah laku menyimpang itu sendiri mudah di bedakan dengan tingkah laku normal pada umumnya.
Akan tetapi, dalam masyarakat urban di kota-kota besar dan masyarakat teknologi industri yang serba kompleks, dengan macam-macam sub- kebudayaan yang selalu berubah dan terus membelah diri dalam fraksi-fraksi yang lebih kecil, norma-norma social yang di pakai sebagai standar kriteria pokok untuk mengukur tingkah laku orang sebagai “normal”dan “abnormal”itu menjadi tidak alasan. Dengan kata-kata lain, konsep tentang normalitas dan abnormalitas menjadi sangat samar-samar batasnya.
Sebab, kebiasaan-kebiasaan, tingkah laku dan sikap hidup yang dirasakan sebagai normal oleh suatu kelompok masyarakat, bisa di anggap sebagai abnormal oleh kelompok kebudayaan lainnya. Apa yang di anggap sebagai normal oleh beberapa generasi sebelum kita, bisa di anggap abnormal pada saat sekarang.
Norma itu sifatnya bisa formal; bisa juga noninstitusional atau sosial(norma umum). Norma juga bersifat positif. Yaitu mengharuskan, menekan atau kompulsif sifatnya. Mulai dari norma-norma yang ringan lunak, memperbolehkan, sampai penggunaan sedikit paksaan.
Sebaliknya norma juga bisa bersifat negatif,yaitu melarang sama sekali, bahkan menjadikan tabu dilarang menjamah atau melakukannya karena di liputi kekuatan-kekuatan gaib yang lebih tinggi. Bisa juga berupa larangan-larangan dengan sanksi keras, hukuman atau tindak pengasingan.
Khususnya terhadap tingkah laku menyimpang yang provokatif dan merugikan hak-hak serta privilege(hak istimewa) orang banya, di berikan sanksi keras berupa hukuman atau pengasingan oleh orang banyak. Dengan demikian dapat di nyatakan, bahawa tingkah laku deviatif atau menyimpang itu di cap dan ditentang dengan tegas secara kultural oleh umum, di satu tempat dan pada satu waktu tertentu.
MACAM-MACAM DEVIASI DAN LINGKUNGAN
Deviasi atau penyimpangan tingkah laku itu sifatnya bisa tunggal; misalnya hanya kriminil saja atau alkoholik atau mencandu bahan-bahan narkotik. Namun bisa juga jamak sifatnya; misalnya seorang wanita tunasusila sekaligus juga kriminal, jadi ada kombinasi dari beberapa tingkah laku menyimpang contoh lain: sudah kriminal, penjudi besar, alkoholik, sekaligus juga a-susila secara seksual.
Deviasi ini dapat kita bedakan dalam tiga kelompok yaitu ( Dr Kartini Kartono:15):s
(a) Individu-individu dengan tingkah laku yang menjadi “ masalah” merugikan dan destruktif bagi orang lain, akan tetapi tidak merugikan diri sendiri.
(b) Individu-individu dengan tingkah laku menyimpang yang menjadi “masalah” bagi diri sendiri, akan tetapi tidak merugikan orang lain.
(c) Individu-individu dengan deviasi tingkah laku yang menjadi “masalah” bagi diri sendiri dan orang lain.
Yang jelas, deviasi tingkah laku itu tidak pernah berlangsung dalam isolasi;tidak berlangsung sui generis( unik khas satu-satunya dalam jenis) dan dalam keadaan vakum. Akan tetapi selalu berlangsung dalam satu konteks sosio-kultural dan antar personal. Jadi, sifatnya bisa organismis atau fisiologis; bisa juga psikis, interpersonal, antar-personal dan kultural,sehub ungan dengan lingkungan sosio-kultural ini, deviasi tingkah laku ini dapat di bagikan menjadi: (1) deviasi individual, (2) deviasi situasional, (3) deviasi sistematik.( Dr.Kartini Kartono:16-22)
1.)Deviasi individual
Beberapa deviasi merupakan gejala personal, pribadi atau individual, sebab di timbulkan oleh cirri-ciri yang khas unik dari individu itu sendiri. Yaitu berasal dari anomali-anomali ( penyimpangan dari hukum, kelainan-kelainan), variasi-variasi biologis, dan kelainan-kelainan psikis tertentu, yang sifatnya herediter ada sejak lahir. Kelainan cirri tingkah laku bisa juga di sebabkan oleh penyakit dan kecelakaan. Jika tidak ada di ferensiasi biologis, maka deviasi-deviasi itu pasti di sebabkan oleh pengaruh sosial dan kultural, yang “ membatasi”dan merusak kualitas-kualitas psiko-pisik individu.
Deviasi jenis ini sering kali sifatnya simptomatik. Yaitu di sebabkan pleh konflik-konflik intrapsikis yang kronis dan sangat dalam; atau berasal dari konflik-konflik semacam ini mengakibatkan keterbelahan pribadi; orangnya menjadi khoatis kacau, dan kepribadiannya tidak terintegrasi dengan baik.
Di masukkan dalam kelompok deviasi individual ini antara lain ialah: anak-anak luar biasa, penemu-penemu,genius-genius,fanatisi(orang-orang yang sangat fanatik), idiot savant atau genius-genius yang bersifat idiot dan tidak berperikemanusiaan, dan individu-individu yang psikotis. Pribadi-pribadi sedemikian ini pada dasarnya sudah memiliki kencenderungan-kecenderungan yang menyimpang, baik secara biologis maupun psikis, yang kemudian di perhebat oleh rangsangan sosial dan stimuli( stimulus= rangsangan)kultural dari lingkungan hidupnya.
2.)Deviasi Situasional
Deviasi jenis ini di sebabkan oleh pengaruh bermacam-macam kekuatan situasional/sosial di luar individu; oleh pengaruh situasi dalam mana pribadi yang bersangkutan menjadi bagian integral dari padanya. Situasi tadi memberikan pengaruh yang memaksa, sehingga individu tersebut terpaksa harus melanggar peraturandan norma-norma umum atau hukum formal.jika anak istri hampir-hampir mati kelaparan, dan tidak ada jalan lain untuk mendapatkan bahan makanan kecuali dengan cara mencur, sehingga pria yang bersangkutan terpaksa harus mencuri, maka jadilah ia seorang penjahat situasional.
Dan deviasinya bersifat situasional,contoh lain, gadis-gadis tertentu melakukan pekerjaan WTS, menjadi tuna susila di sebabkan oleh perasaan tidak puas terhadap pekerjaan yang lalu, karena upahnya tidak mencukupi untuk membeli jenis-jenis perhiasan dan pakaian yang di inginkannya.
Ringkasnya, individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu bisa mengembangkan tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma susila atau hukum, sebagai produk dari transformasi-transformasi psikologis yang di paksakan oleh situasi dan kondisi lingkungan sosialnya. Situasi sosial yang eksternal itu memberikan tekanan-tekanan serta paksaan-paksaan dan mengalahkan factor-faktor internal yaitu pikiran, pertimbangan akal, hati nurani sehingga memunculkan deviasi situasional tadi.
Maka ruang dan waktu itu merupakan dimensi-dimensi pokok dari situasi sosial yang memberikan pengaruh tekanan dan paksaan kepada individu. Sampai berapa besar pengaruh situasi sosial menekan dan memaksa, dapat kita ketahui apabila individu yang menyimpang itu dipindahkan kedalam situasi sosial lain. Maka akan lenyaplah pola-pola situasi sosial nya diubah secara drastis.
Pada umumnya, deviasi situasional yang kumulatif itu merupakan produk dari konflik kultural; yaitu merupakan produk dari periode-periode dengan banyak konflik kultur. Konflik budaya/ kultural ini dapat di artikan sebagai:
(a) Konflik antara individu dengan masyarakat
(b) Konflik antara nilai-nilai dan praktek-praktek dari dua atau lebih kelompok-kelompok sosial
(c) Konflik-konflik introjektif yang berlangsung dalam diri seorang, yang hidup dalam lingkungan sosial penuh dengan nilai dan norma-norma yang bertentangan.
Konflik-konflik budaya ini dapat di artikan pula sebagai situasi sosial di penuhi dengan kelompok-kelompok sosial yang tidak bisa di rukunkan atau di damaikan, dan ada banyak golongan berpengaruh yang di sebut sebagai pressure-groups, sehingga mengakibatkan timbulnya ketegangank-ketegangan, ketakutan dan kecemasan-kecemasan batin yang tak dapat di integrasikan oleh banyak individu.
Maka apabila tingkah laku menyimpang ini berlangsung secara meluas dalam masyarakat jadilah deviasi situasional kumulati. Contoh deviasi demikian ini ialah:
(1) kebudayaan korupsi,
(2) pemberontakan anak remaja,
(3) “adolescent revolt”,
(4) kesukaran-kesukaran menopausal di kalangan wanita setengah umur,
(5) deviasi-deviasi seksual di sebab oleh penundaan saat perkawinan jauh sesudah kematangan biologis serta pertimbangan-pertimbangan ekonomis,dan banyak disimulir oleh rangsangan-rangsangan erotic berupa film-film biru,buku-buku porno dan tingkah laku yang a-susila juga,
(6) peristiwa homo seksual banyak terjadi di kalangan narapidana di penjara-penjara, yang akan hilang dengan sendirinya apa bila para narapidana sudah di bebaskan, dan bisa di melakukan relasi heteroseksual dengan jenis kelamin lainnya.
Aspek kebudayaan yang sering menumbuhkan gejala deviasi sosial dan banyak mengandung konflik-konflik serta ketegangan sosial, sehingga menelorkan tidak sedikit perilaku patologis,antara lain ialah:
1. Berakhirnya feodalisme, namun muncul kemudian pola neofeodalisme yang mendewakan hak-hak individual; dan pengutamaan egoisme,egosentrisme, serta pendewaan terhadap nilai uang
2. Lenyapnya atau berkurangnya kontrol sosial di sebabkan oleh proses urbanisasi, industrialisasi dan mekanisasi
3. Menghebatnya rivalitas dan kompetisi untuk memperebutkan status sosial yang tinggi,serta kekayaan dan jabatan.
4. Asprasi materiil yang semakin menanjak, dengan menonjolkan pola hidup bermewah-mewah.
Pengaruh komunikasi dengan daerah urban, media massa, iklan-iklan,pendidikan formal dan informal, semua itu bisa mempertinggi standar-standar prestasi, ambisi-ambisi sosial dan aspirasi materill yang berlebih-lebihan. Intensitas dari pencapaian simbol-simbol sukses dan materill yang berkembang baik secara luas itu di sebut sebagai deviasi-deviasi endemis, dan R.Merton menyebutnya anomie.
Kebudayaan materiildan standar prestasi tinggi dari modernitasitu menumbuhkan banyak cita-cita untuk memiliki benda-benda eksotik (ekspor luar negeri,dari negeri asing) dan benda-benda lainnya. Apabila semua ini tidak terpenuhi,ditambah pula dengan antisipasi kegagalan-kegagalan dihari esok, pastilah akan menimbulkan kecemasan, dan rasa tidak aman. Semua ini menyebabkan gangguan terhadap ketenangan hidup, dan berubahlah dari perangai normal menjadi deviasi situasional. Misalnya tindakan kriminalitas, pemberontakan, pambiasaan diri dengan bahan-bahan narkotika, dan perbuatan asusila lainnya
Anomi itu pada umumnya menjadi sumber dari macam-macam deviasi. Kelompok sosial yang banyak mengembangkan penyimpangan tingkah laku, antara lain: orang-orang tua usia, anak-anak puber, wanita-wanita professional dan ibu-ibu rumah tangga yang neurotis. Semua pribadi ini mengalami banyak konflik batin, ketegangan, dan kecemasan, yang disebabkan oleh factor-faktor sosiokultural.dan sosial
Ketidak sinambungan budaya (diskontinuitas kultural) banyak menumbuhkan gejala deviasi. Diskontinuitas kultural itu di sebabkan oleh adanya bermacam-macam budaya dan sub-budaya yang berbeda saru sama lain,dan tidak saling mengait atau mendukung. Misalnya: kebudayaan-miskin dan kebudayaan-kaya.
3.)Deviasi sistematik
Deviasi sistematik itu pada hakikatnya adalah satu subkultural atau satu sistem tingkah laku yang di sertai: organisasi sosial khusus, status formal, peranan-peranan, nilai-nilai, rasa kebanggaan, norma dan moral tertentu, yang semuanya berbeda dengan situasi umum. Segala pikiran dan perbuatan yang menyimpang dari norma umum, kemudian di rasionalisir atau di benarkan oleh semua anggota kelompok dengan pola yang menyimpang itu.
Sehingga penyimpangan tingkah lakunya/ deviasi-deviasi itu berubah menjadi deviasi yang terorganisasi atau deviasi sistematik. Pada umumnya kelompok-kelompok deviasi itu mempunyai peraturan-peraturan yang sangat ketat, sanksi dan hukum-hukum yang sangat berat yang di perlukan untuk bisa menegakkan konformitas dan kepatuhan anggota-anggotanya.
Kelompok-kelompok patologis dan menyimpang secara sosial itu muncul dan bertambah banyak jumlahnya pada periode-periode transisional dengan perubahan-perubahan sosial yang cepat di sertai diskontinuitas dalam kebudayaan, dan di penuhi dengan macam-macam krisis serta konflik.
Kelompok-kelompok deviasi itu pada umumnya memiliki pola organisasi yang unik, dengan rite-rite, kode-kode etik, norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan yang aneh-aneh, untuk menegakkan gengsi dan status sosialnya, organisasi=-organisasi sedemikian itu merupakan pemecahan dari organisasi induknya, yang kemudian menyimpang dari pola-pola aslinya, karena alasan-alasan “menolak kebekuan” atau “konservatisme”dalam organisasi dalam induknya. Pada intinya,pemimpin atau kelompok pemimpin baru itu tengah gigi bersaing memperebut kekuasaan dan kedudukan, untuk menggeser pemimpin-pemimpin lama atau lebih tua dari jabatan yang di kuasai oleh mereka.
Proses kepecahan atau pembelaha semacam ini tidak hanya berlangsung pada organisasi-organisasi agama, ekonomi dan politik saja, akan tetapi juga berlangsung di segenap lapisan masyarakat. Terjadilah perpecahan dan penggolongan dalam bentuk fraksi-fraksi, kumpulan-kumpulan dan gerobolan-gerombolan.
Berlangsunglah proses integrasi pada organisasi baru itu yang lebih pekat, melalui konflik-koflik dengan organisasi induk, kelompok-kelompok sosial dan organisasi eksternallainnya. Integrasi in dapat di pertinggi dengan menambahkan aktifitas “penutup diri”. Tidak mau berkemonikasi dengan organisasi luar, penyelenggaraan rite-rite, serta upacara agama penuh rahasia, dan penggunaan kata-kata atau bahasa sandi.
Tingkah laku sosiopatik sistematik yang di anggap sebagai masalah bisa juga berkembang dan menyebar(di tanah air kita) melalui proses di fusi/ penyebaran kultural. Dengan kata lain, tingkah laku patologis dan organisasi sosiapatis yang sistematis, yang aslinya berasal dari luar (Negara-negara lain) itu di bawak ke Indonesia oleh para migrant, pedangang-pedangang, para entrepreneur, petualang-petualang, kader-kader dan petugas sandi khusus. Macam-macam bentuk permainan judi dan kriminalitas.
Organisasi dari kelompok deviasi itu sangat bervariasi. Dari koloni/ kumpulan informal dengan ikatan yang longgar misalnya berupa gang-gang anak-anak nakal dari golongan berstatus “jetset” ( anak pejabat-pejabat dan orang-orang berduit) sampai pada kelompok-kelompok aksionis radikal-revolusioner, dengan struktur organisasi yang ketat rapi, di siplin tinggi, dan sanksi hukuman yang sangat berat.
Ciri-ciri organisasi dan sifat kebudayaan dari kelompok penyimpang itu sangat bergantung pada:
(a) fungsi sentralnya,
(b) tujuan organisasinya.
Selanjutnya, reaksi sosial terhadap perbuatan- perbuatan sosial patologis itu bergantung pada jelas tindaknya penampakan perbuatan-perbuatan mereka, dan besar kecil akibat buruk yang di timbulkan perbuatan tadi. Kejahatan yang sangat kejam tidak berperikemanusiaan, akan menimbulkan reaksi hebat dan spontan dari masyarakat, jika di banding dengan perbuatan melacur diri secara seksual. Namun hendaknya selalu kita ingat, bahwa status statistic kriminal dan statistik mengenai kaum radikal itu tidak atau kurang bisa di percaya.
Alasannya ialah: sebagian besar dari tindak pidana itu tidak pernah di laporkan dan luput dari sanksi hukum. Banyak peristiwa abortus, kejahatan seks, pemalsuan uang, penggelapan, penyuapan, korupsi, pencopetan, perampasan, perjudian dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya ternyata tidak sampai ke tangan polisi, dan lolos dari sanksi-sanksi hukum(Dr. kartini kartono, patologi sosial jilid 1,Pt Raja Grafindo Persada, Jakarta, maret 1981).
Deviasi atau penyimpangan di maksudkan sebagai tingkah laku yang menyipang dari kecenderungan umum atau cirri karakteristik rata-rata dari masyarakat kebanyakan.deviasi menunjuk pada norma sosial, bahwa orang yang deviasi jika melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma masyarakat.( Moeljono Notosoedirjo:10)
Diferensiasi ialah tingkah laku yang berbeda dari tingkah laku umum. Misalnya kejahatan, yaitu semua tingkah laku yang menyimpang dari ciri-ciri karakteristik umum, serta bertentangan dengan hukum atau melawan peraturan yang illegal. ( Dr. S. Imam Syari:57 )
DAFTAR PUSTAKA
Drs.S.Imam Syari. Patologi Sosial. Surabaya: Usaha Nasional
Moeljono Notosoedirjo. 2002.Kesehatan Mental Konsep dan Penerapan. Malang: Universitas
Muhammadiyah
Dr. kartini Kartono.1981. Patologi Sosial Jilid 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada s
Langgan:
Catatan (Atom)