Rabu, 16 Mac 2011

tugas kesmen indah & dkk. " perkosaan"

PERKOSAAN

Pengertian Perkosaan
Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi (Haryanto, 1997). Pada jaman dahulu perkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang istri. Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum (Wignjosoebroto dalam Prasetyo, 1997).
Pendapat ini senada dengan definisi perkosaan menurut :
• Rifka Annisa Women’s Crisis Center, bahwa yang disebut dengan perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual. Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan. Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan (Idrus, 1999).
• Warshaw (1994) definisi perkosaan pada sebagian besar negara memiliki pengertian adanya serangan seksual dari pihak laki-laki dengan menggunakan penisnya untuk melakukan penetrasi vagina terhadap korban. Penetrasi oleh pelaku tersebut dilakukan dengan melawan keinginan korban. Tindakan tersebut dilakukan dengan adanya pemaksaan ataupun menunjukkan kekuasaan pada saat korban tidak dapat memberikan persetujuan baik secara fisik maupun secara mental.
Beberapa Negara menambahkan adanya pemaksaan hubungan seksual secara anal dan oral ke dalam definisi perkosaan, bahkan beberapa negara telah menggunakan bahasa yang sensitive gender guna memperluas penerapan hukum perkosaan. Di dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pada pasal ini perkosaan didefinisikan bila dilakukan hanya di luar perkawinan. Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan akan tetapi masuk dalam kategori pencabulan (Soerodibroto, 1994).

Pernyataan tersebut senada dengan pernyataan Soesilo (dalam Harkrisnowo, 2000) yang mengatakan bahwa makna persetubuhan di dalam KUHP tersebut masih berkiblat ke Belanda, yaitu peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang dijalankan untuk mendapatkan anak . Hal ini akan membawa dampak yang berbeda pada tuntutan hukuman bagi pelaku. Selain itu di dalam hukum juga dijelaskan mengenai pemberatan hukuman yang diberikan kepada pelaku yang melakukan perkosaan dengan kriteria tertentu (Abar & Subardjono, 1998).
Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung dalam definisi perkosaan Black’s Law Dictionary (dalam Ekotama, Pudjiarto, dan Widiartana 2001), makna perkosaan dapat diartikan ke dalam tiga bentuk:
1. Perkosaan adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang wanita tanpa persetujuannya. Berdasarkan kalimat ini ada unsur yang dominan, yaitu: hubungan kelamin yang dilarang dengan seorang wanita dan tanpa persetujuan wanita tersebut.
2. Perkosaan adalah persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita yang bersangkutan. Pada kalimat ini terdapat unsur- unsur yang lebih lengkap, yaitu meliputi persetubuhan yang tidak sah, seorang pria, terhadap seorang wanita, dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita tersebut.
3. Perkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau di bawah kondisi ancaman lainnya. Definisi hamper sama dengan yang tertera pada KUHP pasal 285.

Pada kasus perkosaan seringkali disebutkan bahwa korban perkosaan adalah perempuan. Secara umum memang perempuan yang banyak menjadi korban perkosaan. Mereka dapat dipaksa untuk melakukan hubungan seksual meskipun tidak menghendaki hal tersebut. Apabila mengacu pada KUHP, maka laki- laki tidak dapat menjadi korban perkosaan karena pada saat laki-laki dapat melakukan hubungan seksual berarti ia dapat merasakan rangsangan yang diterima oleh tubuhnya dan direspon oleh alat kelaminnya (Koesnadi, 1992). Akan tetapi pada kenyataannya ada pula laki- laki yang menjadi korban perkosaan baik secara oral maupun anal. Perkosaan diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk kejahatan di Indonesia, bahkan di dunia, dan pelakunya diancam dengan sanksi pidana yang cukup berat (Ekotama, Pudjiarto, dan Widiartana 2001). Kusumah (Kompas, 1995) menyatakan bahwa perkosaan dinilai sebagai kejahatan dengan derajat kekejaman yang tinggi dan dinilai amat merendahkan harkat manusia. Sementara itu Susanto (dalam Prasetyo, 1997) menyatakan bahwa perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap wanita yang sangat serius dan mengakibatkan kerugian serta kecemasan dalam masyarakat. Pembicaraan mengenai perkosaan dihadapkan pada batasan undang-undang tentang perkosaan yang mencerminkan budaya dominasi pria terhadap wanita. Hal ini membawa implikasi dalam upaya perlindungan terhadap korban. Undang-undang yang ada sekarang dinilai lebih melindungi kepentingan pria dibandingkan korban. Pendapat seperti ini muncul karena di dalam undang-undang mensyaratkan terjadinya perkosaan dengan adanya penetrasi vaginal dari pelaku. Sementara itu perbuatan pelaku dengan memaksakan hubungan anal dan oral serta memasukkan benda-benda lain seperti jari atau botol ke dalam vagina tidak dapat dikategorikan sebagai tindak perkosaan. Sebagai tindak lanjut dari keprihatinan terhadap undang-undang perkosaan yang masih memposisikan perempuan rendah ini maka sejak tahun 1991 telah dirancang sebuah rumusan baru mengenai peraturan untuk tindak perkosaan (Taslim, 1995).
Rancangan tersebut tertuang ke dalam Rancangan Undang-undang (RUU) KUHP (dalam Syaffioedin dan Faturochman, 2001) dengan norma perkosaan sebagai berikut:
1. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut.
2. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan tanpa persetujuan pihak perempuan.
3. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan dengan persetujuannya, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh dan dilukai.
4. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan dengan persetujuannya karena perempuan tersebut percaya bahwa ia adalah suaminya yang sah atau ia orang yang seharusnya disetujuinya.
5. Seorang laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan yang berusia di bawah 14 tahun dengan persetujuannya.

Di dalam RUU KUHP tersebut juga dirumuskan bahwa dianggap melakukan pidana tindak perkosaan:
1) Seorang laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan.
2) Barang siapa memasukkan benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus seorang perempuan.
Berdasarkan beberapa definisi mengenai perkosaan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perkosaan adalah tindakan pemaksaan hubungan seksual dari lakilaki kepada perempuan. Pemaksaan hubungan seksual tersebut dapat berupa ancaman secara fisik maupun secara psikologis. Hubungan seksual antara pelaku dan korban tidak hanya berupa penetrasi vaginal, akan tetapi meliputi pemaksaan hubungan secara anal dan oral.

Penganiayaan seksual

Penganiayaan seksual adalah aktivitas seksual yang dipaksakan atau dibawah tekanan, termasuk percakapan atau tindakan yang distimulasi secara seksual, perbedaan atau hubungan seksual yang tidak tepat, perkosaan dan inses ( prilaku seksual antar saudara kandung.
Penganiayaan seksual terhadap anak-anak :
1. Penganiayaan seksual terhadap anak-anak sangat mempengaruhi perkembangan, menyebabkan harga diri rendah, membenci diri sendiri, sulit mempercayai orang lain dan control yang buruk terhadap influs atau dorongan agresif.
2. Terhadap korelasi yang tinggi antara penganiayaan seksual dimasa kanak-kanak dan gangguan psikatrik dimasa dewasa ( mis, ganguan disosiatif, gangguan penyalahgunaan zat) ( walker & scoot, 1998 )
3. Anak-anak korban penganiayaan seksual sering mengalami ganguan stress pascatrauma ( post-traumatic stress disordes { PTSD )

Korban penyeranggan seksual

Mengalami kekerasan dan ketidakberdayaan yang sangat mendalam setelah kejadian
a. Efek langsung dapat berupa pola respons yang diekspresikan, yaitu korban mengepresikan perasaan takut, marah dan ansietas, atau pola respons terkendali, yaitu mekanisme defensive.
b. Efek jangka panjang dapat meliputi gejala PTSD, sulit menjalin hubungan dekat, gangguan depresi, dan bahkan bunuh diri.

Sungguhpun persentase perkosaan dibandingkan dengan jumlah kejahatan sebagai keseluruhan masih dapat dianggap rendah, akan tetapi perkembangan perkosaan dalam 3 tahun terakhir (1982-1984) dan kecenderungan kenaikan dalam tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam priode tahun (1977-1981) memang sangat memerlukan pemikiran kalangan ilmuwan khususnya ilmu-ilmu sosial dan hukum, penegak hukum dan masyarakat pada umumnya terutama oleh karena perkosaan merupakan salah satu kejahatan yang dianggap mempunyai tingkat seriusitas tinggi dan mengundang tumbuhnya “ fear of crime” (kekuatan pada kejahatan) didalam masyarakat.

Dijakarta sebagai salah satu kota besar yang dikabarkan sering terjadi kasus perkosaan, nampak pula kecenderungan kenaikan dalam beberapa tahun terakhir walaupun persentasenya dibandingkan dengan total kejahatan memang relatif rendah.

Kolonel Polisi Drs. Moch Hindarto dalam makalahnya :
“Dari seluruh kasus perkosaan yang dilaporkan tidak seluruhnya merupakan kasus yang murni perkosaan, hal ini dapat diketahui setelah diadakan penyidikan. Banyak kasus yang dilaporkan perkosaan tetapi sebenarnya bukan, misalnya setelah mengadakan seks si laki-laki tidak bertanggung jawab maka ia dilaporkan telah memperkosa, atau orang tua yang tidak rela anak wanitanya digauli oleh laki-laki yang tidak disetujuinya dan masih banyak latar belakang lainnya yang tidak dikemukakan tetapi ditonjolkan dengan kasus perkosaan” (hal 9).

Delapan contoh kasus yang diajukan oleh makalah Kol.Pol.Drs.Hindarto, misalnya menunjukkan bahwa usia terendah korban adalah 5 tahun, sedangkan usia tertinggi 24 tahun, sedangkan usia pelaku yang terendah adalah 15 tahun dan usia tertinggi 30 tahun.

Tentu sulit untuk menarik semacam generalisasi dari hanya delapan contoh diatas. Tentang prilaku, umpamanya benarkah usia tertinggi pelaku sekitar 30 tahun?

Kasus-kasus lain yang dikutip dibawah ini menunjukkan kepada kita betapa perkosaan bukan hanya ulah menyimpan generasi muda :

“Pemerkosaan dewasa ini tampaknya tidak lagi dimonopoli kaum muda yang memang tengah diamuk nafsu birahi. Para kakek rupanya banyak pula yang terlibat dalam masalah ini. Tan Bong Kim, 79 misalnya, masih sempat memperkosa tetangganya. Ingin tahu korbannya? Mia, seorang bocah umur 6 tahun. Penduduk tanjung Lengkong, Jakarta timur tersebut sudah dihukum 6 bulan dan kini sudah bebas.
Boleh jadi mengekang nafsu untuk orang-orang tertentu jadi persoalan besar kendati mereka sudah bangkotan. Atmonadi 58, mengalami hal itu. Kakek bercucu dua ini masih terangsang melihat aswina, 13 tetangganya. Membujuk bakal memberikan uang seribu rupiah serta dengan setengah mengancam, dia memperkosa aswina sampai hamil. Menurut pengakuannya kalau itu terjadi lantaran istrinya setiap hari pergi berjualan. Nafsu itu pulalah yang membuat Abdullah nekat. Kakek berusia 60 tahun ini, sudah memperkosa 6 bocah cilik, berumur 7-10 tahun. Penghuni kelurahan Rawa BAdak itu terpaksa harus dilepaskan begitu saja. Sebab dalam pemeriksaan barulah diketahui dia seorang sek maniak.”

Secara teoritik sebagian diantaranya dengan mempergunakan rumusan hokum kriminologi membagi jenis-jenis perkosaan sebagai berikut :

1. “Sadistic Rape” (Perkosaan sadistis)
Pada tipe ini, seksualitas dan agressi berpadu dalam bentuk kekerasan yang merusak. Pelaku pemerkosaan Nampak menikmati kesenangan erotic bukan melalui hubungan seksnya melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.
2. “Anger Rape” Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melepaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Tubuh korban seakan-akan merupakan obyek terhadap siapa pelaku memproyeksikan pemecahan atas prustasi-prustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.
3. “Domination Rape” yang terjadi ketika pelaku mencoba “unjuk gigi” atas kekuasaan dan superioritasnya terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual. Pelaku menyakiti korban, namun memilikinya secara seksual.
4. “seductive Rape” yang terjadi pada situasi-situasi yang “merangsang” yang diciptakan oleh kedua belah pihak. Pada mulanya, korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh sanggama. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan bahwa wanita membutuhkan paksaan, oleh karena itu ia akan mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks, atau pelaku berpandangan memang seharusnya laki-laki memperoleh apa yang ia inginkan.
Tipe inilah sesungguhnya yang melahirkan apa yang disebut : “Victim Precipitated Rape” (Perkosaan yang berlangsung dengan korban sebagai factor pencetus. Manachem Amer melalui penelitian-penelitiannya di philadelphie mengungkapkan bahwa sekitar 19 % korban perkosaan memang berperan mencetuskan perkosaan. Dan, sekitar separu 9dari 646 kasus perkosaan yang diteliti) dari korban yang menjadi sasaran penalitian pernah mempunyai hubungan atau kenal dengan pelaku.
5. “Exploitation Rape” yang menunjukkan bahwa setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh laki-laki dengan mengambil keuntungan dari kerawanan posisi wanita yang tergantung padanya secara ekonomis atau social, atau dalam kasus wanita yang “diperkosa” suaminya yang terjadi oleh karena memang hokum tidak memberikan perlindungan. Dengan demikian, perkosaan jenis ini lebih dikondisikan oleh ketidak merataan relative dalam bidang social dan eknomi. Posisi yang lemah dari wanita dalam keadaan itu mendorongnya untuk melakukan pilihan rasional, walaupun hal itu menyakitkan.

Kelima tipe diatas mencerminkan perbedaan-perbedaan baik dalam jenis kekuasaan yang digunakan oleh pelaku, atau motifasinya dalam melakukan kekerasan terhadap genitalia seksual wanita.

Diindonesia terdapat pula tipe lain yakni perkosaan yang digunakan buat memenuhi persyaratan suatu ilmu tertentu. Konon, ada ilmu yang mensyaratkan siswanya untuk melakukan hubungan seks dengan puluhan perawan sebalum “lulus”. Perkosaan atas dua gadis dibawah umur, dikediri dua tahun silam, menurut berita berkaitan dengan usaha pelaku untuk mengamalkan ilmu hitam.

Dalam makalah yang diajukan oleh colonel polisi Drs.Moch.Hindarto maupun data dari polda metro jaya terlihat bahwa tingkat penyelesaian kasus perkosaan cukup tinggi dibandingkan dengan jenis-jenis kejahatan lain.

Kasus perkosaan dalam priode tahun 1980-1984 diindonesia mencapai rata-rata sekitar 69 % dan dijakarta dalam kurun waktu yang sama sekitar 60 %.

Disamping masalah pengalaman tempat kejadian perkara yang diakui cukup sulit dalam kasus-kasus perkosaan dari sudut pandangan medico-legal hasil pemeriksaan yang diharapkan sama halnya dengan korban kejahatan seks, yaitu :

1. Penetrasi penis, dari hasil pemeriksaan ditemukannya robekan selaput darah dan luka-luka pada daerah jenitalia.
2. Ejakulasi yang dari hasil pemeriksaan ditemukannya sperma diliang vagina dan asam fosfatase, kholin dan spermin diliang vagina serta kehamilan.
3. Penyakit kelamin yang dari hasil pemeriksaan ditemukan G.O. (Kencing nanah) dan lues (Siphilis)
4. Kekerasan dari hasil pemeriksaan ditemukannya perlukaan dan adanya obat-obatan didalam cairan tubuh korban

Dalam proses penanganan ini, kerjasama yang erat antar polri dengan kalangan lain dari bidang pengetahuan ilmiah medico-legal maupun kimia fhorensip sangat diperlukan guna mendapatkan bukti-bukti materil yang dibutuhkan dan kerjasama lain guna mengkaji aspek-aspek kriminologis dari perkosaan dapat dilakukan dengan kalangan dari bidang pengetahuan ilmiah kriminologi.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah korban perkosaan yang besar kemungkinan mengalami trauma psikis yang berat, juga berlainan dengan kejahatan lain memperoleh “stigma” sebagai korban perkosaan dari masyarakat. Media masa tak jarang pula berperan dalam hal yang terakhir ini dengan mendramatisasi pristiwa dan bukan hanya menonjolkan tokoh pelaku akan tetapi juga menyajikan gambaran yang kurang lebih lengkap tentang korban.

Pola penghukuman terhadap pelaku-pelaku perkosaan sebagai proses selanjutnya dari penangan tersebut diatas menunjukkan kecenderungan penghukuman yang jauh dari batas maksimal yang diancamkan dalam KUHP.

Majalah berita tempo pernah mengetengahkan bahwa jarang terdengar hukuman maksimal dijatuhkan.
Selanjutnya dikemukakan : “dipengadilan negeri medan, misalnya, yang dalam tahun 1983 memfonis 12 kasus perkosaan, rata-rata para pemerkosa Cuma dijatuhi hukuman kurungan sekitar 1 tahun. Dibandung, Surabaya, semarang, dan dijokjakarta paling tinggi pemerkosa dijatuhi hukuman 6 tahun, itu pun jarang terjadi. Yang umum sekitar 1 atau 2 tahun. Bahkan dijember, seorang kakek, 65 tahun yang memperkosa gadis berumur 14 tahun, Cuma kejatuhan 9 bulan”.

Proses penanganan yang professional dan pola penghukuman yang lebih terarah (sesuai dengan tipe, motif dan tingkat kerugian fisik, mental dan social yang dialami korban), serta proses pendidikan didalam lembaga kemasyarakatan seharusnya terpadu, dan oleh karena pemerkosaan merupakan gajala yang lahir dari suatu “Exsismaleculture” dengan “mistikemaskulinan” sebagai norma yang diterima oleh sebagian besar masyarakat, maka pencegahan dan penanggulangannya pun harus dikaitan kepada usaha penanaman dan kelembagaan nilai-nilai dan norma-norma yang menghormati hak-hak wanita.

Barangkali memang perkosaan tak jarang mengandung makna-makna simbolik, namun yang jelas perkosaan adalah hasil pertemuan dari sosialisasi seksual yang ada mendukung perwujudan seksualitas melalui kekerasan dengan sosialisasi wanita yang sarat oleh idealisasi feminitas yang diajarkan melalui sekolah, keluarga bahkan mass media dengan cirri pasifitas dan ketergantungan wanita.

Lantas, jika begitu, seperti dikatakan oleh L.Clark dan D.Lewis dapat dipahami bahwa laki-laki yang sangat kuat mengidentifikasi diri dengan kekuasaan (kedominanan) seksual dan agresi dan tidak lagi dapat membedakan apa yang mereka anggap sebagai bujukan dengan yang disandang oleh wanita sebagai perkosaan.
Beberapa akibat / efek dampak buruk pada korban pemerkosaan :
1. Menjadi stress hingga mengalami gangguan jiwa
2. Cidera atau luka-luka akibat penganiayaan
3. Kehilangan keperawanan / kesucian
4. Menjadi trauma pada laki-laki dan hubungan seksual
5. Bisa menjadi seorang lesbian atau homo yang menyukai sesama jenis
6. Masa depan suram karena dikanal sebagai korban perkosaan
7. Sulit mencari jodoh karena sudah tidak perawan
8. Bisa membalas dendam pada oang lain
9. Hamil di luar nikah yang sangat tidak diinginkan
10. Anak hasil perkosaan bisa dibenci orang tua, kerabat, tetangga, dll
11. Merusak mental seorang anak karena belum waktunya mengenal seks
12. Menjadi pasrah dan terus melakukan hubungan seks pranihah.
13. Merasa kotor dan akhirnya terjun sebagai psk untuk mendapat uang.
14. Terkena penyakit menular seksual yang berbahaya, dll


DAMPAK SOSIAL PSIKOLOGIS PERKOSAAN

Selama beberapa tahun terakhir ini bangsa Indonesia banyak menghadapi masalah Kekerasan,baik yang bersifat masal maupun yang dilakukan secara individual. Masyarakat mulai merasa resah dengan adanya berbagai kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Kondisi seperti ini membuat perempuan dan anak-anak menjadi lebih rentan untuk menjadi korban kekerasan. Perempuan yang berada di daerah aman juga dapat menjadi korban kekerasan, dengan kata lain masalah kekerasan terhadap perempuan ini merupakan masalah yang universal (Kompas, 1995; Muladi, 1997; Triningtyasasih, 2000).

Pada saat orang berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan, maka dapat dikatakan bahwa perempuan dalam situasi apapun tetap rentan untuk menjadi korban dari struktur atau sistem (sosial, budaya, maupun politik) yang menindas (Press Release Lokakarya WCC, 2000). Hal ini diperkuat oleh adanya pendapat bahwa posisi perempuan yang membuat keberdayaan mereka untuk melindungi diri juga kurang. Dikatakan bahwa perempuan yang berada di dalam rumah pun dapat menjadi korban kekerasan dari suaminya, perempuan di tempat kerja juga dapat memperoleh pelecehan seksual baik dari atasan maupun rekan sekerjanya (Suharman dalam Prasetyo, 1997).

Bentuk kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kekerasan secara fisik, akan tetapi dapat juga meliputi kekerasan terhadap perasaan atau psikologis, kekerasan ekonomi, dan juga kekerasan seksual. Hal ini sesuai dengan pendapat Hayati (2000) yang mengatakan bahwa kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun non verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional, dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya.

Berdasarkan catatan FBI terdapat sedikitnya 84.000 perempuan yang melaporkan menjadi korban perkosaan dalam satu tahun (Walter dalam Haryanto, 1997). Sementara itu di Indonesia, kasus perkosaan menempati peringkat nomor 2 setelah pembunuhan (Darwin, 2000). Data dari Kalyanamitra menunjukkan bahwa setiap 5 jam, ditemui 1 kasus perkosaan (Abar, 1995; Darwin, 2000; Tabah, 1994).
Sementara itu, Yayasan Kepedulian Untuk Konsumen Anak (KAKAK) selama tahun 2000 mencatat 90 kasus seksual yang dialami oleh anak Surakarta dan kasus perkosaan yang ada mencapai 18 orang (Suara Merdeka, 2001). Hal ini menunjukkan betapa banyaknya perempuan yang menjadi korban perkosaan. Data yang tersaji pada beberapa lembaga tersebut merupakan data dari hasil penelitian maupun dari korban yang melaporkan kejadian yang mereka alami. Asumsi yang muncul dari data yang tersaji selama ini adalah bahwa data yang ada merupakan fenomena gunung es. Pernyataan tersebut memiliki arti bahwa data yang muncul ke permukaan hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus yang terjadi di dalam masyarakat.
Berdasarkan pernyataan tersebut maka sebenarnya kekerasan yang terjadi di masyarakat dapat saja merupakan kelipatan dari data yang ada. Pada kasus perkosaan, setiap orang dapat menjadi pelaku perkosaan tanpa mengenal usia, status, pangkat, pendidikan, dan jabatan. Hal ini senada dengan hasil penelitian dari Abar & Subardjono (1998), yang mengatakan bahwa berdasarkan data usia pelaku tindak kejahatan perkosaan, dapat dikatakan bahwa pelaku perkosaan sesungguhnya tidak mengenal batas usia. Selama individu masih mempunyai daya seksual, dari anak-anak hingga kakek-kakek masih sangat mungkin untuk dapat melakukan tindak kejahatan perkosaan. Demikian pula dengan korban. Setiap perempuan dapat menjadi korban dari kasus perkosaan tanpa mengenal usia, kedudukan, pendidikan, dan status. Pendapat tersebut senada dengan pengamatan dari Rita Serena Kalibonso (Kompas, 1993), berdasarkan data kasus yang masuk ke kantor LBH Jakarta, yang mengatakan bahwa pelaku bukan hanya tetangga korban melainkan juga ayah tiri, anak majikan, majikan, teman dekat, dan juga saudara. Sementara korban ada yang memiliki profesi sebagai karyawan, ibu rumah tangga, pembantu rumah tangga, anak-anak di bawah umur, bahkan anak sekolah luar biasa. Salah satu contoh kasus perkosaan tentang hal tersebut dimuat oleh Bernas tanggal 15 Nopember 1999 yang menyebutkan tentang seorang kakek yang memperkosa seorang gadis cacat mental.

Dampak Psikologis
Upaya korban untuk menghilangkan pengalaman buruk dari alam bawah sadar mereka sering tidak berhasil. Selain kemungkinan untuk terserang depresi, fobia, dan mimpi buruk, korban juga dapat menaruh kecurigaan terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri. Linda E. Ledray (dalam Prasetyo, 1997) melakukan penelitian mengenai gambaran penderitaan yang dialami oleh perempuan korban perkosaan. Penelitian tersebut dilakukan dengan mengambil data perempuan korban perkosaan di Amerika, yang diteliti 2-3 jam setelah perkosaan.
Hasil yang diperoleh menyebutkan bahwa 96% mengalami pusing; 68% mengalami kekejangan otot yang hebat. Sementara pada periode post-rape yang dialami adalah 96% kecemasan; 96% rasa lelah secara psikologis; 88% kegelisahan tak henti; 88% terancam dan 80% merasa diteror oleh keadaan. Penelitian yang dilakukan oleh majalah MS Magazine (dalam Warshaw, 1994) mengatakan bahwa 30% dari perempuan yang diindetifikasi mengalami perkosaan bermaksud untuk bunuh diri, 31% mencari psikoterapi, 22% mengambil kursus bela diri, dan 82% mengatakan bahwa pengalaman tersebut telah mengubah mereka secara permanen, dalam arti tidak dapat dilupakan. Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres paska perkosaan yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi paska perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang merupakan gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan. Stres jangka panjang yang berlangsung lebih dari 30 hari juga dikenal dengan istilah PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder (Rifka Annisa dalam Prasetyo, 1997). Menurut Salev (dalam Nutt, 2001) tingkat simptom PTSD pada masing-masing individu terkadang naik turun atau labil. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan 12 yang terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang dialaminya.

Menurut Shalev (dalam Nutt, 2000) PTSD merupakan suatu gangguan kecemasan yang didefinisikan berdasarkan tiga kelompok simptom, yaitu experiencing, avoidance, dan hyperarousal, yang terjadi minimal selama satu bulan pada korban yang mengalami kejadian traumatik. Diagnosis bagi PTSD merupakan faktor yang khusus yaitu melibatkan peristiwa traumatis. Diagnosis PTSD melibatkan observasi tentang symptom yang sedang terjadi dan atribut dari simptom yang merupakan peristiwa khusus ataupun rangkaian peristiwa. Selanjutnya definisi PTSD ini berkembang lebih dari hanya sekedar teringat kepada peristiwa traumatis yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi juga disertai dengan ketegangan secara terus-menerus, tidak dapat tidur atau istirahat, dan mudah marah. PTSD yang dialami oleh tiap individu terkadang tidak stabil. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang dialaminya. Para korban perkosaan ini mungkin akan mengalami trauma yang parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang mengejutkan bagi korban. Secara umum peristiwa tersebut bisa menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000).
Berdasarkan definisi tersebut maka dapat diambil kesilmpulan bahwa PTSD adalah gangguan kecemasan yang dialami oleh korban selama lebih dari 30 hari akibat peristiwa traumatis yang dialaminya. Dampak jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari setelah kejadian. Dampak jangka pendek ini termasuk segi fisik si korban, seperti misalnya ada 13 gangguan pada organ reproduksi (infeksi, kerusakan selaput dara, dan pendarahan akibat robeknya dinding vagina) dan luka-luka pada bagian tubuh akibat perlawanan atau penganiayaan fisik.
Dari segi psikologis biasanya korban merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu, dan terhina. Gangguan emosi ini biasanya menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia), kehilangan nafsu makan, depresi, stres, dan ketakutan. Bila dampak ini berkepanjangan hingga lebih dari 30 hari dan diikuti dengan berbagai gejala yang akut seperti mengalami mimpi buruk, ingatan-ingatan terhadap peristiwa tiba-tiba muncul, berarti korban mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau dalam bahasa Indonesianya dikenal sebagai stres paska trauma (Hayati, 2000). Bukan tidak mungkin korban merasa ingin bunuh diri sebagai pelarian dari masalah yang dihadapinya.Menurut Freud (dalam Suryabrata, 1995), hal ini terjadi karena manusia memiliki instinginsting mati. Selain itu kecemasan yang dirasakan oleh korban merupakan kecemasan yang neurotis sebagai akibat dari rasa bersalah karena melakukan perbuatan seksual yang tidak sesuai dengan norma masyarakat.
Terkadang korban merasa bahwa hidup mereka sudah berakhir dengan adanya peristiwa perkosaan yang dialami tersebut. Dalam kondisi seperti ini perasaan korban sangat labil dan merasakan kesedihan yang berlarut-larut. Mereka akan merasa bahwa nasib yang mereka alami sangat buruk. Selain itu ada kemungkinan bahwa mereka menyalahkan diri mereka sendiri atas terjadinya perkosaan yang mereka alami. Pada kasus-kasus seperti ini maka gangguan yang mungkin terjadi atau dialami oleh korban akan semakin kompleks. 14 Tanda-tanda PTSD tersebut hampir sama dengan tanda dan simptom yang ada pada depresi menurut kriteria dari American Psychiatric Association (dalam Davison dan Neala, 1990). Tanda-tanda tersebut adalah: (1) sedih, suasana hati depres; (2) kurangnya nafsu makan dan berat badan berkurang, atau meningkatnya nafsu makan dan bertambahnya berat badan; (3) kesukaran tidur (insomnia): tidak dapat segera tidur, tidak dapat kembali tidur sesudah terbangun pada tengah malam, dan pagi-pagi sesudah terbangun; atau adanya keinginan untuk tidur terus-menerus; (4) perubahan tingkat aktivitas; (5) hilangnya minat dan kesenanga dan dalam aktivtas yang biasa dilakukan; (6) kehilangan energi dan merasa sangat lelah; (7) konsep diri negatif; menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna dan bersalah; (8) sukar berkonsentrasi, seperti lamban dalam berpikir dan tidak mampu memutuskan sesuatu; (9) sering berpikir tentang bunuh diri atau mati.
Menurut Georgette (dalam Warshaw, 1994) sindrom tersebut dialami oleh korban, baik korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal maupun pelaku adalah orang asing. Hal tersebut akan termanifestasikan ke dalam rentang emosi dan perilaku yang luas. Korban dapat menunjukkan reaksi yang terbuka terhadap pengalamannya atau dapat juga mengontrol responnya, bertindak secara kalem dan tenang. Bagaimanapun juga korban akan mengalami perasaan takut secara umum ataupun perasaan takut yang khusus seperti perasaan takut akan kematian, marah, perasaan bersalah, depresi, takut pada laki- laki, cemas, merasa terhina, merasa malu, ataupun menyalahkan diri sendiri. Korban dapat merasakan hal tersebut secara bersama-sama dalam waktu dan intensitas yang berbeda-beda. Korban dapat juga memiliki keinginan untuk bunuh diri. Sesaat setelah korban terlepas dari perkosaan mungkin ia akan merasakan suatu kelegaan untuk sesaat karena 15 sudah terlepas dari suatu peristiwa yang sangat mengancam. Akan tetapi setelah peristiwa tersebut maka korban akan mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi ataupun memfokuskan pemikirannya untuk menampilkan tugas yang sederhana. Korban akan merasa gugup, gelisah, mudah terganggu, mengalami goncangan, menggigil, nadi berdebar secara kencang, dan badan terasa panas dingin. Korban juga dapat mengalami kesulitan tidur, kehilangan nafsu makan, mengalami gangguan secara medis, diantaranya mungkin berhubungan langsung dengan penyerangan yang dialaminya. Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa perkosaan oleh pasangan ataupun teman kencan biasanya tidak melibatkan kekerasan secara nyata seperti adanya pemukulan atau penggunaan senjata dan ancaman.
Berdasarkan pandangan tersebut maka mereka menganggap bahwa trauma yang dialami oleh korban tidak seberat trauma yang dialami oleh korban perkosaan oleh orang asing (Warshaw, 1994). Akan tetapi pada kenyataannya yang terjadi adalah kebalikan dari pandangan tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Katz dan Burt (dalam Warshaw, 1994) ditemukan bahwa korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal oleh korban, mengalami proses penyembuhan yang lebih sedikit dibandingkan korban perkosaan dengan pelaku yang tidak dikenal korban. Penelitian ini didasarkan dengan melihat kondisi korban setelah jangka waktu tiga tahun dari peristiwa perkosaan yang dialami oleh korban.
Menurut Parrot (dalam Warshaw, 1994) yang seorang pakar tentang date rape, hal tersebut dapat diakibatkan karena korban yang mengalami perkosaan oleh orang yang dikenal biasanya menyimpan kenyataan mengenai peristiwa yang mereka alami. Hal ini berbeda dengan korban dengan pelaku yang tidak begitu dikenal. Mereka cenderung dengan segera mencari pertolongan, konseling, ataupun kelompok dukungan lainnya. Dengan demikian 16 maka korban dengan pelaku yang dikenal akan menyimpan dampak dari serangan yang dialaminya dalam jangka waktu yang lebih lama. Korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal, memiliki kemungkinan yang besar akan mengalami perkosaan secara berulang dan dalam jangka waktu yang panjang (Agaid, 2002).
Pelaku sebagai orang yang dikenal bahkan orang yang dekat dengan korban sudah mengetahui dengan baik situasi untuk melakukan perkosaan. Pelaku telah merancang waktu untuk melakukan niatnya dengan baik sehingga ia yakin bahwa perbuatannya tersebut tidak akan diketahui oleh orang lain. Korban yang memiliki relasi kuasa di bawah pelaku tidak berani mengungkapkan rahasia tersebut kepada orang lain termasuk keluarganya karena adanya berbagai alasan seperti: adanya ancaman dari pelaku, alasan menjaga kehormatan dan pemberian pengertian dari pelaku bahwa perkosaan tersebut adalah bukti kasih sayang pelaku kepada korban. Berdasarkan hal tersebut maka pelaku lebih leluasa untuk mengulang perbuatannya. Perkosaan seperti ini membuat posisi korban serba salah karena ia harus menanggung beban ganda, yaitu menjadi korban dari perkosaan yang dapat berulang setiap saat dan harus menyimpan rahasia tersebut dari orang lain. Kadang kala ketakutan yang dialami oleh korban membuat ia tidak berdaya dan lemah. Korban perkosaan mungkin akan mengalami ketakutan berada dalam situasi yang ramai atau berada sendirian. Korban dapat merasa ketakutan pada saat ia hanya berdua dengan orang lain. Posisi ini membuat korban tidak memiliki kepercayaan kepada orang lain, bahkan orang-orang yang selama ini dekat dengannya. Korban dapat pula menjadi paranoid terhadap alasan dari orang-orang yang tidak dikenalnya. Pemicu yang berhubungan dengan perkosaan seperti lagu yang didengar pada saat kejadian, bau 17 minuman yang diminum oleh pelaku pada saat kejadian, bau parfum pelaku, ataupun melihat seseorang yang mirip dengan pelaku akan membuat korban merasa cemas dan takut (Warshaw, 1994).
Alternatif Penyembuhan Proses penyembuhan korban dari trauma perkosaan ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan ini diperlukan untuk membangkitkan semangat korban dan membuat korban mampu menerima kejadian yang telah menimpanya sebagai bagian dari pengalaman hidup yang harus ia jalani (Hayati, 2000). Korban perkosaan memerlukan kawan bicara, baik teman, orangtua, saudara, pekerja sosial, atau siapa saja yang dapat mendengarkan keluhan mereka. Diharapkan dengan adanya dukungan ini maka korban akan mampu berdaya dan menjalani kehidupannya seperti sedia kala.
Pada kasus-kasus perkosaan yang didampingi oleh Rifka Annisa Women’s Crisis Center, beberapa korban tidak dapat ataupun tidak mau menghubungi keluarganya dengan berbagai pertimbangan dan alasan. Korban merasa malu dan bersalah karena merasa bahwa dirinya tidak dapat menjaga nama baik keluarga. Selain itu mereka juga merasa takut jika keluarga menjadi marah dan tidak mau menerima keadaan mereka. Korban yang tidak didampingi oleh keluarga mengalami kecemasan yang tinggi, merasa lemah, sering pingsan, bahkan mengalami PTSD. PTSD ini jarang terjadi pada korban yang mendapat dukungan dan pendampingan dari keluarga. Korban yang mendapat dukungan dari keluarga pada umumnya hanya mengalami stres paska perkosaan jangka pendek dan tidak mengalami PTSD. Korban terlihat lebih cepat pulih dengan adanya dukungan dari keluarga. Bahkan ada seorang anak yang pada saat kejadian dia sangat shock akan tetapi dengan pengertian dari keluarga serta dukungan yang diberikan ia mampu mengatasi perasaan tersebut dan mau melanjutkan kegiatannya seperti biasa. Salah satu korban dititipkan di rumah neneknya di luar Jawa karena pelaku perkosaan tersebut adalah ayah tirinya. Masing- masing keluarga memiliki cara sendiri di dalam memberi dukungan terhadap anggota keluarga mereka yang menjadi korban perkosaan.

Dampak Sosial
Korban perkosaan dapat mengalami akibat yang sangat serius baik secara fisik maupun secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain: (1) kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput dara, pingsan, meninggal; (2) korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual (PMS); (3) kehamilan tidak dikehendaki. Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus maup un kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual (Koesnadi, 1992).
Sementara itu, korban perkosaan berpotensi untuk mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya. Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik (Taslim, 1995). Secara umum peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Korban perkosaan dapat menjadi murung, menangis, mengucilkan diri, menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya. Trauma yang dialami oleh korban perkosaan ini tidak sama antara satu korban dengan korban yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh bermacam-macam hal seperti pengalaman hidup mereka, tingkat religiusitas yang berbeda, perlakuan saat perkosaan, situasi saat perkosaan, maupun hubungan antara pelaku dengan korban. Situasi dalam masyarakat seringkali dapat memperburuk trauma yang dialami oleh korban. Media massa juga memiliki pengaruh terhadap keadaan yang dirasakan oleh korban. Pada kasus-kasus perkosaan, media massa memiliki peranan dalam membentuk opini masyarakat tentang korban perkosaan. Baik buruknya korban perkosaan dapat dipengaruhi oleh cara penulisan berita tersebut (Abrar, 1998).
Selama ini, para wartawan cenderung menggunakan bahasa denotatif dalam mendeskripsikan runtutan peristiwa perkosaan, termasuk deskripsi tentang korban sehingga posisi korban dalam pandangan masyarakat semakin lemah (Abar & Subardjono, 1998). Ada stigma di dalam masyarakat yang memandang bahwa perempuan korban perkosaan adalah perempuan ya ng hina. Ada pula pandangan yang mengatakan bahwa dalam sebuah kasus perkosaan, yang salah adalah pihak perempuan. Perempuan korban perkosaan seringkali dipojokkan dengan pandangan masyarakat ataupun mitos-mitos yang salah mengenai perkosaan (Taslim, 1995).
Pandangan yang salah tersebut membuat masyarakat memberi “label” bahwa perempuan korban perkosaan sengaja “menggoda” dan “menantang” laki-laki dengan memakai pakaian mini, rok ketat, berdandan menor ataupun berbusana seksi, bahkan sengaja mengundang nafsu birahi laki-laki pemerkosa (Bernas, 1995; Kompas, 1995; Taslim, 1995).
Hal seperti ini akan membuat korban semakin takut untuk mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya. Korban akan merasa bahwa dirinya telah merusak nama baik keluarga, sehingga ia cenderung akan melakukan self-blaming yang justru akan semakin memperburuk keadaannya. Seringkali rasa bersalah ini juga membuat korban enggan untuk menceritakan pengalamannya kepada orang-orang di sekitarnya karena takut menerima “vonis” dari lingkungan (Republika, 1995; Taslim, 1995). Hal ini sesuai dengan pendapat Epictus (dalam Semiarti, 1989) yang mengatakan bahwa sebenarnya seseorang akan terganggu oleh cara dia melihat sesuatu hal. Apabila seseorang memandang suatu hal sebagai ancaman maka ia akan cenderung mengalami gangguan akibat penilaiannya tersebut. Harapan dan pikiran negatif akan mendorong seseorang untuk menjadi depresi (Abrahamson dalam Semiarti, 1989).


Tugas Kelompok Kesehatan Mental II :

Indah Pratiwie
Desni Saputra
Irjasmiati

Dosen : M Fahli Zatra Hadi S.Sos.I

DEVIASI

Disusun oleh:
Maisaroh
Yasmiati

DEVIASI
A. Pengertian Deviasi
Deviasi atau penyimpangan adalah tingkah laku yang menyimpang dari kecenderungan umum atau karakteristik rata – rata kebanyakan dari masyarakat. Sedangkan diferensiasi adalah tingkah laku yang berbeda dari tingkah laku umum. Misalnya, kejahatan adalah semua bentuk tingkah laku yang berbeda dan menyimpang dari ciri – cirri karakteristik umum, serta bertentangan dengan hukum, atau melawan peraturan yang berlaku. Sedangkan kejahatan itu sendiri mencakup banyak macam – macam tingkah laku dan sangat heterogen sifatnya, sebab bias dilakukan oleh pria, wanita, anak – anak, tua maupun remaja.
Ada yang membedakan diferensiasi itu menjadi:
• Differensiasi biologis
Differensiasi biologis yang mempunyai tanda penyimpangan yaitu macam – macam stigma rasial. ( stigma dari kata stigmayologis berarti tanda, selar, dan ciri ), misalnya dalam bentuk berat badan dan tinggi, raut muka, tampang, dan bentuk perbandingan badan, perut, bekas luka, mata juling, sipit, tanda – tanda tertentu sejak lahir,cacat jasmani karena kecelakaan atau penyakit yang merusak mekanisme tubuh dan tingkah laku.
Ciri – ciri tersebut mengakibatkan pola tingkah laku yang berbeda sekali dengan prilaku umum. Misalnya bias menjadi buta,gagap,timpang,tuli,bisu,menderita aphasia (kemampuan untuk menggunakan kata-kata sebagai simbol pikiran hilang atau terhambat,disebabkan oleh kerusakan pada kulit otak), dan aphonia atau tidak mampu nya mengeluarkan suara, dan cacat jasmania yang lainnya.


Cacat jasmaniah itu mengakibatkan persepsi tertentu dan respon-respon tingkah laku menjadi terhambat atau tidak berfungsi lagi.semuanya itu tergantung pada sifat dan beratnya kerusakan structural. Tingkah laku menjadi sangat berbeda dengan tingkah laku kebanyakan orang dan pribadi yang bersangkutan terhambat dalam melaksanakan peranan sosialnya. ( Kartini Kartono, 1981 : 23-24).


• Differensiasi demografis
Differensiasi demografis adalah perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan bangsa-bangsa dan bangsa yang menyimpang dari kelompok bangsa yang umumnya,yang tingkah lakunya aneh dan luar biasa misalnya dalam hal posisi seks, perbedaan usia seperti ada yang usianya sangat tua dan ada juga yang mati dalam usia sangat muda, lingkungan sosialnya dan lain-lainnya. Contohnya bangsa Yahudi atau Bani Israil bagaimana kondisinya ketika ditanah airnya sendiri dan didaerah lain, bangsa Sicilia yang terkenal dengan gang atau mafianya.
Deviasi behavioral menurut tipenya dapat dibedakan menjadi :
a) Personal, dan b) social.
Sedangkan menurut aspeknya dapat dibedakan menjadi :
a) Yang tampak (overt)
b) Yang tidak tampak (covert)
Yang menjadi objek kajian disini adalah deviasi behavioral artinya penyimpangan tingkah laku yang sering kali disebut juga dengan istilah abnormal atau maladjusted. Untuk mengetahui ingkah laku abnormal atau maladjusted atau yang menyimpang sudah barang tentu harus mengetahui tingkah laku yang normal, yang edjusted, yang telah disinggung di depan. Yang dijadikan ugeran atau patokan ialah norma social. Norma social ini tergantung pada waktu dan tempat, status usia, seks, serta kelas social.
Norma social ialah batas-batas dari berbagai tingkah laku yang secara jelas (eksplisit) atau samar (implisit) dimiliki atau dikenal secra retrospektif oleh anggota-anggata sesuatu kelompok, komunity atau society (St. Vembriarto : 1981 : 71).

Yang dimaksudkan dengan retospektif artinya bahwa sebagian besar orang tidak menyadarinya, dan norma itu baru disadari apabila dilanggar, atau disadari secara proyektif.

• Deviasi tingkah laku menurut aspeknya, dapat dibedakan menjadi :
1. Aspek lahiriah ;
 Aspek yang berbentuk verbal, misalnya: bahasa yang tidak sesuai menurut gramatika serta pendapat – pendapat yang radikal mengenai berbagai hal
 Aspek yang nonverbal, misalnya alkoholisme, madat, prostitusi (pelacuran ), kejahatan, dan sebagainya.
2. Aspek batiniah yang simbolik,
yaitu segi sikap dan emosi yang bersifat perilaku menyimpang yang dialami oleh seseorang, misalnya berupa mens area ( fikiran yang paling dalam yang tersembunyi ) atau berupa iktikad criminal dibalik semua aksi kejahatan dan tingkah laku menyimpang.
Perlu diketahui bahwa tingkah laku menyimpang itu tersembunyi sifatnya yang tampak itu hanya sebagian yang muncul kepermukaan. Aspek batiniah hanya dapat diselediki melalui aspek lahiriah verbal.
Dari proses simbolisasi itu, yang paling penting adalah simbolisasi diri atau “penamaan diri” maksudnya adalah anak-anak yang tumbuh dan berkembang menjadi dewasa dilingkungan social yang kriminal dan asusila, mudah mengambil alih warisan-warisan sosial yang jahat, buruk, dari masyarakat lingkungannya. Konsep sosial menanamkan nilai-nilai moral dan kebiasaan bertingkah laku buruk baik secara sadar atau tidak disadarinya.
Kelompok – kelompok bermain sejak masa kanak-kanak, dan masyarakat lingkungan yang criminal dan asusila itu secara perlahan – lahan membentuk tradisi, hokum, dan kebiasaan – kebiasaan tertentu, sehingga anak –anak tadi secara otomatis terkontrol untuk bertingkah laku criminal dan asusila.


Konsep – konsep asusila yang umumnya berlaku dalam lingkungan yang diopernya secara otomatis.proses konsepsi diri atau simbolisasidiri,pada umumnya berlangsung tidak sadar dan perlahan – lahan. Berlangsunglah proses sosialisasi dari tingkah laku menyimpang pada diri seseorang sejak masa kanak – kanak, remaja, hingga dewasa berlangsung pula pada pembentukan pola tingkah laku deviatif yang progesif sifatnya, kemudian dikembangkan menjadi kebisaan – kebiasaan patologis, menyimpangg dari pola tinkah laku umum.

B. Tingkah laku normal, yang menyimpang dari norma social
Banyak sosiolog mempersamakan “tingkah laku yang menyimpang “ dengan tingkah laku abnormal atau maladjusment (tidak mampu menyesuaikan diri ). Tingkah laku normal adalah tingkah laku yang serasi dan tepat yang bisa diterima oleh masyarakat pada umum. Tingkah laku pribadi yang normal adalah perilaku yang sesuai dengan pola kelompok masyarakat tempat dia berada sesuai pula dengan norma – norma social yang berlaku pada masyarakat.
Tingkah laku yang normal adalah tingkah laku yang serasi yang bias diterima oleh mayarakat pada umumnya.
Tingkah laku pribadi yang normal adalah perilaku yang sesuai dengan pola kelompok masyarakattempat dia berada sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku pada saat dan tempat itu, sehingga tercapai relasipersonal dan interpersonal yang relative memuaskan.
Pribadi yang itu secara relatif dekat dengan integrasi jasmaniah-rohaniahyang ideal. Kehidupan psikisnya kurang lebih stabil sifatnya, tidak banyak memendam konflik internal(konflik batin) dan konflik dengan lingkungannya; batinnya tenang, imbang,dan jasmaniahnya merasa saehat selalu.
Tingkah laku abnormal/ menyimpang ialah: tingkah laku yang tidak serasi, tidak bisa di terima oleh masyarakat pada umumnya, dan tidak sesuai dengan normal social yang ada.
Pribadi yang normal itu umumnya jauh dari pada status integrasi; baik secara internal dalam batin sendiri, maupun batin secara eksternal dengan lingkungan sosialnya, pada umumnya mereka terpisah hidupnya dari masyarakat, sering di dera oleh konflik batin, dan tidak jarang di hinggapi gangguan mental.
Norma adalah kaidah, aturan pokok, ukuran, kadar atau patokan yang di terima secara utuh dari masyarakat, guna mengatur kehidupan dan tingkah laku sehari-hari, agar hidup ini terasa aman dan menyenangkan. Dalam masyarakat primitif yang terisolir dan sedikit jumlahnya, lagi pula masyarakatnya relatif terintegrasi dengan baik, norma-norma untuk mengukur tingkah laku menyimpang atau abnormal itu ada jelas dan tegas. Sedangkan tingkah laku menyimpang itu sendiri mudah di bedakan dengan tingkah laku normal pada umumnya.
Akan tetapi, dalam masyarakat urban di kota-kota besar dan masyarakat teknologi industri yang serba kompleks, dengan macam-macam sub- kebudayaan yang selalu berubah dan terus membelah diri dalam fraksi-fraksi yang lebih kecil, norma-norma social yang di pakai sebagai standar kriteria pokok untuk mengukur tingkah laku orang sebagai “normal”dan “abnormal”itu menjadi tidak alasan. Dengan kata-kata lain, konsep tentang normalitas dan abnormalitas menjadi sangat samar-samar batasnya.
Sebab, kebiasaan-kebiasaan, tingkah laku dan sikap hidup yang dirasakan sebagai normal oleh suatu kelompok masyarakat, bisa di anggap sebagai abnormal oleh kelompok kebudayaan lainnya. Apa yang di anggap sebagai normal oleh beberapa generasi sebelum kita, bisa di anggap abnormal pada saat sekarang.
Norma itu sifatnya bisa formal; bisa juga noninstitusional atau sosial(norma umum). Norma juga bersifat positif. Yaitu mengharuskan, menekan atau kompulsif sifatnya. Mulai dari norma-norma yang ringan lunak, memperbolehkan, sampai penggunaan sedikit paksaan.
Sebaliknya norma juga bisa bersifat negatif,yaitu melarang sama sekali, bahkan menjadikan tabu dilarang menjamah atau melakukannya karena di liputi kekuatan-kekuatan gaib yang lebih tinggi. Bisa juga berupa larangan-larangan dengan sanksi keras, hukuman atau tindak pengasingan.
Khususnya terhadap tingkah laku menyimpang yang provokatif dan merugikan hak-hak serta privilege(hak istimewa) orang banya, di berikan sanksi keras berupa hukuman atau pengasingan oleh orang banyak. Dengan demikian dapat di nyatakan, bahawa tingkah laku deviatif atau menyimpang itu di cap dan ditentang dengan tegas secara kultural oleh umum, di satu tempat dan pada satu waktu tertentu.

MACAM-MACAM DEVIASI DAN LINGKUNGAN
Deviasi atau penyimpangan tingkah laku itu sifatnya bisa tunggal; misalnya hanya kriminil saja atau alkoholik atau mencandu bahan-bahan narkotik. Namun bisa juga jamak sifatnya; misalnya seorang wanita tunasusila sekaligus juga kriminal, jadi ada kombinasi dari beberapa tingkah laku menyimpang contoh lain: sudah kriminal, penjudi besar, alkoholik, sekaligus juga a-susila secara seksual.
Deviasi ini dapat kita bedakan dalam tiga kelompok yaitu ( Dr Kartini Kartono:15):s
(a) Individu-individu dengan tingkah laku yang menjadi “ masalah” merugikan dan destruktif bagi orang lain, akan tetapi tidak merugikan diri sendiri.
(b) Individu-individu dengan tingkah laku menyimpang yang menjadi “masalah” bagi diri sendiri, akan tetapi tidak merugikan orang lain.
(c) Individu-individu dengan deviasi tingkah laku yang menjadi “masalah” bagi diri sendiri dan orang lain.
Yang jelas, deviasi tingkah laku itu tidak pernah berlangsung dalam isolasi;tidak berlangsung sui generis( unik khas satu-satunya dalam jenis) dan dalam keadaan vakum. Akan tetapi selalu berlangsung dalam satu konteks sosio-kultural dan antar personal. Jadi, sifatnya bisa organismis atau fisiologis; bisa juga psikis, interpersonal, antar-personal dan kultural,sehub ungan dengan lingkungan sosio-kultural ini, deviasi tingkah laku ini dapat di bagikan menjadi: (1) deviasi individual, (2) deviasi situasional, (3) deviasi sistematik.( Dr.Kartini Kartono:16-22)

1.)Deviasi individual
Beberapa deviasi merupakan gejala personal, pribadi atau individual, sebab di timbulkan oleh cirri-ciri yang khas unik dari individu itu sendiri. Yaitu berasal dari anomali-anomali ( penyimpangan dari hukum, kelainan-kelainan), variasi-variasi biologis, dan kelainan-kelainan psikis tertentu, yang sifatnya herediter ada sejak lahir. Kelainan cirri tingkah laku bisa juga di sebabkan oleh penyakit dan kecelakaan. Jika tidak ada di ferensiasi biologis, maka deviasi-deviasi itu pasti di sebabkan oleh pengaruh sosial dan kultural, yang “ membatasi”dan merusak kualitas-kualitas psiko-pisik individu.
Deviasi jenis ini sering kali sifatnya simptomatik. Yaitu di sebabkan pleh konflik-konflik intrapsikis yang kronis dan sangat dalam; atau berasal dari konflik-konflik semacam ini mengakibatkan keterbelahan pribadi; orangnya menjadi khoatis kacau, dan kepribadiannya tidak terintegrasi dengan baik.
Di masukkan dalam kelompok deviasi individual ini antara lain ialah: anak-anak luar biasa, penemu-penemu,genius-genius,fanatisi(orang-orang yang sangat fanatik), idiot savant atau genius-genius yang bersifat idiot dan tidak berperikemanusiaan, dan individu-individu yang psikotis. Pribadi-pribadi sedemikian ini pada dasarnya sudah memiliki kencenderungan-kecenderungan yang menyimpang, baik secara biologis maupun psikis, yang kemudian di perhebat oleh rangsangan sosial dan stimuli( stimulus= rangsangan)kultural dari lingkungan hidupnya.
2.)Deviasi Situasional
Deviasi jenis ini di sebabkan oleh pengaruh bermacam-macam kekuatan situasional/sosial di luar individu; oleh pengaruh situasi dalam mana pribadi yang bersangkutan menjadi bagian integral dari padanya. Situasi tadi memberikan pengaruh yang memaksa, sehingga individu tersebut terpaksa harus melanggar peraturandan norma-norma umum atau hukum formal.jika anak istri hampir-hampir mati kelaparan, dan tidak ada jalan lain untuk mendapatkan bahan makanan kecuali dengan cara mencur, sehingga pria yang bersangkutan terpaksa harus mencuri, maka jadilah ia seorang penjahat situasional.
Dan deviasinya bersifat situasional,contoh lain, gadis-gadis tertentu melakukan pekerjaan WTS, menjadi tuna susila di sebabkan oleh perasaan tidak puas terhadap pekerjaan yang lalu, karena upahnya tidak mencukupi untuk membeli jenis-jenis perhiasan dan pakaian yang di inginkannya.
Ringkasnya, individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu bisa mengembangkan tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma susila atau hukum, sebagai produk dari transformasi-transformasi psikologis yang di paksakan oleh situasi dan kondisi lingkungan sosialnya. Situasi sosial yang eksternal itu memberikan tekanan-tekanan serta paksaan-paksaan dan mengalahkan factor-faktor internal yaitu pikiran, pertimbangan akal, hati nurani sehingga memunculkan deviasi situasional tadi.
Maka ruang dan waktu itu merupakan dimensi-dimensi pokok dari situasi sosial yang memberikan pengaruh tekanan dan paksaan kepada individu. Sampai berapa besar pengaruh situasi sosial menekan dan memaksa, dapat kita ketahui apabila individu yang menyimpang itu dipindahkan kedalam situasi sosial lain. Maka akan lenyaplah pola-pola situasi sosial nya diubah secara drastis.
Pada umumnya, deviasi situasional yang kumulatif itu merupakan produk dari konflik kultural; yaitu merupakan produk dari periode-periode dengan banyak konflik kultur. Konflik budaya/ kultural ini dapat di artikan sebagai:
(a) Konflik antara individu dengan masyarakat
(b) Konflik antara nilai-nilai dan praktek-praktek dari dua atau lebih kelompok-kelompok sosial
(c) Konflik-konflik introjektif yang berlangsung dalam diri seorang, yang hidup dalam lingkungan sosial penuh dengan nilai dan norma-norma yang bertentangan.

Konflik-konflik budaya ini dapat di artikan pula sebagai situasi sosial di penuhi dengan kelompok-kelompok sosial yang tidak bisa di rukunkan atau di damaikan, dan ada banyak golongan berpengaruh yang di sebut sebagai pressure-groups, sehingga mengakibatkan timbulnya ketegangank-ketegangan, ketakutan dan kecemasan-kecemasan batin yang tak dapat di integrasikan oleh banyak individu.
Maka apabila tingkah laku menyimpang ini berlangsung secara meluas dalam masyarakat jadilah deviasi situasional kumulati. Contoh deviasi demikian ini ialah:
(1) kebudayaan korupsi,
(2) pemberontakan anak remaja,
(3) “adolescent revolt”,
(4) kesukaran-kesukaran menopausal di kalangan wanita setengah umur,
(5) deviasi-deviasi seksual di sebab oleh penundaan saat perkawinan jauh sesudah kematangan biologis serta pertimbangan-pertimbangan ekonomis,dan banyak disimulir oleh rangsangan-rangsangan erotic berupa film-film biru,buku-buku porno dan tingkah laku yang a-susila juga,
(6) peristiwa homo seksual banyak terjadi di kalangan narapidana di penjara-penjara, yang akan hilang dengan sendirinya apa bila para narapidana sudah di bebaskan, dan bisa di melakukan relasi heteroseksual dengan jenis kelamin lainnya.
Aspek kebudayaan yang sering menumbuhkan gejala deviasi sosial dan banyak mengandung konflik-konflik serta ketegangan sosial, sehingga menelorkan tidak sedikit perilaku patologis,antara lain ialah:
1. Berakhirnya feodalisme, namun muncul kemudian pola neofeodalisme yang mendewakan hak-hak individual; dan pengutamaan egoisme,egosentrisme, serta pendewaan terhadap nilai uang
2. Lenyapnya atau berkurangnya kontrol sosial di sebabkan oleh proses urbanisasi, industrialisasi dan mekanisasi
3. Menghebatnya rivalitas dan kompetisi untuk memperebutkan status sosial yang tinggi,serta kekayaan dan jabatan.
4. Asprasi materiil yang semakin menanjak, dengan menonjolkan pola hidup bermewah-mewah.
Pengaruh komunikasi dengan daerah urban, media massa, iklan-iklan,pendidikan formal dan informal, semua itu bisa mempertinggi standar-standar prestasi, ambisi-ambisi sosial dan aspirasi materill yang berlebih-lebihan. Intensitas dari pencapaian simbol-simbol sukses dan materill yang berkembang baik secara luas itu di sebut sebagai deviasi-deviasi endemis, dan R.Merton menyebutnya anomie.
Kebudayaan materiildan standar prestasi tinggi dari modernitasitu menumbuhkan banyak cita-cita untuk memiliki benda-benda eksotik (ekspor luar negeri,dari negeri asing) dan benda-benda lainnya. Apabila semua ini tidak terpenuhi,ditambah pula dengan antisipasi kegagalan-kegagalan dihari esok, pastilah akan menimbulkan kecemasan, dan rasa tidak aman. Semua ini menyebabkan gangguan terhadap ketenangan hidup, dan berubahlah dari perangai normal menjadi deviasi situasional. Misalnya tindakan kriminalitas, pemberontakan, pambiasaan diri dengan bahan-bahan narkotika, dan perbuatan asusila lainnya
Anomi itu pada umumnya menjadi sumber dari macam-macam deviasi. Kelompok sosial yang banyak mengembangkan penyimpangan tingkah laku, antara lain: orang-orang tua usia, anak-anak puber, wanita-wanita professional dan ibu-ibu rumah tangga yang neurotis. Semua pribadi ini mengalami banyak konflik batin, ketegangan, dan kecemasan, yang disebabkan oleh factor-faktor sosiokultural.dan sosial
Ketidak sinambungan budaya (diskontinuitas kultural) banyak menumbuhkan gejala deviasi. Diskontinuitas kultural itu di sebabkan oleh adanya bermacam-macam budaya dan sub-budaya yang berbeda saru sama lain,dan tidak saling mengait atau mendukung. Misalnya: kebudayaan-miskin dan kebudayaan-kaya.
3.)Deviasi sistematik
Deviasi sistematik itu pada hakikatnya adalah satu subkultural atau satu sistem tingkah laku yang di sertai: organisasi sosial khusus, status formal, peranan-peranan, nilai-nilai, rasa kebanggaan, norma dan moral tertentu, yang semuanya berbeda dengan situasi umum. Segala pikiran dan perbuatan yang menyimpang dari norma umum, kemudian di rasionalisir atau di benarkan oleh semua anggota kelompok dengan pola yang menyimpang itu.
Sehingga penyimpangan tingkah lakunya/ deviasi-deviasi itu berubah menjadi deviasi yang terorganisasi atau deviasi sistematik. Pada umumnya kelompok-kelompok deviasi itu mempunyai peraturan-peraturan yang sangat ketat, sanksi dan hukum-hukum yang sangat berat yang di perlukan untuk bisa menegakkan konformitas dan kepatuhan anggota-anggotanya.
Kelompok-kelompok patologis dan menyimpang secara sosial itu muncul dan bertambah banyak jumlahnya pada periode-periode transisional dengan perubahan-perubahan sosial yang cepat di sertai diskontinuitas dalam kebudayaan, dan di penuhi dengan macam-macam krisis serta konflik.
Kelompok-kelompok deviasi itu pada umumnya memiliki pola organisasi yang unik, dengan rite-rite, kode-kode etik, norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan yang aneh-aneh, untuk menegakkan gengsi dan status sosialnya, organisasi=-organisasi sedemikian itu merupakan pemecahan dari organisasi induknya, yang kemudian menyimpang dari pola-pola aslinya, karena alasan-alasan “menolak kebekuan” atau “konservatisme”dalam organisasi dalam induknya. Pada intinya,pemimpin atau kelompok pemimpin baru itu tengah gigi bersaing memperebut kekuasaan dan kedudukan, untuk menggeser pemimpin-pemimpin lama atau lebih tua dari jabatan yang di kuasai oleh mereka.
Proses kepecahan atau pembelaha semacam ini tidak hanya berlangsung pada organisasi-organisasi agama, ekonomi dan politik saja, akan tetapi juga berlangsung di segenap lapisan masyarakat. Terjadilah perpecahan dan penggolongan dalam bentuk fraksi-fraksi, kumpulan-kumpulan dan gerobolan-gerombolan.
Berlangsunglah proses integrasi pada organisasi baru itu yang lebih pekat, melalui konflik-koflik dengan organisasi induk, kelompok-kelompok sosial dan organisasi eksternallainnya. Integrasi in dapat di pertinggi dengan menambahkan aktifitas “penutup diri”. Tidak mau berkemonikasi dengan organisasi luar, penyelenggaraan rite-rite, serta upacara agama penuh rahasia, dan penggunaan kata-kata atau bahasa sandi.
Tingkah laku sosiopatik sistematik yang di anggap sebagai masalah bisa juga berkembang dan menyebar(di tanah air kita) melalui proses di fusi/ penyebaran kultural. Dengan kata lain, tingkah laku patologis dan organisasi sosiapatis yang sistematis, yang aslinya berasal dari luar (Negara-negara lain) itu di bawak ke Indonesia oleh para migrant, pedangang-pedangang, para entrepreneur, petualang-petualang, kader-kader dan petugas sandi khusus. Macam-macam bentuk permainan judi dan kriminalitas.
Organisasi dari kelompok deviasi itu sangat bervariasi. Dari koloni/ kumpulan informal dengan ikatan yang longgar misalnya berupa gang-gang anak-anak nakal dari golongan berstatus “jetset” ( anak pejabat-pejabat dan orang-orang berduit) sampai pada kelompok-kelompok aksionis radikal-revolusioner, dengan struktur organisasi yang ketat rapi, di siplin tinggi, dan sanksi hukuman yang sangat berat.
Ciri-ciri organisasi dan sifat kebudayaan dari kelompok penyimpang itu sangat bergantung pada:
(a) fungsi sentralnya,
(b) tujuan organisasinya.
Selanjutnya, reaksi sosial terhadap perbuatan- perbuatan sosial patologis itu bergantung pada jelas tindaknya penampakan perbuatan-perbuatan mereka, dan besar kecil akibat buruk yang di timbulkan perbuatan tadi. Kejahatan yang sangat kejam tidak berperikemanusiaan, akan menimbulkan reaksi hebat dan spontan dari masyarakat, jika di banding dengan perbuatan melacur diri secara seksual. Namun hendaknya selalu kita ingat, bahwa status statistic kriminal dan statistik mengenai kaum radikal itu tidak atau kurang bisa di percaya.
Alasannya ialah: sebagian besar dari tindak pidana itu tidak pernah di laporkan dan luput dari sanksi hukum. Banyak peristiwa abortus, kejahatan seks, pemalsuan uang, penggelapan, penyuapan, korupsi, pencopetan, perampasan, perjudian dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya ternyata tidak sampai ke tangan polisi, dan lolos dari sanksi-sanksi hukum(Dr. kartini kartono, patologi sosial jilid 1,Pt Raja Grafindo Persada, Jakarta, maret 1981).
Deviasi atau penyimpangan di maksudkan sebagai tingkah laku yang menyipang dari kecenderungan umum atau cirri karakteristik rata-rata dari masyarakat kebanyakan.deviasi menunjuk pada norma sosial, bahwa orang yang deviasi jika melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma masyarakat.( Moeljono Notosoedirjo:10)
Diferensiasi ialah tingkah laku yang berbeda dari tingkah laku umum. Misalnya kejahatan, yaitu semua tingkah laku yang menyimpang dari ciri-ciri karakteristik umum, serta bertentangan dengan hukum atau melawan peraturan yang illegal. ( Dr. S. Imam Syari:57 )
















DAFTAR PUSTAKA
Drs.S.Imam Syari. Patologi Sosial. Surabaya: Usaha Nasional
Moeljono Notosoedirjo. 2002.Kesehatan Mental Konsep dan Penerapan. Malang: Universitas
Muhammadiyah
Dr. kartini Kartono.1981. Patologi Sosial Jilid 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada s

Isnin, 14 Mac 2011

PROYEKSI Kesehatan Mental II– Ummu Hani, Nurhayatun Nufus, Ilhamdi

A. Pendahuluan

Proyeksi adalah salah satu dari bentuk mekanisme pertahankan diri. Istilah mekanisme pertahanan umum digunakan dalam usaha penyisihan (warding off) dan ditujukan terhadap dorongan naluri. Dorongan naluri disisihkan karena sesungguhnya setiap penyisihan merupakan defensi terhadap afek. Pertahanan langsung terhadap afek, merupakan defense yang lebih archaik (primitif), kurang sistematik, namun lebih memainkan peranan. Namun pertahanan akan tertuju terhadap dorongan naluri, dan umumnya lebih penting dalam hal terjadinya patogenesa neurosa, dan pertahanan tersebut bersifat lebih tersusun dan terorganisasi.
Mekanisme pertahanan diri yang dilakukan oleh seorang atlet atau manusia bertujuan untuk :
1. memperlunak atau mengurangi risiko kegagalan;
2. mengurangi kecemasan (anxiety);
3. mengurangi perasaan yang menyakitkan; dan
4. mempertahankan perasaan layak (aman) dan harga diri.

Selain memiliki tujuan, mekanisme pertahanan diri mempunyai beberapa sifat atau karakteristik, antara lain :
1. kurang realistik,
2. tidak berorientasi kepada tugas,
3. mengandung penipuan diri, dan
4. sebagian besar bekerja secara tidak disadari sehingga sukar untuk dinilai dan dievaluasi secara sadar.

Proyeksi juga merupakan salah satu dari bentuk frustasi yang negatif. Frustasi ialah suatu keadaan akibat tidak terpenuhinya satu kebutuhan atau tidak tercapainya tujuan yang diharapkan . Frustasi ini bisa menimbulkan tingkah laku, yaitu: 1) menghancurkan seseorang, merusak atau mengakibatkan disorganisasi dari struktur kepribadian ( mengalami mental disorder yang parah).

2) Di sisi lain dapat menjadi titik tolak bagi suatu usaha baru, untuk menciptakan bentuk adaptasi dan mekanisme pemuasan kebutuhan yang baru pula, sehingga terjadilah perkembangan hidup baru.

Dengan demikian frustasi dapat menimbulkan sesuatu yang positif ataupun sesuatu yang destruksif dan bersifat negatif. Dan bentuk frustasi yang negative sangat merugikan. Setiap cara penyelesaian frustasi itu setidaknya berusaha mengurangi ketegangan dan bisa memberikan kepuasan semua. Akan tetapi belum dapat memecahkan masalah yang ada sebab bisa jadi penyelesaian tersebut ditunda atau dipecahkan masalah melainkan membawa akibat semakin menambah ruwet atau selitnya masalah. Bentuk-bentuk reaksi frustasi negative dikenal pula dengan istilah Escape Mechanism atau mekanisme penghindaran/pelarian diri yang atara lainya adalah proyeksi.


B. Proyeksi

Menurut Koeswara (1991:47), proyeksi ialah suatu mekanisme pertahanan ego yang mengalihkan dorongan, sikap, atau tingkah laku yang menimbulkan kecemasan kepada orang lain. Adapun menurut Berry (2001:80), proyeksi ialah suatu mekanisme yang menimpakan kesalahan dan dorongan tabu kepada orang lain.

Lebih lanjut lagi, menurut Poduska (2000:121) proyeksi ialah suatu mekanisme pertahanan dengan mana anda mempertahankan diri dari pikiran-pikiran dan keinginan-keinginan yang tak dapat diterima, dengan menyatakan hal tersebut kepada orang lain. Mekanisme pertahanan ego proyeksi ini selalumengalamatkan sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diterima oleh ego kepada orang lain (Corey, 2003:18). Mekanisme pertahanan ego ini meliputi kecenderungan untuk melihat hasrat anda yang tidak bisa diterima oleh orang lain.


Proyeksi sering kali melayani tujuan rangkap. Ia mereduksikan kecemasan dengan cara menggantikan suatu bahaya besar dengan bahaya yang lebih ringan, dan memungkinkan orang yang melakukan proyeksi mengungkapkan impuls-impulsnya dengan berkedok mempertahankan diri dari musuh-musuhnya (Hall dan Gardner, 1993:88). Mekanisme pertahanan ego ini merupakan kebalikan dari melawan diri sendiri (Boeree, 2005:49). Individu yang secara tidak sadar melakukan mekanisme pertahanan ego seperti ini, biasanya berbicara sebaliknya atau pengkambinghitaman kepada orang atau kelompok lain.

Gangguan jiwa (neurose) dan penyakit jiwa (psyshose) adalah penyakit jiwa akibat dari tidak mampunya seseorang menghadapi kesukaran-kesukarannya dengan wajar, atau tidak sanggup menyesuaikan diri denga situasi yang dihadapinya.(1) Apabila seseorang seseorang tidak mampu mengatasi kesukaran-kesukaran hidupnya dengan baik dan penuh perkiraan, maka hal tersebut akan mendorong kepada bermacam-macam penyesuaian diri yang terjadi akibat tekanan-tekanan.
Tekanan akan ditangani dengan berbagai pembelaan, meskipun dengan “usaha pembelaan” yang menyimpang (pengkaburan). Semua usaha-usaha pembelaan yang berdasarkan dengan penyimpangan kenyataan yang sebenarnya, demi untuk mencapai tujuan-tujuan, sebagai berikut: (2)
1. Agar individu dapat menjauhi rasa cemas dan rasa dosa yang mesyertainya.
2. Agar individu memelihara dirinya, demi harga dirinya.
Cara yang terbaik untuk menghilangkan ketegangan batin ialah dengan jalan menghilangkan sebab-sebabnya. Tetapi tidak semua orang sanggup mengatasi dengan cara tersebut, dan mencari jalan lain yang kurang sehat yaitu berupa usaha-usaha yang tidak disadari.

Proyeksi merupakan upaya untuk melemparkan atau memproyeksikan kelemahan atau perbuatan yang negative, pikiran-pikiran serta harapan buruk kepada orang lain. Orang seperti ini tidak mau mengakui kenegatifan dan kelemahan diri sendiri dan berusaha memproyeksikannya kepada orang lain. Contohnya, seseorang sangat iri hati terhadap kekayaan dan sukses tetangganya. Tapi pada setiap orang ia selalu berkata, bahwa tetangganya itulah yang buruk hati, selalu cemburu dan iri hati terhadap dirinya.

Tiap orang mempunyai sikap tercela atau sifat yang tidak diinginkan, atau seseorang tidak mau mengakui kelakuannya. Dan ia harus menahan diri jangan sampai ia mengakui kekurangan-kekurangan itu. Hal ini tidak akan terlaksana kecuali dengan pembelaan, cara yan terkenal adalah proyeksi.

Beberapa pengertian mengenai proyeksi:

1. Proyeksi adalah seseuatu yang terasa dalam dirinya kepada orang lain terutama tekanan, pikiran atau dorongan-dorongan yang tidak masuk akal sehingga dapat diterima dan kelihatannya masuk akal.

2. Proyeksi adalah sifat-sifat yang tidak masuk akal kepada orang lain setelah ia diperbesar dan diujudkan. Dengan demikian tindakan tampak rasional dan masuk akal.

3. Proyeksi adalah usaha melemparkan pikiran atau harapan yang negatif, atau juga kelemahan atau sikap diri sendiri yang keliru kepada orang lain.

4. Menurut teori Freud, dalam mekanisme pertahanan ego, proyeksi adalah mengalamatkan sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diterima oleh ego kepada orang lain.

Orang yang tidak menerima kelemahannya, tetapi mempersalahkan orang lain. atau seperti yang dikatakan Freud: “Melihat perasaan-perasaan atau kecenderungan-kecenderungan dari orang lain yang sesungguhnya terdapat dalam ketaksadaran dari orang itu sendiri”. Kadang-kadang perasaan berdosa seseorang dapat dihilangkan dengan melekatkan dosa itu kepada orang lain. kadang-kadang perasaan berdosa seseorang itu menjadi ringan jika ia sadar bahwa orang lain juga berdosa. Cara bela diri seperti ini banyak terdapat pada orang-orang yang suka menuduh orang lain berbuat sesuatu yang tida diterima oleh masyarakat. Kadang-kadang ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apa yang dituduhkan kepada orang lain sebenarnya merupakan sifat-sifat orang yang menuduh itu sendiri.

Seseorang melihat diri orang lain hal-hal yang tidak disukai dan ia tidak bisa menerima adanya hal-hal itu pada dirinya sendiri. Jadi, dengan proyeksi, seseorang akan mengutuk orang lain karena “kejahatannya” dan menyangkal memiliki dorongan jahat seperti itu. Untuk menghindari kesakitan karena mengakui bahwa di dalam dirinya terdapat dorongan yang dinggapnya jahat, ia memisahkan diri dari kenyataan ini.

Dalam berbagai segi proyeksi ini dianggap salah satu bentuk ganti tempat. Ia adalah satu proses di mana seseorang melekatkan sifat-sifatnya yang tidak diterima oleh masyarakat kepada orang lain. Kadang-kadang perasaan berdosa seseorang dapat dihilangkan dengan melekatkan dosa itu kepada orang lain. Kadang-kadang perasaan berdosa seseorang itu menjadi ringan jika ia sadar bahwa orang-orang lain juga berdosa.

Cara bela diri tidak disadari ini terdapat di kalangan orang-orang yang banyak menuduh orang-orang lain berbuat sesuatu yang tidak diterima oleh masyarakat. Kadang-kadang ada juga bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apa yang dituduhkan kepada orang-orang lain sebenarnya merupakan sifat-sifat orang yang menuduh itu sendiri.

Proyeksi ini berkaitan dengan cara bela diri yang lain yaitu pengingkaran. Hubungan itu diterapkan oleh Frued sebagai berikut ‘seseorang yang bernama A tidak sanggup menanggung kerisauan yang disebabkan oleh bencinya terhadap ornag lain, sehingga A menggunakan proses penggantian yang tidak sadar dan suasana berubah menjadi ‘B membenci kepada A’, pada hal dulunya adalah ‘A benci kepada B’. Jadi mengetahui bahwa ia dibenci oleh orang lain kurang menyakitkan bagi si Aku daripada mengetahui sifat-sifat yang tidak dapat diterima ada pada orang lain adalah kurang menyakitkan disbanding dengan mengetahui bahwa sifat-sifat ini adalah sifat-sifatnya sendiri.

Kadang-kadang orang normal menggunakan cara bela diri ini. Ia tidaklah berbeda dengan cara bela diri sebelumnya, tetapi kalau berlebihan menggunakannya seperti berlebihan menggunakan cara-cara yang lain, bayangannya besar. Sebab penggunaan cara ini menghalang seseorang mengenal dirinya, dan berlebihan memperolok-olokkan dan emnuduh orang lain yang akan merosakkan hubungan social seseorang.

Proyeksi ini dianggap salah satu proses dasar yang memainkan peranan penting dalam kegoncangan-kegoncangan akal. Kadang-kadang percakapan – percakapan tak masuk akal, terutama percakapan –percakapan agressif adalah berdasarkan pada proses ini, terutama dalam kasus halusinasi. Sebab si pasien dalam banyak kasus memproyeksikan secara intelektual sifat-sifat yang tidak dapat diterima kepada orang-orang lain.

C. Cara Melakukan Proyeksi

Proyeksi dilakukan dengan tiga cara:

1. Menyalahkan sebab yang terjadi kebetulan, tidak relevan, dan khayalan,
2. Melihat kekurangan-kekurangan kepribadian yang dimiliki orang-orang lain,
3. Menyalahkan orang-orang lain atas kegagalan diri sendiri.

Cara pertama melakukan proyeksi biasanya tidak merugikan. Contohnya, jika anak-anak tersandung kursi, dan kemudian menyalahkan kursi tersebut, atau ada roh-roh yang mengganggu. Cara yang kedua mungkin juga tidak merugikan, tetapi melebihi dari cara pertama karena mungkin merupakan langkah menuju kekalutan tingkah laku. Apabila orang melakukan proyeksi dengan cara ini dia berusaha menghidari diri dari perasaan bersalahnya dengan menyakinkan dirinya bahwa teman-temannya suka bertingkah laku yang disukai atau diinginkannya sendiri. Jika dia suka melawan maka dia juga melihat sifat suka melawan itu pada orang lain.

Cara yang ketiga adalah menyalahkan orang-orang lain atas kegagalan diri sendiri, dan hal itu juga biasa dilakukan oleh orang lain. apabila dasarnya ada dalam kenyataan dan tidak menggunakannya secara berlebihan, maka proyeksi ini dapat membantu seseorang memelihara kepercayaan dan harga dirinya. Namun proyeksi dapat menyesatkan jika tidak ada dasar dalam kenyataan karena hanya percaya bahwa orang lain bersalah (sampai-sampai mengira bahwa mereka itu berkomplot). Misalnya, seseorang mahasiswa mengeluh bahwa orang-orang tertentu diantara profesornya mempersulitkannya. Ternyata mahasiswa tersebut berambisi menjadi ahli konseling yang hebat. Dia yakin bahwa para anggota staf dari jurusan konseling merasa iri akan prestasinya dan berusaha mencegah untuk melakukan penelitian yang menarik minatnya sebab mereka takut bahwa dia akan mengungguli mereka. Disini mahasiswa tadi memproyeksikan ketidakberhasilannya hampir sampai pada psikosis, adanya kepercayaan yang harus dipertahankan tanpa menghiraukan pengorbanan yang harus diberikan.

Proyeksi dianggap salah satu proses dasar yang memainkan peranan penting dalam kegoncangan-kegoncangan akal. Kadang-kadang percakapan-percakapan tak masuk akal, terutama percakapan-percakapan agresiff adalah dasar pada proses ini, terutama dalam kasus halusinasi.

D. Penutup
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa proyeksi itu adalah suatu tindakan melemparkan pikiran atau harapan yang negatif kepada orang lain, atau dorongan yang tidak masuk akal sehingga dibuat masuk akal atau kelihatan masuk akal. Proyeksi dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
- Menyalahkan sebab yang terjadi kebetulan, tidak relevan, dan khayalan,
- Melihat kekurangan-kekurangan kepribadian yang dimiliki orang-orang lain,
- Menyalahkan orang-orang lain atas kegagalan diri sendiri.
Proyeksi adalah menimpakan sesuatu yang terasa dalam dirinya kepada orang lain, terutama tindakan, fikiran atau dorongan-dorongan yang tak masuk akal sehingga dapat diterima dan kelihatannya masuk akal. Mislanya seseorang yang menghadapi kegagalan dalam sekolah, sector, usaha dan sebagainya, tidak mengetahui kelemahan dan kesalahannya dan mencari pada orang lain, atau sesuatu lain atau sesuatu di luar dirinya untuk dipersalahkan supaya dapat ia menghindari rasa gelisah dan rasa rendah.

MENTAL DISORDER ( PENYAKIT/KEKALUTAN/KEKACAUAN MENTAL )

A) Definisi Mental Disorder

Penyakit mental merupakan satu istilah umum bagi sebarang reaksi psikotis yang serius , baik yang bersifat psikogenis maupun organis sifatnya. Pada waktu sekarang orang lebih suka menggunakan istilah gannguan Mental ? mental disorder untuk penyakit mental , disebabkan oleh implikasi somatic atau organisnya dalam penggunaan istilah “penyakit”.
Disorder mental adalah bentuk penyakit , gangguan , dan kekacauan fungsimental atau kesehatan mental , disebabkan oleh kegagaln mereaksikan mekanisme adaptasi dari fungsi. Fungsi kejiwaan /mental terhadap stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan : sehingga muncul gangguan fungsional atau gangguan struktual dari satu bagian , satu orang, atau system kejiwaan / mental.


B) Mental Disorder Menurut Ahli

1. Abdul Mujib
Kekalutan mental atau mental disorder juga disebut suatu bentuk gangguan bentuk kekacauan fungsi mental (kesehatan mental) disebabkan oleh kegagalan mereaksi ketegangan-ketegangan sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur pada satu bagian, satu organ atau sistem kejiwaan

2. J.P. Chaplin
Mental disorder ( gangguan , kekalutan , penyakit mental) itu adalah sebarang bentuk ketidak mampuan menyesuaikan diri yang serius sifatnya terhadap tuntutan dan kondisi lingkungan yang mengakibatkan ketidak mampuan tertentu . Sumber gangguan / kekacauannya bias bersifat psikogenis atau organis, mencakup kasus-kasus reaksi psikopatisdan reaksi-reaksi neurotis yang gawat,


3. Dra. Kartini Kartono dalam bukunya Psikologi Abnormal & Pathologi Seks,
Penderitaan batin dalam ilmu Psikologi dikenal sebagai kekalutan mental (mental disorder). Menurut dirumuskan bahwa yang disebut kekalutan mental adalah sebagai berikut:

1. Bentuk gangguan dan kekacauan fungsi mental, atau kesehatan mental yang disebabkan oleh gangguan kegagalan bereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan terhadap stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan, sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur dari suatu bagian, satu organ, atau sistem kejiwaan/mental.
2. Merupakan totalitas kesatuan ekspresi proses kejiwaan/mental yang patologis terhadap stimuli sosial, dikombinasikan dengan faktor-faktor kausatif sekunder lainnya (Patologi = Ilmu penyakit).

Secara sederhana, kekalutan mental dapat dirumuskan sebagai gangguan kejiwaan akibat ketidakmampuan seseorang menghadapi persolan yang harus diatasi, sehingga yang bersangkutan bertingahlaku secara kurang wajar. Misalnya, seseorang yang tidak mampu menjawab sebuah pertanyaan ujian, menggigit-gigit pensil.

C) Gejala-gejala permulaan pada orang yang mengalami kekalutan mental adalah sebagai berikut :

1. Jasmaninya sering merasakan pusing-pusing, sesak napas, demam dan nyeri pada lambung.
2. Jiwanya sering menunjukkan rasa cemas, ketakutan, patah hati, apatis, cemburu, dan mudah marah.



D) Sebab-sebab timbulnya kekalutan mental dapat disebutkan sebagai berikut


1. Kepribadian yang lemah akibat kondisi jasmani atau mental yang kurang sempurna. Hal-hal tersebut sering menyebabkan yang bersangkutan merasa rendah diri, yang berangsur akan menyudutkan kedudukannya dan menghancurkan mentalnya. Hal ini banyak terjadi pada orang-orang melankolis.
2. Terjadinya konflik sosial-budaya akibat adanya norma yang berbeda antara yang bersangkutan dan yang ada dalam masyarakat, sehingga ia tidak dapat menyesuaikan diri lagi, misalnya orang dari pedesaaan yang telah mapan sulit menerima keadaan baru yang jauh berbeda dari masa lalunya yang jaya.
3. Cara pematangan bathin yang salah dengan memberikan reaksi berlebihan terhadap kehidupan sosial; overacting sebagai overkompensasi dan tampak emosional. Sebaliknya ada yang underacting sebagai rasa rendah diri yang lari ke alam fantasi.
4. Predisposisi struktur biologisl jasmaniah dan mental atau kepribadian yang lemah
5. Konflik-konflik sosial dan konflik-konflik cultural yang mempengaruhi diri manusia.
6. Pemasakan batin (internalisasi) dari pengalaman yang keliru yaitu pencernaan pengalaman oleh diri individu secara keliru.




E ) Proses-proses kekalutan mental yang dialami oleh sesorang dapat mendorongnya ke arah berikut ini :

1. Positif, bila trauma (luka jiwa) yang dialami seseorang akan dijawab secara baik sebagai usaha agar tetap survive dalam hidup. Misalnya, melakukan shalat Tahajud bagi umat Islam waktu malam hari untuk memperoleh ketenangan dan mencari jalan keluar untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi, atau melakuka kegiatan yang positif setelah kejatuhan dalam kehidupan (Dalam pepatah dikatakan; Hendaknya jatuh tupai janganlah sampai jatuh tapai!).

2. Negatif, bila trauma yang dialami tidak dapat dihilangkan, sehingga yang bersangkutan mengalami frustrasi, yaitu tekanan batin akibat tidak tercapainya apa yang diinginkan. Bentuk frustrasi yang dialami orang dewasa antara lain sebagai berikut :

a. Agresi, serangan berupa kemarahan yang meluap akibat emosi yang tidak terkendalikan. Secara fisik berakibat mudah terjadinya hipertensi (tekanan darah tinggi), atau melakukan tindakan sadis yang dapat membahayakan orang sekitarnya.

b. Regresi, kembali pada pola reaksi yang primitif atau kekanak-kanakan (infantil), misalnya dengan menjerit-jerit, menangis sampai meraung-raung dan merusak barang-barang.

c. Fiksasi, peletakan atau pembatasan pada satu pola yang sama (tetap), misalnya dengan membisu, memukul-mukul dada sendiri dan membentur-benturkan kepala pada benda keras.

d. Proyeksi, usaha mendapatkan, melemparkan atau memproyeksikan sikap-sikap sendiri yang negatif pada orang lain. Kata pepatah : awak yang tidak pandai menari, dikatakan lantai yang terjungkat.

e. Indentifikasi, menyamakan diri dengan seseorang yang sukses dalam imajinasi, misalnya dalam kecantikan, yang bersangkutan menyamakan dirinya dengan bintang film, atau dalam soal harta kekayaan dengan pengusaha kaya yang sukses.

f. Narsisme, self love yang berlebihan sehingga yang bersangkutan merasa dirinya lebih superior dari pada orang lain.

7. Autisme, gejala menutup diri secara total dari dunia riil, tidak ingin berkomunikasi dengan orang luar, dan merasa tidak puas dengan fantasinya sendiri yang dapat menjurus pada sifat yang sinting.
Kecemasan atau ketakutan yang mengganggu fungsi normal boleh diklasifikasikan sebagai gangguan kecemasan. [7] Umumnya media diakui termasuk fobia khusus, gangguan kecemasan umum, gangguan kecemasan sosial, gangguan panik, agoraphobia, gangguan obsesif-kompulsif dan gangguan stress pasca-trauma.Lain afektif (emosi / mood) proses juga boleh menjadi teratur. Gangguan mood yang melibatkan kesedihan yang luar biasa mendedah dan berterusan, melankoli atau putus asa dikenali sebagai depresi Major atau depresi klinikal (ringan tapi masih depresi yang berpanjangan boleh didiagnosis sebagai dysthymia).

Gangguan bipolar (juga dikenali sebagai manik depresi) melibatkan abnormal "tinggi " atau ditekan negara suasana hati, yang dikenali sebagai mania atau hypomania, bergantian dengan suasana hati yang biasa atau tertekan. Apakah fenomena mood unipolar dan bipolar merupakan kategori yang berbeza dari gangguan, atau apakah mereka biasanya mencampur dan bergabung bersama sepanjang spektrum dimensi atau suasana hati, berada di bawah perdebatan dalam literatur ilmiah.

Pola kepercayaan, gunakan bahasa dan persepsi boleh menjadi teratur (misalnya delusi, gangguan berfikir, halusinasi). gangguan psikotik dalam domain ini termasuk skizofrenia, dan gangguan delusi. Gangguan schizoafektif adalah kategori digunakan untuk individu memaparkan aspek baik skizofrenia dan gangguan afektif. Schizotypy adalah kategori digunakan untuk individu memaparkan beberapa ciri-ciri yang berkaitan dengan skizofrenia tetapi tanpa pertemuan cut-off kriteria.

Kepribadian-ciri-ciri mendasar dari seseorang yang pengaruhnya atau fikiran dan perilaku di situasi dan masa-boleh dianggap gangguan jika dinilai abnormal kaku dan maladaptif.skim kategoris senarai sejumlah gangguan keperibadian yang berbeza tersebut, termasuk yang kadang-kadang digolongkan sebagai eksentrik (misalnya gangguan keperibadian paranoid, skizofrenia dan schizotypal), kepada mereka kadang-kadang digolongkan sebagai (gangguan kepribadian antisosial, borderline, munafik atau narsistik) dramatik atau emosional atau yang terlihat rasa takut yang berkaitan (avoidant, bergantung, atau obsesif-kompulsif gangguan keperibadian).

Jika ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan cukup kehidupan bermula dalam masa tiga bulan dari peristiwa tertentu atau situasi, dan berakhir dalam masa enam bulan selepas stressor berhenti atau dihilangkan, mungkin bukan digolongkan sebagai gangguan penyesuaian.

Ada sebuah konsensus muncul bahawa "gangguan keperibadian" apa yang disebut, seperti ciri-ciri keperibadian pada umumnya, sebenarnya menggabungkan campuran perilaku disfungsional akut yang menyelesaikan dalam tempoh yang singkat, dan maladaptif sifat temperamental yang lebih stabil [9] Selain itu., Ada juga skim non-kategoris bahawa tahap semua individu melalui profil dimensi keperibadian yang berbeza daripada menggunakan cut-off dari variasi keperibadian normal, misalnya melalui skim berdasarkan ciri keperibadian

Seksual dan gangguan identiti jantina boleh didiagnosis, termasuk gangguan dispareunia, identiti jantina dan homoseksualiti ego-dystonic. Berbagai jenis paraphilia dianggap gangguan mental (ghairah seksual ke objek, situasi, atau individu yang dianggap biasa atau berbahaya bagi orang atau orang lain).

F ) Ciri –Ciri Mental Yang Sehat
1. Ada koodinasi dari segenap tubuh,energy, potensi dan aktivitasnya.
2. Memiliki integrasi dan regulasi terhadap struktur kepribadian.
3.Efisien dalam setiap tindakannya.
4.Mudah mengadakan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, mampu berpartisipasi aktif dan lancar mengatasi semua masalah yang timbul pada perubahan – perubahan sosial.

G ) MENTAL DISORDER SERING TERJADI PADA :
1. Orang yang hidup dikota daripada orang yang hidup didesa
2. Pada orang dewasa dan usia tua dengan penyebab yang paling dominan adalah faktor kulutural dan faktor sosial
3. Secara spesifik, simtom psikotik banyak terjadi pada masa¬masa kritis perkembangan masa remaja, usia lanjut dan pada orang tua.
4. Kalangan dinas militer
5. Orang-orang dengan status ekonomi rendah
6. Gelandangan dari pedesaan karena tidak mampu menyesuaikan diri terhadap tuntutan sosial yang baru.
7. Wanita lebih banyak mengalami mental disorder daripada pria
8. Orang yang datang dari latar belakang keluarga yang berantakan (broken home)
9. Pada orang-orang yang tidak memiliki keyakinan agama (40% dari jumlah penderita)
10. Juga pada orang-orang yang sangat ekstrim dan fanatic serta ortodoks dalam menjalankan agamanya.

H ) Pengaruh Sosio Kultural Terhadap Timbulnya Mental Disorder:
1. Konflik dengan standar sosial dan norma etika.
2. Konflik Budaya
3. Masa transisi (kekosongan pemerintahan)
4. Menanjaknya aspirasi material
5. Broken home
6. Overproteksi dari orang tua
7. Rejected children
8. Cacat jasmani
9. Lingkungan sekolah yang tidak menguntungkan
10. Pengaruh buruk dari orang tua





I ) Ekspresi Mental Disorder
1) Banyak Konflik Bathin
a) Perasaan tercabik-cabik antara emosi¬- emosi yang saling bertolak belakang.
b) Hilangnya rasa harga diri dan kepercayaan diri
c) Merasa tidak aman dan terancam, dikejar oleh perasaan atau fikiran yang tidak
jelas, dan kecemasan yang berlebihan.
d) Kemudian menimbulkan agresifitas yang bila ditujukan keluar akan menyebabkan mudah untuk untuk menyerang orang lain dan bila ditujukan kedalam dapat menimbulkan keinginan untuk membunuh diri sendiri.
2) Terputusnya Komunikasi Sosial
a) Munculnya diorientasi sosial, delusi, curiga berlebih sehingga muncul perasan seperti di kejar oleh sesuatu, menjadi sangat agresif sehingga bisa melakukan penyerangan terhadap orang lain dan bunuh diri.
3) Adanya Gangguan Intelektual dan Gangguan Emosional
b) Munculnya ilusi optikal, halusinasi berat dan delusi. Gangguan affek, efek, emosi yang tidak tepat, berusaha melarikan diri dari kenyataan, mengalami kepribadian yang terpecah.
J ) Faktor Timbulnya Mental Disorder :
1) Pesatnya pembangunan yang cenderung memunculkan banyak masalah sosial dan gangguan mental

2) Individu yang tidak mampu untuk melakukan penyesuaian diri dengan perubahan- perubahan sosial yang sangat cepat dan proses modernisasi semakin berat menjadikan individu menjadi tidak nyaman sehingga timbul ketegangan dan tekanan bathin.
3) Persaingan hidup yang berat menjadikan banyak terjadi tindakan yang menyimpang seperti kriminalitas dan hal-hal yang terhubung dengannya, sehingga menimbulkan ketakutan dan ketegangan batin pada penduduk dan menjadi salah satu penyebab utama timbulnya macam-macam penyakit mental.
4) Kehidupan di perkotaan yang modern lebih menonjolkan kepentingan diri sendiri dan individualism sehingga kontak sosial menjadi longgar dan tidak peduli akan kondisi orang lain.
5) Pengaruh lingkungan dan media massa yang cenderung untuk menampilkan standar hidup yang tinggi dengan semua kemewahan material menjadikan timbulnya kekalutan mental apabila

K ) Teori-Teori Mental Disorder
1) Teori Demonologis :
a) Menganggap bahwa kekalutan mental terjadi karena adanya unsur-unsur ghaib/setan dan roh jahat.
b) Adanya kekalutan yang dianggap jahat, yaitu yang bisa mencelakakan orang lain dan ada kekalutan yang dianggap ‘suci’.
c)Tingkahlaku abnormal yang dianggap sebagai perbuatan setan harus disembuhkan dengan pengusiran setan pula.
d) Penderita kekalutan mental diperlakukan secara tidak manusiawi.

2) Teori Naturalisasi:
a) Menyatakan bahwa kekalutan mental selalu berhubungan dengan fungsi fisik yang abnormal dan bukan karena penyebab spiritual atau gaib.
b) Menganjurkan untuk memperlakukan penderita gangguan kekalutan secara lebih manusiawi.
3 ) Teori Psikologis:
a) Menyatakan bahwa mental disorder timbul karena kebiasaan belajar yang patologis dan keliru.
4) Teori Intrapsikis:
a) Menyatakan bahwa gangguan mental sebenarnya terletak pada bentuk kesalahan karakter yang serius atau sebagai konflik yang menyusup tajam dan dalam pada kehidupan kejiwaan. Tingkahlaku yang menyimpang selalu berkaitan dengan gangguan – gangguan internal berupa kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan dan prosesnya menggangu dalam kepribadia seseorang.
5) Teori Behavioristis:
a) Menyatakan bahwa prinsip-prinsip belajar pada tingkahlaku abnormal merupakan sumber penyebab dari tingkahlaku abnormal.
6) Teori Psikoanalisa :
b) Menyatakan bahwa sumber segala gangguan mental terletak pada individu itu sendiri karena adanya konflik batin antara dorongan-dorongan infantile melawan pertimbangan yang matang dan rasional. Gangguan mental sesungguhnya merupakan bentuk pemukaan dari gangguan intrapsikis yang serius. Faktor-faktor budaya dan interpersonal adalah sumber penyebab tingkahlaku abnormal dan mental disorder.


7) Teori Behaviorisme
a) Menyatakan bahwa macam-macam sindrom mental disorder timbul melalui proses belajar dengan adanya penguatan , pemunahan dan generalisasi stimulus. Semua tingkahlaku abnormal timbul dari adanya pengkongsian dan lebih dititik beratkan pada simtomnya karena simtom itu merupakan penyakit tersendiri.

L ) Teori Sebab Meningkatnya Jumlah Penderita Disorder
1. Teori Kompleksitas Sosial, akibat dari pesatnya proses urbanisasi dan industrialisasi
2. Teori Konflik Kultural, karena jaman modern identik high tension culture yang penuh ketegangan, persaingan dan konflik terbuka maupun tersembunyi. Konflik ini mempersempit pilihan orang untuk mengembangkan aspirasi dan ambisinya. Frustasi yang timbul karena kegagalan mencapai tujuan atau obyektif tertentu memudahkan berkembangnya mental disorder.
3. Teori Konflik Kultural, karena jaman modern identik high tension culture yang penuh ketegangan, persaingan dan konflik terbuka maupun tersembunyi. Konflik ini mempersempit pilihan orang untuk mengembangkan aspirasi dan ambisinya. Frustasi yang timbul karena kegagalan mencapai tujuan atau obyektif tertentu memudahkan berkembangnya mental disorder.
M ) Kaitan Masalah Kebutuhan Manusia Dan Mental Disorder
Manusia berkeinginan untuk mempertahankan eksistensi hidupnya sehingga timbul dorongan , usaha dan dinamisme untuk memenuhi kebutuhannya.Bila proses ini menemui halangan atau terjadi frustasi maka akan timbul ketegangan dan konflik batin yang pada akhirnya akan memicu timbulnya kekalutan mental.

N ) Kebutuhan Dapat Dibahagi 3 Yaitu:
1. Kebutuhan fisik biologis ,organis atau kebutuhan vital
2. Kebutuhan sosial yang bersifat kemanusiaan atau disebut juga sosio- budaya
3. Kebutuhan metafisik , religius atau transcendental
O ) Aspek – Aspek Khusus Dari Dinamika Manusia
1. Otonomi Fungsional : Terjadi bila ada satu trauma atau luka jiwa berupa shock, penderitaan, jasmani – rohani yang hebat atau pengalaman hidup yang luar biasa sehingga mampu mengakibatkan luka jiwa yang sangat dalam dan mengakibatkan perubahan yang radikal terhadap hidup seseorang.
2. Frustasi : Suatu keadaan dimana satu kebutuhan tidak dapat terpenuhi dan tujuan tidak dapat tercapai karena adanya suatu halangan. Frustasi dapat menimbulkan dua bentuk respon yaitu :
a) Respon Negative : ( agresi, regresi, fiksasi, pendasakan, rasionalisasi, identifikasi, autisme)
Respon Positive : ( mobilasi dan penambahan aktivitas ,refleksi diri, penyerahan diri kepada Tuhan ,membuat dinamis ir – riil satu kebutuhan )
P ) Bentuk – Bentuk Mental Disorder
a) Psikopat (Pribadi yang sosiopatik, anti sosial atau dissosial)
b) Psikoneurosa
1)Hysteria
2)Bentuk dissosiasi kepribadian
a) Fugue
b) Somnabulisme
c) Multiple personality
3)Psikastenia yang sering dibarengi symptom-simptom:
a) Fobia
b) Obsesi
c) Kompulsi
4) Ticks atau gangguan gerak facial
5) Hipokondria
6) Neuroasthenia
7) Anxiety neuorosis
8) Psikosomatisme
a) Hypertension dan effort syndrome
b) Pepticulcer
Q ) Cara Mencegah Mental Disorder :
1) Selalu memelihara kebersihan hati, pikiran dan jiwa
2) Bertingkahlaku yang sesuai dengan norma susila agar tidak banyak mengalami konflik bathin yang serius dan tidak banyak mengalami konflik dengan lingkungan.
3) Adanya disiplin diri
4) Berusaha untuk berfikir dan bertindak dengan wajar, tanpa perlu menggunakan mekanisme pertahan diri yang negatif
5) Berani untuk mengahdapi kesulitan, memecahkannya dengan solusi yang konkrit dan tidak melarikan diri.








































Daftar Pustaka


1. Abdul Mujib, Kepribadian Dalam Psikologi Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada
2. Dra. Kartini Kartono, Psikologi Abnormal & Pathologi Seks,Mandar Maju , Bandung,
3. Dra. Kartini Kartono,Hygiene Mental, Mandar Maju , Bandung,
4. Dra. Kartini Kartono,Patologi Sosial, Raja Grafindo Persada,Jakarta
5. http://anthoine.multiply.com/journal/item/120/KEKALUTAN_MENTAL
6. N. Daldjoeni, M. Suprihadi Sastrosupono, Ilmu Budaya Dasar,Universitas Kristen Satya Wacana

By: ZULFADHLI,MUHAMMAD ZUBAIR,ABDUL HADI