Isnin, 14 Mac 2011

fenomena bunuh diri, ( muhammad aman , nadri & juli)

Kelompok: 4
Nadri, Muhammad Aman dan Juli Despriadi
Mata kuliah : Kesehatan Mental II
Judul makalah : FENOMENA BUNUH DIRI
Dosen pembimbing : M. Fahli Zatra Hadi S.sos,I
1. Devenisi Dan Cirri-Ciri Karakteristik
diri didaerah pdesaan juga jauah lebih rendah dari pada angka kematian daerah perkaotaan.
Disgornisasi social disebabkan oleh sangat kompleksnya masyarakat urban dengan adanya mekanisasi, teknologi, induistrilisasi, transportasi, komunikasi, yang kemudian memunculkan banyak disorganisasi personal itu memanifestasikan dari dalam pola-pola.
Semakin tidak mempunya orang-orang Menurut aliran human behavior, bunuh diri ialah bentuk pelarian diri yang paling parah dari dunia nyata, atau lari dari situasi yang tidak bisa di tolerir; atau merupakan bentuk regresi ingin kembali pada keadaan nikmat nyaman,tentram, lembut mengembang seperti bayi dalam rahim ibunya. Tindak bunuh diri ini nyaris tidak pernah dilakukan orang karena atau tidak bisa makan dan minum, tidak mampu membeli pakaian, atau berdasarkan alasan biologis lainnya. Motif-motif bunuh diri selalu ada dalam iklim human,social psikologis,atau religious. Misalnya karna orang merasa sangat terhina, malu sekali, kehilangan muka, dan runtuh harga dirinya, tidak suci atau bernoda, merasa tidak dihargai, dan tidak mampu mngatasi kesulitan-kesulitan hidupnya. Ringkasannya, dirasakanm adanya degradasi-diri atau devaluasi diri. Maka hal teramat penting untuk menegakkan eksistensi manusia adalah :
1. Integrasi kejiwaannya
2. Harga diri
3. Kepastian tempat/status dirinya ditengah lingkungan hidup sendiri
Defenisi: bunuh diri ialah perbuatan manusia yang disadari dan bertujuan untuk menyakiti diri sendiri dan menghentikan kehidupan sendiri.
Dalam kalimat ini ada lima hal yang penting yaitu:
1.merupakan perbuatan manusia
2. ada keinginan yang disadari untuk mati
3. memiliki motivasi-motivasi tertentu
4. bertujuan menggapai kematian
5. ada intropeksi penuh kesadaran mengenai satu konsep tentang kematian atau penghentian kehidupan.
Ringkasannya, bunuh diri ialah perbuatan dengan tujuan primer: ialah sengaja bermaksud mengambil jiwa sendiri. Maka perbuatan bunuh diri dapat digolongkan dalam dua tipe yaitu: yang konvesional dan personal.
Bunuh diri konvensional adalah produk dari tradisi dan paksaan dari opini umum untuk mengikuti criteria kepantasan, kepastian social, dan tuntutan social.
Bunuh diri tipe ini merupakan bagian dari tradisi dan gaya hidup sesuatu suku atau bangsa. Perbuatan bunuh diri tipe ini misalnya banyak dilakukan di jepang, cina, india dan Indonesia jaman dahulu zaman pemerintahan raja-raja.
Bunuh diri personal khas banyak terjadi pada zaman modern, karena orang merasa lebih bebas dan tidak mau tunduk pada aturan dan tabu prilaku tertentu orang tidak ingin terlalu terikat oleh kebiasaan-kebiasaan dan konvensi-konvensi yang ada untuk mencegah kesulitan hidupnya. Sebaliknya, mereka mencari jalan singkat dengna caranya sendiri yaitu bunuh diri, untuk mengatasi kesulitan hidupnya, atas keputusan sendiri. Karena itu peristiwa bunuh diri ialah bentuk kegagalan seseorang dalam upayanya menyesuaikan diri terhadap tekanan-tekanan social dan tuntutan-tuntutan hidup.
Faktor yang mempengaruhi kemauan bunuh diri adalah bermacam-macam, sehingga untuk melakukan perbuatan bunuh diri antara lain ialah: religi, jenis kelamin, pendidikan, profesi, doktrin, uisa, dll. Misalnya pada usia sangat muda dan sangat tua, jarang terjadi peristiwa bunuh diri. Persitiwa mengambil nyawa sendiri ini banyak terjadi usia remaja/puberitas, adolensi sampai usia pertengahan (14-40 tahun)
Laki-laki bnyak melakukan tindakan bunuh diri dari pada kaum wanita. Hal ini disebabkan karena kaum laki-laki memiliki lebih banyak keberania, keteguahan kemauan, dan kekuatan fisik lebih besar untuk mneyakiti dan merusak diri sendiri sampai pada kematiannya. Di amerika serikat, misalnya pada tahun 70-an perbandingan korban bunuh diri antarta laki-laki dan perempuan ialah 3:1
Pribadi-pribadi yang tidak kawin dan bercerai , yang melakukan perbuatan bunuh diri ada tiga kali lebih banyak dari pada mereka yang kawin dan tidak bercerai. Di Negara barat yang maju orang-orang dengan profesi dan pendidikan yang relative tinggi misalnya dokter, ilmuwan, ahli hokum, politikus, pemimpin, dan lain-lain lebih banyak melakukan bunuh diri dari pada rakyat jelata dengan kedudukan social dan pendidikan yang relative rendah.
Factor-faktor lain yang member kontribusi pada tindakan bunuh diri antra lain ialah: factor sosiologis, factor ekonomi, antara lain berupa status ekonomi, depresi ekonomi, jatuh miskain secara mndadak, dll. Factor politik misalnya berupa: perubahan-perubahan iklim politik dangan macam-macam tekanannya degradasi secara politis, perubahan pranan dalam dunia politik dll. Factor pendidikan misalnya: kegagalan studi dalam universitas sehingga orang yang bersangkutan lebih suka memilih kedamaian abadi dibalik kematian dirinya, guna menyingkirkan mancam-macam kesulitan serta rasa aib yang rasa-rasany tidak bisa dikuasai oleh dirinya. Atau dengan tujuan ingin bersatu dengan kekasih yang sudah mendahuluinya.
Beberapa cirti karekteristik dari orang-orang yang cendrung melakukan dan sudah melakukan perbuatan bunuh diri, dapat dikemukakan dibawah ini antara lain ialah:
1. Ada ambivalensi yang sadar atau tidak sadar antara keinginan untuk mati dan untuk hidup.
2. Ada perasaan perasaan tanpa harapan, tidak berdaya, sia sia, sampai pada jalan buntu merasa tidak mampu mengatasi segala kesuliltan dalam hidupnya.
3. Dia merasa pada batas ujung kekuatan merasa sudah capai total secara fisik dan secara mental
4. Selalu dihantui atau dikejar-kejar oleh rasa cemas, takut, tegang, depresi, marah, dendam,
5. Ada kekacauan atau khas dalam kepribadiannya mengalami kondisi disorganisasi dan disentegrasi personal, tanpa mampu keluar dari jalan buntu dan tanpa kemampuan memperbaikinya.
6. Terayun-ayun dalam macam-macam suasana hati/steming yang kontroversal, agitasi lawan apati ingin lari lawan berdiam diri, memiliki potensialitas kontra kelemahan dan tidak keberanian
7. Terdapat penguratan kognitif, ada ketidak mampuan melihat dengna wawasan bening tidak mampu melihat alternative lain, bukan meyakini limitasi dan kelemahan dari potensial sendiri
8. Hilangnya kegairahan hidup, hilang minat terhdap aktivitas-aktivitas sehari-hari, pupus kegairan seks nya tanpa minat terhadap masyarakat sekitar
9. Banyak penderitaan jasmasniah, mengalami insomnia (tak bisa tidur) mengalami anoreksi atau tidak suka makan, dan menderita psikastenia, dan simtom-simtom psikosmatis lainnya.
10. Penderita pernah sekali atau bebrapa kali mencoba melakukannya.
Dengn melihat adanya cirri-ciri karekteristik tersebut diatas, terang bagi kita bahwa penderita tersebut mengalami gangguan atau penyakit mental. Jadi ada ketidak sehatan mental pada diri mereka.

2. Aspek Sosiologis Perbuatan Bunuh Diri
Frekuensi tinggi dari peristiwa bunuh diri pada zaman romawi kuno pada kalangan kaum bangsawan, betul betul dilihat sebgai kejadian yang terhormat pada unsur kemuliaan dan menjadi bagian dari adat kebiasaan social. Namum pada zaman revolusi prancis bunuh diri bukan lagi menjadi adat istiadat yang dinilai tinggi akan tetapi dianggap sebagai kegagalan tingkah laku manusia jeklsnya merupkan kelemahan dan penyakit mental.
Asumsi diatas kemudian hari mendukung dan melatar belakangi teori psikologis yang menyatakan bahwa bunuh diri itu mebabakan oleh kegilaan atau kelemahan karaktert, atau ketidak imbangan jiwa (teori Dhalgren, 1945; Achile Delmas, 1932; Deshaies, 1947). Juga mendukung teori sosiologis yang menyatakan, bahwa bunuh diri disebabkan oleh kegagalan diri control normative pada individu oleh masyarakat (Briere de Boismont, 1856, Morselli, 1879, dan Emile Durkheim, 1897)
Pada abad ke 19, bunuh diri menjadi titik vocal atau tema sentral dalam argumentasi antara para filsus dengan para penganut gereja. Hal ini desebabkan oleh peningkatan secara statistic yang begitu besar dari peristiwa bunuh diri semasa abad ke 18 dan 19, berkaitan dengan opini dan interprestasi orang mengenai kehampaan hidup di dunia dan keindahan dunia keabadian sesudah mati, yang banyak diajarkan oleh kaum rokhaniawan. Ditambah dengan kurangnya disiplin diri, berkembangnya egoism dan materialaisme, dan mennjalarnya dengan pesat peristiwa-peristiwa disorganisasi moral.
Kemudian bunuh diri dianggap gerakan romantic atau symbol romantisme yang mengandung ide-ide egoism dan anopmi. Pada masa itu bunuh diri dilihat sebagi masalah social yang asasi. Seperti orang-orang amerika yang pada tahun 1980-1989 sekarang ini merasa ngeri dan pahit menghadapi juvenile delenguency (kejahatan remaja) mafia dan penyakit AIDS, maka pada abad 19 orang perancis dan penduduk eropa sama takut dan ngerinya menghadapi ia manie du suicide (mani kematian); Tssot, 1840
Bunuh diri dianggap sebgai lambing romatisme ; yaitu melambangkan seorang pengembara yang kesepian dan terisolir, yang tengah menari kesia-siaan dalam hal-hal yang tidak mungkin bisa dicapai ditengah masyarakat manusia. Kemudian orang menjadi semakin melankonis dankeranjingan pada keabadian(kematian, kehidupan abadi) kesepian dan isolasi mengakibatkan melankoli atau kesedihan dan selamjutnya menumbuhkan rasa-rasa kerinduan pada kematian dan perbuatan bunuh diri . dengan begitu bunuh diri di abad 19 menjdi model mitos dalam kehidupan manusia.
Selanjutnya Adolphe Quetelet (sosilog, 1835) menyatakan bahwa, setiap system social yang stabil akan menghasilkan satu tipe kepribadian yang rata-rata stabil; mereka berkumpul menjadi satu kelompok masyarakat dengan tata kehidupan dan aturan aturan tertentu untuk mengendalikan tingkah laku setiap anggotanya. Maka masyarakat dan moral-moral masyarakat (yang bersifat menekan) itu menjadi penyebab utamanya bunuh diri.
Sehubungan dengan hal sebut diatas, diperlukan satu otoritas moral eksternal untuk mengatur masyarakat dan menetapkan pola tingkah laku manusianya. Tanpa otoritas moral eksternal ini akan muncul egoism ekstrim, anomi, fatalism, dientgrasi social dan personal, kekacauan, ketidak imbangan, tanpa kesatuan dan persatuan atau kohesi, dan tidak adanya kejelasan. Semua ini menuju pada khaos, yang memunculkan disentegrasi-disorganisasi personal, dan bisa mendorong orang melakukan perbuatan bunuh diri.
Para sarjana di Negara-negara barat kemudian sampai pada prinsip umum yang mengemukakan pendapat sebagai berikut:
a. Urbanisasi akan bervariasi langsung dengan tingginya angka bunuh diri
b. Indusrtilisasi dan kesejahteraan, kedua-duanya akan bervariasi langsung dengn angka bunuh diri di Negara-nergara eropa pada abad ke 19 dan di Negara yang sudah maju dan berkembang pada abad modern sekarang ini
c. Priode-priode penuh disorganisasi dan reorganisasi sepeti masa-masa perang, akan menurunkan angka kematian bunuh diri (karena sisitem pencatatan tidak banyak melaporkannya dan lebih banyak tugas tugas penting lainnya yang harus dikerjakan) ditambah dengan mobilisasi ketahanan mental penduduk pada umumnya.
d. Semakin terintegrasi satu kelompok social perimer dan semakin merasa pedih mereka kehilangn anggota yang melakukan bunuh diri, maka semakin besar usaha mereka untuk menyembunyikan peristwa bunuh diri itu.
Maurice Halbwachs (1930) kemudian mengembangakan teorinya sebagi satu suplemen dari teori Durkheim mengenai BUNUH DIRI, dengan teori sosiologis yang radikal ia menyatakan:
Ada korelasi yang tinggi antara angka kematian bunuh diri dengan kompleksitas suatu masyarakat. Misalnya, gaya hidup pedesaan yang lebih sederhana dari pada gaya hidup urban perkotaaan dan
karena itu angka kematian bunuh kota mengatasi situasi-situasi krisis yang dihadapi sehari-hari karena itu banyak agensi kasus bunuh diri membuktikan, bahwa ada korelasi akrab antara tingginya angka bunuh diri dengan disintegrasi social.
Maka inti teori sosiologis yang mutahir menyatakan bahwa semakin terintegrasi secara social atau semakin kurang konfliktius satu set/ perangkat setatus-setatus (seperti usia, ras, status marital, profesi atau pekerjaan sekolah, jaminan hari tua, dll) yang dimiliki oleh anggota –anggota masyarakat, maka semakin sedikit asosiasinya kondisi tersebut dengan peristiwa bunnuh diri.
3. Aspek Psikologis Perbuatan Binuh Diri
Penyajian tulisan ini bermaksud untuk mendapapatkan kejelasan mengenai fenomena bunuh diri dilihat dari segi kejiwaan pelakunya, dengan tujuan untuk menemukan treatment atau perlakuan dan tindakan –tindakan prefentif guna mencegahkan perbuatan bunuh diri atau pengrusakan diri.
Telah disinggung didepan bahwa bunuh diri merupakan prilaku manusia, yang sadar menginginkan pencabutan nyawa sediri, beralasan motivasi-motivasi tertentu; dan ditambah dengan satu konsep ‘’idealistis’’ mengenai kelanggengan dan kebahagian abadi dari kematian (dengan menghentikan kehidupan sendiri). Maka pendekatan psikologis ini terutama sekali menyoroti segi-segi kejiwaan yang mendorong seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Secara primer, pendekantan ini banyak mendasarkan dari pada konsep SIGMUND FREUD (1917) yang menyatakan bahwa :
Gejala intrapsikis yang bersumber dari dalam jiwa manusia, khususnya ketidaksadaran dan individu itulah yang banyak mendorong orang untuk melakukan bunuh diri.
Dalam perumusannya freud menyatakan bahwa bunuh diri merupkan produk dari satu proses dalam mana emosi emosi cinta dan afeksi yang pada mulanya ditujukan kepada obyek seseorang (yang kemudian di internalisasikan dalam diri sendiri), namun cintanya ditolak lalu ia megalami frustasi . peristiwa ini menimbulkan rasa amarah, benci dan sikap bermusuh. Namun, karena obyek kecintaan tadi telah diinternalisasikan dalam dirinya dan bagian dari kepribadiannya, maka perasaan bermusuh dan benci tadi kemudian ditujukan pada diri sendiri. Oleh karena itu, bunuh diri dilihat dari pandangan posikoanalisa bisa dianggap sebagi pembunuhan dalam 180-derajat.
Pendekatan klasik psikoanalisa tidak hanya cendrung secara sistematis mengabaikan factor-faktor social, tetapi juga condong memfokuskan minatnya pada satu kompleksitas tunggal atau satu konstelasi psikodinamika yaitu factor seks. Dalam hal ini ialah kegagalan lilbido seksual. Tetapi pada masa sekarang kita memahami, bahwa orang-orang tertentu membunuh dirinya sendiri beralaskan satu deretan motiv-motiv yang dirasakan secara jiwani. Jadi bukan hanya didasari kebencian dan pembalasan dendam saja, akan tetapi didorong oleh rasa malu, emosi, ketergantungan, rasa bersalah/berdosa, loyalitas, rasa sakit hati, rasa bosan, dll. Seperti juga tidak ada satu formula atau pola tunggal yang bisa menjelaskan secara rinci dan khusus mengenai gejala homo seksualitas dan pelacuran, maka juga tidak ada satu formula psikologis tunggal yang bisa menjelaskan secra gemblang tidak destruksi diri manusia.
Oleh karena itu perlu adanya sintese antara posisi psikologis klinis digunakan untuk mengenali drama internal individu di dalam jiwanya, dengan posisi sosiologis untuk menyimak factor eksternal yang mempengaruhi kehidupan kejiwaan manusia, karena itu Schneidman& Farberow, 1960, menekankan adanya interplay atau proses saling mempengaruhi antara factor-faktor social dan psikologis sebagian peran-peran yang saling mempertinggi /mempercepat terjadinya perubahan bunuh diri individual.
Halbwachs (1930) menyatkan, bahwa penjelasan-penjelasan sisoal dan psikopatologis mengenai buhun diri itu sifatnya lebih komplementer dari pada antitetis. Yaitu adanya pemahaman, bagai mana pengaruh internal dan factor-faktor social (eksternal) digabungkan dan dimasak dalam totalitas individu.
Jadi untuk memahami kejadian bunuh diri, orang perlu mengenal perasaan-perasaan dan fikiran-fikiran, fungsi-fungsi ego, dan konflik-komflik internal ijndividu; disamping memahami bagai mana memahami orang tersebut, mengintegrasikan diri sendiri dengan sesama warga masyarakat dan beberapa besar partisipasi dirinya secara moral sebagai anggota kelompok social tempat hidupnya.
Posisi-posisi taksonomik (system klasifikasi) mengenai gejala bunuh diri banyak dikemukakan para sarjana. Emile Durkheim 1897 membaginya dalam empat tipe yaitu: bunuh diri alturistik, anomik, egoistik, dan fatalistik. Dalam pem bagian ini dapat ditambahkan pendapat Menninger yang mengklasifikasikan gelaja bunuh diri bersumber pada implus-implus bunuh diri, yaitu; keinginan untuk membunuh, keinginan untuk membunuh, dan keinginan untuk mati, 1938. Dia juga menambahkan pengklasifikasian gejala-gejala SUB-BUNUH DIRI ke dalam:
1. Bunuh diri kronis, asketisme, kesyahidan atau martyrdom, adikasi atau kecanduan obat-obatan invalidisme,psikosa.
2. Bujuh diri fokal (titik temu) pemotongan atau pengrusakan diri, pura-pura sakiit, kecalakaan-kecelakaan gand, impotensi dan frigiditas
3. Bunuh diri organik mencakup factor-faktor psikologis dalam penyakit-penyakit organic
Campuran dari golongan lain yang mencakup tipe bunuh diri dalah sebagai berikut:
- Bunuh diri sebagai komunikasi
- Bunuh diri sebagai balas dendam
- Bunuh diri sebai kejahatan fantasi
- Bunuh diri selakuj pelarian diri yang tidak disadari
- Bunuh diri selaku kebangkitan kembali ataui reuni magis
- Bunuh diri sebgai kelahiran kembali, dan pemulihan,atau ganti rugi.
Satu klasifikasi lagi yang diusulkan oleh schneidman (1961) berkenan dengan gaya logis atau gaya kognitif (dengan analisa logis) membagi bunuh diri dalam tiga tipe yaitu:
1. Yang loigis bedasarkan pertimbngan-pertimbangan logis
2. Yang katalogis bedasarkan perjiumlahan alasan-alasannya
3. Yang paleologis berdasarkan ilmu ketuaan karena undur uzur
Sebagian besar dari teori-teori psikoanalitis freud bersumber dari kontribusi teoritis mengenai “duka cita dan melancholia” (1917) dan pendapatnya mengenai instink kematian dalam bukunya “Dibalik prinsip kesenangan (1920) karna itu depresi, dan secarakonsekuen juga bunuh diri itu bisa terjadi, sebagai akibat dari dorongan agresif yang sangat kuat terhadap seorang obyek yang telah diintroyeksikan, yang dahulu sangat dicintai namun sekarang sanga dibencinya.
Menninger kemudian menerima konsep mengenai instink kematian tadi, dan memperluasnya menambah tiga unsur dalam bunuh diri, yaitu: keinginan untuk membunuh, untuk dibunuh, dan keinginan untuk mati (1938). Zilboorg (1936) menganggap bunuh dir sebagi untuk menghalang halangi kekuatan-kekuatan eksternal yang masuk dalam diri sendiri, dan sebgai suatu metodeuntuk mencapai keabadian.
O’connor menambahkan (1948) pada pristiwa bunuh diri ada perasaan bahwa pribadi yang bersangkutan akan mencapai yang mahakuasaan dengan jalan kembali menuju kekuatan narasisme.
Palmer (1941) mensugestikan, bahwa perkembangan psikoseksual yang tertahan terhalang-halang sebagai akibat dari ketidak bersediaan atau penolakan figure-figur penting dalam taraf-taraf perkembangan yang gawat, merupakan mekanisme asasi bagi terjadinya peristiwa bunuh diri.
Garma (1943) menekankan kehilangan satu obyek cinta yang penting artinya bagi seorang pribadi dan kemudian menggunakan jalan bunuh diri untuk memulihkan kepedihan hatinya.
Bergler (1946) melukiskan
1. Bunuh diri introyeksi sebagai suatu agresi terhadap perasaan perasaan bersalah atau berdosa.
2. Bunuh diri histeris sebagai darmatisasi bagai mana seseorang itu benar-benar tidak senang diperlakukan dengan cara tertentu
3. Bunuh diri yang serbaneka (miscellaneous type) seperti schizofenia paranoid, yang mereaksi terhadap suara-suara tertentu.

Farberow (1961), kecuali unsur-unsur yang tercantum dibagian atas, masih menambahkan beberapa factor penyebab yaitu:
1. Ketergantungan yang telah dikecewakan atau terhambat
2. Kerinduan dan kelahiran ulang yang spiritual
3. Keinginan mencari kontak dengan jati diri /the self dengan jalalan merusak ego, atau melakukan bunuh diri
4. Perasaan-perasaan inferior yang sangat kuat, dan agresi yang terselubung pada individu-individu yang sangat bergantung pada orang lain, dengan penampilan diri bergaya hidup manja
5. Tipe kebencian diri dari struktur kepribadian yang berubah menjadi defresif, disebabkan oleh pengalaman-pengalaman interpersonal
6. Aliensi (rasa keterasingan) dan perasaan-perasaan disparitas/perbedaan antara aku yang diiderealisir dengan aku-riil
7. Usaha-usaha pribadi untuk mensahkan dirinya sesuai dengan kerangka ‘’konstruksi-kontruksi’’ sendiri
Maka factor-faktor psikologis itu benar-benar merupakan inti penggerak bagi usaha bunuh diri. Factor-faktor ini tidak hanya mencakup status pribadi sekarang dan konstelasi psikodinamis individu yang bersangkutan, akan tetapi juga motivasi-motivasi alasan-alasan perbuatannya, fikiran-fikiran dan perasaan-perasaan yang menuntut pada perbuatan bunuh diri, disamping hubungan interfersonal dan intrapersonal.
Motivasi-motivasi interpersonal dalam kasus bunuh diri terjadi apa bila pribdi yang melakukan tindakan bunuh diri tersebut lewat perbuatannnya berusaha untuk mempengaruhi t erjadinya perubahan sikap pada orang-orang lain; atau mengharap adanya perubahan tingkah laku pada orang lain. Karena itu bunuh diri dapat dilihat sebagai alat untuk mempengaruhi, membujuk,mendesak , memakasa, memanipulasikan, merangsang, mengubah, mengajak, dan memulihkan, perasaan –pikiran perbuatan orang lain. Orang lain ini biasanya adalah pribadi yang mempunyai relasi akrab denan dirinya, seperti suami istri , tunangan, atau anggota keluarga.
Motifasi-motivasi interpersonal ini dapat kita temukan pada semua usia; akan tetapi paling banyak kita temukan pada usia puber-adolesensi dan usia pertengahan, yang biasanya mereaksi dengan paksaan-paksaan yang kuat sekalai, penuh agitasi, disertai rasa ketergantungan ketidak dewasaan, pertimbangan yang tidak matang/miskin, dan implusivitas. Perbuatan bunuh diri juga digunakan sebagai ekspresi dari kemarahan, penolakan, dan pemaksaan kesediaan untuk menguah priaku pada respon-respon lain; atau untuk menumbuhkan perasaan-perasaan bersalah kepada mereka.
Motivasi-motivasi interpersonal paling banyak mucul pada orang-orang yang lebih tua, dalam mana: 1. Telah banyak hilang emosi ikatan-ikatan dengan pribadi lain
2. pribadi-pribadi merasakan adanya tekanan-tekanan dan ketegangan-ketegangan dari dalam, dan perlunya melakukan satu perbuatan penting yaitu bunuh diri.
3. mereka merasa bahwa kaitan-kaitan dengan orang-orang yang dekat dengan dirinya sudah sangat longgar misalnya karena dia ditinggal mati suami/istri anak-anak sudah berumah tangga sendiri-sendir, badan sudah sakit-sakitan dan dilupakan orang
4. hingga muncul kemudian emosi-emosi yang sangat kuat berupakan perasaan yang amat kesepian merasakan tidak diperlukan lagi, tidak bisa berkerja dengan efektif, badan semakin lemah dan sakit-sakitan dan bahwa dia sudah pernah hidup dan kini tidak punya apa-apa lagi. Suasana hatinya dipenuhi unsure depresi, dibarengi keinginan megucilkan diri, dan habis terkuras tenaganya secara fisik dan emosional lalu muncullah keinginan untuk mati saja.
Pada peristiwa bunuh diri ini ada semacam (1)”kegairahan’’ kronis dan patologis (yang tidak bisa ditahan atau diatur) (2) disertai penderitaan mental/batin yang sangat parah, yang disebabkan oleh kejadian-kejadian hebat atau pengalaman traumatis. Antara lain berupa kehilangan seseorang yang amat dikasihi, mendapatkan penghinaan habis-habisan, keluarga berantakan, ketergantungan mutlak secara elonomis, mengalami kekalahan atau kebangkrutan total, ada goncangan psikologis, dan frustasi-frustasi social dan seriuas lainnya.
Kasus bunuh diri pada umunya banyak terjadi pada usia 14-50 tahun, namun lebih dari separuhnya delakukan oleh orang-orang dengn usia sekitea 30-an hal ini mengindikasikan bahwa factor-faktor eksternal dan social misalnya keluarga, masyarakat lingkungan sekitar, dan lembaga-lembaga social yang ada itu bisa ikut memainkan peran pennting dalam usaha mengatasi dan mencegah perbuatan bunuh diri; yaitu ikut membantali penderitaan batin, dan menolong penderitanya dalri kesulitannya.disamping itu lembga-lembaga agama bisa ikut memainkan peran dalam bimbingan kesehatan jiwa para penderita, dan mencegah orang melakukan tindakan bunuh diri.
4. UPAYA PREVENTIF DAN PENGONTROLANNYA
Bnuh diri merupkan gejala personal sekaligus juga gejala social yang kompleks, dan sebab-sebabnya juga sama kompleksnya. Namu pada masa krisis dan sulit serta menghadapinya ancaman bahaya besar misalnya waktu mengalami bencana alam atau musibah perang, menghadapi serbuian musuh dan lain-lain. Jarang sekali orang melakukan tindakan bunuh diri
Sebaliknya, pada masa-masa penuh kejayaan dan kemakmuran, dengan macam-macam faslitas dan keenakan hidup justru banyak orang muda yang putus asa dan melakukan bunuh diri; yaitu didorong oleh rasa kejemuan dan kekosongan jiwa pad masa kemakmuran. Hal ini juga mengindikasikan, bahwa gairah hidup dan semangat mempertahankan diri pada kelompok disaat kritis itu benar-benar menyerap energy dan potensi individu untuk tetap bertahan hidup di saat-saat yang sangat sulit dan kritis itu.
Maka semngat jaung dan kegairahan hidup justru bisa mencegah orang melakukan bunuh diri, yang pada masa-masa normal besar kemungkinan tidak akan mampu dilakukan orang; dan akan membebaskan orang yang bersangkutan dari semua frustasi dan kepedihan pribadi dengan kata-kata lain, masa-masa krisi penuh bahaya dan tantangan itu memberikan ‘’daya ungkit’’ sosiopsikis temporer pada pribadi manusia untuk menegakkan keberadaan dirinya.
Sebaliknya, kehampaan hidup tanpa bobot dan arti diliputi-emosi-emosi tanpa guna dan sia-sia hidup di-dunia sungguhpun diliputi segala macam keenakan dan kemewahan justru bisa memberikan kepada bebrapa persons stimulasi melakukan perbuatan memusnahkan diri sendiri. Sekalipun trauma atau kepedihan mental bisa mendorong seseorng melakukan perbuatan bunuh diri, namun sumber azlinya terletak pada kondisi disorganisasi social yang pada saatnya akan menyebabkan disorganisasi personal.
Perubahan yang serba cepat disebabkan oleh proses urbanisasi, indurtrilisasi,mekanisasi dan teknologi canggih mengakibatkan banyak ketidak stabilan dan disorganisasi kuhususnya, kehancuran kontak-kontak intim antara individu dengan anggpota-anggota kelompoknya. Kejadian ini pasti menimbulkan rasa kesepian, ketakutan, kecemasan, kebingungan, kekacauan fikir, rasa tidak aman dan kepanikan. Dan dalam keputusasaan orang melakukan bunuh diri. Maka banyak penyelidik mengenai kasus bunuh diri membuktikan, bahwa ada korelasi akrab antara tingginya angka bunuh diri dengan disorganisasi social.
Bunuh diri merupakan reaksi personal yang tampaknya tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara lain kecuali tidak memusnahkan diri sendiri; yaitu merupakan reaksi paling akhir seseorang terhadap beban tekanan batin yang paling puncak.
Motiv-motiv- bunuh diri itupun berpariasi sebanyak jumlah orang yang dengan sengaja menggujnakan satu-satunya metode destruski diri ini untuk melepaskan diri dari kesulitan hidupnya. Misalnya rasa kehilangan kehormatan ini, runtuhnya posisi social, hapusnya kebebasan diri , kegagalan bercinta, rasa-rasa inferior yang serius, rasa aib dan malu besar, kesulitan dalam relasi seksual yang kronis, relasi personal yang mengecewkan, semua itu tampaknya ikut mendorong orang untuk melarikan diri ke ujung dunia mencari keabadian spiritual, dengan jalan bunuh diri.
Hanya satu factor penyebab saja, meskipun peristiwa ini amat serius, tidak mungkin bisa mendorong orang melakukan tindak bunuh diri. Sebabnya, biasanya peristiwa pristiwa permusuhan diri itu sudah didahului oleh frustasi-frustasi berat dan konflik-konflik emosional lainnya yang sangat parah kejadian-kejadian eksternal tadi ikut mempertajam kekacauan mentral orang yang bersangkutan, dan mempercepat keinginan orang untuk melakukan perbuatan bunuh diri. Ada pun kekuatan-kekuatan asai dalam kehidupan kejiwaan yang sering mengusik ketenangan batin dan banyak menimbulkan stress dan konflik batin ialah;
- Ketakutan
- Kecemasan
- Rasa-rasa inferior
- Dendam,benci,
- Nafsu membalas ,agresvitas
- Dan rasa-rasa berdosa
Oleh emosi-emosi negative orang justru tidak mempu mencapai kedewasaan psikis dan kestabilan emosional. Kemudian dalam ujung keputusannya dia melakukan prilaku bunuh diri. Jadi bunuh diri merupakan kompleks reaksi dari disintegrasi total/umum pada pola kehidupan indiovidu. Krisi-krisi pribadi dan krisis-krisis social ditengah masyarakat turut memperkuat keinginan orang untuk melarikn diri dari realitas hidup yang dirasakan seperti tidak tertanggungkan lalu orang melakukan bunuh diri.
Maka krisis-krisis puncak dalam bentuk perbautan bunuh diri itu biasanya disebabkan oleh runtuhnya organisasi hidup, karena terjadinya serbuan kekuatan-kekuatan eksternal yang tidak bisa ditahan atau dikontrol, kemudian orang yang bersangkutan salah menanggapi dan salah memasak pengalaman tadi dalam kepribadian sendiri(internal yang salah) selanjutnya orang merasa amat capai, tidak berdaya, gagal, jadi depresif, dan pada akhirnya melakuakan bunuh diri.
Ringkasannya bunuh diri itu disebabkan oleh bertemunya dua factor yang saling memperngaruhi (hukum konvergensi) yaitu:
1. Ketidak stabilan/ketidak sehatan mental dengan unsure-unsur berkurngnya kesadaran, konflik-konflik emosional, kelicikan dan kelemahan pribadi, tidak berani menghadapi tantangan kesulitan hidup (banyak tendens untuk melarikan diri) depresi, organic, dan ketidak imbangan antara dorongan hidup melawan hasrat ketergantungan infantile si penderita;
2. Dan oleh bentuk-bentuk disorganisasi social ditengah masyarakat yang pada saatnya akan memprodusir disorganisasi-disintegrasi personal pada perorangan .



5. Tipe-tipe bunuh diri
Shneidman (dalam Barlow dan Durand, 2002) membedakan bunuh diri berdasarkan individunya ke dalam empat tipe. Berikut empat tipe bunuh diri menurut Shneidman :

a. Pencari Kematian (Death Seekers).
Individu-individu yang termasuk dalam tipe ini adalah individu yang secara jelas dan tegas mencari dan menginginkan untuk mengakhiri kehidupannya. Kesungguhan mereka untuk melakukan tindakan bunuh diri, sudah hadir dalam jangka waktu yang lama, mereka telah menyiapkan segala sesuatunya untuk kematian mereka. Mereka telah memberikan barang-barang milik mereka kepada orang lain, menuliskan keinginan mereka, membeli sepucuk pistol, lalu segera bunuh diri. Selanjutnya, kesungguhan mereka akan berkurang, dan jika mereka gagal melakukan bunuh diri, mereka kemudian menjadi ragu atau kebingungan (ambivalent) dalam memutuskan untuk mati.


b. Inisiator Kematian (Death Initiators).
Inisiator-inisiator mati juga mempunyai keinginan yang jelas untuk mati, tetapi mereka percaya jika kematian mau tidak mau akan segera mereka rasakan. Individu yang menderita penyakit serius tergolong ke dalam tipe ini. Sebagai contoh, beberapa penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus), sebelum mereka mendapatkan perawatan, baik itu perawatan medis atau bukan, terlebih dahulu memutuskan untuk bunuh diri. Hal ini mereka lakukan dengan pertimbangan bahwa mati lebih baik dari pada harus menghadapi penyakit mereka yang mau tidak mau akan bertambah parah dan kemungkinan berubahan menjadi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome).

c. Pengabai Kematian (Death Ignorers).
Bersungguh-sungguh untuk mengakhiri kehidupannya, tapi mereka tidak percaya jika keinginan tersebut merupakan akhir dari keberadaan (existence) dirinya. Mereka meyakini bahwa mati merupakan awal dari kehidupan mereka yang baru dan lebih baik. Kelompok-kelompok keagamaan tertentu termasuk ke dalam kategori ini. Sebagai contoh, pada tahun 1997, 39 orang anggota Heaven’s Gate cult melakukan bunuh diri massal.

d. Penantang Kematian (Death Darers).
Ragu-ragu (Ambivalent) dalam memandang kematian, dan mereka bertindak jika kesempatan untuk mati bertambah besar. Tetapi hal tersebut, bukanlah suatu jaminan jika mereka akan mati. Orang-orang yang menelan segenggam obat atau pil tanpa mengetahui seberapa berbahaya obat atau pil tersebut, kemudian memanggil seorang teman, tergolong ke dalam tipe ini. Anak-anak muda yang secara acak memasukkan sebuah peluru ke dalam pistol, kemudian mengarahkan ke kepala mereka juga termasuk ke dalam tipe ini. Orang-orang yang termasuk Death Darers, adalah orang-orang yang membutuhkan perhatian atau membuat seseorang atau orang lain merasa bersalah. Dan hal tersebut, melebihi keinginan mereka untuk mati.

6. Cara Pencegahan Dan Penaggulangan
Untuk mengurangi kasus bunuh diri, mencegah, dan menyembuhkan para penderita yang telah gagal melakukan bunuh diri, disarankan agar pemerintah dan masyarakat dapat melakuakan kegiaan sebagai berikut
1. Mendirikan pusat studi tentang pencegahan bunuh diri, dibawah naungan satu lembaga nasional hygiene mental yaitu suatu gerakan disiplin ilmu multidisipliner yang tersebut ‘’sucidology’’ studi humani dan ilmiah mengenai destruksi diri pada pribadi manusia yang memberikan training khusus masalah bunuh diri
2. Pemerintah masyarakat diharapkan memberikan lebih banyak jaminan keamanan dan jaminan social kepda anak-anak dan semua warga Negara agar mereka selalu terlindung dan sehat mentalnya sehingga bisa bebas mnegaktualisasikan diri secar aktif untuk menegakkan martabat dirinya.
3. Secepat mungkin melakukan resturasi pada pola-pola kelembagaan formal yang cukup berwibawa dan sesuai dengan tuntunan hidup modern ‘’wibawa’’ dalam pengertian bisa menegakkan standar, moralitas disiplin nasional, norma-norma dan nilai-nilai hidup baik/benar, yang dipatuhi dorang banyak; dan mampu mengontrol serta mengatur prilaku warga masyarakat dalam tata hidup yang hygienis secara mental dan social
4. Dianjurkan agar berorganisasi kemasyarakatan lebih banyak memberikan penekanan pada pembentukan kontak-kontal social yang lebih akrab, kegotong royongan yang lebih bermakna dan penyusunan interes kelompok baru yang sesuai dengan tuntutan zaman, untuk menggantikan kontak-kontak lama dan kelompok interes yang telah luluh berantakan atau mentalami erosi berat, diharapkan pula bahwa organisasi kemasyarakatan ini bisa menegakkan idela-idela kelompok yang sehat, norma dan standar hidup yang wajar kerukunan hidup beragama, moralitas bangsa yang tinggi penegakkan disiplin hidup dan etik kerja yang tinggi serta memberikan simpati dukungna moril dan bantuan nyata kepada mereka yang tengah menderita lahir bathin.
5. Memberikan lebih banyak bimbingan psikologis kepada anak-anak, orang-orang muda dll, dalam hal memupuk integritas psikologis/kejiwaan supaya bisa menjaga harga diri, hidup religious, memiliki tanggung jawab susila, memiliki ego struktur yang luwes, memiliki adabtabilitas tinggi ditengah banyak perubahan. Juga memupuk rasa bebas tidak terikat dalam mengekspresikan diri, memiliki konsep diri yang sehat dan berani meghadapi setiap tantangan hidup dengan ketabahan.
6. Khususnya pemberian bimbingan psikologis dan psikiatris kepada orang-orang yang mempunyai kecendrungan untuk melakukan perbuatan bunuh diri dengan jalan;
- Memperkuat integrasi kejiwaan
- Mempelancar fungsi-egonya untuk mengikuti jalan hidup yang sehat.ss






DAFTAR KEPUSTAKAAN
• Hygien mental,kartini kartono,mandar maju
• Kesehatan mental, yustinus semiun, kanisius
www.fenomens bunuh diri.com

Tiada ulasan:

Catat Ulasan