Khamis, 11 November 2010

TINDAKAN AGRESI DAN DELINQUENCY

Tindakan Agresi
Prilaku agresif bawaan dari Gen atau pelajaran dari lingkungan
Setiap tahunnya, jumlah tindak kejahatan kekerasan (violent crime) di Indonesia seperti pembunuhan, pemerkosaan, perampokan dan penyerangan terus meningkat. Tindakan kejahatan kekerasan yang terus meningkat ini merupakan contoh dari perilaku agresif yaitu perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Berdasarkan penyebabnya, perilaku agresif ini dapat terjadi karena faktor disposisi/kepribadian (nature) dan faktor situasional (nurture).
.Jika perilaku agresif memang disebabkan oleh faktor bawaan (misal: naluri, gen), seharusnya perilaku agresif tersebut sama untuk setiap orang yang memiliki naluri atau gen tersebut kapan saja dan dimana saja. Pada kenyataannya, frekuensi dan cara tiap individu dalam mengekspresikan agresivitasnya berbeda-beda tergantung lingkungan tempat ia tinggal. Contoh: di Norwegia, angka pembunuhan sangat rendah yaitu tidak sampai 1 orang dalam 100.000 penduduk tetapi di Irlandia jauh lebih tinggi yaitu 13 orang dalam 100.000 penduduk dan di Muangthai mencapai 14 orang dalam 100.000 penduduk (data tahun 1970, dikutip dari Archer & Gartner, 1984).
teori social learning perspective berusaha menjelaskan bahwa kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif tergantung pada banyak faktor situasional, yaitu: pengalaman masa lalu orang tersebut, rewards yang diasosiasikan dengan tindakan agresif pada masa lalu atau saat ini, dan sikap serta nilai yang membentuk pemikiran orang tersebut mengenai perilaku agresif.
Proses-proses belajar sosial yang dapat menimbulkan perilaku agresif:
1. Classical conditioning. Perilaku agresif terjadi karena adanya proses mengasosiasikan suatu stimulus dengan stimulus lainnya. Contoh: pelajar STM X yang sering tawuran dengan pelajar STM Y akan mengasosiasikan pelajar STM Y sebagai musuh/ancaman sehingga mereka akan berperilaku agresif (ingin memukul/berkelahi) ketika melihat pelajar STM Y atau orang yang memakai seragam STM Y.
2. Operant Conditioning. Perilaku agresif terjadi akibat adanya reward yang diperoleh setelah melakukan perilaku agresif tersebut. Reward tersebut bersifat tangible (memperoleh sesuatu yang dia mau), sosial (dikagumi/disegani oleh kelompoknya), dan internal (meningkatkan self-esteem orang tersebut). Contoh: A sering berkelahi dan menganggu temannya karena ia merasa disegani oleh teman-temannya dengan melakukan tindakan agresif tersebut.
3. Modelling (meniru). Perilaku agresif terjadi karena seseorang meniru seseorang yang ia kagumi. Contoh: seorang anak kecil yang mengagumi seorang petinju terkenal akan cenderung meniru tingkah laku petinju favoritnya tersebut, misalnya menonjok temannya.
4. Observational Learning. Perilaku agresif terjadi karena seseorang mengobservasi individu lain melakukannya baik secara langsung maaupun tidak langsung. Contoh: seorang anak kecil memiting tangan temannya setelah menonton acara Smack Down.
5. Social Comparison. Perilaku agresif terjadi karena seseorang membandingkan dirinya dengan kelompok atau orang lain yang disukai. Contoh: seorang anak yang bergaul dengan kelompok berandalan jadi ikut-ikutan suka berkelahi atau berkata-kata kasar karena ia merasa harus bertingkah laku seperti itu agar dapat diterima oleh kelompoknya.
6. Learning by Experience. Perilaku agresif terjadi karena pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh orang tersebut. Contoh: anak yang sejak kecil sering mengalami perilaku agresif (berkelahi/dipukuli) cenderung akan menjadi anak yg agresif (suka berkelahi).
Bentuk-Bentuk Dilenquency
Identitas Anak Punk dalam Berita Kriminal
(Kasus-kasus Pemberitaan Kenakalan Anak)


Pemberitaan mengenai kenakalan yang dilakukan oleh anak pengikut subkultur punk sering mengidentifikasikan mereka sebagai “anak punk”, “Punkers” atau “remaja punk”. Sebutan “anak punk” menunjukkan pengkaitan identitas subkultur anak dengan perilakunya. Pemberitaan semacam ini dapat menyebabkan terbangunnya pandangan masyarakat tentang perilaku subkultur. Hal ini pada akhirnya dapat berlanjut ke bentuk-bentuk prasangka terhadap mereka yang termasuk dalam suatu subkultur tertentu.

Subkultur Punk muncul sekitar tahun 1970 an di Inggris. Punk mulai populer setelah munculnya grup-grup band Sex Pistol, Velvet Underground, The Ramones, dan lainnya. Grup-grup musik ini menjadi suatu cambuk dalam memicu munculnya suatu gaya hidup Punk di kalangan anak-anak muda saat itu. Munculnya Punk didasari atas semangat pemberontakan terhadap segala bentuk kemapaman dalam masyarakat. Semangat ini berasal dari komunitas anak-anak muda kulit putih kelas pekerja di London. Mereka adalah kelompok marginal dalam masyarakatnya, dan tentunya sering menghadapi tekanan persoalan sosial dan ekonomi. Anak-anak muda ini telah mencapai titik jenuh sekaligus pesimis terhadap kehidupannya. Dari keadaan itu maka mereka memulai suatu gaya hidup baru yang berbeda dari kehidupan yang pada saat itu dianggap mapan, (saat itu Inggris sedang dalam masa industrialisasi modern).

Punk mulai masuk ke Indonesia sekitar akhir 1970 an. Masuknya gaya hidup punk ke Indonesia diawali pula oleh masuknya musik-musik beraliran Punk ke Indonesia namun perkembangannya tidak sepesat di negeri asalnya. Punk di Indonesia pada awalnya hanyalah sebuah komunitas kecil yang tidak terang-terangan menunjukkan gaya hidup Punk. Kemudian anak-anak muda mulai meniru gaya berpakaian dan mulai memahami ideologi dan akhirnya menjadikan Punk sebagai gaya hidupnya. Pada perkembangannya baik di negeri asalnya maupun di Indonesia, Komunitas Punk telah mempunyai suatu subkultur tersendiri yang diakui masyarakat dan terkadang dianggap menyimpang.

Permasalahan
Prasangka yang muncul di masyarakat terhadap suatu subkultur dapat berujung pada munculnya konflik di masyarakat. Subkultur punk sebagai bentuk subkultur pemuda (youth) banyak didalamnya yang berusia anak. Pemberitaan tentang kenakalan anak yang dilakukan oleh anak yang tergabung dalam subkultur punk dan dengan menyebutkan identitas mereka sebagai “anak punk” dapat menyebabkan timbulnya prasangka pada masyarakat tentang “anak-anak punk” lainnya.

Nama : Nadri
Mata kuliah : Kesehatan Mental
Dosen : M. Fahli Zatra Hadi, S.sos. I

Tiada ulasan:

Catat Ulasan