Setiap tahunnya, jumlah tindak kejahatan kekerasan di Indonesia seperti pembunuhan, pemerkosaan, perampokan dan penyerangan terus meningkat. Tindakan kejahatan kekerasan yang terus meningkat ini merupakan contoh dari perilaku agresif yaitu perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain (Myers, 1996). Berdasarkan penyebabnya, perilaku agresif ini dapat terjadi karena faktor disposisi/kepribadian dan faktor situasional
Pada penelitian awal mengenai perilaku agresif, Freud (1930-1963) percaya bahwa agresif adalah bagian dari sifat dasar manusia yang innate, independent, dan instinctive. Menurutnya, agresif adalah salah satu naluri dasar manusia yaitu naluri untuk mati (thanatos/death instinct) yang bertujuan untuk mempertahankan jenisnya (survival). Bentuk dari thanatos/death instinct ini adalah naluri agresif yang menyebabkan seseorang ingin menyerang orang lain, berkelahi, berperang, atau marah. Pandangan serupa juga diajukan oleh Konrad Lorenz, ilmuwan pemenang hadiah nobel. Menurut Lorenz (1974), perilaku agresif terutama berasal dari insting berkelahi (fighting instinct) yang diwariskan (inherited) untuk memastikan bahwa hanya pria yang terkuat yang akan mendapatkan pasangan dan mewariskan gen mereka pada generasi berikutnya.
Melihat banyaknya kritik yang bermunculan, para ahli psikologi lainnya berusaha untuk menjelaskan perilaku agresif dari sudut pandang yang berbeda yaitu berdasarkan faktor situasional (nurture). Salah satu teori yang muncul adalah teori social learning perspective (e.g., Bandura, 1997) yang berawal dari sebuah ide bahwa manusia tidak lahir dengan sejumlah respons-respons agresif tetapi mereka harus memperoleh respons ini dengan cara mengalaminya secara langsung (direct experience) atau dengan mengobservasi tingkah laku manusia lainnya (Anderson & Bushman, 2001; Bushman & Anderson, 2002). Dengan demikian, berdasarkan pengalaman masa lalu mereka dan kebudayaan dimana mereka tinggal, individu mempelajari: (1) berbagai cara untuk menyakiti yang lain, (2) kelompok mana yang tepat untuk target agresi, (3) tindakan apa yang dibenarkan sebagai tindakan balas dendam, (4) situasi atau konteks apa yang mengizinkan seseorang untuk berperilaku agresif. Singkatnya, teori social learning perspective berusaha menjelaskan bahwa kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif tergantung pada banyak faktor situasional, yaitu: pengalaman masa lalu orang tersebut, rewards yang diasosiasikan dengan tindakan agresif pada masa lalu atau saat ini, dan sikap serta nilai yang membentuk pemikiran orang tersebut mengenai perilaku agresif.
Proses-proses belajar sosial yang dapat menimbulkan perilaku agresif:
1. Classical conditioning. Perilaku agresif terjadi karena adanya proses mengasosiasikan suatu stimulus dengan stimulus lainnya. Contoh: pelajar STM X yang sering tawuran dengan pelajar STM Y akan mengasosiasikan pelajar STM Y sebagai musuh/ancaman sehingga mereka akan berperilaku agresif (ingin memukul/berkelahi) ketika melihat pelajar STM Y atau orang yang memakai seragam STM Y.
2. Operant Conditioning. Perilaku agresif terjadi akibat adanya reward yang diperoleh setelah melakukan perilaku agresif tersebut. Reward tersebut bersifat tangible (memperoleh sesuatu yang dia mau), sosial (dikagumi/disegani oleh kelompoknya), dan internal (meningkatkan self-esteem orang tersebut). Contoh: A sering berkelahi dan menganggu temannya karena ia merasa disegani oleh teman-temannya dengan melakukan tindakan agresif tersebut.
3. Modelling (meniru). Perilaku agresif terjadi karena seseorang meniru seseorang yang ia kagumi. Contoh: seorang anak kecil yang mengagumi seorang petinju terkenal akan cenderung meniru tingkah laku petinju favoritnya tersebut, misalnya menonjok temannya.
4. Observational Learning. Perilaku agresif terjadi karena seseorang mengobservasi individu lain melakukannya baik secara langsung maaupun tidak langsung. Contoh: seorang anak kecil memiting tangan temannya setelah menonton acara Smack Down.
5. Social Comparison. Perilaku agresif terjadi karena seseorang membandingkan dirinya dengan kelompok atau orang lain yang disukai. Contoh: seorang anak yang bergaul dengan kelompok berandalan jadi ikut-ikutan suka berkelahi atau berkata-kata kasar karena ia merasa harus bertingkah laku seperti itu agar dapat diterima oleh kelompoknya.
6. Learning by Experience. Perilaku agresif terjadi karena pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh orang tersebut. Contoh: anak yang sejak kecil sering mengalami perilaku agresif (berkelahi/dipukuli) cenderung akan menjadi anak yg agresif (suka berkelahi).
Contoh Delinquency yaitu pada remaja penyalahguna alkohol berangkat dari unhappy homes, karena ada tekanan, orangtua yang kurang memperdulikannya, tidak dekat dengan orangtua, manajemen keluarga yang diterapkan orangtua adalah tidak tepat (kurang memantau, memiliki harapan yang tidak jelas, kurang memberikan reward atas perilaku positif), dan memiliki orangtua yang menggunakan alkohol.
Dukungan keluarga yang kuat adalah penting bagi strategi pencegahan penyalahgunaan alcohol. School based program juga dipandang efektif.
Bila harus menjalani terapi, maka perlu melibatkan anggota keluarga dan kelompok diskusi sebaya. Istilah di atas merujuk pada perilaku dalam kisaran luas, mulai dari socially unacceptable behavior (nakal di sekolah) menuju status offences hingga tindakan kriminal.
Untuk kepentingan hukum, dibedakan antara:
Index offenses yaitu tindakan kriminal yang umumnya dilakukan oleh remaja atau orang dewasa, berupa perampokan, perbuatan menyakiti, pemerkosaan, dan pembunuhan.
Status offenses berupa kabur dari rumah, bolos, peminum di bawah umur, dan kurang dapat mengontrol.
Nama : Verawati Jevia
Nim : 10942008518
Mata Study : Kesehatan Mental
Dosen : M. Fahli Zatra Hadi, S.sos. I
Tiada ulasan:
Catat Ulasan