Khamis, 11 November 2010

Tindakan Agresi dan Telegensi

Tindakan Agresi
Meskipun semua orang memahami apa itu agresi, namun masih terdapat perbedaan pendapat mengenai definisinya. Ada tiga perbedaan penting. Pertama, apakah kita mendefinisikan agresi sebagai perilaku melukai, ataukah mempunyai maksud melukai disebut juga agresi.
Definisi yang paling sederhana dan yang paling disukai oleh orang yang menggunakan pendekatan behaviorisme, adalah bahwa agresi merupakan perilaku yang melukai orang lain. Keuntungan definisi ini adalah bahwa perilaku itu yang menentukan apakah suatu tindakan bisa dikatakan agresi atau tidak.
Sayangnya definisi ini mengabaikan maksud orang yang melakukan suatu tindakan. Jika kita mengabaikan maksud, seorang pria yang sedang marah bermaksud untuk membunuh pesaing bisnisnya dengan cara menembak dengan pistol, tetapi ternyata senjatanya kosong, maka tindakan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindakan agresi.
Meskipun pada kenyataanya pria itu sedang marah dan mencoba melakukan pembunuhan, dia tidak bisa dikatakan agresif karena senjatanya kosong. Sehingga tindakannya tidak berbahaya.
Maksud mempunyai peranan penting dalam penilaian kita tentang agresi. Karena itu, kita mendefinisikan agresi sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain. Konsep ini lebih sulit diterapkan, karena tidak semata-mata tergantung pada perilaku yang nampak.
Sering kali sulit untuk mengetahui maksud seseorang. Tetapi kita akan menerima batasan agresi dengan penuh arti jika kita memperhatikan maksud.
Perbedaan yang kedua adalah antara agresi antisosial dan prososial. Biasanya kita menganggap agresi sebagai sesuatu yang buruk. Memang, tindakan agresif yang timbul dengan maksud untuk melukai seseorang adalah hal yang buruk. Tetapi ada perilaku agresi yang baik.
Kita menghargai polisi yang telah menembak seorang teroris. Yang menjadi masalah apakah tindakan agresif melanggar atau mendukung norma sosial itu telah disepakati. Tindakan kriminal seperti membunuh, kekerasan dan pemukulan jelas melanggar norma sosial disebut antisosial. Sedangkan tindakan prososial adalah yang sesuai dengan hukum, seperti disiplin yang diterapkan orangtua atau kepatuhan terhadap komandan perang dianggap penting.
Beberapa tindakan agresif berada di antara agresi prososial dan agresi antisosial adalah agresi yang disetujui (sanctioned aggression). Ini adalah agresi yang antisosial tetapi masih disetujui oleh masyarakat. Contoh, seorang wanita yang melawan ketika diperkosa atau seorang pemilik toko yang memukul orang yang menyerangnya.
Perbedaan yang ketiga adalah antara perilaku agresi dan perasaan agresi. Misalnya, seperti rasa marah. Perilaku kita yang nampak belum berarti mencerminkan perasaan internal kita. Bisa saja, seseorang yang merasa sangat marah, tetapi tidak menampakkan usaha untuk melukai orang lain. Masyarakat tidak menyetujui sebagian besar bentuk perilaku agresif dan memang hal ini hanya bisa terjadi bila orang senangtiasa mengendalikan perasaan agresifnya.
Kita tidak dapat membiarkan seseorang memukul orang lain, merusak pintu, atau bertindak kasar. Masyarakat sangat mengekang perilaku semacam ini, sehingga sebagian besar orang, termasuk yang selalu marasa marah, jarang bertindak agresif.

KONSEPSI PERILAKU MENYIMPANG ( Bentuk-Bentuk Telegensi)
Perilaku menyimpang merupakan salah satu problema psikologis, yakni refleksi proses penyesuaian diri manusia dalam kehidupan sosialnya. Karenanya, tidak ada suatu definisi yang bisa dijadikan patokan khusus dari suatu disiplin dengan kriteria tunggal. Sesuai dengan analisis ini, maka istilah perilaku menyimpang sering disejajarkan dengan ’masalah-masalah sosial’ atau ’patalogi sosial’ yang menunjuk pada tinjauan suatu kondisi tertentu dan latar belakang si peninjaunya. Mengenai anggap ini, Cohen (Sadli, 1977: 33), mengatakan bahwa memang tidak ada konsensus dan juga tidak ada istilah perilaku menyimpang, seringkali berhubungan dengan aturan normatif yang dianut dan dimiliki oleh sipenilai pada saat kejadian. Namun berbagi interpretasi mengenai perilaku menyimpang perlu dipahami secara ilmiah; konsep,konsensus, definisi dan sebagainya sehingga terlihat ciri-ciri perilaku tersebut yang berbeda dengan sejumlah tampilan perilaku manusia. Oleh karena itu, sesuai dengan penjelasan Cohen, salah seorang pakar ilmu-ilmu sosial Amerika, maka definisi umum tentang perilaku menyimpang adalah tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma sosial. Perilaku menyimpang juga dapat diartikan sebagai kelakuan atau keadaan yang diperankan seseorang yang pada umumnya tidak diinginkan oleh masyarakat (disvalued). Cohen (Sadli, 1977:35), membatasi perilaku menyimpang sebagai tingkah laku yang melanggar, bertentangan dan menyimpang dari aturan-aturan normatif, dari pengertian-pengertian yang normatif maupun dari harapan-harapan lingkungan sosial yang bersangkutan. Dalam analisis Sarwono (1994: 63), secara keseluruhan semua tingkah laku yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam masyarakat (norma agama, etika, peraturan sekolah dan keluarga dan lain-lain) merupakan perilaku menyimpang. Hawari (1997:56), melihat perilaku menyimpang sebagai gambaran dari kepribadian seseorang yang antisosial atau terjadi gangguan tingkah laku yang ditandai dengan tiga atau lebih kriteria gejala, seperti; sering mabuk, melakukan seks di luar nikah, seringkali mencuri, merusak barang orang lain, sering melakukan tawuran, dan sebagainya. Menurut Kartono (2005: 15), perilaku menyimpang dapat dipahami sebagai perilaku yang abnormal, karena tingkah laku yang diperankan itu tidak adekuat, tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya dan tidak sesuai dengan norma sosial yang ada. Dengan batasan ini, kemudian Kartono (2005:16), menjelaskan dua aspek yang mendasari perilaku menyimpang, yaitu (1) aspek lahiriah yang bisa diamati dengan jelas, seperti kata-kata makian, tidak senonoh, cabul atau kata-kata kotor lainnya; dan (2) aspek simbolik yang tersembunyi, seperti; sikap dalam hidup, emosi, sentimen, itikad tidak baik, motif kejahatan tertentu, dan sebagainya.
Dalam banyak kasus, modus operandi perilaku menyimpang yang terdeteksi dalam realitas tampil dalam berbagai dimensi, motif dan wajah. Selain itu, tingkah laku ini juga dapat terjadi di mana saja, kapan saja dan terhadap siapa saja dalam kehidupan. Praktik perilaku menyimpang dalam wujud internal individu biasanya digerakkan oleh misalnya; persoalan kesehatan, konsep diri, merasa keterasingan, terkontaminasi dengan beragam keinginan atau hayalan individu yang ingin diwujudkan, pengalaman hidup atau beragam tekanan dalam kehidupan dapat berpengaruh pada perilaku seseorang, dan lain-lain. Sedangkan, lakon perilaku menyimpang dari aspek eksternal bermunculan akibat; ketidak-akuratan informasi dari berinteraksi sosial, pengaruh media massa, atau keadaan dan situasi sosial ekonomi ikut memberi andil kepada orang sehingga melenceng dari aturan berperilau yang sebenarnya, dan sebagainya. Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa perilaku menyimpang identik dengan perbuatan, tindakan atau aktivitas anti sosial, melanggar etika, norma atau nilai-nilai yang dianut masyarakat. Perilaku menyimpang merupakan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma atau nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan sosial; baik nilai atau norma yang berorientasi pada ajaran agama maupun aturan berperilaku yang dibuat negara. Akar perilaku menyimpang berkaitan erat dengan kebermaknaan proses penyaluran hasrat oleh individu dalam berinterkasi dengan orang lain dan lingkungan sekitar. Tingkah laku menyimpang dalam operasionalnya dapat terjadi dalam berbagai motif, seperti perampokan, pelecehan seksual, perkataan kotor, terror, perzinahan dan sebagainya. Dalam bahasa berbeda, perilaku menyimpang didorong dan dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal manusia, sehingga perilaku ini bisa tampak dalam wujud lahiriah yang jelas, dan ada pula yang bersifat simbolik dengan berbagai motif dan nuansa.
PENDEKATAN STUDI PERILAKU MENYIMPANG
Orientasi akademis tentang perilaku menyimpang diwacanakan para sarjana sejak dibentuknya American Social Science Association (ASSA) pada tahun 1865 di Amerika Serikat. Organisasi ini mengintrodusir sejumlah mata pelajaran agar isi pembahasannya berkaitan dengan problem-problem sosial, yang dikenal dengan perilaku menyimpang. Asosiasi tersebut juga menjadikan topik perilaku menyimpang sebagai subjek akademis di perguruan tinggi, khususnya dalam disiplin sosiologi. Berawal dari analisis di atas, maka para ahli sosiologi berusaha menyusun sejumlah pengertian perilaku menyimpang sesuai dengan karakteristik peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sosial. Dalam perkembangannya, masalah perilaku menyimpang dapat ditelusuri melalui berbagai pendekatan, seperti; pandangan biologis, patologis, konsepsi analitis, teori anomie atau reaksi sosial, dan sebagainya. Karenanya, dari analisis masing-masing pendekatan kajian tersebut diketahui beragam karakteristik, tujuan, motif dan gejala perilaku menyimpang hingga peranan menyimpang. Agar lebih terfokus, maka di bawah ini dijelaskan secara rinci sejumlah pendekatan dalam memperlajari perilaku menyimpang sehingga dipahami gelaja dan orientasinya secara signifikan.
1. Pendekatan Biologis dan Patologis
Asumsi dasar padangan biologis dan patologis adalah bahwa ada sesuatu di dalam diri manusia yang berperilaku menyimpang yang membedakan pelaku dari mereka yang tidak bertingkah laku menyimpang. Anggapan ini dipopulerkan oleh Lombroso dan Sheldon yang menganggap penjahat (criminals) sebagai orang-orang yang mempunyai kelainan atau kekhususan biologis. Namun pandangan ini masih mengandung banyak pertanyaan di kalangan sosiolog dan psikolog sosial, dengan argumen bahwa orang sadar dan orang tidak sadar harus dibedakan. Orang sadar yang melakukan perbuatan antisosial dapat diistilahkan dengan perilaku menyimpang, sedangkan orang tidak sadar (psikopat) agak aneh bila dimasukkan dalam kelompok perilaku menyimpang.
2. Pendekatan Konsepsi Analitis
Menurut konsepsi analitis, perbuatan-perbuatan menyimpang sebagai tindakan yang mengancam kehidupan bermasyarakat. Dengan terjadinya pergeseran dari konsep biologis kepada konsepsi analitis, maka akan terjadilah pergeseran analisa dari pihak yang melakukan perilaku menyimpang kepada sasaran tindakannya dapat menjadi kegamangan di dalam masyarakat.Yang menjadi fokus perhatian dalam konsepsi analitis adalah mengadakan analisa mengenai ciri-ciri khas dari berbagai tindakan tertentu yang melanggar aturan normatif, seperti perilaku homoseksual, prostitusi, kenakalan remaja, memaki-maki orang, dan sebagainya.
3. Pendekatan Teori Anomie
Perilaku konform dan perilaku menyimpang yang terjadi dalam kehidupan sosial dijelaskan dengan adanya struktur sosial yang kaku dan bobrok dan telah menghambat kelompok-kelompok individu tertentu dalam mencapai tujuan kulturil. Situasi yang demikian akan memicu ketegangan psikologis dalam diri individu anggota masyarakat secara berkelanjutan sehingga menimbulkan apa yang disebut dengan anomie. Menurut teori ini, perilaku menyimpang yang terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh situasi diskontinutas dalam suatu masyarakat atau terjadinya kevakuman tetentu yang menghambat proses berpikir anggota masyarakat sehingga menimbulkan ketegangan dalam sistem struktur sosial.
4. Pendekatan Reaksi Sosial
Pendekatan ini pada hakikatnya menentang pandangan konsepsi biologi dan analitis. Kedua konsep tersebut melihat gejala penyimpangan perilaku disebabkan oleh faktor-faktor instrinsik dalam diri si pelaku atau dalam perbuatan-perbuatan tertentu. Menurut pendekatan reaksi sosial, perilaku menyimpang terjadi karena adanya pengaruh dari luar individu, apakah situasi, objek atau pranata sosial yang tidak terakomodir pada sebagian anggota masyarakat sehingga menimbulkan suatu reaksi tertentu yang diidentifiksikan sebagai tingkah laku menyimpang. Pendekatan reaksi sosial lebih mementingkan latar belakang sosial pelakunya, yakni proses dasar terjadinya perilaku menyimpang merupakan akibat elaborasi dan kompleksitas persoalan yang dihadapi individu anggota masyarakat sehingga dinilai sebagai sesuatu yang menyimpang ketika orang yang bersangkutan bertindak atau berbuat.
NORMA-NORMA SOSIAL, LINGKUNGAN DAN PERILAKU MENYIMPANG
Diskusi mengenai perilaku menyimpang akan menjadi rancu bila tidak menyinggung masalah norma-norma sosial, karena dalam menetapkan atau mengukur perilaku menyimpang, maka eksistensi norma-norma sosial menjadi tolok ukur terhadap kelakuan atau tindakan tertentu. Sumner (Sadli, 1977:61) menyatakan bahwa the mores can make anything right. Bersumber pada pernyataan ini, maka kajian terhadap perilaku manusia dapat dintentukan pula sesuatu perbuatan yang “tidak baik” atau menyimpang” dari norma-norma sosial. Norma-norma sosial merupakan apa yang harus dan dilarang di dalam suatu masyarakat atau kebudayaan tertentu. Yang menajdi soal, kebanyakan orang tidak senantiasa sadar akan fungsi dari norma-norma sosial, atau bahkan seringkali mengabaikan norma sosial dalam kehidupannya ketika berhadapan dengan situasi tertentu, sehingga muncul apa yang dinamakan kelakuan menyimpang. Karena itu, jelas bahwa perilaku menyimpang selalu ditetapkan sebagai sesuatu yang normatif, sehingga penjelasan perilaku menyimpang secara langsung atau tidak langsung menyagkut aspek-aspek norma sosial. Di dalam setiap masyarakat, norma-norma sosial biasanya terpusat ada kegiatan-kegiatan sehari-hari yang bermakna bagi setiap anggota masyarakat. Norma-norma sosial yang terpusat ini sering disebut sebagai pranata sosial. Di sisi lain, wacana norma sosial juga dapat ditilik dalam pranata sosial lainnya, seperti pendidikan, agama, politik, hukum, dan kegiatan yang mengatur persoalan ekonomi. Dalam psikologi terkait dengan norma sosial dibahas oleh teori nilai yang dipresentasikan oleh Edward Spranger dalam naskah yang diberi judul “Types of Men” pada tahun 1928. Dalam pandangan Spranger, makna manusia terletak dari sistem nilai yang dimilikinya. Dengan demikian, nilai-nilai yang ada pada manusia selalu mengarahkan tingkahlaku, pikirannya dan kemauan-kemauannya dalam realitas sosial. Karena itu, dalam kerangka lingkungan, Spranger membedakan atas 6 bagian nilai, yaitu nilai politik atau kekuasaan, ekonomi, sosial, teoritis atau ilmiah, estetis dan religius (Sadli, 1977:66). Merujuk Spranger, maka bila dikaitkan dengan perilaku menyimpang yang muncul saban harinya dalam realitas sosial tidak terlepas dari sejauhmana pemahaman terhadap nilai-nilai yang ada. Jika pemahaman terhadap nilai-nilai stabil, maka kondisi perilaku yang tampilpun biasanya sesuai dengan harapan-harapan sosial. Namun bila pengertian terhadap nilai-nilai yang tidak beraturan dan overacting, maka gejala perilaku menyimpang akan bersemi bagaikan jamur dimusim hujan. Oleh karena itu keberadaan norma-norma yang dianut suatu masyarakat menjadi penting diinternalisasikan dan diadopsikan oleh individu dalam kerangka sosial agar praktik perilaku menyimpang dapat diminimalisasikan sedemikian rupa sehingga terciptanya suatu gambaran masyarakat yang berbudaya, beretika, beradap dan bermartabat dalam kehidupan. Di pihak lain, proses pembelajaran dan sosialisasi dalam wujud perilaku yang mulia perlu ditampilkan oleh generasi tua.
Bila ditilik dari segi analisis pendidikan, maka kehadiran perilaku menyimpang pada diri seseorang boleh jadi dipengaruhi oleh model proses belajar yang diterima, diserap dan dicerna seseorang dari berbagi ranah pembelajaran, seperti keluarga, sekolah dan masyarakat. Hasil interaksi orang dengan lingkungan beserta isinya akan memberi pengetahuan bagi orang yang bersangkutan. Apa yang dipelajari individu dari ketiga domain menjadi input pendidikan tersebut menjadi key word dalam proses pengaplikasian peran dan perilaku dalam realitas sosial seseorang. Karenanya bagaimana keadaan lingkungan begitulah tumbuh berkembang perilaku seseorang. Bila lingkungan baik, maka baiklah keadaan perilaku orang (sesuai norma yang berlaku), namun bila sebaliknya keadaan pranata sosial, kebiasaan-kebiasan dan aturan-aturan yang berlaku sering diabaikan dan tidak diindahkan dalam suatu masyarakat, maka kondisi tampilan perilaku orang dalam realitas juga sesuai dengan lingkungan yang melingkupinya.
ANALISIS KESEHATAN MENTAL TERHADAP PERILAKU MENYIMPANG
Pemahaman kesehatan mental dalam kehidupan sehari-hari diartikan sebagai keadaan yang stabil jiwa (tidak resah, tidak mengalami tekanan, seimbang atau tidak berat sebelah). Bila kondisi jiwa tidak serasi, maka keadaan ini yang dinamakan dengan tidak sehat mental, sehingga perilaku yang diperankanpun menjadi amburadul sehingga merugikan diri sendiri dan orang lain. Cara-cara menyeimbangkan diri akibat dampak kondisi dan situasi tersebut, ada pada manusia yang mengenainya, baik bersifat biologik, psikologik atau sosiologik sesuai dengan gejala ketidak seimbangan yang dialami manusia. Kondisi ini bisa dirasakan oleh siapa saja dalam kehidupan sehari-hari. pandangan ilmu kedokteran jiwa, kesehatan mental adalah suatu kondisi dimana memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang, dan perkembangan kesehatan jiwa ini berjalan selaras dengan keadaan orang lain (Hawari, 1996:12).
Gelaja keseimbangan tidaknya mental manusia digerakkan oleh proses interaksi manusia dengan lingkungan sekitar beragam dampak mengenai diri manusia sehingga menimbulkan bermacam ketidak seimbangan. Karena itu, makna kesehatan mental/jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan semua segi-segi dalam penghidupan manusia, dan dalam hubungannya dengan manusia lain. Dalam kehidupan sosial, beragam wujud perilaku yang bisa diamati kemudian dapat diinterpretasikan, diidentifikasikan, dikategorikan atau diklarifikasikan; mana-nama yang disimpulkan sebagai bentuk jiwa yang sehat meskipun orangnya secara klinis perlu perawatan medis (sakit fisik) dan jiwa yang sakit walaupun secara kasat mata orang sehat wal-afiat. Hal ini berorientasi pada kondisi manusia dalam perkembangannya yang mengalami berbagai persoalan yang harus diatasi dan diperjuangkan untuk hidupnya. Bila suatu persoalan belum dapat dipecahkan akan menjadi tekanan bagi jiwanya, bahkan mengganggu keseimbangan mentalnya. Jikalau mendapat pemecahan masalah yang sehat, maka akan membawa keseimbangan mental kembali, tanpa tekanan dan memberi kepuasan baginya. Namun, andaikata tidak memperoleh proses penyelesaian yang sehat, akan menjadi gangguan yang berlarut bagi keseimbangan mentalnya, bahkan menjadi kesukaran dalam proses kehidupannya.Sehubungan dengan kondisi perilaku manusia yang beragam itu, maka para ahli kesehatan mental berusaha menjelaskan kriteria untuk menggolongkan orang yang dalam keadaan mental sehat, antara lain; (1) memiliki pandangan sehat terhadap kenyataan (diri dan lingkungan sekitar), (2) kemampuan menyesuaikan diri pada segala kemungkinan, dan kemampuan mengatasi persoalan, (3) dapat mencapai kepuasan pribadi dan ketenangan hidup tanpa merugikan orang lain (Meichati, 1969:15). Sementara kriteria yang diberikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 1959), sebagai berikut:
1) Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk baginya
2) Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya
3) Merasa lebih puas memberi daripada menerima
4) Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas
5) Berhubungan dengan orang lain, tolong menolong dan saling memuaskan
6) Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran dikemudian hari
7) Menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif
Mempunyai rasa kasih sayang yang besar.
Beradasarkan kondisi di atas, kemudian WHO (1984) berusaha menyempurnakan batasan sehat mental dengan menambah unsur spiritual (agama), sehingga dalam konteks sekarang yang dinamakan mental sehat adalah tidak hanya sehat dalam arti fisik, psikologis dan sosial, namun juga dalam arti spiritual (agama). karena itu, dengan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa bila semua syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas dapat dipenuhi dalam waktu yang lama atau selama hidup manusia, maka keadaan kesehatan, kesejahteraan dan keseimbangan menjadi konsep sehat mental dalam hidup. Namun bila sebaliknya, tidak terpenuhi sejumlah unsur kriteria kesehatan mental itu, maka bisa dimengerti bagaimana kondisi sehat jiwa yang dimiliki. Dalam konteks inilah muncul apa yang dinamakan dengan perilaku menyimpang, karena tidak mencukupi syarat-syarat sehat psikis pada diri seseorang dan akibatnya dalam realitas sosial tampilan perilaku yang diperankan acapkali berlawanan dengan aturan-aturan, pandangan atau konsep perilaku yang menjadi kebiasaan umum.
Untuk mengantisipasi perilaku menyimpang dan kesehatan mental, paling tidak secara empiris dapat ditangani melalui tiga (3) pendekatan metodologis, yaitu: (1) usaha pencegahan (preventif), (2) usaha penyembuhan/perbaikan (rehabilitatif), dan (3) usaha pemeliharaan (preservatif) (Rahayu, 1994: 112). Kegiatan preventif merupakan usaha menciptakan suasana yang sehat untuk mengembangkan diri, baik secara fisik, psikis, sosial maupun agamis. Aktivitas ini dapat menjadi landasan dalam rangka mengurangi, mencegah dan menghilangkan sebab-sebab perilaku menyimpang yang menjadi kebiasaan buruk dan mengakibatkan gangguan kesehatan mental. Sedangkan aktivitas rehabilitatif merupakan usaha terapi atau memberi pengobatan dalam berbagai wacana; agama, konseling, pendidikan atau latihan-latihan untuk mengembalikan kepercayaan diri, kestabilan jiwa dan menghentikan gerakan perilaku buruk. Kemudian usaha preservatif adalah kegiatan memotivasi, menyemangati dan mengembangkan kondisi aktualisasi diri sehingga kondisi yang sudah stabil, baik dan sehat dapat terjaga selamanya dalam kehidupan. Model pendekatan ini perlu bantuan orang-orang terpercaya sehingga rasa optimisme dan rasa percaya diri terus berkembang tanpa mengingat kembali perilaku buruk.

Nama : INDAH PRATIWIE
NIM : 10942008521
tUGAS : KESEHATAN MENTAL
DOSEN : M.FAHLI ZATRA HADI S.Sos.i

Tiada ulasan:

Catat Ulasan